BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebebasan dan kemerdekaan selalu menjadi hal yang diperbincangkan dan diperjuangkan oleh manusia, karena pada hakekatnya dalam diri manusia selalu terdapat keinginan untuk dapat melakukan kehendaknya tanpa adanya suatu tekanan atau paksaan dari pihak lain yang dianggap akan menghalangi kebebasan kehendak tersebut. Tuntutan kemerdekaan dari berbagai bangsa, suku ataupun etnis banyak terjadi, hal ini membuat kita berpikir untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi penyebabnya, padahal pihak yang meneriakkan kemerdekaan itu merupakan bagian dari suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Pada umumnya pihak-pihak yang menginginkan kemerdekaan tersebut adalah pihak-pihak yang merupakan golongan minoritas atau suatu etnik atau sebagian penduduk di suatu Negara yang merasa diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah yang berkuasa. Pada umumnya wilayah yang menginginkan kemerdekaan terdapat gerakan pembebasan yang merupakan cerminan dari sebagian ataupun keseluruhan dari rakyat di wilayah tersebut. Tuntutan yang paling sering terdengar adalah pembentukan suatu Negara baru dengan cara melakukan pemisahan dari Negara asalnya, atau yang lebih sering disebut dengan istilah plebiscite. Plebiscite merupakan salah satu bentuk pengalihan wilayah melalui pilihan penduduknya menyusul dilaksanakannya pemilihan umum, referendum,
Universitas Sumatera Utara
atau cara-cara lainnya yang dipilih oleh penduduk. Huala Adolf 4 berpendapat bahwa plebisit merupakan peralihan suatu wilayah bukan antar Negara berdaulat dengan Negara berdaulat lainnya, tetapi peralihan terjadi antara Negara berdaulat dengan penduduk di suatu wilayah. Martin Dixon 5 berpendapat bahwa cara perolehan wilayah dengan plebisit ini
sebagai
“penentuan
nasib
sendiri”
(self-determination).
Mahkamah
Internasional dalam sengketa the case concerning East Timor (Portugal vs Australia) tahun 1995 berpendirian bahwa penentuan nasib sendiri adalah satu prinsip penting dalam Hukum Iinternasional. Masyarakat
ataupun
rakyat
memiliki
legitimasi
secara
Hukum
Internasional untuk mendapatkan kemerdekaan, seperti tercermin dalam piagam PBB 6 yang menyatakan bahwa kemerdekaan itu ialah hak setiap bangsa dan individu, dan tidak ada suatu pihak pun yang dibenarkan untuk menghalangi ataupun mengganggu usaha-usaha dari suatu bangsa untuk memerdekakan diri, namun hak ini menjadi suatu polemik disebabkan oleh adanya suatu friksi antara keinginan dari suatu pihak atau bangsa yang pada mulanya merupakan bagian dari suatu Negara yang berdaulat untuk memerdekakan diri dengan peranan dan kedudukan dari kedaulatan Negara induknya. Jaminan terhadap hak asasi manusia atas kemerdekaan individu dan suatu bangsa yang lebih dikenal dengan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination)….. hak asasi manusia dalam menentukan nasib sediri ini
4
Huala Adolf., Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 130-131. 5 Ibid., hal 131. 6 Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB.
Universitas Sumatera Utara
secara tegas diakui…..dalam Convenant on Civil and Political Rights (1966) dan Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966), 7…… Dalam pasal pertamanya menyebutkan “All people have the right of self-determination, By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and natural development”. Dan dalam pembukaan piagam PBB yang menyatakan “To develop friendly relations among nations based on the respect for the principile of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace”. Revolusi terpenting dalam Hukum Internasional dewasa ini terjadinya hubungan yang semakin nyata antar Negara yang mengikat nilai-nilai universal yang dituangkan dalam pranata Hukum Internasional, terkristalisasi sebagai kaedah-kaedah Hukum Internasional yang mengikat dan mengatur persetujuan Negara-negara termasuk dalam hal menentukan nasib sendiri (self-determination). Hak menentukan nasib sendiri (self-determiation) telah menjadi prinsip dasar Hukum Internasional umum yang diterima dan diakui sebagai sutau norma yang mengikat dalam masyarakat internasional yang sering disebut dengan Jus Cogens. Prinsip ini membatasi kehendak bebas Negara dalam menangani masalah gerakan separatis yang terjadi di wilayahnya dengan tetap mengacu pada kaidah Hukum Internasional yang mengancam invaliditas setiap persetujuan-persetujuan ataupun aturan dan cara-cara yang ditempuh Negara yang bertentangan dengan
7
http://www.kompas.com/kompas-cetak/9908/30/OPINI/the4.htm
Universitas Sumatera Utara
Hukum Internasional, karena penentuan nasib sendiri diakui oleh masyarakat internasional sebagai hak asasi yang harus dihormati8. Dalam Hukum Internasional terdapat suatu asas yang telah diterima oleh semua Negara bahwa kejadian-kejadian dalam suatu Negara adalah urusan intern Negara tersebut dan pihak-pihak asing tidak berhak turut campur. Tetapi adakalanya di dalam suatu Negara terjadi pemberontakan atau gerakan separatis dan gerakan itu telah mencapai suatu keadaan tertentu, sehingga Negara-negara lain tidak boleh begitu saja mengabaikan keadaan-keadaan tersebut. Oleh karena itu Negara-negara lain kemungkinan dapat memberikan perhatian dengan cara-cara tertentu. Seringkali dalam suatu gerakan separatis telah terjadi bentrokan yang merupakan peristiwa berdarah yang menggunakan senjata serta terjadi pertempuran antara pasukan pemberontak dengan pasukan pemerintah. Disamping itu, mungkin terjadi penangkapan terhadap pengikut-pengikut kaum separatis. Pertikaian bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu Negara akibat adanya tuntutan kemerdekaan dari pihak separatist ada yang bersifat internasional atau yang bukan bersifat internasional (non-international armed conflicts atau international armed conflicts). Mengenai non-international armed conflicts diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977. dalam situasi-situasi tertentu dapat juga suatu non-international armed conflicts berubah menjadi international armed conflicts. Hal yang terakhir ini disebut dengan internationalized internal armed conflicts. 8
Whisnu Situni,. Identifikasi Dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional,. Bandung: Mandar Maju. 1998. hal 100.
Universitas Sumatera Utara
Hukum Internasional tidak menghukum adanya pemberontakan atau gerakan separatis. Hukum Internasional juga tidak menganggap separatis di suatu Negara tersebut adalah penjahat-penjahat kriminal biasa apabila dilihat dari kedudukan hukumnya. Hukum Internasional memberikan kedudukan tertentu terhadap kaum separatis ini di bawah konsep pengakuan sebagai pemberontak (recognition of insurgency) 9. Instrumen-instrumen Hukum Internasional yang mengatur tentang hak menentukan nasib sendiri untuk dapat merdeka dan bebas dari kekuasaan asing antara lain sebagai berikut: 1. United Nations Charter; 2. Universal declaration of Human Rights, 1948; 3. International Covenant of Civil and Political Rights; 4. International Covenant of Economic, Social and Cultural Rights; 5. UNGA Resolution 1514 (XV) 1961: Declaration on The Granting Of Independence to Colonial Countries and Peoples; 6. UNGA Resolution 2625 (XXV) 1970: Declaration on Principles of International Law Friendly Relations And Co-operation Among State In Accordance With The Charter Of The United Nations. Fenwick 10 mendefenisikan pemberian pengakuan pemberontakan gerakan separatis sebagai pernyataan keyakinan bahwa kaum pemberontak janganlah diperlakukan sebagai pengacau, jika mereka tertangkap dan bahwa kaum pemberontak berhak untuk menerima perbekalan dari Negara-negara netral. 9 10
Huala Adolf, Op. cit., hal 91. Bachtiar Hamzah & Sulaiman Hamid. Hukum Internasional II. Medan: USU PRESS.
hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
Pemberian
pengakuan
sebagai
pemberontak
menurut
Hukum
Internasional, tidaklah berarti Negara yang memberikan pengakuan itu berpihak kepada kaum pemberontak. Pemberian pengakuan sebagai pemberontak, bukan hanya menuntut perlakuan berdasarkan tuntutan perikemanusiaan, tetapi juga meletakkan kewajiban kepada Negara yang memberikan pengakuan itu untuk mengambil sikap netral dalam konflik yang terjadi antara kaum pemberontak dengan pemerintah yang sah. Adanya prinsip dan ketentuan dalam hukum internasional yang menjamin terhadap usaha kemerdekaan suatu bangsa tidak menjadikan setiap usaha untuk mencapai kemerdekaan itu diperbolehkan oleh Hukum Internasional. Maraknya gerakan separatis atau keinginan untuk memisahkan diri dari Negara induk juga terjadi di Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang pernah melewati masa kolonialisme ditambah dengan lahirnya PBB yang secara tidak langsung membawa dampak bagi tatanan dunia baru. Sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat yang salah satu tujuannya adalah ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, perlu mengambil tindakan yang tegas dalam menyelesaikan masalah gerakan separatis ini sebagai salah satu upaya aktif dalam memelihara perdamaian. Indonesia sebagai Negara yang heterogen yang terdiri dari multi etnis, multi agama, dan multi kultur pada satu sisi menjadi kebanggaan tersendiri sebagai sebuah bangsa yang besar, akan tetapi jika tidak dikelola secara baik dengan menegakkan prinsip toleransi, saling menghormati dan saling menghargai,
Universitas Sumatera Utara
adanya perbedaan justru akan menjadi malapetaka bagi bangsa ini. Indonesia perlu mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan isi konvensi Internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya, dan konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik. Komitmen yang kuat tersebut tidak hanya berupa penegakan hukum, tetapi juga pembenahan hukum yang mendukung penegakan hukum atau penegakan konvensi-konvensi tersebut. Jika hanya dengan komitmen secara retorika akan sia-sia belaka. Inilah yang terjadi sekarang ini. Ditambah lagi Indonesia adalah Negara hukum, dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sikap tersebut dapat dillihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, UUD Republik Indonesia tahun 1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan hak asasi manusia yang sangat penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan (alenia pertama Pembukaan UUD Republik Indonesia tahun 1945). Namun dalam Deklarasi atas Pasal 1 ayat (1) ICCPR yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang tentang pengesahan konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik berbunyi: “….istilah hak untuk menentukan nasib sendiri” tidak berlaku untuk bagian rakyat atau bangsa dalam suatu Negara merdeka yang berdaulat dan tidak boleh diartikan sebagai pengesahan atau mendorong tindakan yang memecah belah atau merusak seluruh atau sebagian dari integritas wilayah atau kesatuan politik dari Negara yang berdaulat dan merdeka.
Universitas Sumatera Utara
Namun dalam kenyataan mengenai gerakan separatis yang terjadi di Indonesia selalu menggunakan self determination sebagai dasar gerakan, untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka. Maka, dalam penyelesaian permasalahan gerakan separatis ini, Pemerintah Indonesia harus memperhatikan norma dasar Hukum Internasional umum yang secara tidak langsung juga mempengaruhi kedaulatan Negara dalam hal kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan yang akan diambil. Hal di atas membuat penulis tertarik untuk membahas masalah gerakan separatis yang menggunakan self determination sebagai dasar gerakan dalam skripsi ini. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dan untuk memfokuskan pembahasan dalam penulisan ini, maka pokok permasalahan yang akan menjadi objek pembahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan norma dasar Hukum Internasional umum (Jus Cogens) dalam Hukum Internasional? 2. Bagaimanakah penerapan norma dasar Hukum Internasional umum (Jus Cogens) dalam penyelesaian gerakan separatis di Indonesia? 3. Bagaimanakah pengaruh penerapan norma dasar Hukum Internasional umum (Jus Cogens) terhadap integritas teritorial dan kedaulatan Indonesia?
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan a. Tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk
mengetahui
pengaturan
mengenai
norma
dasar
Hukum
Internasional umum (jus cogens) dalam Hukum Internasional. 2. Untuk mengetahui penerapan norma dasar Hukum Internasional umum (jus cogens) dalam penyelesaian gerakan separatis di Indonesia. 3. Untuk mengetahui pengaruh penerapan norma dasar Hukum Internasional umum (jus cogens) terhadap integritas territorial dan kedaulatan Indonesia. b. Manfaat penulisan skripsi ini adalah: 1. Manfaat secara teoritis Memberikan sumbangan akademis bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan Hukum Internasional pada khususnya. Serta memberikan sumbangan akademis dalam merumuskan peraturan perundang-undangan tentang penyelesaian
masalah
gerakan
separatis
dimasa
yang
akan
datang
(Constituendum) maupun dalam penerapannya agar sesuai dengan cita-cita bangsa dan hukum internasional dan yang terpenting adalah tidak melanggar hak asasi manusia dalam menentukan nasib sendiri. 2. Manfaat praktis Membantu aparat penegak hukum dan pemerintah dalam menerapkan hukum untuk menyelesaikan masalah gerakan separatis yang ada di Indonesia, juga memberikan kajian akademis bagi para pihak terutama yang berkecimpung dalam kelompok-kelompok aktivis hak asasi manusia agar dapat memandang
Universitas Sumatera Utara
masalah gerakan separatis yang menggunakan hak menentukan nasib sendiri sebagai dasar gerakan lebih objektif dan jelas. D. Keaslian Penulisan Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat untuk memenuhi syarat pengambilan gelar Sarjana, maka seyogyanya skripsi diutulis berdasarkan buah pikiran yang benar-benar asli tanpa melakukan tindakan peniruan (plagiat) baik sebagian ataupun keseluruhan dari karya orang lain. Judul yang penulis pilih telah diperiksa dalam arsip bagian Hukum Internasional dan judul tersebut dinyatakan tidak ada yang sama dan telah disetujui oleh Ketua Bagian Hukum Internasional. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Penerapan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata penerapan yang berasal dari kata dasar “terap” memiliki beberapa arti yaitu menunjukkan suatu proses, cara yang merupakan perbuatan menerapkan, bisa juga berarti pemasangan, pemanfaatan yang merupakan perihal mempraktekkan. Maka, yang dimaksud penerapan dalam tulisan skripsi ini adalah menerapkan kaidah-kaidah yang terdapat dalam norma dasar hukum internasional umum dalam menyelesaikan permasalahan yang dimaksud, yaitu gerakan separatis. 2. Norma Dasar Hukum Internasional Umum (Jus Cogens) Beberapa ahli hukum internasional memberikan defenisi yang berbeda mengenai jus cogens, hal ini sesuai dengan sudut pandang mereka menganalisa jus cogens itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
J.G. Starke11 mengemukakan pendapatnya bahwa jus cogens adalah himpunan prinsip atau norma yang menentukan (premptory) yang tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu bisa berlaku untuk membatalkan suatu traktat atau persetujuan diantara Negara-negara, apabila tidak konsisten dengan suatu prinsip atau norma tersebut. Dalam garis besarnya Starke menganalogikan konsep jus cogens sebagai prinsip “kebijaksanaan umum” yang pada hukum adat (common law) membuat suatu kontrak menjadi batal jika bertentangan dengan prinsip tersebut. Ia juga menegaskan kesulitan utama mengenai ketentuan jus cogens itu sendiri adalah pengidentifikasian norma-normanya. Rozakis 12 memberikan arti norma jus cogens itu sebagai suatu norma hukum internasional umum yang telah diterima oleh masyarakat internasonal secara keseluruhan. Norma hukum internasional disini diartikannya sebagai norma yang diterapkan kepada sebagian besar Negara-negara karena telah diterima sebagai suatu hal yang mengikat dan terhadap norma tersebut tidak boleh dilanggar. Ian Brownlie dalam bukunya Principles of Public International Law, edisi keempat (Oxford: Claarendon Press, 1990) mendefefnisikan jus cogens sebagai “….rules of costumary law which cannot be side aside by a treaty of accuisence but only by formation of subsequent costumary rules of contrary effect”. Ia juga memberi contoh dari aturan-aturan yang bertantangan dengan jus cogens,
11
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi kesembilan, Aksara Persada Indonesia, 1984, hal. 51 12 Baca: Yudha Bakti., Pengertian Jus Cogens dalam Konvensi Wina 1969 Tentang Hukum Perjanjian., Dalam Majalah Padjajaran, Kwartal I-No.I/1981, hal. 42
Universitas Sumatera Utara
misalnya perang agresi, pelangaran terhadap hukum genocide, perdagangan perbudakan,
pembajakan,
kejahatan-kejahatan
yang
bertentangan
dengan
kemanusiaan, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hak menentukan nasib sendiri. Menurut Schwarzenberger 13, untuk membentuk suatu jus cogens internasional, maka suatu aturan hukum internasional harus memiliki sifat-sifat universal atau asas-asas yang fundamental, misalnya asas-asas tersebut mempunyai arti penting luar biasa (exceptionally significant) dalam hukum internasional disamping mempunyai arti penting “istimewa” dibanding dengan asas-asas lainnya. Selain itu ia menegaskan pula bahwa asas-asas tersebut merupakan bagian esensial dari sistem hukum internasional, atau mempunyai karakteristik yang merupakan refleksi dari hukum internasional yang berlaku. 3. Gerakan Separatis Kata separatis berasal dari bahasa Inggris, yaitu “separate”, yang dalam kata kerja transitip berarti “memisahkan”, dan dalam kata kerja intransitip berarti “berpisah”. Sedangkan orang yang ingin memisahkan diri disebut separatist 14. Gerakan separatis sering juga disebut sebagai gerakan pembebasan atau Liberation movements. Gerakan berarti usaha atau kegaitan lapangan sosial (politik, dsb) dan pembebasan berarti membebaskan. Gerakan separatis dapat diartikan usaha untuk membebaskan diri dalam kapasitas kelompok dari ketidakadilan, penindasan yang dilakukan oleh Negara penjajah atau pemerintah yang berkuasa. 13
Ibid, hal 43 John M. Echols dan Hasan Shadily, 1990. Kamus Inggris-Indonesia, PT Gramedia Jakarta. Hal. 514. 14
Universitas Sumatera Utara
4. Self Determination atau Hak Menentukan Nasib Sendiri Self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak asasi manusia yang fundamental dan tidak terpisahkan dari diri seorang manusia. Hak ini dicantumkan sebagai pasal pertama oleh masyarakat internasional dalam dua instrument utama hak asasi manusia (perjanjian internasioal mengenai hak-hak sipil dan politik, dan perjanjian internasional mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya), mengingat pentingnya hak ini bagi tatanan internasional dan perlindungan hak-hak individu, Mahkamah Pengadilan Internasional mengakui self determination sebagai hak asasi manusia yang paling penting dan “menyangkut semua Negara”. Berdasarkan International Covenant on economic, Social and Cultural Rights, menyatakan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan meneyerukan kepada semua Negara, termasuk Negaranegara yang bertanggung jawab atas pemerintahan wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri dan wilayah perwalian untuk memajukan perwujudan hak tersebut. Lebih lanjut disebutkan bahwa semua bangsa mempunyai hak menentukan nasib sendiri yang memberi meraka kebebasan untuk menentukan status politik dan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan perjuangan dari bangsa-bangsa untuk berjuang melawan suatu tindakan kekerasan yang dilaksanakan dalam rangka menentukan nasib sendiri merupakan suatu tindakan yang sah menurut hukum; dalam hal ini bangsa-bangsa tersebut berhak untuk mencari dan menerima dukungan sesuai dengan prinsip dan tujuan yang tercantum dalam piagam PBB..
Universitas Sumatera Utara
Hak menentukan nasib sendiri merupakan hak yang sulit ditentukan dalam hukum internasional dan ada beberapa kontroversi yang sangat penting terhadap parameter yang tepat dari hak ini. Penerapan dari hak menentukan nasib sendiri juga menimbulkan perdebatan. In the drafting process, several states questioned the value of this right in the post-colonial world. Many states were particularly concerned that minority group within independent states may use this right as basis of their claim to secession 15. (saat proses pembuatan draf, beberapa Negara mempertanyakan peranan dari hak ini pada masa dekolonisasi. Banyak Negara sangat mengkhawatirkan bahwa kelompok minoritas dari sebuah Negara merdeka menggunakan hak ini sebagai dasar untuk mengklaim secession. F. Metodologi Penelitian a. Tipe Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah berupa penelitian doctrinal/legal research. Penelitian hukum normatif (legal research) ini terdiri dari inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif serta penemuan hukum in concreto 16. Menurut Pollack 17 bahwa tujuan pokok dari legal research adalah hendak menguji apakah suatu postulat normatif tertentu memang dapat atau tidak dapat dipakai untuk memecahkan masalah hukum tertentu. Dalam penelitian ini norma hukum in abstracto diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premis mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara dipakai sebagai premis minor, sehingga melalui silogisme akan diperoleh 15
Javaid Rehman, 2003, International Human Rights Law A Practical Approach, England: Pearson Aducation Limited. Hal. 65. 16 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hal. 13. 17 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hal. 91.
Universitas Sumatera Utara
sebuah konklusi, yaitu hukum in concreto yang dimaksud 18. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti yakni dengan cara mengumpulkan berbagai bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan persoalan yang dibahas kemudian melakukan pengkajian secara menyeluruh. b. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah antara lain berupa data sekunder yang memiliki kekuatan mengikat kedalam, yang terdiri dari19: 1. Bahan hukum primer berupa produk-produk hukum berupa peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini berupa konvensi-konvensi hukum internasional. 2. Bahan hukum sekunder berupa bahan acuan yang bersumber dari bukubuku, majalah, surat kabar, media internet serta media massa lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. 3. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan sebagainya. Cara mendapatkan data sekunder adalah dengan melakukan penelitian kepustakaan (Library Research). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dimana selanjutnya dilakukan analisis dengan mengumpulkan fakta-fakta yang didapat dari studi kepustakaan sebagai acuan umum dan 18 19
Ibid., hal. 91-92. Ibid., hal 113-114.
Universitas Sumatera Utara
kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis untuk mencapai kejelasan masalah yang dimaksud berdasarkan bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan. c. Analisis Data Setelah data terkumpul, analisis dilakukan dengan menggunakan analisis isi sebagaimana dirumuskan oleh Berndl Berson 20: “Content analysis is a research technique for the obyektive, systematic and quantitative description of the manifest content of communication” (Kajian isi adalah tehnik penelitian untuk keperluan mendeskripsikan secara obyektif, sistematik dan kuantitatif dari suatu bentuk komunikasi), sedangkan menurut Holsti bahwa kajian isi adalah tehnik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan dan dilakukan secara obyektif dan sistematis. Secara keseluruhan analisis di atas dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif untuk mengungkap secara mendalam mengenai pandangan dan konsep yang diperlukan dan kemudian akan diurai secara menyeluruh untuk menjawab persoalan yang ada dalam skripsi ini, serta melakukan penarikan kesimpulan dengan pendekatan deduktif-induktuf, yakni berawal dari hal-hal yang umum kepada hal-hal yang khusus.
20
Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Hukum Kualitatif, Bandung: Remaja Karya, 1989.
hal. 179
Universitas Sumatera Utara
G. Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab yang disusun secara sistematis dalam suatu sistematika penulisan sebagai berikut: 1. Bab I PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang gambaran dari seluruh isi skripsi, yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 2. Bab II PENGATURAN NORMA DASAR HUKUM INTERNASIONAL UMUM (JUS COGENS) DALAM HUKUM INTERNASIONAL Pembahasan dalam bab ini terdiri dari pengertian dan batasan pengertian jus cogens, fungsi jus cogens, syarat-syarat pemanifestasian jus cogens, self determination sebagai implementasi dari jus cogens serta diakhiri dengan kedudukan jus cogens sebagai sumber hukum internasional. 3. BAB III PENERAPAN NORMA DASAR HUKUM INTERNASIONAL UMUM (JUS
COGENS)
DALAM
PENYELESAIAN GERAKAN
SEPARATIS DI INDONESIA Bab ini membahas mengenai pengertian gerakan separatis, motivasimotivasi gerakan separatis, sejarah gerakan separatis di Indondonesia, serta penerapan norma dasar hukum internasional umum (jus cogens) dalam penyelesaian gerakan separatis di Indonesia. 4. BAB IV PENGARUH PENERAPAN NORMA DASAR HUKUM INTERNASIONAL UMUM (JUS COGENS) DALAM PENYELESAIAN
Universitas Sumatera Utara
GERAKAN SEPARATIS TERHADAP INTEGRITAS TERITORIAL DAN KEDAULATAN INDONESIA Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengaruh penerapan norma dasar hukum internaisional umum (jus cogens) terhadap integritas teritorial dan kedaulatan Indonesia yang akan dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. 5. PENUTUP Berisi tentang kesimpulan dan saran.
Universitas Sumatera Utara