BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sektor kegiatan bisnis yang terjadi saat ini tidak dapat dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian saja, tetapi juga berdampak pada terjadinya sengketa (dispute) di antara pihak-pihak yang terlibat. Oleh sebab itu, semakin kompleks kegiatan perdagangan, maka semakin tinggi pula frekuensi terjadinya sengketa bidang perdagangan.1 Sengketa dapat terjadi karena adanya perbedaan kepentingan masing-masing pihak, yaitu ketika terjadi interaksi antara dua orang atau lebih di mana salah satu pihak percaya bahwa kepentingannya tidak sama dengan kepentingan yang lain.2 Sementara itu pihak-pihak yang terlibat sengketa memiliki tuntutan untuk penyelesaian sengketa secara cepat. Hal demikian cenderung tidak ditemukan pada proses penyelesaian sengketa melalui jalan litigasi sebab pada proses pengadilan, putusan yang dihasilkan adalah putusan menang kalah. Oleh sebab itu, penyelesaian sengketa melalui jalan non litigasi menjadi satu alternatif yang lebih tepat. Salah satu upaya penyelesaian sengketa melalui jalan non litigasi yaitu melalui arbitrase. Arbitrase dalam hal ini adalah lembaga hukum alternatif untuk menyelesaikan sengketa di luar 1
2
Suyud Margono, 2004, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 12. “Overview of Dispute Resolution”, http://www.batnet.com/oikoumene/arbined3/html., diakses pada tanggal 28 September 2013.
1
pengadilan. Putusan arbitrase membawa keuntungan tersendiri bagi pihakpihak yang bersengketa seperti dapat menghemat waktu, biaya, dan sifatnya tidak terbuka sehingga nama baik dan rahasia tidak dapat diketahui oleh khalayak luas.3 Selain itu, alasan lain pengusaha lebih menyukai pemakaian arbitrase yaitu dapat lebih cepat diselesaikan dan lebih memuaskan dikarenakan dewan abitrase yang umumnya terdiri dari tiga orang arbitrator yaitu dua orang arbitrator ditunjuk oleh masing-masing pihak dan satu orang arbitrator dipilih bersama-sama, rata-rata adalah orang yang ahli dalam soal yang dipersengketakan.4 Arbitrase merupakan suatu bentuk lain dari adjudikasi, lebih tepatnya ajudikasi
privat
karena
melibatkan
litigasi
sengketa
pribadi
yang
membedakannya dengan litigasi melalui pengadilan. Sifat pribadi dari arbitrase tersebutlah yang memberikan keuntungan melebihi ajudikasi dalam pengadilan negeri. Sementara itu, arbitrase sendiri pada pokoknya menghindari pengadilan dan lebih memberikan kebebasan, pilihan, otonomi, serta kerahasiaan pada pihak yang bersengketa.5 Penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase menghasilkan suatu putusan arbitrase yang bersifat final dan binding, yaitu merupakan putusan akhir dan memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.6 Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa atas putusan
3
Elois Henderson Bozari, “Public Policy Exeption to International Arbitral Award,” Texas International Law Journal, vol. 30, 1995, hlm. 209. 4 Ibid., hlm. 38. 5 Gary Goodpaster, 1995, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2: Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 7. 6 Ibid., hlm. 60.
2
arbitrase tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali. Hal demikian memungkinkan arbitrase mencegah terjadinya sengketa secara berkepanjangan. Pada satu sisi hal tersebut menunjukan adanya proses penyelesaian sengketa yang diupayakan cepat dan efektif, namun pada sisi lain kenyatannya tidak jarang hasil putusan arbitrase belum memuaskan pihak-pihak yang bersengketa. Dalam hal ini, pihak pengadilan memiliki peran penting dalam menyelesaikannya.7 Pada dasarnya, campur tangan pengadilan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dimungkinkan dan diperbolehkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satunya yaitu melalui pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan kepada Pengadilan Negeri dan biasanya dilakukan oleh pihak yang merasa tidak puas atau dirugikan dari suatu putusan arbitrase. Upaya pembatalan putusan arbitrase pada dasarnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Untuk selanjutnya disebut UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Ketentuan tersebut dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa: Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu. b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan. 7
Erman Rajagukguk, 2000, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, hlm.4.
3
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Lebih lanjut dalam ketentuan penjelasan Pasal 70 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa alasan-alasan permohonan pembatalan yang dimaksud harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Pengajuan permohoan tersebut diajukan pada Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa terpenuhi atau tidaknya unsur yang dapat menyebabkan dibatalkannya putusan arbitrase. Oleh sebab itu, dalam hal ini pengajuan pembatalan putusan arbitrase pada pengadilan bukan termasuk upaya banding sebab pengajuan permohonan pembatalan harus didasari alasan kuat terkait unsur pembatalan, tidak dapat dilakukan hanya dengan alasan ketidakpuasan salah satu pihak saja.8 Majelis Arbiter Basyarnas pada tanggal 16 September 2009 telah membacakan Putusan Perkara No. 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak antara Termohon II (semula Pemohon Arbitrase) dengan Pemohon (semula Termohon Arbitrase) (Bukti P–1), serta telah mendaftarkan putusan tersebut pada Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat sebagaimana dalam Akta Pendaftaran No. 01/BASYARNAS/ 2009/PA.JP tertanggal 12 Oktober 2009 (Bukti P–2).
Atas keputusan dari Basyarnas tersebut, PT. Bank Syariah
Mandiri mengajukan permohonan pembatalan putusan Basyarnas ke 8
Munir Fuady, 2003, Arbitrase Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 106.
4
Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada tanggal 10 November 2009 dengan register perkara No 792/Pdt.G/2009/PA.JP. Selanjutnya Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada tanggal 10 Desember 2009 telah memutus perkara tersebut dengan mengabulkan permohonan PT. Bank Syariah Mandiri atas pembatalan putusan Basyarnas No. 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka. Jak yang diputuskan pada tanggal 16 September 2009 dan telah terdaftar di Kepaniteraan
Pengadilan
Agama
Jakarta
Pusat.
Dalam
putusannya
Pengadilan Agama Jakarta Pusat menyatakan bahwa putusan Basyarnas No. 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka. Jak tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas Putusan Perkara No 792/Pdt.G/2009/PA.JP tersebut, PT. Atriumasta Sakti dan Majelis Arbitrase Basyarnas telah mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Pada bulan Desember 2010, Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan banding PT. Atriumasta Sakti dan Majelis Arbitrase Basyarnas untuk membatalkan keputusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Atas putusan Mahkamah Agung No. 188/K/AG/2010 tersebut PT. Bank Mandiri Syariah pada tanggal 8 Juni 2011 mengajukan memori Peninjauan Kembali. Hasil akhir dari putusan Mahkamah Agung No. 56 PK/AG/2011 dalam hal ini adalah menolak permohonan dari pihak PT. Bank Mandiri Syariah tersebut. Atas perkara ini PT. Bank Mandiri Syariah telah membentuk penyisihan atas estimasi kerugian atas perkara tersebut sebesar Rp. 12.000.000.000,00 (dua belas milyar rupiah). 5
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang unsur-unsur yang harus diajukan untuk permohonan pembatalan putusan
arbitrase menurut Pasal 70 UU
UU
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa perlu dibuktikan terlebih dahulu di pengadilan atau tidak. Hal tersebut perlu dilakukan karena untuk menghindari permohonan pengajuan pembatalan putusan yang tidak disertai dengan alat bukti yang sah, sehingga penulis tertarik untuk meneliti mengapa hal tersebut perlu dilakukan. Ketentuan tersebut perlu dianalisis dimana pada saat ini terdapat putusan dari Mahkamah Agung yang membatalkan putusan Badan Arbitrase Nasional tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu alasanalasan permohonan pembatalan di tingkat Pengadilan Negeri. Selanjutnya adalah mengenai pertimbangan hakim dalam putusan permohonan Peninjauan Kembali, dalam penelitian ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan alasan-alasan yang dikemukakan hakim yang menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pemohon tersebut. Oleh karena itu terkait dengan uraian tersebut di atas maka penulis dalam penelitian ini mengambil judul penelitian “Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 56 PK/AG/2011 Terkait dengan Pembatalan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional Oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat”.
6
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah alasan pembatalan putusan arbitrase termasuk Arbitrase Syariah Nasional harus dibuktikan sesuai dengan ketentuan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa? 2. Bagaimana pertimbangan hakim Mahkamah Agung terkait dengan putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional yang dibatalkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Menganalisis apakah alasan pembatalan putusan arbitrase termasuk Arbitrase Syariah Nasional harus dibuktikan terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau tidak. 2. Menganalisis pertimbangan hakim Mahkamah Agung terkait dengan putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional yang dibatalkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat
7
D. Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat akademis Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum mengenai putusan tentang arbitrase. 2. Manfaat praktis Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi para hakim yang menangani perkara tentang arbitrase sebagai bahan pertimbangan dalam memutus suatu perkara yang hampir sama.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran penulis terdapat beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yaitu: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Rengganis pada tahun 2011 dengan judul “Tinjauan Yuridis Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional Berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 (Studi Kasus Terhadap Beberapa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktek pembatalan putusan arbitrase oleh Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung masih mengalami ketidakseragaman dan inkonsistensi, khususnya berkaitan dengan penggunaan alasan-alasan pembatalan dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999. Pada satu sisi, Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa suatu pembatalan putusan arbitrase hanya dapat dilakukan berdasarkan 8
alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 70, namun di sisi lain Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa dimungkinkan untuk membatalkan putusan arbitrase dengan alasan di luar Pasal 70 dimaksud. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Azizah pada tahun 2011 dengan judul “Analisis
Yuridis
Perjanjian
Arbitrase
(Studi
Putusan
Nomor:
46/Pdt.G/1999/PN Jakarta Selatan)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakjelasan atau ambiguitas kurang terperincinya klausula arbitrase dalam polisnya telah menimbulkan perbedaan penafsiran yang justru menyebabkan sengketa dalam menentukan cara/forum yang digunakan dalam penyelesaian sengketa yang ternyata menyebabkan berlarut-larutnya proses penyelesaian sengketa. Sengketa yang timbul dari pelaksanaan putusan Nomor 46/Pdt 6/1999/Jakarta Selatan yang mencantumkan klausula arbitrase di dalamnya, sebagaimana telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa para pihak dalam perjanjian kehilangan hak nya untuk membawa sengketanya ke pengadilan umum dan pengadilan umum yang bersangkutan dilarang menerima dan wajib menolak permohonan sengketanya, ternyata masih saja kasus arbitrase yang bersangkutan diterima oleh pengadilan umum. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Hartini dan Kunthoro Basuki pada tahun 2013 dengan judul “Analisis Terhadap Fungsi dan Kewenangan Pengadilan dalam Melakukan Pembatalan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional”. Dalam penelitian tersebut dibahas mengenai penarikan Majelis Arbiter Basyarnas sebagai pihak dalam permohonan pembatalan 9
putusan arbitrase, kewenangan hakim dalam menjalankan fungsi dan kewenangan yudikatif dalam menangani permohonan pembatalan putusan Basyarnas dan pembahasan secara teori mengenai pihak yang berwenang untuk membatalkan putusan Basyarnas ketika terjadi inkonsistensi antara satu peraturan dengan peraturan lain di bidang ekonomi syariah dan kewenangan pengadilan. Persamaan penelitian yang penulis lakukan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah sama-sama membahas mengenai analisis putusan tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999. Perbedaan penelitian yang penulis lakukan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah pada penelitian ini penulis melakukan analisis terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 56 PK/AG/2011 terkait dengan pembatalan putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
10