BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usia toddler merupakan usia emas karena perkembangan anak di usia ini yaitu usia 1-3 tahun mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat. Sehingga apabila di usia toddler ini mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya maka akan berpengaruh besar pada kehidupan anak selanjutnya (Nursalam dkk, 2008). Tugas-tugas perkembangan anak usia toddler adalah toilet training, pencegahan cidera dan sibling rivalry. Diantara ketiga tugas perkembangan tersebut, toilet training merupakan hal utama yang harus dikuasai anak usia toddler. Riset menunjukkan bahwa waktu yang tepat dalam pengajaran toilet training adalah usia 1-3 tahun, dimana anak sudah diajarkan cara mengontrol keinginan buang air sejak usia dini. Ketika anak sudah diajarkan toilet training diharapkan pada ulang tahun selanjutnya, anak sudah mampu melakukan toilet training dengan baik. Sedangkan untuk pencegahan cidera, lebih ditekankan ketika anak mulai berumur 0-12 bulan. Selain itu juga dalam pencegahan cidera orang tua/pengasuh lebih dominan daripada anak. Ketiga, adalah sibling rivalry yang hanya terjadi ketika anak mendapat adik baru (Aini, 2008). Menurut Walley and Wong dalam Luqmansyah (2009), melalui toilet training anak akan belajar bagaimana mereka mengendalikan keinginan untuk buang air yang selanjutnya akan menjadikan mereka terbiasa menggunakan toilet (mencerminkan keteraturan) secara mandiri. Kedekatan interaksi orang tua-anak dalam toilet training ini akan membuat anak merasa aman dan percaya diri. Kegagalan dalam toilet training diantaranya yaitu kebiasaan mengompol
berkesinambungan (anak yang punya kebiasaan mengompol sejak lahir dan diteruskan hingga ia menjadi berusia dewasa dan kebiasaan dalam membuang air besar (BAB) sembarangan. Laporan hasil literatur yang telah dilakukan di Singapura yaitu 15% anak tetap mengompol setelah berusia 5 tahun dan sekitar 1,3% anak laki-laki serta 0,3% anak perempuan di Inggris masih memiliki kebiasaan BAB sembarangan pada usia 7 tahun, hal ini dikarenakan kegagalan dalam toilet training. Anak-anak usia toddler mempunyai rasa ingin tahu yang luar biasa namun disisi lain mereka merasa dihalangi dalam memenuhi keinginannya terutama oleh orang dewasa (orang tuanya) sehingga mereka beranggapan bahwa orang dewasa tidak akan mengizinkan mereka membantu pekerjaan orang dewasa dengan cara mereka sendiri dan biasanya mereka tidak patuh terhadap perintah orang tua (Irwan, 2003). Menurut Brazelton dalam Ifa (2010), toilet training perlu diperkenalkan secara dini karena merupakan latihan dalam mengantisipasi refleks pengeluaran urine atau feses bayi pada waktu yang tepat. Pada anak umur 2 tahun juga lebih siap secara kognitif, psikologis, social dan emosional untuk melakukan toilet training. Pada orang tua yang menunda toilet training setelah ulang tahun kedua biasanya sukses dalam empat bulan, hasil penelitian menunjukkan hasil bahwa 90% dari anak-anak antara usia 2-3 tahun berhasil diajarkan melakukan toilet training dan 80% dari anak-anak mendapatkan kesuksesan tidak mengompol di malam hari anatara usia 3-4 tahun. Penerapan toilet training pada anak diharapkan dapat terhindar dari stress, berdasarkan data diketahui bahwa sebanyak 50% dari anak-anak yang mulai diajari penggunaan toilet training pada usia sebelum 1 tahun lebih awal tidak
mencapai penguasaan yang handal sampai umur 3 tahun atau lebih. Hal ini dapat menyebabkan masalah jangka panjang dimana anak akan mengalami sembelit, mengompol, dan rasa bersalah. Dengan memaksa anak yang tidak siap mengakibatkan ada kekuatan yang tidak perlu dan menyebabkan kemunduran yang besar dalam proses tersebut. Untuk itu orang tua perlu mengetahui tentang pengetahuan yang benar tentang toilet training pada usia toddler (Kelly,2002). Suksesnya toilet training tergantung pada kesiapan yang ada pada diri anak dan keluarga seperti fisik, dimana kemampuan anak secara fisik sudah mampu dan kuat duduk sendiri atau berdiri sehingga memudahkan anak untuk dilatih buang air, demikian juga kesiapan psikologi dimana anak membutuhkan suasana yang nyaman agar mampu mengontrol dan konsentrasi dalam merangsang untuk buang air besar dan buang air kecil (Hidayat, 2005). Penelitian sebelumnya mengatakan, 50% dari anak umur 3 tahun mengalami kesulitan pada saat melakukan toilet training ( Pambudi, 2006 ) dan Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Khamidah (2006) yaitu strategi yang paling efektif dalam melakukan toilet training adalah dengan memperkenalkan penggunaan toilet secara langsung, memberikan pujian kepada anak atas keberhasilan yang ditunjukkan dan melalui role models dari orang-orang terdekat misalnya orang tua. Peran orang tua sangat diperlukan dalam memberikan informasi dan bimbingan tentang toilet training kepada anaknya selain didapatkan disekolah , ketika anak lebih banyak merasa orang tua dan sekolah sebagai pusat kegiatannya. Seringkali orang tua merasa bahwa anak kecil tidak perlu dan belum pantas mendapat pendidikan toilet training. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di tempat Penitipan anak AS-SAKINAH Sengkaling Dau Malang terdapat 33 anak.
Peneliti mengambil 10 sample anak usia toddler, 8 anak yang berusia 24-36 bulan sudah bisa melakukan toilet training dengan baik atau mandiri dan 2 anak yang berusia 18-23 bulan masih belum bisa dikatakan berhasil, karena BAK/BAB masih belum teratur. Salah satu penyebabnya adalah faktor umur yang masih kurang dari 2 tahun dan konsumsi makanan dan minuman yang berbeda antara umur 1-2 tahun dengan umur 2-3 tahun. Pengasuh/pihak sekolah mulai mengajarkan toilet training pada anak disekolah rata-rata umur 1,5 tahun dan toilet training ini merupakan salah satu program dari sekolah yang harus di berikan kepada anak didiknya kemudian pengasuh anak disekolah memberitahukan kepada orang tua agar anaknya diajarkan toilet training ketika dirumah. Berdasarkan identifikasi permasalahan tentang peran orang tua yang mempunyai anak yang sekolah tempat Penitipan anak AS-SAKINAH Sengkaling Dau Malang, 99% orang tua mereka bekerja di kantor sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk merawat anaknya. Waktu untuk merawat anak-anak hanya bisa dilakukan ketika mereka sudah selesai bekerja dan juga ketika hari libur bekerja. Jadi, peran orang tua dalam hal ini adalah mengajarkan kembali toilet training pada anaknya yang telah diajarkan di sekolah mereka. Pada waktu inilah peran orang tua dalam mendidik toilet training sangat diperlukan bagi anak dalam proses perkembangannya khususnya dalam hal toilet training. Menurut Hidayat (2005), dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya, akan dapat mengganggu kepribadian anak atau cenderung bersifat retentif dimana anak cenderung bersikap keras kepala bahkan kikir. Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua apabila sering memarahi anak pada saat anak buang air
kecil dan buang air besar, atau larangan anak saat bepergian. Bila orang tua santai dalam memberikan aturan dalam toilet training maka anak akan dapat mengalami kepribadian ekspresif dimana anak lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara-gara, emosional, dan seenaknya dalam melakukan kegiatan seharihari terutama dalam toilet training. Pengetahuan dan peran orang tua tentang toilet training disini sangat diperlukan karena toilet training ini penting untuk perkembangan anak pada selanjutnya. . Menurut Desi (2007), Peran perawat dalam hal ini adalah Bertanggung jawab dalam hal pendidikan dan pengajaran ilmu keperawatan dan tenaga kesehatan lainnya, bagi klien yang dalam keadaan tidak tahu menjadi tahu, tidak mau menjadi mau dan tidak mampu menjadi mampu dalam hal toilet training. Tanggung jawab yang paling penting dari perawat adalah mengenalkan orang tua akan tanda-tanda kesiapan anak dalam toilet training. Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti ingin melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan peran orang tua terhadap tingkat keberhasilan toilet training pada anak usia toddler (1-3 tahun) di tempat Penitipan anak AS-SAKINAH Sengkaling Malang”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka perumusan masalahnya adalah “apakah ada hubungan peran orang tua terhadap tingkat keberhasilan toilet training pada anak usia toddler (1-3 tahun) di tempat penitipan anak AS-SAKINAH Sengkaling Malang ?”.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peran orang terhadap tingkat keberhasilan toilet training pada usia toddler (1-3 tahun) di tempat penitipan anak AS-SAKINAH Sengkaling Malang. 1.3.2 Tujuan khusus a. Mengidentifikasi Peran orang tua pada anak usia toddler (1-3 tahun) di tempat penitipan anak AS-SAKINAH Sengkaling Malang. b. Mengidentifikasi tingkat keberhasilan toilet training pada anak usia toddler (1-3 tahun) di tempat penitipan anak AS-SAKINAH Sengkaling Malang. c. Menganalisis hubungan peran orang tua terhadap tingkat keberhasilan toilet training pada anak usia toddler (1-3 tahun) di tempat penitipan anak ASSAKINAH Sengkaling Malang. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui hubungan peran orang tua terhadap tingkat keberhasilan toilet training pada anak usia toddler (1-3 tahun), serta untuk mendapatkan ilmu dalam penelitian. 1.4.2 Bagi Para Orang Tua Di harapkan dalam hasil penelitian nantinya orang tua termotivasi untuk meningkatkan pengetahuan dalam mengajarkan toilet training pada anak. 1.4.3 Bagi Masyarakat Sebagai informasi yang penting untuk meningkatkan pengetahuan tentang peran orang tua terhadap tingkat keberhasilan toilet training.
1.4.4 Bagi Institusi Peneliti Sebagai masukan untuk menunjang mutu pendidikan, dan dapat dijadikan acuan atau referensi untuk melakukan penelitian lanjutan tentang keberhasilan toilet training pada anak. 1.4.5 Bagi Institusi yang Diteliti Sebagai masukan untuk menambah pengetahuan tentang hubungan peran orang tua terhadap tingkat keberhasilan toilet training pada anak usia toddler (1-3 tahun). 1.5 Batasan Penelitian Untuk mempermudah dan mempertegas lingkup penelitian, maka penelitian ini diberi batasan sebagai berikut : 1. Peran Orang Tua a. Pembimbing 1. Usahakan untuk tidak marah saat anak anda sesekali ngompol atau pup dicelana. Berikan kepercayaan padanya bahwa lain kali ia pasti bisa melakukannya. 2. Tunjukan simpati. 3. Berikan pilihan hukuman atas kesalahan pipis ato pup sembarangan. 4. Berikan pujian pada anak saat ia bisa menahan pipis atau pup-nya hingga ke toilet. b. Pendidik 1. Berbicara dengan anak. 2. Biasakan anak tidak menggunakan diapers di rumah dari umur sedini mungkin.
3. Kenalkan anak komponen toillet (kamar mandi/wc) dan pakaian (celana) dan cara pemakaiannya. 4. Kenalkan anak organ vital berkemih/tempat mengeluarkan air seni/vesica urinaria. 5. Kenalkan dan ajarkan anak ekspresi berkemih, untuk non verbal bisa dengan menunjuk kamar mandi/ mengarah ke organ vital berkemih, untuk verbal tentunya dengan ucapan keinginan berkemih “Mau pipis” atau mampu menandakan diapers basah. 6. Mengetahui/sudah hafal jam anak berkemih (beberapa saat setelah minum dan atau beraktivitas/ diingatkan setiap 2-3 jam sekali untuk ke toilet) dan sebelum tidur. 7. Ajarkan proses berkemih sampai dengan cara membersihkan, tentunya pada awal-awal latihan orang tua dulu yang melakukan keseluruhan aktivitas, lalu baru dilakukan anak sendiri tapi masih dengan bantuan dan supervisi. 8. Orang tua bisa memeriksa popoknya atau mengganti popoknya setelah basah. Karena orang tua sebagai orang yang terdekat dengan anaknya mengetahui kapan waktu anaknya BAK atau pun BAB. c. Pelindung 1. Tunggulah anak ketika anak sedang ke toilet. 2. Hindarkan benda berbahaya bagi anak ketika mengajari toilet training (khususnya yang ada dalam kamar mandi) (Milissehat, 2010).
2. Keberhasilan Toilet Training a. Kemampuan awal toilet training yang menunjukkan kesiapan memulai toilet training, meliputi: 1) Memahami kosakata yang digunakan berhubungan dengan toilet training misalnya pipis atau pup. 2) Menunjukkan ketertarikannya pada pemakaian toilet. 3) Mengkomunikasikan keinginannya untuk defekasi. 4) Tetap berada dalam keadaan kering selama 2 jam. b. Kemampuan menengah toilet training berupa kemampuan anak membantu diri sendiri yang dapat diajarkan pada anak, meliputi: 1) Menyiram toilet sendiri. 2) Mencuci tangan. 3) Membuka celana sendiri sebelum berkemih atau defekasi. 4) Memakai celana sendiri setelah berkemih atau defekasi. c. Kemampuan akhir toilet training yang menunjukkan pencapaian utama dalam penyelesaian toilet training, meliputi: 1) Memakai kamar mandi orang dewasa, bukan pispot atau potty training. 2) Mengkomunikasikan sebelum berkemih. 3) Tetap kering selama sehari. 4) Tetap kering sepanjang malam.