BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Objek kajian dalam penelitian ini adalah politik pencitraan Soeharto dalam komik berjudul Merebut Kota Perjuangan, karya Marsoedi, dkk yang diterbitkan oleh Yayasan Sinar Asih Mataram pada tahun 1984. Demikianlah maka penulis akan mengupas dan menjelaskan tentang komik yang pada masanya dibuat dengan sengaja –berdasarkan legalitas pemerintah pada masa itu– sebagai sebuah instrumen politik pencitraan pendiri rezim Orde Baru. Tujuan dari politik pencitraan tersebut sangat jelas, yakni untuk memperkokoh kekuasaan dan pencitraan berbagai kebaikan dari sosok Soeharto di mata rakyat. Secara garis besar komik yang akan dikupas adalah sebuah cergam –cerita bergambar yang merupakan sebutan untuk komik di era 80-an– yang secara umum memang mengkisahkan bagaimana perjuangan rakyat Yogyakarta dalam menghadapi desakan penjajah Belanda yang ingin meruntuhkan pemerintahan RI pada tahun 1949. Salah satunya adalah kejadian dimana pada saat itu Belanda ingin menguasai Yogyakarta. Indonesia yang kala itu sudah berstatus merdeka tentu saja tidak mau lagi dijajah Belanda. Dan perjuangan rakyat Indonesia melawan Belanda kala itulah yang lebih dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret menjadi kisah menarik dalam cerita sebuah komik.
1
2
Mengapa serangan tersebut menjadi penting untuk diangkat menjadi sebuah komik dan dikemas sedemikan rupa sehingga penting untuk diteliti. Pertanyaan tersebut terjawab dengan hanya melihat momentum yang terjadi. Pertama, saat itu Yogyakarta merupakan ibu kota Negara RI. Alasan dipindahkan ibu kota Negara RI dari Jakarta ke Yogyakarta adalah karena saat itu tentara Belanda telah berhasil mendaratkan pasukan di Tanjung Periok. Situasi genting tersebut otomatis mendesak Presiden Soekarno untuk memindahkan ibu kota Negara RI ke Yogyakarta untuk sementara waktu. Dan di sinilah titik esensial mengapa cerita komik Merebut Kota Perjuangan ini penting untuk diangkat. Karena saat itulah Yogyakarta yang menjadi latar tempat di komik tersebut merupakan titik sentral pusat pemerintahan Indonesia sementara. Sehingga kejadian kala itu menjadi penting karena Yogyakarta yang statusnya Ibu Kota Negara sementara menjadi medan laga pertempuran antara Belanda melawan pejuang RI. Kedua, Yogyakarta sebagai medan laga pertempuran juga merupakan daerah kelahiran Soeharto, tepatnya di Desa Kemusuk Lor, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, DIY. Dalam komik Merebut Kota Perjuangan juga terdapat beberapa adegan penting yang menggunakan Desa Kemusuk sebagai latar cerita. Terlepas dari sesuai tidaknya adegan tersebut apabila ditinjau dari realitas sejarah, tetapi penonjolan adegan Soeharto di Kemusuk merupakan salah satu bentuk politik pencitraan. Ketiga, dalam komik Merebut Kota Perjuangan, Soeharto dicitrakan sebagai sosok yang heroik. Dia dibuat seolah-olah pahlawan lokal yang bernilai historis
3
dengan menjadi seorang pahlawan nasional yang mengatur siasat dan memimpin kemenangan atas belanda di kota kelahirannya. Hal ini juga terlalu berlebihan mengingat pangkat militer yang disandang Soeharto pada waktu itu adalah Letkol. Menyadari fakta tersebut, seharusnya banyak tokoh-tokoh penting dalam sejarah yang dilompati kapasitasnya dalam komik Merebut Kota Perjuangan, misalnya: Jendral Soedirman dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku raja bagi rakyat Yogyakarta. Berdasarkan tiga momentum di atas, maka momen “6 jam di Jogja” dimana pejuang RI berhasil menduduki Yogyakarta yang dikuasai oleh Belanda inilah yang menjadi sorotan dunia akan bagaimana hebatnya Soeharto dalam memimpin serangan tersebut. Bagaimana tidak, Indonesia yang baru saja merdeka kemudian ingin dikuasai lagi oleh Belanda, tetapi dengan gigihnya Soeharto memimpin pasukannya untuk meruntuhkan pasukan Belanda. Tentu saja dengan cerita yang dibentuk sedemikian rupa, membuat sosok Soeharto menjadi sosok yang kuat dan tak terkalahkan. Pencitraan inilah yang menjadi dasar oleh Soeharto untuk memperkuat kuasanya dalam memimpin Indonesia. Dia secara tidak langsung mendapat legitimasi sebagai seorang pemimpin yang mampu melakukan segala hal dan dalam segala situasi melalui cerita yang dibuatnya dalam komik Merebut Kota Perjuangan. Komik sendiri sebenarnya telah mengakar kuat di Indonesia jauh sebelum demam komik Jepang menguasai pasar perkomikan Indonesia belakangan ini. Jika meninjau sejarahnya, komik-komik Indonesia sudah muncul pada paruh pertama 1930-an, seperti yang dikarang Imansyah Lubis pada harian Sinpo (majalah melayucina). Kemudian pembukuan komik sudah mulai dilakukan pada tahun 1950-an.
4
Demikianlah pada saat itu Republik Indonesia baru berumur 5 tahun, namun komik sudah digunakan sebagai sarana pembelajaran sekunder bagi masyarakat. Bahkan era 1950-an hingga 1970-an merupakan masa kejayaan komik Indonesia. Dengan melihat sejarah komik yang memang tidak bisa dianggap sepele di Indonesia inilah, banyak penelitian yang mengkaji bagaimana komik-komik Indonesia digunakan dalam berbagai tujuan. Dalam penelitian ini juga akan digambarkan bagaimana sebuah komik dapat digunakan secara optimal untuk menggerakkan opini masyarakat (pembaca) sehingga pola pikir mereka bisa digiring dalam suatu ide tertentu. Seperti yang telah di utarakan di atas, bahwa penelitian mengenai komik telah banyak dilakukan, salah satunya yang telah dibukukan dan sangat populer adalah karya Marcel Bonneff pada tahun 1971 yang berjudul “Les Bandes Desinees Indonesiennes” ditulis dalam bahasa Perancis yang kemudian baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan kemudian dicetak pada awal 1998 dengan judul “Komik Indonesia”. Di samping itu, sudah banyak beredar tulisan-tulisan/artikel baik di media cetak maupun elektronik tentang komik tetapi hanya sebagai media untuk mengubah pandangan negatif komik saja dan bukan mengkaji kandungan kontennya. Beberapa makalah/jurnal yang mengupas komik dari segi konten tetapi konteksnya masih pada seputar pendidikan seperti karya Syaprianti Evi Dame Arita dari Fakultas Kedokteran IPB misalnya, yang telah menulis makalah berjudul “Seni Komik Sebagai Media Pembelajaran”. Lalu karya dari Esti Swatika Sari yang
5
menulis jurnal dengan judul “Komik Sebagai Wahana Pendukung Proses Pendidikan Anak.” Tentu saja kajian ini akan mengupas sisi komik dan politik. Bahasa dan gambar dalam komik memang ringan dan menghibur, tetapi tidak semua pembaca menyadari bahwa komik biasa memberikan informasi bernuansa politik, dengan tujuan yang sengaja disetir untuk menyuntikkan pandangan politik tertentu. Itulah sebabnya penelitian tentang seni perpolitikan yang digambarkan dalam sebuah komik sangat penting untuk dilakukan atau dikaji secara mendalam karena masih sedikit yang meyadari bahwa komik bisa dijadikan media atau instrumen politik. Beberapa komik yang murni berisi tentang politik memang baru mencuat setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Bahkan penelitian dari Bonneff pada tahun 1971 pun baru bisa dicetak pada tahun 1998 karena pada masa sebelumnya banyak dari bahasan yang berbau politik akan mendapat tekanan dan penyensoran habis-habisan dari pemerintahan Orde Baru. Kasus itu akan lain jika komik pada masa sebelum reformasi diterbitkan oleh pemerintah. Komik tersebut akan mudah diperjual-belikan. Komik-komik bertema politik sebelum reformasi memang banyak dibumbui politik pencitraan untuk mempengaruhi opini publik tentang seorang tokoh pada masanya. Sehingga tidak heran jika mayoritas komik-komik perjuangan menonjolkan tokoh yang ‘itu-itu saja.’ Seperti halnya dalam komik Merebut Kota Perjuangan, yang sangat kental sekali pada pencitraan tokoh Soeharto. Padahal dalam catatan sejarah Letkol Soeharto tidak terlalu menonjol karena banyak tokoh lain yang jelas lebih memiliki kompetensi
6
dan andil lebih besar, seperti Jendral Sudirman dan Sri Sultan Hamengkubuono IX. Namun karena telah terjadi pembelokan sejarah dalam komik ini, maka dibuatlah seolah-olah Soeharto adalah seorang pahlawan yang absolut. Meskipun fokus perjuangan hanya menggambarkan daerah Yogyakarta saja, tetapi cerita di dalam komik ini mampu menggambarkan secara umum bagimana perjuangan bangsa Indonesia kala itu.
B. Rumusan Masalah Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang masalah di atas, maka penulis mengangkat sebuah rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana sosok Soeharto dicitrakan dalam komik Merebut Kota Perjuangan di era Orde Baru?”
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk menjelaskan bahwa komik Merebut Kota Perjuangan tersebut digunakan sebagai instrumen politik pencitraan Soeharto di era Orde Baru. 2. Memberikan gambaran bahwa komik sangat potensial digunakan sebagai instrumen politik.
7
D. Kerangka Teori Melihat komik juga bisa dikatakan sebagai sumber pembelajaran sekunder, maka konten komik pun mengandung berbagai unsur. Salah satunya adalah unsur politik pencitraan. Dalam hal ini, komik dipandang sebagai media cetak yang dapat menyebarluaskan berbagai bentuk konsep pemikiran figur-figur politik kepada pembacanya (publik). Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa komik sangat potensial digunakan sebagai instrumen politik. Dengan demikian landasan teori yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini bersandar pada tiga kerangka utama, yaitu: teori Van Dijk, media dan politik, dan komik sebagai media politik pencitraan. 1. Teori Analisis Wacana Van Dijk Van Dijk menyatakan bahwa “Critical Discourse Analysis is a type of discourse analytical research that primarily studies the way social power abuse, dominance and inequality are enacted, reproduced, and resisted by the text and talk in the social and political context”. Menurut Van Dijk, CDA (Critical Discourse Analysis) lebih menekankan pada aspek historis yang melingkupi struktur teks. Lebih jauh lagi ia menyatakan, “That the focus on textual or conversational structures, derives its framework from the cognitive, social, historical, cultural, or political contexts.” Dengan demikian, tujuan analisis adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai aspek-aspek sosiokultural yang melingkupi seluruh teks, termasuk juga memahami berbagai hal yang menyangkut struktur organisasi dan cara kerja dalam produksi teks (Fathurin, 2004).
8
Ada beberapa cara yang digunakan dalam menganalisis teks media. Pertama, analisis isi (content analysis). Analisis ini merupakan tipe yang paling sering ditemukan dalam penelitian berita. Kedua, analisis teks semiotika (semiotix text analysis). Tipe analisis ini dapat ditemukan pada tulisan Umberto Eca (1964), Moragas Spa (1976), Pena marin and Loranzo Gonzalo Abril (1978), dan Bentele (1981). Ketiga, analisis pembingkaian (framing analysis). Model analisis ini dapat kita temukan pada tulisan Erving Goffman (1974), William A Gamson and Andre Modigliani (1989), etc. Begitu pula dengan Van Dijk (1988:24) dalam karyanya News as Discourse yang menjelaskan bahwa analisis wacana merupakan proses analisis terhadap bahasa dan penggunaan bahasa dengan tujuan memperoleh deskripsi yang lebik eksplisit dan sistematis mengenai apa yang disampaikan. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai suatu tindakan. Wacana bertindak dalam menentukan ke arah mana khalayak akan dibawa. Tugas utama analisis wacana kritis adalah menguraikan relasi kuasa, dominasi dan ketimpangan yang diproduksi dalam wacana (Van Dijk, dalam Tannen dkk, 2001). Pendekatan analisis wacana kritis Van Dijk (1988), yang dikenal dengan pendekatan kognisi sosial, menyertakan analisis terhadap kognisi pembuat wacana dalam proses pembentukan wacana dan juga melibatkan analisis kebahasaan secara lebih mendalam untuk membongkar relasi kuasa dan dominasi yang diproduksi pada wacana. Van Dijk mengklasifikasikan elemen wacana menjadi 3, yakni teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Tataran teks dibagi menjadi 3, yakni struktur makro,
9
superstruktur dan struktur mikro. Struktur makro adalah strukur luar pembentuk wacana. Superstruktur berkaitan dengan skematik wacana. Struktur mikro mencakup elemen-elemen kebahasaan yang digunakan dalam wacana. Van Dijk menetapkan 4 elemen kebahasaan yang dikaji pada tataran struktur mikro, yakni elemen sintaksis, semantis, stilistik dan retoris. Kognisi sosial hadir untuk menjembatani antara teks dan konteks. Kognisi sosial berkaitan dengan proses mental dan kognisi pembuat wacana dalam proses produksi wacana. Adanya analisis terhadap kognisi sosial melalui daftar pernyaaan yang diajukan kepada pembuat wacana akan lebih memperjelas bagaimana wacana diproduksi dan konteks seperti apa yang mempengaruhinya.
Untuk
analisis
konteks
sosial
dilakukan
melalui
studi
intertekstualitas, yakni mengkaitkan suatu wacana dengan wacana terkait yang ada sebelum dan sesudahnya. Keterkaitan antara teks, kognisi sosial dan konteks sosial mencerminkan kecenderungan suatu wacana. Kelebihan proses analisis wacana yang dilakukan oleh van Dijk adalah bagaimana ia menghubungkan antara teks dan konteks melalui kognisi sosial pembuat wacana. Secara sederhana susunan penelitian ini menggunakan pendekatan konten analisis Van Dijk dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Dalam gambar bisa dilihat bahwa bagian Konteks yang mengandung Fakta Sosial akan dijelaskan secara detail pada Bab I dan sebagian di Bab II, sedangkan pada bagian Teks yang berfungsi sebagai instrument wacana akan lebih ditekankan pada isi di Bab II dan Bab III. Sehingga bisa dilihat bahwa Konteks dan Teks disini memegang peran penting,
10
karena kedua hal tersebut akan memproduksi wacana yang nantinya akan menjadi konsumsi social/khalayak. Wacana dan konsumsi social akan lebih jelas tergambar pada bagian Bab IV. Dimana di Bab IV hasil dari temuan dalam Komik Merebut Kota Perjuangan akan lebih dijelaskan secara detail. Baik dari segi kognisi social, teks, dan juga konteks social. Dimana pencitraan Soeharto tidak hanya tergambar dalam ilustrasi komik saja, melainkan juga dalam beberapa teks yang tertulis dalam narasi ataupun dialog antar karakter. Sehingga wacana yang timbul dari penggabungan antara teks, konteks,
dan
kognisi
social
inilah
yang
menghasilkan
wacana
yang
bertentangan/mentimpang dari fakta. Sehingga teori analisais wacana dari Van Dijk akan digunakan untuk menganalisa wacana apa yang terbentuk dalam Komik Merebut Kota Perjuangan. KONTEKS
TEKS
KOMSUMSI SOSIAL/
FAKTA
SEBAGAI INSTRUMENT WACANA
WACANA
BAB I – BAB III
KHALAYAK
BAB IV WACANA POLITIK
Gambar 1.1 Bagan sistematika Bab yang menggambarkan konten analisis Van Dijk
11
2. Media dan Politik Media adalah istilah yang terlalu luas dan memiliki beragam definisi sesuai konteksnya. Namun media di sini erat kaitannya dengan penerbitan dan jurnalistik, dimana media pada dasarnya adalah alat teknis yang digunakan untuk melakukan mediasi atau menyampaikan pesan; dengan kata lain, media adalah alat komunikasi. Ketika mediasi itu bersifat masal dan berlangsung dalam suatu ruang publik, media yang digunakan pun menjadi media massa. Secara garis besar media terbagi menjadi dua jenis kelompok, yakni pertama, media cetak yang meliputi surat kabar, majalah, buku, pampflet, billboard, dan alatalat teknis lainnya yang membawa pesan kepada massa dengan cara menyentuh indera pengelihatan. Jenis kedua adalah media elektronik yang terdiri (a) dari program radio, rekaman yang menyentuh indera pendengaran dan (b) program televisi, gambar bergerak, serta rekaman video yang menyentuh indera pandangdengar, dalam hal ini media online pun termasuk dalam jenis media elektronik (Kasijanto, 2008: 288). Dalam menjalankan paradigmanya, pada dasarnya media massa memiliki tiga peran esensial (Bungin, 2008: 85): 1. Sebagai institusi pencerahan masyarakat, 2. Menjadi media informasi, 3. Sebagai media hiburan. Kemudian, menurut (McQuail, 1987:1), media massa memiliki lima fungsi penting, antara lain:
12
1. Media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang dan
jasa, serta menghidupkan industri lain yang
terkait. 2. Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan inovasi dalam masyarakat yang dapat digunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. 3. Media merupakan lokasi (forum) yang semakin berperan untuk menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional. 4. Media berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya dan norma-norma. 5. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Berdasarkan pemahaman tentang peran dan fungsi media di atas, maka konteks media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media cetak, atau printed media (yakni, komik). Sebagaimana hakikatnya, baik media cetak maupun elekronik tentu sangatlah potensial sebagai instrumen politik. Pemikiran ini sejalan dengan peran media massa sebagai institusi pencerahan masyarakat, dan fungsi media massa sebagai lokasi Sumber kekuatan dan kontrol sosial, serta sebagai forum yang menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya
13
adalah berbagai peristiwa politik dan pihak-pihak berkepetingan yang turut andil di belakang layar. Hal tersebut sejalan pula dengan apa yang diungkapkan Firmansyah, (2008: 30) “Media memiliki kekuasaan untuk membawa pesan politik dan membentuk opini publik.” Kemudian Sudibyo (2001: 55) yang pemikirannya berdasarkan keterkaitan media dan politik, menyatakan bahwa media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subjek yang mengkontruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak. Media berperan dalam mendefinisikan realitas. Jadi, kelompok dan ideologi yang dominanlah yang biasanya lebih berperan. Tidak dapat dipungkiri bahwa politik tentu sangat erat hubungannya dengan media, karena salah satu tujuan media adalah membentuk pendapat publik mengenai berbagai hal, termasuk politik. Apabila pendapat publik itu berhasil di-setting- sesuai yang diinginkan media, maka pada saat itulah yang menjadi barometer keberhasilan suatu media (Nimmo, 1989: 217). Dalam hal ini media memiliki fungsi persuasif yang mampu membentuk pendapat publik. Cara-cara media dalam menampilkan berbagai peristiwa politik, sesuai dengan sudut pandangnya, akan sangat mempengaruhi persepsi masyarakat dan aktor politik mengenai situasi politik yang sedang berkembang (Kusmanto, 2006: 7). Berdasarkan pemahaman di atas, maka dapatlah dipahami bahwa media bukanlah sesuatu yang vakum. Media dapat berkembang sekaligus membentuk iklim
14
politik suatu negara, atau sebaliknya, berkembang atau tidaknya suatu media ditentukan oleh iklim politik suatu negara. Oleh karena itu struktur dan penampilan media pun ditentukan oleh banyak faktor, baik eksternal maupun internal. Menurut Hamad (2004: 25-26), dalam banyak kasus sistem politik merupakan faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap struktur dan penampilan media. Sistem politik yang diterapkan suatu negara ikut menentukan mekanisme kerja media dan mempengaruhi media tersebut dalam mengkontruksikan realitas. Umumnya pada sebuah negara yang otoritarian selera penguasa menjadi acuan dalam mengkontruksi realitas. 3. Komik sebagai Media Politik Pencitraan Definisi komik menurut Kurt & Meier (1986: 68) adalah sebuah cerita bergambar dengan ditambah penjelasan teks dalam sebuah balon teks. Sedangkan politik menurut F. Isjwara, (1995: 42) politik ialah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan.” Kesimpulan sederhana tentang politik adalah bahwa politik merupakan sebuah sarana memperjuangankan kekuasaan serta mempertahankan kekuasaan itu demi tujuan yang ingin dicapai. Dan jika dikerucutkan dengan pelekatan kata ‘komik’ maka akan mengacu pada definisi baru yaitu, sebuah cerita bergambar dengan ditambah penjelasan teks dalam sebuah balon teks yang isinya bertemakan sebuah cara/sarana untuk memperjuangankan kekuasaan serta mempertahankan kekuasaan itu demi tujuan yang ingin dicapai.
15
Di Indonesia, istilah politik pencitraan atau Imagologi Politic memang baru populer tahun 2004, padahal praktik pencitraan sosok pemimpin bukan hal baru. Hal ini karena sistem pemilu menggunakan pemilihan langsung dalam Pilpres maupun dalam Pilkada tahun 2005 sehingga pemilih/voters berhak memilih calonnya secara langsung dengan memilih salah satu pasangan calonnya. Maka sejak saat itulah sosok figure pasangan calon menjadi pertimbangan para pemilih. Menurut Rhenald Kasali (1995: 193), citra adalah kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan. Sedangkan menurut Jalaluddin Rakhmat (2005: 223), citra didefinisikan sebagai gambaran tentang realitas dan tidak harus sesuai dengan realitas. Demikianlah maka politik pencitraan dapat didefinisikan sebagai usaha penonjolan dan pembagusan yang melebih-lebihkan realitas karakter seorang tokoh politik demi memasarkan image dari tokoh tersebut, (Pradhanawati: 2011). Kerangka pemikiran yang secara khusus membahas politik pencitraan melalui komik masih sangat jarang, untuk itu sebagai langkah awal penulis akan mengacu pada kesamaan esensial tentang buku yang tujuannya mengangkat pencitraan politik SBY, dan membandingkannya dengan berbagai pencitraan yang pernah dilakukan Soeharto. Ulasan menarik dan lebih baru yang membahas politik pencitraan adalah sebagaimana yang tertuang dalam Pak Beye dan Politiknya: Tetralogi Sisi Lain SBY karya Nugroho (2010). Buku tersebut mengulas banyak hal tentang politik pencitraan SBY dari masa-masa awal persiapan mengincar posisi presiden sampai pada strategi pencitraan yang diterapkan untuk memperkokoh posisinya sebagai presiden, bahkan
16
strategi SBY dalam meyakinkan publik agar program SBY Jilid 2 dapat dijalankan, yang otomatis dia harus memenangkan pilpres pada periode kedua. Menurut Nugroho (2010: 144), “Politik pencitraan SBY yang paling bepengaruh adalah dalam pidato-pidatonya tentang subsidi BBM. Di mana SBY selalu lantang berkata, ‘I don’t care with my popularity!’ ketika pemerintah dan publik sedang bergejolak tentang kontroversi menurunkan subsidi BBM.” Faktanya SBY memang tidak memaksimalkan politik pencitraan total melalui media seni, fiksi, maupun sastra dan lebih menonjolkan aksi-aksi jumpa pers. Dalam hal ini, SBY lebih menggunakan strategi politik pencitraan langsung. Berbeda dengan politik pencitraan yang dilakukan oleh Soeharto, yang hampir memanfaatkan semua media, baik langsung maupun tidak langsung. Secara langsung misalnya adalah pencitraan soeharto sebagai jendral yang ramah, sampai-sampai dunia internasional menjulukinya sebagai Smailing General. Hal tersebut karena Soeharto selalu mencitrakan dirinya di hadapan publik sebagai pemimpin yang ramah, mengutamakan kepentingan rakyat kecil, sekaligus sosok yang tegas dan bijaksana. Kemudian pencitraan diri secara tidak langsung dapat dilihat dari berbagai bentuk media yang menjadi alat politiknya, seperti pengekangan pers, pembuatan komik dan cerpen, pembuatan film dan lain sebagainya.
“Program-program televisi (TVRI), radio, dan media massa telah berperan besar dalam melanggengkan citra positif dan heroik Soeharto. Program TVRI yang waktu itu adalah satu-satunya, jelas menjadi corong efektif bagi penyebaran dan sosialisasi pemerintah. Bukan saja dalam hal penayangan film-film kepahlawanan Soeharto seperti Serangan Oemoem 11 Maret dan G30S 1965, tetapi juga Klompencapir, liputan kegiatan Soeharto dan
17
keluarganya yang begitu luas mendalam dan monoton. Semua itu memperkokoh citra heroisme Soeharto yang menjelma menjadi setara dengan negara itu sendiri.” (Wardaya, 2007: 63).
Apa yang diutarakan oleh Wardaya di atas berusaha menegaskan bahwa pencitraan Soeharto di masa orde baru memang terlalu mendalam dan massif. Penulis katakan demikian karena luasnya bentuk-bentuk pencitraan tersebut bahkan setara dengan pencitraan negara, baik secara nasional maupun internasional. Jika dibandingkan dengan SBY, tentu saja Soeharto jauh lebih unggul dalam membentuk citra karena beberapa perbedaan mendasar dalam konsep kepemimpinan.
“SBY dan Soeharto sama-sama berusaha tampil berwibawa, santun dan penuh kasih. Gaya verbal dan non-verbal kedua presiden itu juga serba rapi dan tertata untuk menunjukkan kewibawaan sebagai pemimpin negara. Bedanya pencitraan Soeharto muncul karena intervensi media oleh pemerintah atau dengan cara-cara otoriter. Sedangkan pencitraan SBY tampil dengan cara-cara demokratis.” (Victor dalam Noya, 2011: 11).
Penulis sependapat dengan pernyataan di atas, bahwa memang karakteristik Soeharto dan SBY dalam pencitraan memiliki banyak kemiripan, mulai dari latar belakang militer, gaya verbal dan non-verbal saat berbicara (baik dalam pidato kenegaraan atau jumpa pers). Hanya saja Soeharto jelas lebih otoriter khas militer, sedangkan SBY berpijak pada cara-cara demokratis. Pencitraan melalui bidang seni, yang agak revolusioner adalah usaha SBY yang menerbitkan beberapa album berisi lagu ciptaannya, bahkan buku kumpulan puisi. Sayang sekali pencitraan di bidang seni itu tidak mendapat respon yang optimal.
18
Dalam konteks penelitian ini, pada dasarnya politik pencitraan tidak lepas dari marketing politik yang menggunakan media-media untuk mengemas sosok tokoh kepada publik. Tak pelak pula komik pun bisa dijadikan sarana untuk melakukan pengemasan dan penonjolan karakter tokoh yang bersangkutan. Jadi singkatnya dapat dimaknai bahwa politik pencitraan adalah penonjolan/pembagusan karakter seorang tokoh demi memasarkan image tokoh tersebut supaya dikenal dekat oleh masyarakat. Hal ini sejalan dengan pemahaman politik citra (pencitraan politik) yang dinyatakan Piliang, (2004: 102) dengan mengulas pemahaman politik citra menurut Paul Virilio, bahwa dunia sosial dan politik mutakhir tidak dapat lepas dari politik citra atau politik tontonan (politic of spectacle) yaitu penciptaan berbagai bentuk tontonan seperti teater, film, komik, bahkan dengan propaganda. Kemudian terkait komik sebagai media politik pencitraan sebenarnya bukanlah hal baru apabila mengacu pada perjalanan panjang komik Amerika, meskipun di sana lebih mengacu pada komik propaganda. Layaknya media cetak, baik buku, majalah, terbitan berkala dan koran harian, pembuatan komik pun sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal mengacu pada idiosinkrasi komikus, latar belakang, tempat bekerja, serta riset dan desain penceritaan. Kemudian faktor eksternal meliputi sistem politik, keadaan internasional, selera pasar, pesanan pasar (pihak berkepentingan), dan peta persaingan popularitas (McCloud. 1994: 1-2). Terlepas dari hal tersebut, dalam pembuatannya tanpa disadari seringkali komikus pun berifat ideologis. Hal ini sejalan dengan pendapat Arthur Asa
19
Berger, bahwa pada dasarnya segala bentuk ekspresi dalam komik berkaitan erat dengan ideologi, politik (dalam cakupan luas), dan budaya pop (Arthur, 2001: 34).
E. Definisi Konseptual Berdasarkan uraian pada landasan teori, maka penulis dapat menarik definisi konseptual sebagai berikut : 1. Media Adalah alat teknis yang digunakan untuk melakukan mediasi atau menyampaikan pesan; dengan kata lain, media adalah alat komunikasi. 2. Politik Adalah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan. 3. Komik Adalah sebuah cerita bergambar dengan ditambah penjelasan teks dalam sebuah balon teks yang dibuat secara sengaja dalam pembagiannnya. Jadi komik lebih menekankan pada unsur visual daripada tulisan. 4. Politik Pencitraan Politik pencitraan menurut Pradhanawati (2011) adalah menonjolkan/ membaguskan karakter seorang tokoh demi memasarkan image tokoh tersebut sehingga “laku” (baca: dikenal) oleh masyarakat yang melihatnya. 5. Komik Sebagai Media Politik Pencitraan
20
Komik adalah salah sebuah instrumen potensial yang dapat digunakan dalam mengupayakan serangkaian kepentingan politik kepada publik. Kepentingan yang dimaksud adalah mencakup kepentingan partai, sekelompok organisasi tertentu, dan figur atau tokoh yang berkecimpung atau berkaitan erat dengan perpolitikan.
F. Definisi Operasional 1. Komik Dalam kajian ini, dibatasi bahwa komik yang akan diteliti adalah sebuah komik berjudul “Merebut Kota Perjuangan” yang diterbitkan pada masa pemerintahan Soeharto. 2. Politik Dalam kajian ini politik yang dimaksud adalah kekuasaan yang diperoleh Soeharto melalui instrumen komik sebagai salah satu cara untuk mendapatkan sebuah legitimasi melalui sebuah cerita komik. 3. Politik Pencitraan Dalam penelitian ini politik pencitraan digunakan oleh pengarang untuk menunjukkan bagaiamana seorang tokoh dalam komik mendapatkan peran besar dan menjadi pahlawan untuk selanjutnya menjadi panutan bagi pembacanya. Sebagai sebuah ikon untuk kemudian image karakter tersebut bisa terjual sebagai sosok yang bagus di mata pembacanya.
21
G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan analisis wacana. Peneliti menggunakan model analisis wacana yang diperkenalkan oleh van Dijk sering. Metode ini disebut sebagai “kognisi social”, menurut van Dijk, ada 3 dimensi yang membentuk suatu wacana sehingga analisis yang dilakukan terhadap suatu wacana harus meliputi ketiga dimensi tersebut, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks social. Pendekatan ini dirasa cocok untuk mengetahui apa maksud di balik sebuah teks atau gambar yang bisa digunakan untuk menjelaskan maksud sebenarnya dari apa yang dikandung dalam sebuah komik yang diteliti. Dengan demikian, akan dikatahui pesan-pesan atau maksud pengarang kepada publik. Meskipun menggunkan pendekatan konten analisa, dalam penelitian ini, penulis memaparkan hasil penelitiannya dengan menggunkan logika berfikir secara historiografi. Historigrafi merupakan suatu kisah masa lampau yang disusun oleh sejarawan berdasarkan fakta yang ada. Menurut Gottschalk, historiografi adalah usaha untuk mengolah data-data dan fakta-fakta sejarah menjadi suatu kisah yang menjelaskan dalam bentuk lisan maupun tulisan dalam buku atau artikel maupun perkuliahan sejarah (Kuntowijoyo, 1999). Logika berfikir secara historiografi ini dirasa cocok karena dalam penulisan karya sejarah kritis penulis ingin dapat membedakan tulisan yang pernah ada dengan skripsi ini (sebagai pembanding). Adapun mentode penelitian sejarah mempunyai
22
lima tahap yaitu : pemilihan topik, heuristik, kritik sumber atau verifikasi, interpretasi, dan historiografi (Kuntowijaya, 1999). 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data dan menunjukkan sesuatu yang abstrak sehingga tidak dapat diwujudkan dalam bentuk benda yang kasat mata, tetapi hanya dipertontonkan penggunaannya (Suharsimi Arikunto, 1993: 151). Demikianlah, dalam mengambil data berupa visualisasi tokoh Letkol Soeharto dalam Komik “Merebut Kota Perjuangan”, peneliti melakukan penyimakan secara mendalam, serta penelusuran berbagai dokumen yang berhubungan dengan objek penelitian. Oleh karena itu dokumentasi digunakan sebagai data pendukung untuk memperjelas data yang telah diperoleh dari komik yang diteliti. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2006 : 221) “studi dokumenter merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen baik tertulis, gambar, maupun elektronik”. Dokumen-dokumen yang dipilih tentunya disesuaikan dengan tujuan dan fokus masalah. Nasution menyatakan data kualitatif terdiri dari kata-kata bukan angka. Katakata atau uraian lebih hidup, bermakna serta lebih mudah ditangkap dan dipahami oleh pembaca. Dalam penelitian kualitatif sebaiknya bila menggunakan angka-angka, jangan dipisahkan dengan kata-kata (Nasution, 2003: 128). Berdasarkan pemahaman tersebut, maka penelitian ini yang datanya berupa kata-kata dan gambar (visual) sangat cocok dikaji secara kualitatif.
23
Sumber data dalam penelitian ini ada dua yaitu primer dan sekunder. Sumber data primer adalah sebuah komik dengan judul “Merebut Kota Perjuangan” karya Marsoedi dkk yang diterbitkan tahun 1984 atas persetujuan dari presiden RI kala itu. Sedangkan data sekunder adalah penelitian-penelitian pustaka yang berhubungan dengan komik-komik tersebut, tentu saja penelitian pustaka ini juga dipilih hanya yang bersinggungan dengan konteks sosial politik seperti penelitian/tulisan mengenai komik yang menganut paham terentu, komik yang berisi pesan politik, komik yang menggunakan sebagai media pencitraan, dan lain sebagainya. 3. Teknik Analisis Data Analisis data adalah suatu proses yang utama dalam suatu penelitian. Setelah data dan semua informasi terkumpul, kemudian dilakukan penyederhanaan data dengan langkah kategorisasi data, sehingga data akan lebih mudah untuk dibaca dan dipahami. Data yang sudah dikategorikan kemudian akan diinterpretasikan. Demikianlah, intepretasi atas semua data tersebut akan menghasilkan pemaknaan yang lebih luas yang akhirnya akan menjelaskan mengenai hubungan antarvariabel yang ada dalam penelitian, sehingga akan memperoleh hasil analisis yang baik. Sebagaimana telah disinggung di atas, dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis kualitatif dengan menggunakan model Miles & Hubberman. Menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, (1992:15-21) dijelaskan bahwa tahapan analisis model Miles & Hubberman dibagi dalam tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
24
a. Reduksi Data Data yang telah berhasil dikumpulkan ditulis atau diketik ulang dalam bentuk sebuah uraian atau laporan yang sangat rinci, data akan terus bertambah seiring dengan terus berlanjutnya penelitian. Laporan yang telah terkumpul kemudian dirangkum atau direduksi dengan memilih data yang dianggap penting, dan digolog-golongkan berkaitan dengan usaha dalam menjawab rumusan masalah yang diangkat dan telah ditetapkan sebelumnya. b. Penyajian Data Data yang telah dikumpulkan sangat banyak, sehingga sulit untuk melihat inti dari apa yang diteliti, maka peneliti harus menganalisis lebih jauh, sehingga data yang ada dapat segera dituangkan dalam bentuk yang lebih sederhana seperti diagram, tabel, matriks, grafik, dengan demikian, peneliti akan lebih mudah untuk menguasai dan memahami data yang telah dikumpulkan dan dirangkum. c. Penarikan Kesimpulan Setelah proses pengolahan data yang rumit, data yang bertumpuk dan maknanya belum bisa dilihat, akhirnya setelah direduksi atau diambil data yang penting dan berkaitan dengan variabel yang telah ditentukan, setelah itu data dianalisis menjadi data yang lebih sederhana dan lebih dapat dimengerti, maka tindakan terakhirnya adalah data disimpulkan. Kesimpulan yang ditulis harus senantiasa diverifikasi selama penelitian berlangsung, agar kesimpulan yang dihasilkan tidak diragukan. Dengan demikian kesimpulan yang ditarik
25
dalam penelitian kualitatif dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, atau bahkan mungkin tidak karena rumusan masalah dalam penelitian kualitatif tidak bersifat tetap namun dapat berkembang. Pengumpulan
Display
Data
Data
Reduksi
Analisis
Data
Data
Hasil Tidak
Kesimpulan /
Memuaskan
Verivikasi
Hasil Memuaskan
Gambar 1.2 Teknik Analisis Data Adaptasi Model Miles dan Huberman (Aji Andri Widodo , 2013 : 50)
4. Keabsahan Data Lexy J. Moleong (2010) mengungkapkan bahwa untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Sementara reliabilitas kualitatif mengindikasikan bahwa pendekatan yang digunakan peneliti konsisten jika diterapkan oleh peneliti-peneliti lain dan untuk proyek-
26
proyek yang berbeda. Sedangkan menurut Sugiyono (2009: hal 270-277) untuk menguji keabsahan data harus dapat memenuhi kriteria credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (obyektifitas). 1. Pengujian Credibility Pengujian kredibilitas atau validitas internal. Dalam penelitian ini untuk meningkatkan kredibilitas atau keperecayaan terhadap data hasil penelitian, antara lain akan dilakukan dengan memperpanjang waktu pengamatan, meningkatkan ketekunan dalam penelitian dan melakukan trianggulasi, melakukan diskusi dengan dosen pembimbing, teman sejawat, maupun pengecekan anggota (member check). 2. Pengujian Transferability Transferability atau validitas eksternal menunjukkan derajat ketepatan hasil penelitian dan hasilnya dapat digeneralisasikan. Dalam penelitian ini, transferability bergantung pada pemaknaan hasil penelitian yang dapat digunakan dalam konteks dan situasi tertentu. Dengan demikian bagi orang lain yang ingin menggunakan hasil penelitian ini dapat memahami dengan jelas. 3. Pengujian Dependability Dependability dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Pengujian ini dilakukan oleh auditor yang independen atau
27
pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian. 4. Pengujian Confirmability Pengujian Confirmability disebut juga uji objekstifitas bila hasil penelitian telah disepakati oleh banyak orang. Dalam penelitian ini, uji objektifitas akan dilakukan dengan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. H. Sistematika Pembahasan Penelitian ini disusun dalam lima bab, yang terdiri dari: 1) BAB I PENDAHULUAN, yang berisi latar belakang permasalahan, rumusan masalah yang penulis angkat, landasan teori, dan unsur-unsur yang layaknya menjadi pendahuluan dalam penelitian. 2) BAB II KOMIK DAN WACANA POLITIK INDONESIA, berisi mengenai sejarah singkat komik Indonesia. 3) BAB III REALITAS DAN PENYIMPANGAN SEJARAH DALAM KOMIK MEREBUT KOTA PERJUANGAN, berisi tentang perbandingan kejadian dalam komik dengan apa yang terjadi di kenyataan. 4) IV POLITIK PENCITRAAN SOEHARTO DALAM KOMIK MEREBUT KOTA PERJUANGAN, adalah bab yang secara khusus menjawab rumusan masalah, di mana fokus kajiannya mengacu pada konten komik Merebut Kota Perjuangan yang secara khusus menonjolkan tokoh Letkol Soeharto yang seolah-olah menjadi tokoh sentral dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. dan 5) BAB V KESIMPULAN, berisi rangkuman atau kesimpulan yang penulis tarik secara menyeluruh dari bab-bab sebelumnya.