BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Fenomena perubahan iklim bukanlah sekedar isu atau opini para ilmuwan saja, musim kemarau yang semakin panjang serta musim hujan yang semakin intensif merupakan bukti bahwa perubahan iklim sangat dekat dengan kehidupan kita (Meiviana, dkk., 2004). Menurut Sudibyakto (2011) peningkatan suhu yang terus berlanjut akan menyebabkan perubahan iklim dan menimbulkan banyak bencana. Hal ini didukung oleh data UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) yang menyatakan bahwa temperatur rata-rata global naik sebesar 0.74°C selama abad ke-20. Secara geografis, Indonesia berada pada daerah yang ditandai dengan gejolak cuaca dan fluktuasi iklim dinamis yang menyebabkan Indonesia rawan bencana alam seperti badai, siklon tropis, el nino disertai kekeringan, la nina disertai banjir dan tanah longsor. Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan bencana banjir. Berdasarkan data dan informasi bencana yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir tercatat sebagai bencana yang sering terjadi di Indonesia. Berdasarkan Gambar 1.1, tampak bahwa
perbandingan
jumlah kejadian bencana per jenis bencana rentang tahun 1815 - 2015, adalah: bencana banjir sebesar 31,3%, puting beliung 19,4%, tanah longsor 16,3%, kebakaran 13,2%, kekeringan 8,9%, dan bencana lainnya di bawah 10% (BNPB, 2015).
1
2
Gambar 1.1 Perbandingan Jumlah Kejadian Bencana Sumber: BNPB (2015) Peristiwa banjir tidak hanya mengancam kehidupan masyarakat tetapi juga mengancam penghidupan masyarakat. Salah satu sektor penghidupan masyarakat yang terancam apabila terjadi banjir adalah pertanian. Banjir yang melanda sektor pertanian akan mengancam penghidupan petani di Indonesia yang merupakan Negara Agraris. Wilayah yang memiliki ancaman banjir pada sektor pertanian salah satunya adalah Kabupaten Karawang. Kabupaten Karawang yang mayoritas masyarakatnya merupakan petani memiliki potensi di sektor pertanian yang sangat tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang tahun 2013, diketahui produksi padi mencapai 1.492.866 ton/tahun dengan area panen seluas 202.182 ha. Produktivitas per hektar mencapai 7.46 ton/ha dengan target surplus mencapai 1.5 juta ton (BPS Karawang, 2014). Kabupaten Karawang disebut sebagai lumbung padi nasional, bahkan secara khusus salah satu kecamatan di Kabupaten Karawang yaitu Kecamatan Cilamaya Wetan, pernah
3
mendapat kunjungan Presiden pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, atas keberhasilan mempertahankan nilai surplus produksi padi di Jawa Barat (Radar Karawang, 2013). Di balik potensi pertanian yang dimiliki Kabupaten Karawang terdapat juga ancaman banjir yang selalu datang ketika musim hujan. Sebagian besar wilayah di Kabupaten Karawang merupakan wilayah rawan banjir. Wilayah yang dipetakan sebagai wilayah rawan banjir adalah sepanjang bantaran Sungai Cilamaya mulai dari Kecamatan Jatisari hingga ke Kecamatan Cilamaya Wetan dan sepanjang bantaran Sungai Kalen Bawah yang juga bermuara di Kecamatan Cilamaya Wetan. Dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Cilamaya Wetan berpotensi tinggi terdampak banjir (Rihanto, 2015). Berdasarkan data rekapitulasi banjir Unit Pelaksaana Teknis Daerah Dinas Pertanian Kehutanan Perkebunan dan Peternakan (UPTD PKPP) Kabupaten Karawang tahun 2014, dampak banjir telah mengakibatkan 405 ha tanaman padi mati/puso dan 1.952 ha luas persemaian padi yang mati/puso dengan total jumlah benih sebesar 47.140 kg (UPTD PKPP Kecamatan Cilamaya Wetan, 2014). Besarnya angka kerugian akibat banjir membuat para petani yang merupakan gardu terdepan dalam memperkokoh ketahanan pangan nasional khawatir dengan ancaman banjir ketika musim hujan tiba. Banjir yang melanda sektor pertanian tentu telah mematikan mata pencaharian utama para petani. Dampak banjir yang terjadi tahun 2014 di Kecamatan Cilamaya Wetan berdasarkan hasil wawancara lapangan (24 Juni 2015), petani terpaksa tidak bisa
4
bercocok tanam karena sawahnya tertutup lumpur sisa-sisa banjir. Petani membutuhkan modal tambahan yang cukup besar untuk mulai menanam padi kembali, sehingga sebagian petani terpaksa membiarkan lahan sawahnya begitu saja karena kurangnya modal yang mereka miliki. Kecamatan Cilamaya Wetan merupakan kecamatan yang terdampak banjir di sektor pertanian. Terdapat beberapa saluran pembuang irigasi dan Sungai Cilamaya melintasi wilayah tersebut. Besarnya debit yang masuk ke saluran pembuang mengakibatkan sejumlah tanggul menjadi rusak, sehingga air di saluran pembuang melimpas ke area pertanian. Kondisi kerusakan tanggul yang berakibat pada tergenangnya lahan pertanian tersaji pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2 Kerusakan Tanggul Saluran Pembuang Sumber : Yasin (2014) Kerusakan tanggul juga diakibatkan oleh besarnya debit air di Sungai Cilamaya. Petani mengeluhkan kondisi Sungai Cilamaya yang sempit, dangkal, serta tanggul yang terbuat dari tanah, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan dengan debit air yang masuk ke Sungai Cilamaya ketika musim hujan. Debit air normal di Sungai Cilamaya adalah 700 m³/detik, akan tetapi di tahun 2014 debit air mencapai 1.068 m³/detik, sehingga berdampak pada rusaknya tanggul-tanggul
5
Sungai Cilamaya. Peristiwa tingginya debit air yang terpantau di Bendung Barugbug disajikan pada Gambar 1.3.
Gambar 1.3 Debit Air Sungai Cilamaya di Bendung Barugbug Sumber : Yasin (2014) Beberapa titik tanggul di Kecamatan Cilamaya Wetan berpotensi rusak ketika debit air Sungai Cilamaya tinggi. Contoh titik lokasi tanggul Sungai Cilamaya yang berpotensi rusak ketika debit air tinggi ditampilkan dalam Gambar 1.4.
Gambar 1.4 Kondisi Tanggul Sungai Cilamaya
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa kesiapsiagaan petani dalam menghadapi banjir masih belum optimal. Ketidaksiapan menghadapi banjir tampak dari upaya para petani yang belum terencana dan hanya menunggu
6
bantuan dari pemerintah setempat dan Dinas Pertanian. Upaya untuk perbaikan tanggul juga terkesan pasif, yakni menunggu tindakan dari pihak terkait seperti Perum Jasa Tirta II (PJT II), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat, dan Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWS). Ketidaksiapan para petani dalam menghadapi banjir ini tentu menambah risiko banjir itu sendiri. Upaya pemerintah dalam menangani banjir baik melalui PJT II, BPBD Jawa Barat, dan BBWS Citarum tidak akan berhasil dengan baik tanpa didukung oleh peran serta masyarakat petani, karena petani merupakan pihak yang terdampak langsung akibat banjir di sektor pertanian. BPBD Kabupaten Karawang baru dibentuk tahun 2014, sehingga data-data terkait kebencanaan belum tersedia dengan optimal dan terlebih data-data terkait jaringan irigasi dan Sungai Cilamaya. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa partisipasi petani sangat penting dalam mendukung program pemerintah terkait pengurangan risiko bencana sehingga diharapkan hasil yang diperoleh optimal untuk mengatasi permasalahan banjir yang selama ini terus terjadi (Yasin, 2014). Kesiapsiagaan terhadap bencana seharusnya tidak hanya dilakukan pada saat ada bencana, namun juga harus dilakukan pada saat sebelum terjadi bencana, sehingga dampak bencana dapat diminimalisir (Gugus Tugas Pengarusutamaan PRB dalam Sistem Pendidikan Nasional, 2010). Belajar dari berbagai kejadian bencana yang telah lalu, seringkali masalah kesiapsiagaan menjadi salah satu sorotan akan lemahnya upaya penanggulangan bencana, dengan adanya perubahan kebijakan yang menghasilkan pergeseran paradigma pengelolaan bencana, maka kedudukan kesiapsiagaan lebih dipertegas implementasi dan
7
acuannya dalam berbagai elemen, seperti yang tertera pada Gambar 1.5.
Gambar 1.5. Siklus Manajemen Bencana Sumber: Alexander (2002) Sebagaimana yang menjadi salah satu tujuan dalam Sendai Framework yakni meningkatkan resiliensi dengan meningkatkan kesiapsiagaan dan salah satu targetnya adalah mengurangi kerugian ekonomi, hal ini diperkuat juga dalam prioritas ke-4 yakni memperkuat kesiapsiagaan, respon dan pemulihan di semua tingkatan sebagai kesempatan penting untuk PRB dan integrasinya ke dalam pembangunan (BNPB, 2015). Para petani yang memiliki kesiapsiagaan yang baik terhadap ancaman banjir dapat dikatakan sebagai komunitas yang resilien. Dengan demikian, penelitian ini akan mengkaji tingkat risiko dan kerugian akibat banjir, serta kesiapsiagaan masyarakat tani dalam menghadapi risiko banjir di sektor pertanian. Penelitian ini akan dilakukan dengan metode kombinasi, yakni menggabungkan metode kuantitatif dengan kuisioner dan kualitatif dengan wawancara agar data yang didapatkan menjadi lebih akurat dan komprehensif.
8
1.2 Permasalahan Penelitian Berdasarkan paparan pada latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana tingkat risiko banjir terhadap sektor pertanian di Kecamatan Cilamaya Wetan? 2. Bagaimana kerugian akibat banjir sektor pertanian di Kecamatan Cilamaya Wetan? 3. Bagaimana kesiapsiagaan para petani dalam menghadapi risiko banjir? 4. Bagaimana hubungan kesiapsiagaan dengan kerugian akibat banjir? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini didasarkan pada latar belakang dan rumusan masalah sehingga dapat menghasilkan tujuan penelitian sebagai berikut. 1. Mengkaji tingkat risiko banjir terhadap sektor pertanian di Kecamatan Cilamaya Wetan. 2. Menganalisis kerugian akibat banjir sektor pertanian di Kecamatan Cilamaya Wetan. 3. Menganalisis kesiapsiagaan para petani dalam menghadapi risiko banjir di sektor pertanian. 4. Mengkaji hubungan kesiapsiagaan petani dengan kerugian akibat banjir. 1.4 Keaslian Penelitian Topik tentang bencana banjir telah cukup banyak diteliti, namun masih jarang dilakukan penelitian bencana banjir di sektor pertanian. Penelitian-penelitian terdahulu umumnya membahas banjir di wilayah
9
pemukiman, padahal pertanian menjadi salah satu sektor yang berisiko tinggi terhadap bencana banjir (Lee, dkk, 1980). Hadi, dkk (2000) melaporkan dalam risetnya bahwa selama 1989-1998, luas area gagal panen yang disebabkan oleh banjir mencapai 0,50% dari luas tanam. Damayanti (2011) melakukan penelitian bencana banjir pada wilayah pemukiman masyarakat dengan menggunakan pemetaan partisipatori. Berdasarkan hasil pemetaan kedalaman banjir bervariasi antara 0 hingga 300 cm, sedangkan durasi penggenangan beragam dari 1 hingga 7 hari. Kesimpulan dari
penelitian tersebut adalah masyarakat dapat melanjutkan aktivitasnya, meskipun mereka belum sepenuhnya pulih. Sebagian besar nilai daya pulih petani dipengaruhi oleh kapasitas budaya dan agama.
Penelitian terkait bencana banjir kerap menggunakan teknik partisipasi komunitas masyarakat. Berdasarkan penelitian Widyaningrum (2012) tentang peranan perempuan dalam penanggulangan bencana banjir, dapat disimpulkan bahwa partisipasi perempuan terlihat di semua peran yang dimiliki oleh kaum perempuan baik peran reproduktif, peran produktif, maupun peran sosial dalam masyarakat. Penerapan GIS dalam pemetaan partisipatori bencana banjir menjadi solusi dalam analisis risiko banjir. Steven (2012) meneliti tentang analisis risiko banjir menggunakan Participatory Geographic Information System. Melalui penelitian ini, Steven (2012) berupaya mengkaji tingkat risiko banjir di pemukiman. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat tujuh rumah tangga (6.80%) berisiko tinggi, tiga puluh empat rumah tangga (33.01%)
10
berisiko sedang, lima puluh rumah tangga (48.54%) berisiko rendah, dan dua belas rumah tangga (11.65%) berisiko sangat rendah. Penelitian bencana banjir juga seringkali dihubungkan dengan faktor kerentanan
suatu
wilayah.
Laya
(2013)
meneliti
tentang
faktor
hidrogeomorfologi terhadap banjir di Kota Gorontalo. Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan terdapat hubungan signifikan
antara tingkat
kerentanan dengan enam (6) variabel hidrogeomorfologi, yakni laju infiltrasi, curah hujan, kondisi saluran, bentuklahan, kemiringan lereng, dan jenis tanah.
Wahyunita (2013) melakukan penelitian tentang kesiapsiagaan masyarakat yang dihubungkan dengan aspek kapasitas pengetahuan dalam menghadapi bencana lahar dingin. Hasilnya dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan distribusi pengetahuan keluarga saat sebelum dan sesudah bencana lahar 2011. Sumber pengetahuan keluarga didapatkan melalui sosialisasi, simulasi, dan wajib latih yang bersifat incidental. Pada Tabel 1.1 disajikan ringkasan beberapa penelitian yang relevan dengan topik penelitian ini.
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian Peneliti Damayanti, S. (2011)
Widyaningrum,C ,T. (2012)
Steven, F. (2012)
Judul Resilience for the 2007 flood event, using community knowladge: a case in part of Sukoharjo Regency, Indonesia
Metode Metode kualitatif melalui interview responden dan FGD seperti halnya pemetaan partisipatori
Hasil Berdasarkan hasil FGD, kedalaman banjir pada kedua desa tersebut bervariasi antara 0 hingga 300 cm, sedangkan durasi genangan beragam dari 1 hingga 7 hari. Banjir juga menyebabkan kerugian hingga Rp. 100.000.000,00
Persamaan dan Perbedaan Persamaan: Fokus kepada penanganan bencana berbasis masyarakat dan menggunakan pendekatan kualitatif sebagai data pelengkap.
Partisipasi perempuan dalam penanggulangan bencana banjir di Kabupaten Ngawi
Metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam penanganan banjir di kedua wilayah tersebut terlihat di semua peran yang dimiliki oleh kaum perempuan baik peran reproduktif, peran produktif, maupun peran sosial dalam masyarakat
Persamaan: Melibatkan masyarakat dalam penanganan bencana dan melakukan pendekatan kualitatif sebagai data pelengkap.
Berdasarkan hasil penilaian tingkat risiko banjir terdapat 7 rumah tangga (6.80%) berisiko tinggi, 34 rumah tangga (33.01%) berisiko sedang, 50 rumah tangga (48.54%) berisiko rendah dan 12 rumah tangga (11.65%) berisiko sangat rendah.
Persamaan: Melibatkan masyarakat di daerah rawan bencana dan melakukan pendekatan kualitatif sebagai data pelengkap.
Analisis risiko banjir dengan pendekatan Participatory Geographic Information System (P-GIS) di wilayah perkotaan Kecamatan Muara Lawa Kabupaten Kutai Barat
Metode survei lapangan dengan melibatkan masyarakat yang ada di daerah rawan bencana (Participatory GIS)
Perbedaan: Tidak dibahas tentang kesiapsiagaan masyarakat, tidak membahas banjir di sektor pertanian, lokasi penelitian berbeda.
Perbedaan: Tidak dibahas mengenai variabel banjir seperti tinggi genangan, luas genangan, dan lamanya banjir, lokasi penelitian berbeda.
Perbedaan: Tidak dibahas tentang kesiapsiagaan masyarakat, tidak membahas banjir di sektor pertanian, lokasi penelitian berbeda.
11
Lanjutan Tabel 1.3 Peneliti
Judul
Wahyunita, D,I,. (2013)
Kesiapsiagaan dan manajemen pengetahuan keluarga dalam menghadapi bencana lahar Kali Putih di Desa Sirahan Kecamatan Salam Kabupaten Magelang
Metode kualitatif menggunakan statistik deskriptif
Kajian hidrogeomorfologi banjir di Kota Gorontalo
Metode kuantitatif menggunakan analisis regresi dan tabulasi kemudian di deskripsikan
Laya, A. (2013)
Metode
Hasil
Persamaan dan Perbedaan
(1)Sumber pengetahuan keluarga didapatkan melalui sosialisasi, wajib latih, dan simulasi yang bersifat incidental. (2)Terdapat perbedaan distribusi pengetahuan keluarga saat sebelum dan sesudah bencana lahar 2011. (3) Pemanfaatan manajemen pengetahuan tercermin pada output berupa himbauan kesiapsiagaan dalam keluarga.
Persamaan: Melibatkan masyarakat di daerah rawan bencana dan melakukan pendekatan kualitatif sebagai data pelengkap.
Potensi bahaya banjir dan variabel hidrogeomorfologi mempunyai pengaruh yang sangat signifikan, nilai signifikan sebesar 0% kurang dari 1%. Nilai ekspektasinya laju infiltrasi 66,7%, curah hujan 66,7%, saluran drainase 33,3%, bentuk lahan 75% dan kemiringan lereng 66,7%. Jenis tanah kurang berpengaruh
Persamaan: Fokus pada bencana banjir dan mendeskripsikan hasil analisis data.
Perbedaan: Tidak membahas tentang kesiapsiagaan masyarakat tani secara khusus, tidak membahas banjir di sektor pertanian, lokasi penelitian berbeda.
Perbedaan: Tidak dibahas tentang kesiapsiagaan masyarakat, tidak membahas banjir di sektor pertanian, lokasi penelitian berbeda.
12
13
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah. 1. Menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam upaya pengurangan risiko banjir di sektor pertanian. 2. Mengurangi risiko bencana di sektor pertanian sehingga membantu pemerintah dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional. 3. Sebagai bahan rujukan untuk para petani dalam membangun kesiapsiagaan
terhadap ancaman banjir genangan.