BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Formasi Wonosari-Punung secara umum tersusun oleh batugamping. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa batugamping, batugamping napalan-tufan, batugamping konglomerat, batupasir tufan dan batulanau. Toha, dkk (1994) menyebutkan penyusun utama Formasi Wonosari-Punung berupa batugamping berlapis dan reefal-limestone. Surono (2009) memisahkan Formasi Wonosari dan Formasi Punung dengan menyebutkan Formasi Wonosari terutama tersusun oleh batugamping berlapis, sementara Formasi Punung tersusun oleh batugamping terumbu. Batugamping penyusun Formasi Wonosari-Punung umumnya memiliki warna putih pada batuan yang segar dan putih kecoklatan pada batuan yang mengalami pelapukan. Sementara tanah hasil pelapukannya memperlihatkan warna kemerahan yang disebut dengan terra rossa. Akan tetapi di Daerah Sawahan dan sekitarnya, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dijumpai batugamping berwarna merah dengan penyebaran secara setempat-setempat. Hidayaturrahman (2008) menyebutkan adanya batugamping tersilisifikasi pada kontak struktural Formasi Wonosari-Punung dengan Formasi Semilir di daerah penelitian.
1
2
Keberadaan fakta lapangan yang menarik tersebut dapat dirumuskan menjadi pertanyaan-pertanyaan ilmiah sebagai berikut: Apakah batugamping merah yang terdapat di daerah penelitian terbentuk selama pengendapan batugamping atau setelah proses pengendapan berakhir?
Jika warna pada
batugamping di daerah tersebut terbentuk sejak proses pengendapan berlangsung, lingkungan pengendapan apa yang menghasilkan batugamping dengan warna merah? Namun jika warna merah pada batugamping tersebut terbentuk setelah proses pengendapan, proses apa yang menghasilkan perubahan tersebut? Apakah ada kaitannya perubahan warna batugamping tersebut dengan keberadaan batugamping tersilisifikasi di daerah penelitian? Permasalahan tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian dan membuatnya sebagai Karya Skripsi dengan judul “Lingkungan Pengendapan dan Mineral Pengontrol Batugamping Merah di Daerah Sawahan dan Sekitarnya, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta”.
I.2. Maksud dan Tujuan Maksud dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui genesis batugamping merah yang terdapat di daerah penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah: a. menentukan lingkungan pengendapan batugamping merah yang dijumpai di daerah penelitian
3
b. menentukan mineral pengontrol warna merah pada batugamping merah yang dijumpai di daerah penelitian c. menentukan proses penyebab terbentuknya warna merah pada batugamping merah di daerah penelitian.
I.3. Batasan Masalah Karya Skripsi ini difokuskan untuk mengetahui lingkungan pengendapan, mineral pengontrol warna merah, dan proses penyebab terbentuknya batugamping merah di daerah penelitian dengan batasan masalah sebagai berikut: a. batugamping merah yang menjadi objek penelitian merupakan bagian dari Formasi Wonosari-Punung b. lingkungan pengendapan batugamping merah diinterpretasikan berdasarkan analisis fasies dan analisis paleontologi c. mineral pengontrol warna merah ditentukan berdasarkan analisis petrografi, analisis XRD (X-Ray Diffraction), analisis geokimia oksida mayor, serta analisis mineralogi normatif terhadap sampel batugamping merah dan batugamping putih. Hasil setiap analisis untuk sampel batugamping merah dan batugamping putih selanjutnya dibandingkan untuk menentukan mineral pengontrol warna merah pada batugamping merah di daerah penelitian d. proses penyebab terbentuknya warna merah pada batugamping di daerah penelitian diinterpretasikan berdasarkan asosiasi mineral pengontrol warna merah serta kondisi geologi daerah penelitian.
4
I.4. Lokasi Penelitian Daerah penelitian pada Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000 termasuk dalam Lembar Karangmojo (1408-312) dan Lembar Eromoko (1408321), yang mencakup daerah seluas 3,5 km x 3,5 km pada koordinat UTM 49S 469000 (X) 9124850 (Y) hingga 472500 (X) 9121350 (Y) (Gambar 1.1). Daerah penelitian terletak di sebelah timur kota Yogyakarta dengan jarak ± 65 km.
Gambar 1.1. Peta lokasi daerah penelitian (Anonim, 1998)
5
I.5. Peneliti Terdahulu Van Bemmelen (1949) melakukan penelitian mengenai fisiografi, stratigrafi, vulkanisme dan sejarah geologi Kepulauan Indonesia dan sekitarnya. Berdasarkan penelitian ini, daerah penelitian termasuk dalam fisiografi Pegunungan Selatan. Zona Pegunungan Selatan dibagi menjadi 3 subzona, yaitu Subzona Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu. Sementara stratigrafi Pegunungan Selatan berdasarkan penelitian ini dibagi menjadi 10 satuan litostratigrafi, yaitu Formasi Wungkal, Formasi Gamping, Formasi Kebo, Formasi Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari dan Formasi Kepek. Surono, dkk (1992) membuat Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro skala 1:100.000. Berdasarkan peta tersebut terdapat 19 satuan pada Regional Pegunungan Selatan. Kesembilan belas formasi tersebut yaitu Diorit Pendul, Batuan Malihan, Formasi Gamping Wungkal, Formasi Kebobutak, Formasi Mandalika, Formasi Semilir, Formasi Jaten, Formasi Wuni, Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu, Formasi Nampol, Formasi Oyo, Formasi Wonosari-Punung, Formasi Kepek, Batuan Gunungapi Lawu, Batuan Gunungapi Merapi, Aluvium Tua, Formasi Baturetno, dan Aluvium. Berdasarkan peta tersebut, daerah penelitian berada pada Formasi Wonosari-Punung serta Formasi Semilir. Lokier (1999) melakukan penelitian mengenai pengaruh sedimen volkaniklastik terhadap biota serta platform karbonat Formasi Wonosari. Formasi Wonosari diinterpretasikan terbentuk sebagai platform karbonat yang berada di selatan busur gunungapi aktif. Antara platform karbonat dan busur gunungapi
6
tersebut terdapat rendahan fore arc basin. Berdasarkan penelitiannya, Lokier (1999) menyebutkan pengaruh influks sedimen volkaniklastik dalam jumlah yang sedikit dapat menaikkan jumlah spesies dan individu biota laut seperti foraminifera, alga, koral, moluska, dan echinodermata. Sementara influks sedimen volkaniklastik yang banyak akan menurunkan jumlah spesies, namun dengan kenaikan jumlah individu biota laut. Jumlah individu yang tetap naik diperkirakan karena perubahan jumlah nutrien dan kondisi kimia, penurunan jumlah kompetitor, atau karena perubahan karakteristik batuan dasar. Siregar, dkk (2004) melakukan penelitian mengenai fasies terumbu Formasi Wonosari. Formasi tersebut dibagi menjadi 5 fasies, yaitu packstonewackestone planktonik, packstone-rudstone, boundstone koral, grainstonepackstone, dan packstone alga-foraminefera yang kelimanya dideskripsi memiliki warna putih, putih kekuningan, putih kecoklatan, dan abu-abu. Kelima fasies tersebut secara berurutan diinterpretasikan terbentuk pada lingkungan pengendapan toe of slope, reef slope, reef zone, surge channel hingga lagoon, dan back reef-shelf. Hidayaturrahman (2008) melakukan penelitian mengenai penentuan umur batugamping tersilisifikasi dengan fosil foraminifera di Daerah Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan penelitian tersebut, batugamping di daerah tersebut terbentuk pada Miosen Tengah bagian bawah. Surono (2009) melakukan penelitian mengenai litostratigrafi Pegunungan Selatan. Berdasarkan penelitian ini, masa pembentukan batuan di Pegunungan
7
Selatan dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu Periode Pra-Vulkanisme, Periode Vulkanisme dan Periode Karbonat. Selain itu, urutan stratigrafi batuan di Pegunungan Selatan dari bagian paling bawah yaitu Kelompok Jiwo, Formasi Wungkal, Formasi Gamping, Lava Bantal Nampurejo, Kelompok Kebo-Butak, Formasi Mandalika, Formasi Sindet, Formasi Wonolelo, Formasi Semilir Bawah, Formasi Semilir Atas, Formasi Nglanggeran, Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari, Formasi Punung, Formasi Kepek, Batuan Gunungapi Merapi, Aluvium dan Pasir Parangkusumo. Dalam peta geologi Surono (2009), daerah penelitian masuk dalam Formasi Punung yang tersusun oleh batugamping terumbu serta Formasi Semilir Atas. Bronto (2011; 2013) melakukan penelitian mengenai gunungapi purba di Pegunungan Selatan, dengan salah satu fokusnya berada di Panggung Massive. Berdasarkan penelitian tersebut, terdapat beberapa pusat erupsi gunungapi purba di daerah Panggung Massive yang meliputi Gunung Panggung, Gunung Wonodadi, Gunung Wuryantoro, dan Gunung Manyaran. Pada Regional Pegunungan Selatan, penelitian mengenai batugamping merah belum pernah dilakukan. Penelitian dengan objek batugamping merah yang pernah dilakukan diantaranya oleh Titisari dan Warmada (2005) serta Titisari, dkk (2007) yang melakukan penelitian di Regional Kulon Progo. Batugamping merah yang menjadi objek penelitian Titisari dan Warmada (2005) serta Titisari, dkk (2007) secara regional termasuk dalam Formasi Jonggrangan. Disebutkan oleh Rahardjo, dkk (1995) batugamping penyusun Formasi Jonggrangan berupa
8
batugamping berlapis dan batugamping koral. Formasi Jonggrangan secara regional diendapkan di atas batuan volkanik dari Formasi Andesit Tua. Batugamping merah di daerah penelitian termasuk dalam Formasi Wonosari-Punung yang disebutkan oleh Toha, dkk (1994) terutama tersusun oleh batugamping berlapis dan reefal-limestone. Formasi Wonosari-Punung secara regional diendapkan di atas batuan volkanik dari Formasi Semilir. Berdasarkan hal tersebut, terlihat adanya kesamaan kondisi geologi regional antara penelitian ini dengan penelitian Titisari dan Warmada (2005) serta Titisari, dkk (2007), sehingga kedua penelitian tersebut akan digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini. Tetapi meskipun terdapat beberapa kesamaan kondisi geologi regional penelitian ini dengan penelitian Titisari dan Warmada (2005) serta Titisari, dkk (2007), pasti tetap ada faktor yang berbeda karena pada dasarnya kedua penelitian berada pada regional yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan perkembangan batugamping antara kedua daerah, perbedaan sejarah diagenesis, ataupun faktor lainnya, sehingga deskripsi yang detail mengenai kondisi geologi daerah penelitian sangat dibutuhkan untuk dapat menjawab tujuan penelitian ini. Pada penelitian Titisari dan Warmada (2005) disimpulkan bahwa mineral yang mengontrol warna merah muda pada batugamping merah muda yaitu mineral titaniferous magnetite (FeO.Fe2O3.TiO2) yang memiliki warna merah. Hal tersebut didasarkan persentase senyawa-senyawa Fe2O3 dan TiO2 dari analisis geokimia yang lebih tinggi pada batugamping merah muda dibandingkan batugamping berwarna putih. Mineral titaniferous magnetite diinterpretasikan berasal dari
9
Formasi Andesit Tua yang kemudian mengalami proses sedimentasi sehingga masuk
dalam
lingkungan
pembentukan
batugamping
saat
batugamping
diendapkan. Pada penelitian Titisari, dkk (2007) diinterpretasikan bahwa warna merah muda pada batugamping di daerah penelitiannya disebabkan karena adanya kandungan mineral titanit (CaTiOSiO4), rhodokrosit (MnCO3) dan sulfida halus (S, Cu, Zn) yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan batugamping berwarna putih. Keberadaan mineral-mineral tersebut diinterpretasikan berasal dari Formasi Andesit Tua yang masuk ke lingkungan pembentukan batugamping saat pengendapan batugamping berlangsung. Berdasarkan peneliti terdahulu di atas, daerah penelitian berada di Regional Pegunungan Selatan (Van Bemmelen, 1949) yang pada Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro skala 1:100.000 oleh Surono, dkk (1992) termasuk dalam Formasi Wonosari-Punung dan Formasi Semilir. Sementara dalam peta geologi Surono (2009) masuk dalam Formasi Punung dan Formasi Semilir Atas. Batugamping Formasi Wonosari-Punung pada umumnya berwarna putih hingga abu-abu (Siregar, dkk, 2004), namun di daerah penelitian dijumpai batugamping berwarna merah. Penelitian mengenai batugamping merah pernah dilakukan oleh Titisari dan Warmada (2005) serta Titisari, dkk (2007). Berdasarkan kedua penelitian tersebut, disimpulkan bahwa warna merah batugamping disebabkan keberadaan mineral titaniferous magnetite, titanit, dan rhodokrosit. Namun apakah mineral
10
pengontrol warna merah pada batugamping di daerah penelitian sama dengan hasil penelitian Titisari dan Warmada (2005) serta Titisari, dkk (2007) masih dipertanyakan. Hal tersebut dikarenakan daerah penelitian berada di regional yang berbeda, sehingga terdapat perbedaan sejarah geologi antara keduanya.
I.6. Keaslian Penelitian Berdasarkan studi peneliti terdahulu di Regional Pegunungan Selatan (Van Bemmelen, 1949; Surono, dkk, 1992; Lokier, 1999; Siregar, dkk, 2004; Hidayaturrahman, 2008; Surono, 2009), penelitian dengan tema pembentukan batugamping merah yang berada di Desa Sawahan dan sekitarnya belum pernah dilakukan. Oleh karenanya penelitian yang akan penulis lakukan merupakan penelitian baru yang dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.