BAB I PENDAHULUAN
A.
Permasalahan
A.1.
Latarbelakang Permasalahan
Dalam Tata Gereja Gereja Kristen Jawa1 dikatakan bahwa ‘ikatan seluruh Gereja Kristen Jawa2 disebut Sinode GKJ’. Dalam pernyataan tersebut, setidaknya ada 3 hal yang perlu diperhatikan, yaitu GKJ, ikatan dan Sinode. Pertama, tentang keberadaan GKJ tidak terlepas dari sejarah panjang zending di Jawa dan juga pergulatan budaya yang ada. Hal ini nampak dari jaman VOC selama 2 abad (abad XVII dan XVIII) tercatat adanya pengiriman tenaga pendeta dalam jumlah besar. Tercatat setidaknya 254 pendeta dan kurang lebih 800 penghibur orang sakit dengan status ‘pegawai VOC’ dikirim ke Oost. Indie3 untuk melayani kepentingan ‘pemeliharaan rohani atas orang-orang Belanda’.4 Bersamaan dengan itu, masuklah pengaruh-pengaruh dari Sinode Dordrecht (tahun 1619) di dalam Gereja Negara, yaitu sistem Presbiterial, Confessio Belgica dan Katechimus Heidelberg. Pada masa itu muncul Alkitab terjemahan Leijdekker yang mendorong juga akan adanya minat pekabaran Injil kepada masyarakat bumi putera (orang pribumi). Alkitab terjemahan itu terbit di dalam suasana kebangunan rohani di Gereja-gereja Eropa, yaitu gerakan Pietisme.5 Peristiwa ini setidaknya memberikan dampak positif terhadap
1
Sinode GKJ, Tata Gereja GKJ pasal 2 ayat 2, 1999, hal. 4 Gereja Kristen Jawa selanjutnya disebut dengan singkatan GKJ. 3 Istilah ‘Oost. Indie’ untuk menyebut Nusantara pada jaman VOC, namun setelah VOC bangkrut dan digantikan oleh pemerintahan Kolonial pada tahun 1816, Nusantara disebut sebagai Hindia Belanda. 4 Hadi Purnomo dan M. Suprihadi S. (editor), Benih yang Tumbuh (GKJ), 1986, hal. 14 5 Permulaan abad ke-18 (dimulai pertengahan abad 17) merupakan titik penting dalam sejarah Gereja, dengan timbulnya gerakan Pietisme yang mendorong gerakan pekabaran Injil. Lahirlah berturut-turut pekabaran Injil yang dipengaruhi oleh Pietisme Halle (1732) dan Methodisme (1738), sedangkan yang berbentuk badan pekabaran Injil adalah Baptis Missionary Society (1792), London Missionary Society 2
1
munculnya gejala kekristenan di Hindia Belanda dan khususnya di pulau Jawa. Bahkan pada jaman pemerintahan Inggris di Hindia Belanda (1811-1816), masuklah pekabarpekabar Injil dari Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) dalam rangka kerjasama dengan London Missionary Society (LMS).
Setelah Inggris tidak lagi berkuasa, Oost. Indie kembali berada di bawah kekuasaan kerajaan Belanda dalam bentuk pemerintahan Kolonial Belanda (1816-1942). Pada jaman ini merupakan masa pekabaran Injil yang banyak membuahkan hasil di Jawa. Pada masa ini tercatat gejala munculnya pekabaran Injil yang dilakukan atas inisiatif kaum awam6, yang menghasilkan generasi pertama orang-orang Kristen di Jawa. Karenanya muncul kelompok-kelompok Kristen di daerah Purworejo, Tegal dan Banyumas. Mereka dibaptiskan di Gereja Protestan Belanda. Baptisan pertama bagi orang-orang Jawa terjadi di Semarang (tahun 1858), di Purworejo (tahun 1860). Kelompok-kelompok tersebut merupakan cikal-bakal GKJ. Kelompok inilah yang menyebarkan kekristenan di Yogyakarta, Surakarta dan ke seluruh Jawa Tengah. Latar belakang teologis pekabar Injil awam ini agaknya dipengaruhi oleh gerakan Pietisme di Eropa.7 Tidaklah mustahil pekabar Injil kaum awam ini membawa ajaran dan keberagaman ciri khas dari Gereja setempatnya. Baik masalah ajaran, tanggungjawab warga Gereja, ataupun hubungan Gereja satu dengan yang lain. Nuansa Pietisme tertanam dalam ajaran dan tingkah laku warga Gereja. Hal ini tentu saja menambah kepelbagaian dalam kehidupan GKJ.
(1795), Netherlandsche Zendelinggenoottschap (1797), Church Missionary Society (1795). Gerakangerakan ini ikut berperan dalam sejarah pekabaran Injil di Indonesia, dan Jawa Tengah khususnya. 6 Kaum awam dipahami sebagai pribadi-pribadi warga Gereja dan tidak ada kaitannya dengan lembaga Gereja yang ada. 7 Ciri-ciri Pietisme yang ada pada para pekabar Injil awam ialah, mereka bergerak secara pribadi dan tidak dalam hubungan dengan Gereja.
2
Pada tahun 1861-1891 tercatat adanya pekabaran Injil yang dikerjakan oleh Nederlandsche Gereformeerde Zendings Vereniging (NGZV) di Jawa Tengah. Perkumpulan ini didirikan oleh orang-orang yang berasal dari lingkungan Nederlandsche Hervormde Kerk (NHK). Sebagai perkumpulan badan Zending, maka badan inipun mandiri dalam berbagai hal, artinya tidak tergantung pada Gereja dan pendanaan berasal dari donasi tertentu. Pekabaran Injil semacam ini agaknya lebih tertata dibandingkan dengan pekabaran Injil kaum awam. Dengan adanya perkumpulan badan Zending ini setidaknya ada penataan wilayah dan ajaran. Sehingga lewat badan ini warna GKJ di daerah tertentu ada perbedaan tertentu dengan GKJ di wilayah lain.
Di penghujung abad ke-19 merupakan akhir hidup NGZV sebagai badan pekabaran Injil dan merupakan awal dipulihkannya pemikiran teologis yang memandang bahwa pekabaran Injil adalah tugas Gereja setempat. Itulah yang digariskan dan diputuskan di dalam Sinode Middelburg (tahun 1896). Dengan berhentinya NGZV, maka diserahkanlah sebagian dari daerah-daerah pekabaran Injilnya di Jawa Tengah kepada Gereja-gereja Gereformeerd Belanda, dan sebagian lagi diserahkan kepada Salatiga Zending. Pekabaran Injil dilakukan baik secara langsung, maupun tidak langsung yaitu melalui pelayanan di bidang pendidikan (dengan mendirikan sekolah-sekolah Zending) dan kesehatan (dengan mendirikan rumah sakit – rumah sakit Zending). Tiap-tiap Gereja Gereformeerd di Belanda, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungan beberapa Gereja, menjadi ‘Gereja Pengutus’ para pekabar Injil. Pekabaran Injil oleh Zending Gereformeerd ini menghasilkan Gereja-gereja Kristen Jawa di Jawa Tengah. Predikant missionaris mendorong agar Gereja-gereja Jawa yang masih muda untuk segera mandiri. Di sisi lain
3
GKJ tumbuh dengan warna ke-Belanda-an sebagai akibat ajaran Zending. Hal ini nampak sekali dalam kebiasaan dan kebudayaan orang Belanda dalam tata cara kehidupan GKJ. Baik dalam wujud bahasa, cara berpakaian ataupun sistem pemerintahan Gereja, ataupun Tata Gerejanya. Dapat dikatakan bahwa GKJ adalah ‘Gereja Belanda’ di tanah Jawa.
Dikemudian hari, GKJ ingin keluar dari payung ketergantungan dan pencitraan sebagai ‘Gereja Belanda’. Baik masalah teologi, dana dan tenaga diupayakan untuk kemandirian. Selain itu juga sikap terhadap budaya Jawa ataupun kontekstualisasi kehidupan GKJ di tanah Jawa. Dalam hal kepemimpinan Gereja memang ada kendala tertentu. Di sisi kebudayaan, orang di tanah Jawa sangat kental dengan sistem feodalis, yang sedikit banyak sangat mirip dengan sistem episkopal. Namun warisan sistem pemerintahan Gereja yang ditanamkan zending Gereformeerd adalah Presbiterial atau kekuasaan di tangan para Presbiter yaitu Majelis Gereja setempat. Perbedaan gaya kepemimpinan dalam GKJ yang dilatarbelakangi tradisi Jawa yang feodalis dengan Gereformeerd yang menekankan kepemimpinan majemuk dapat juga menimbulkan pergesekan. Apalagi terjadi perbedaan pemahaman tentang kekuasaan antara budaya Barat dengan budaya Timur yang ada.
Kedua, kata ‘ikatan’8 mengandung makna : yang diikat – yang mengikat, cara mengikat dan syarat ikatan, atau setidaknya adanya kesepahaman hubungan antara yang mengikat dan diikat tersebut. Adanya ikatan yang sengaja dibentuk dengan penuh pertimbangan ini dan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, inilah yang disebut dengan organisasi oleh 8
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, 1995, hal. 368 Kata ‘ikatan’ mengandung makna : yang diikat, cara mengikat, berkas atau gabungan, susunan atau hubungan, perserikatan atau perkumpulan, lambang untuk menyatakan jumlah.
4
Talcott Parsons.9 Dalam kaitannya dengan organisasi kegerejaan, ikatan ini berwujud dalam sistem pemerintahan Gereja. Berbicara tentang sistem pemerintahan Gereja, Avery Dulles SJ10 menyebutkan …eklesiologi yang berpusat pada institusi itu, kekuasaan dan tugas gereja pada umumnya dibagi dalam atas tiga : mengajar, menguduskan dan memimpin. Pembagian kekuasaan ini mengarah kepada perbedaan lebih tajam antara Gereja yang mengajar dan Gereja yang diajar, antara Gereja yang menguduskan dan Gereja yang dikuduskan, antara Gereja yang memimpin dan Gereja yang dipimpin…..
Dengan kata lain, dalam model gereja sebagai institusi nampak sekali adanya pembagian kekuasaan, antara yang berkuasa dan yang dikenai kekuasaan, antara yang memimpin dan dipimpin. Dalam sejarah Gereja, sistem pemerintahan Gerejawi memang sudah ada sejak Gereja perdana dengan berbagai latar belakang keadaan warga Gereja yang ada. Setidaknya dalam Perjanjian Baru kita mengenal berbagai corak sistem pemerintahan gerejawi, yaitu sistem episkopal yang sentralistik, sistem Presbiterial-Sinodal yang menekankan kedudukan Gereja setempat dengan pemimpin yang majemuk dan sistem Kongresgrasional yang menekankan otonomi Gereja setempat.
Dengan adanya ‘ikatan’ berarti ada kesepahaman. Kesepahaman dibangun lewat kesepakatan bersama. Artinya : sepakat ada yang menjadi ‘pemimpin’ dan yang ‘dipimpin’. Demikian juga sepakat adanya tatanan untuk mengatur ikatan itu yang sekaligus juga bentuk-bentuk untuk menjaga ‘ikatan’ yang ada. Secara tidak langsung, GKJ memang sadar membutuhkan ikatan yang ada antara Gereja GKJ yang ada. Tentu ada pertimbangan khusus mengapa membutuhkan ikatan dan mengambil bentuk ikatan
9
Talcott Parsons, Structure and Process in Modern Society, 1960, hal. 17 Avery Dulles SJ, Model-model Gereja, 1990, hal. 35
10
5
tertentu dalam sistem pemerintahan gerejawinya. Namun dalam perkembangannya, bentuk ikatan yang ada dalam diri GKJ itu mengalami dinamika. Hal ini wajar berkenaan dengan kedinamisan Gereja sebagai organisasi yang menghadapi berbagai pola kehidupan yang ada. Namun satu hal yang patut dipertimbangkan, bentuk ikatan GKJ mengalami berbagai penekanan. Artinya, kadangkala kewenangan Sinode sangat menonjol, namun terkadang kalah pamor dengan Gereja setempat. Bahkan kewenangan antara Sinode dengan Gereja setempat terkadang juga seimbang. Meskipun kedinamisan ini sebagai sesuatu yang wajar namun cenderung menimbulkan konflik kepentingan.
Ketiga, masalah keberadaan ‘Sinode’. Memang dalam Perjanjian Baru tidak diketemukan kata υν’οδοζ atau Sinode.11 Gereja menggunakan kata
υν ‛οδοζ pada hakekatnya
merupakan gabungan dari kata υν ( artinya bersama-sama) dan ‛οδοζ ( artinya jalan, perjalanan, jalan pikiran atau tindakan). Kata ‘Sinode’ memang sudah digunakan oleh Eusebius dari Caesarea dalam rangka kegiatan gerejawi. Dalam perkembangannya banyak sekali alasan mengapa muncul adanya Sinode, yaitu: wadah kebersamaan dan memecahkan masalah, atau perluasan dari Gereja setempat. Dalam sejarahnya, Sinode GKJ muncul dikarenakan tantangan Gereja setempat yang membutuhkan sikap kebersamaan dan juga sebagai wujud dari perluasan Gereja setempat yang ada.
Pada dokumen berdirinya Sinode GKJ12, Committee dalam sambutannya pada hari Selasa, 16 Pebruari 1931 menyatakan : …… Bingah banget dene ing tengah kita bade wonten Synode ingkang sapisan (wiwitan), ingkang bade ngadeg poenika, ingkang nelakaken jen Pasamoewan 11 12
Chris Hartono, ‘Beberapa Hal tentang Pejabat Gerejawi’, kumpulan makalah ceramah. Sinode GKJ, Notula persidangan pertama Sinode GKJ di Kebumen 17-18 Pebruari 1931.
6
kita kaberkahan dening Goesti wiwit madjeng. Nanging nelakaken oegi jen njata pangawroeh kita inggih namoeng satoegel-satoegel, boten saged ngrampoengi prekawis-prekawis ing satengahing Pasamoewanipun ngantos perloe kawontenaken pakempalanipoen para Pasamoewan (Synode) kangge ngrembag prekawis-prekawis waoe sesarengan…..
Artinya : ….. Bahagia sekali karena di tengah kita akan ada Sinode yang pertama, yang akan berdiri ini, yang menyatakan bahwa Gereja kita diberkahi oleh Tuhan sejak berdiri. Tetapi juga menyatakan bahwa ternyata pengertian kita hanya sepotong-potong, tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah di dalam Gereja setempat sehingga perlu mengadakan persidangan Gereja-gereja setempat (Synode) untuk membahas masalah-masalah tadi bersama-sama……..
Dengan demikian, keberadaan persidangan Sinode GKJ sangat dibutuhkan sebagai tindak lanjut dalam menghadapi pergumulan Gereja setempat yang kian besar. Sebagai akibatnya, kebutuhan adanya Sinode adalah mutlak sebagai akibat besarnya Gereja setempat yang juga diiringi besarnya permasalahan yang ada. Di samping itu juga sebagai pemersatu antara Gereja yang satu dengan yang lain. Bahkan didalam persidangan Sinode pertama tahun 1931, nampak sekali kewenangan dari persidangan Sinode, antara lain : membentuk Komisi untuk membuat berbagai aturan, menetapkan ajaran dan juga menetapkan lagu pujian ibadah serta formulir upacara gerejawi.13
Berbicara tentang Sinode, tentu akan berbicara tentang kewenangan yang ada. Dalam sejarah berdirinya Sinode GKJ nampak sekali akan kewenangan persidangan Sinode yang besar. Persidangan Sinode menetapkan Tata Gereja, ajaran bahkan juga anggota deputat Sinode serta mewakili hubungan GKJ dengan pemerintah dan luar negeri. Kewenangan yang besar ini bisa dipahami dikarenakan persidangan Sinode adalah persidangan yang 13
Sinode GKJ, Notula persidangan pertama Sinode GKJ, di Kebumen 17-18 Pebruari 1931, hal. 3-7
7
terluas bagi GKJ. Oleh sebab itu, persidangan Sinode mengikat bagi kehidupan ber-GKJ. Pemahaman ini seiring dan senada dengan sistem Presbiterial-Sinodal yang dianut oleh GKJ. Namun dalam kenyataannya, seiring dengan tantangan dan pemahaman yang berubah sistem Presbiterial-Sinodal mengalami pergeseran. Artinya, terkadang peran Sinode yang menonjol sehingga penekankannya pada Sinodesentris, tetapi terkadang juga peran
Gereja
setempat
yang
sangat
menonjol
sehingga
penekanannya
pada
Presbiterialnya, atau kadangkala keduanya seimbang. Perubahan peran dan juga perbedaan pemahaman yang ada mau tidak mau menimbulkan pergesekan dan membuahkan konflik. Konflik muncul dikarenakan Gereja setempat dan Sinode merasa memiliki ‘dana, wewenang dan ketokohan’ yang muncul dari kedua pihak. Di sisi lain, konflik muncul dikarenakan pemahaman tentang sistem Presbiterial-Sinodal yang kurang jelas. Sebab ada yang memahami dan menekankan dari sudut Presbiterial-nya namun di sisi lain ada juga yang memahami dan menekankan ‘sinodal’ nya. Perbedaan inilah yang kerap memunculkan konflik antara Sinode dengan Gereja setempat hingga saat ini.
A.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka permasalahan penelitian ini berada sekitar beberapa persoalan yang secara rinci, yaitu: 1. Bagaimanakah pemahaman Presbiterial-Sinodal dalam sejarah GKJ ? 2. Bagaimanakah dinamika Presbiterial-Sinodal dalam sejarah kewenangan Sinode GKJ sejak tahun 1931 – 2002 ? 3. Apakah yang menyebabkan adanya kedinamisan Presbiterial-Sinodal dalam sejarah kewenangan Sinode GKJ ?
8
B.
Judul Tesis
Berkenaan
dengan
keberadaan
GKJ
dalam
sistem
Presbiterial-Sinodal
telah
mengakibatkan terjadinya ‘tarik ulur’ atau dinamika kewenangan antara Sinode dan Gereja setempat, dan juga ingin mempelajari sejarah kewenangan Sinode GKJ, serta dengan maksud mencari penyebab kedinamisan kewenangan Sinode dengan Gereja setempat, maka tesis ini akan mengambil judul : Dinamika Sistem Presbiterial-Sinodal ( Sejarah Kewenangan Sinode GKJ 1931 - 2002 ).
Sejarah kewenangan dari tahun 1931-2002 dalam tesis memang terlalu panjang, namun pengambilan kurun waktu ini dengan alasan bahwa tahun 1931 adalah awal berdirinya Sinode GKJ, dan tahun 2002 adalah tahun di mana konflik secara terbuka dibahas dalam persidangan Sinode yang menyita waktu dan pemikiran yang sangat berat. Konflik yang dimaksud berkenaan dengan sistem Presbiterial-Sinodal yang dipahami dengan berbagai kacamata yang ada, baik oleh Sinode ataupun Gereja setempat.
C.
Metodologi
C.1.
Metode Penulisan
Dalam memahami sesuatu sejarah sangat tergantung pada metodologi yang dipakai. Sebab setiap jenis sejarah memiliki berbagai metodologinya masing-masing. Ada banyak jenis sejarah, misalnya14 : Sejarah lisan, sejarah sosial, sejarah kota, sejarah pedesaan, sejarah wanita, sejarah kebudayaan, sejarah agama, sejarah politik, sejarah pemikiran, sejarah kuantitatif dan sejarah mentalitas. Bahkan menurut Taufik Abdulah15 ada
14 15
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, 2003, hlm. xxi Taufik Abdullah dan Surjomihardjo, Abdurrachman, Ilmu Sejarah dan Historiografi, 1985, Bab. V-VI
9
berbagai macam jenis sejarah, yaitu: filsafat sejarah, sejarah sosial, sejarah masyarakat, sejarah ekonomi, sejarah perusahaan, sejarah politik, sejarah intelektual atau pemikiran sejarah, sejarah kebudayaan dan sejarah etnik. Dari berbagai macam jenis sejarah yang ada, para ahli sejarah bisa menulis berbagai model pendekatan sesuai dengan jenis sejarahnya. Misalnya, sejarah sosial bisa didekati dengan model: diakronis, sinkronis, evolusi, sistematis, lingkaran sentral, interval, tingkatan perkembangan dan jangka panjang-menengah-pendek16 Dengan demikian, metodologi pemahaman sejarah sangat beragam dan terus berkembang sesuai dengan kondisi yang ada. Pendekatan tertentu apa pun yang diambil seorang ahli teori, perkembangan suatu teori memperlihatkan satu bentuk konstruksi kenyataan sosial. Konstruksi kenyataan sosial adalah suatu istilah yang digunakan oleh Berger dan Luckmann untuk menggambarkan proses di mana melalui tindakan dan interaksinya orang menciptakan secara terus-menerus suatu kenyataan yang dimiliki bersama, yang dialami secara faktual obyektif dan penuh arti secara subyektif.17 Menurut mereka, kita tidak pernah dapat menangkap kenyataan, kecuali dalam kerangka proses sosial di mana kita terlibat.
Sebagai bagian dari masyarakat maka Gereja merupakan kehidupan sosial yang memiliki berbagai variasi dalam pikiran dan tindakan manusia disamping memiliki sistem pranata. Sehubungan dengan rencana penulisan tesis yang dikategorikan sebagai sejarah sosial, maka pembahasan ini akan meliputi peristiwa-peristiwa sejarah, institusi sosial, fakta sosial dan masyarakat di sekitar GKJ. Sejarah sosial memang memerlukan usaha untuk membuat kerangka utuh mengenai masyarakat (dalam hal ini: GKJ), dengan kata lain
16 17
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, 2003, hal. 39-58 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, 1966, hal. 56
10
yang total atau global, sejarah GKJ secara keseluruhan. Penulisan sejarah sosial ini memerlukan strategi yang berbeda dengan penulisan sejarah lainnya.
Obyek penulisan merupakan sesuatu yang penting dalam usaha penelitian dan penulisan sejarah. Sebab dari obyek penelitian penulisan tersebut akan didapatkan fakta-fakta sejarah. Fakta-fakta itu disintesiskan dalam suatu sistematika yang logis berdasarkan hukum kausalitas. Tentu saja dalam menyusun sistematika yang merupakan kerangka sintesis itu sejarahwan tidak dapat melepaskan diri dari teori dan konsep ilmu-ilmu lain sebagai ilmu bantu khususnya ilmu sosial yang relevan. Demikian juga kausalitas dalam eksplanasi sejarah memerlukan pemahaman khusus yang berbeda dengan kausalitas dalam ilmu-ilmu alam misalnya. Maka untuk memahami eksplanasi sejarah perlu penjelasan khususnya mengenai fakta, sintesis atau rekonstruksi fakta dan kausalitas dalam ilmu sejarah.
Lebih lanjut P.J. Suwarno18, setelah dokumen-dokumen hasil kegiatan heuristik dikritik secara ekstern maupun secara intern dan sejarahwan yakin akan otensitasnya serta kredibilitasnya, maka sejarahwan menurunkan fakta dari dokumen-dokumen itu untuk disusun dan disintesiskan sesuai dengan tujuan yang sudah dirumuskan dalam kerangka penelitiannya. Dengan demikian akan dihasilkan eksplanasi sejarah yang ilmiah. Maka dapat dikatakan peranan fakta dalam eksplanasi sejarah sangat esensial. Fakta sejarah adalah kejadian penting yang ada kaitannya dengan kejadian berikutnya. Dalam mendefinisikan fakta, Michael Stamford19 menyatakan :
18 19
P.J. Suwarno, Pengantar Ilmu Sejarah, 1994, hal. 32-34 Tentang fakta para ahli sejarah belum sepakat. Lihat. P.J. Suwarno, Pengatar Ilmu Sejarah, 1994, hal. 35
11
[….] fakta bukan idea, meskipun kita dapat memikirkannya seperti hal-hal yang lain. Fakta secara samar-samar termasuk benda dan juga kata, tetapi tidak sepenuhnya dan setepatnya termasuk dunia benda dan dunia kata. Suatu fakta semacam campuran dari sebagian dunia kata dan sebagian dunia benda. Fakta tidak dapat dipisahkan dari kedua dunia itu, tetapi masing-masing dunia itu tidak mencakupnya…..
Lebih lanjut dikatakan oleh P.J. Suwarno yang mengutip pendapat Becker mengatakan bahwa fakta sejarah itu baru ada sejauh fakta itu berada dalam pikiran manusia. Jika fakta sejarah itu tergambarkan dalam pikiran seseorang, maka fakta historis itu ada sekarang merupakan bagiannya dari kehadirannya itu. Sekarang adalah suatu titik yang tidak terbatas dalam waktu, hilang sebelum orang dapat memikirkannya, gambaran atau idea yang sekarang ada di pikiran serta merta meluncur ke masa lampau. Berkenaan dengan rencana tesis yang ada, obyek yang akan diteliti dan diupayakan akan adanya fakta sejarah serta fakta historis adalah 1) Pemahaman Presbiterial-Sinodal dalam sejarah GKJ, 2) Kedinamisan kewenangan Sinode dan Gereja setempat dalam sejarah GKJ yang memakai sistem Presbiterial-Sinodal, dan 3) penyebab kedinamisan Presbiterial-Sinodal dalam perjalanan sejarah GKJ dari tahun 1931-2002.
C.2.
Metode Penelitian
Metode penulisan yang digunakan dalam menyusun tesis ini adalah metode penulisan sejarah. Artinya, mengkontruksikan kembali fakta menjadi sejarah, yang menurut Collingwood20 ada tiga cara, yaitu cara kuno, cara positivistik atau terbatas dan cara imajinatif atau meluas. Dalam hal ini rencana tesis akan memakai cara imajinatif. Dalam cara imajinatif, pengetahuan tentang masa lampau muncul dalam pikiran orang yang terus berproses, maka dari itu fakta sejarah tidak terdiri dari atom-atom elementer dan 20
Lihat. P.J. Suwarno, Pengantar Ilmu Sejarah, 1994, hal. 36-41
12
impersonal yang tidak dapat berubah. Dengan demikian, sejarah selalu diperbaharui bukan karena fakta itu atom atau bukan melainkan dari perkembangan evidensi yang ada dan pada interpretasi yang lebih efektif dari evidensi itu. Artinya, berusaha untuk mengkonstektualkan, menjelaskan dan juga merelevankan. Sebagaimana dipahami suatu peristiwa terjadi memiliki konteks tersendiri yang berbeda dengan konteks sekarang ini. Namun apabila dilihat dengan konteks yang ada sekarang tentu saja akan memiliki makna yang lain. Dalam hal inilah penulis tertarik untuk melihat kembali : konteks sejarah GKJ dalam pemahaman sistem Presbiterial-Sinodal, konteks kedinamisan sistem PresbiterialSinodal dan penyebab kedinamisan kewenangan Sinode dengan Gereja setempat. Untuk maksud tersebut, metode penelitian sejarah ini memakai beberapa hal, antara lain :
C.2.1 Kerangka teori Berteori adalah merupakan aktifitas mental untuk mengembangkan ide yang dapat menerangkan mengapa dan bagaimana sesuatu itu terjadi. Sedangkan fungsi dari teori adalah untuk 1) sistematisasi pengetahuan, 2) eksplanasi, prediksi dan kontrol sosial dan 3) mengembangkan hipotesa penelitian yang ada. Dalam hal tesis, kerangka teori yang dipakai adalah pendekatan struktural dan fungsional yang berkembang dalam ilmu sosiologi dan antropologi. Tokoh yang mengembangkan teori ini adalah a. Radliffe Brown yang melihat struktur sosial yang nampak dari luar. b. Levy Strauss yang menyatakan struktur tidak hanya yang tampak dari luar, tetapi menyangkut arti yang terdapat dibalik kenyataan. c. Josselin de Jong yang menyatakan keteraturan dalam struktur.
13
Berdasarkan pendapat ketiga tokoh tersebut, teori struktural tidak hanya melihat dari sisi luar, tetapi justru dari arti yang terdapat di belakang struktur yang ada. Dengan demikian strukturalisme adalah faham yang melihat struktur dari kenyataan dan arti yang terdapat di dalam konfigurasi struktur itu. Setelah mengetahui arti terdalam struktur sosial yang kelihatan, sehingga mampu menciptakan perspektif teoritis untuk menjelaskan kenyataan, diperlukan analisi sosiologis untuk mengungkapkan bentuk hubungan kelompokkelompok yang terdapat di dalam struktur sosial. Dalam hal ini penulis memakai konsep Peter M. Blau21 yang menyatakan bahwa struktur sosial adalah penyebaran kuantitatif warga masyarakat di dalam berbagai posisi sosial yang berbeda yang mempengaruhi hubungan
mereka.
Karakteristik
fundamental
struktur
ialah
berbagai
tingkat
ketidaksamaan dan keberagaman interaksi dan konsolidasi yang timbul dalam konsentrasi kelompok, sehingga mempengaruhi derajat hubungan antar segmen baik berupa dominasi, eksploitasi, konflik maupun kerjasama.
Sedangkan teori kedua adalah fungsional yang dikembangkan oleh Parsons dengan AGIL22 sebagai persyaratan fungsional bagi sistem sosial. Pertama, sistem sosial harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan terhadap tuntutan tranformasi pada setiap kondisi tindakan warga (adaptation). Kedua, tindakan diarahkan untuk mencapai tujuan bersama (goal attainment). Ketiga, dalam hubungan interrelasi warga sedikitnya harus ada suatu tingkat solidaritas, agar struktur dan sistem sosial berfungsi (integration). Keempat, adanya situasi kejenuhan di antara anggota masyarakat terhadap sistem 21
Tentang konsep Peter M. Blau dalam Inequality and Heterogeneity, 1977, penulis mengambil terjemahannya oleh Bungaran Anthonius Simandjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Disertasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1994, hal. 31-32 22 A=Adaptation, G=Goal Attainment, I=Integration, L=Latent Pattern Maintenance. Lihat. Bungaran Anthonius Simandjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, 1994, hal. 33-35
14
sosialnya atau telah dipengaruhi dan tunduk kepada sistem sosial lain sebagai akibat hubungan terbuka antar etnis dan antar sistem sosial yang berbeda (latent pattern maintenance). Penulis menganggap paradigma Parson ini aktual dipakai meneliti dan menganalisa sistem Presbiterial-Sinodal GKJ sehingga latar belakang struktur dan fungsional sistem tersebut dapat diketahui secara lebih menyakinkan. Sebab dengan pendekatan struktural fungsional akan mengkaji lebih dalam ‘struktur budaya Jawa, struktur kekuasaan dan struktur kewenangan dalam GKJ’ dan ‘fungsi-fungsi yang ada dari adanya struktur’ tersebut.
Untuk memahami konflik sebagai akibat kesenjangan struktural dan fungsional yang ada memang agak sulit jika melalui pendekatan struktural fungsional. Sebab ada kesan struktural fungsional dan konflik dipandang secara diametral bertentangan,23 yaitu : Struktural fungsional
Konflik
Disebut juga sebagai teori konsensus yang mengasumsikan bahwa normanorma dan nilai-nilai adalah unsur dasar dari kehidupan sosial. Kehidupan sosial melibatkan komitmen Masyarakat kohesif Kehidupan sosial tergantung pada solidaritas Kehidupan sosial didasarkan pada kerjasama Sistem sosial bertahan pada konsensus
Menyebutkan bahwa kepentingan adalah unsur dari kehidupan sosial.
Otoritas legitimasi Sistem sosial akan terintegrasi
Sistem sosial cenderung bertahan lama
23
Kehidupan sosial melibatkan dorongan. Masyarakat terbagi Kehidupan sosial melahirkan oposisi Kehidupan sosial melahirkan konflik struktural Kehidupan sosial melahirkan kepentingan bagian-bagian Diferensiasi sosial akan melibatkan kekuasaan Tidak terintegrasi dan tertimpa kontradiksi
Sistem sosial cenderung berubah
Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, 1992, hal. 32-33
15
Karena adanya pertentangan diametral seolah-olah keduanya tidak bisa dipersatukan dikarenakan asumsi keduanya bertentangan. Menurut Stephen K. Sanderson24 pandangan tersebut bisa saja benar. Tetapi keduanya jika diangkat dalam tingkat abstrak, keduanya justru berasal dari satu paradigma yaitu paradigma fakta sosial, yang mempermasalahkan struktur sosial dan pranata sosial. Sehingga dengan demikian pendekatan struktural fungsional pun bisa mendekati konflik yang ada dalam tesis ini.
C.2.2. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendukung penulisan tesis, teknik pengumpulan data dengan cara : C.2.2.1. Heuristik. Heuristik dalam metode sejarah adalah langkah mencari sumber dan bukti-bukti dari peristiwa sejarah. Langkah ini menjadi tahapan awal dalam rangka penelitian sejarah. Adapun sumber dan bukti tersebut terutama 1) berasal dari dokumen-dokumen gerejawi, meliputi surat-surat, catatan, akta sinode, memoir, biografi, majalah gerejawi dan terbitan-terbitan yang relevan. 2) Sejarah lisan yang tersimpan dan terekam sebagai penyeimbang sumber dokumen.
C.2.2.2. Kritik sumber Kritik sumber merupakan kegiatan menyeleksi, menilai, mengevaluasi sumber-sumber sejarah untuk menguji apakah sumber tersebut otentik, benar, diperlukan dan relevan dengan penelitian. Dalam tahapan ini ada berbagai pertanyaan tentang sumber sejarah : siapa yang membuat, palsu atau tidak, bagaimana bahasa yang dipakai sesuai dengan jamannya, bagaimana konteksnya dengan permasalahan tersebut. Itulah yang disebut 24
Stephen K. Sanderson, Makro Sosiologi, 2000, hal. VI-VII
16
dengan kritik ekstern. Sedangkan kritik intern adalah kritik teks yang menganalisa dokumen secara langsung untuk menentukan maksud asli dari pembuat dokumen itu. Sekaligus juga kritik interpretasi negatif untuk meverifikasi pernyataan pembuatnya.
C.2.2.3. Interpretasi Setelah mendapatkan hasil dari kritik sumber, selanjutnya akan dihubungkan fakta-fakta dari sumber tersebut untuk mengkaitkan satu sama lain. Proses ini disebut juga sintesa fakta-fakta yang ada.
C.2.2.4. Historiografi atau Konstruksi Tahapan ini merupakan tahapan akhir sebab dalam tahapan ini semua fakta, hasil kritik sumber dan interpretasi digabungkan untuk merekontruksi masa lampau yang ada kaitannya dengan gejala konflik berkenaan dengan sistem Presbiterial-Sinodal dalam kehidupan ber-GKJ.
D.
Sistematika penulisan BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diulas berbagai latarbelakang dalam kehidupan GKJ teristimewa dalam hal kewenangan Sinode. Dari berbagai latarbelakang yang ada kemudian dirumuskan masalah yang sedang dihadapi oleh GKJ dalam hal Presbiterial-Sinodal yang akan menjadi fokus penelitian. Dari sinilah kemudian ditampilkan juga judul tesis dan metodologi penulisan serta sistematika penulisannya. Diharapkan lewat bab ini akan memperjelas gambaran yang akan dibuat dan juga cara menggambarkan.
17
BAB II : GAMBARAN UMUM KEPEMIMPINAN DI GKJ Dalam bab ini akan direkontruksi kembali kepemimpinan di dalam kehidupan GKJ yang ada sejak ‘bibit awal GKJ’ sampai saat ini. Nampak sekali kepemimpinan dalam GKJ terjadi tarik ulur dalam sejarah kepemimpinan. Pemimpin Kristen Jawa atau Gereja Jawa tidak terlepas dari baying-bayang ‘induknya’di Belanda. Demikian juga akan diulas berbagai latarbelakang yang memperngaruhi kepemimpinan GKJ, misalnya: latarbelakang kegerejaan, politik Hindia Belanda dan kejawaan. Lewat pemaparan secara sosial-historis diharapkan ada gambaran latarbelakang kepemimpinan GKJ, dan pergulatan yang ada dalam kepemimpinan Jawa di GKJ.
BAB
III : DINAMIKA SISTEM PRESBITERIAL-SINODAL TERHADAP
KEWENANGAN SINODE Dalam bab ini akan dipaparkan secara mendalam dinamika sistem PresbiterialSinode dalam kurun waktu 1931-2002. Kurun waktu ini agak berbeda dengan kurun waktu Tata Gereja 1932-1998. Keberadaan Tata Gereja dan berbagai latarbelakang dalam kehidupan GKJ turut mewarnai adanya kedinamisan dalam sistem Presbiterial-Sinodal. Dari sinilah akan nampak sekali adanya ‘tarik ulur’ kedudukan Sinode dalam GKJ, baik fungsi dan kewenangannya. Dalam sejarah sosial ‘tarik ulur’ ini sebagai hal yang wajar dan sekaligus menunjukkan suatu kehidupan dalam berorganisasi. Setiap kedinamisan yang ada tentu saja akan menimbulkan segi yang menguntungkan dan sebaliknya merugikan. Dalam hal inilah adanya berbagai pergesekan yang dapat memicu konflik.
18
BAB IV : TINJAUAN KRITIS DAN RELEKSI TEOLOGIS TERHADAP KEWENANGAN SINODE GKJ Bab ini akan mengkritisi keberadaan Sinode 1931-2002 yang memiliki kecenderungan menampakkan Presbiterialnya, Sinodalnya bahkan juga sikap Independentisme. Akan dicari faktor-faktor yang menyebabkan penekanan tersebut yang sekaligus juga akan dikaitkan dengan historis dan kultur yang berkembang pada saat itu. Tidak lupa akan dipelajari sejauh mana akibat yang ditimbulkan oleh adanya perubahan berbagai penekanan tadi. Selain itu juga dipaparkan refleksi teologis yang ada terhadap pemahaman kewenangan Sinode dan Gereja setempat. Lewat refleksi inilah sesuatu yang diidealkan dalam Alkitab akan menjadi batu penjuru bagi pemahaman makna kewenangan.
BAB V : PENUTUP Bab ini berisikan berbagai kesimpulan keberadaan kewenangan Sinode dari kurun waktu 1931-2002 baik secara umur ataupun dalam kurun waktu tertentu. Setelah kesimpulan kemudian dilanjutkan saran bagi kehidupan Gereja-gereja dalam lingkup GKJ dalam kerangka penataan organisasi dan kepemimpinan Gerejawi. Terlebih GKJ dalam kerangka menghadapi era demokratisasi.
19