1
BAB I PENDAHULUAN
1.
Permasalahan
1.1. Latar Belakang Fakta-fakta sosial yang belakangan ini terjadi dalam kehidupan bermasyarakat adalah permasalahan yang terkait anak, dimana dalam kehidupan sosial yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut kita dihadapkan lagi dengan permasalahan penanganan anak yang diduga melakukan tindak pidana. Anak adalah merupakan tumpuan harapan masa depan bangsa, Negara, masyarakat, ataupun keluarga, oleh karena kondisinya sebagai anak, maka diperlukan perlakuan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik mental dan rohaninya.1 Bertolak dari hal tersebut, pada hakekatnya pengaturan mengenai anak telah diatur secara tegas dalam konstitusi Indonesia yaitu berkaitan dengan pengaturan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Pasal 28B angka 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai hak tumbuh kembang anak serta mendapatkan perlindungan. Peraturan perundang-undangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan hak terhadap anak antara lain : Undang-undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
1
Darwan Prinst 1997, Hukum Anak Indonesia (Selanjutnya disebut dengan Darwan Prinst I), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 98
2
Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana secara substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial.
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang. 2 Masa kanak-kanak merupakan periode penaburan benih, pendirian tiang pancang, pembuatan pondasi, yang dapat disebut juga sebagai periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar mereka kelak memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan3. Tindak pidana yang dilakukan anak selalu menuai kritikan terhadap para penegak hukum yang oleh banyak kalangan dinilai tidak mengindahkan tata cara penanganan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum, dan ada kesan kerap kali 2
Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Serial Online September 16, 2009, availaible from : URL: http: Keadilan-Restoratif-Dan-Pemenuhan-Hak-Asasi-Bagi-Anak-Yang-Berhadapan-Dengan-Hukum.com, hal. 1 3
Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal. 1.
3
mereka diperlakukan sebagai orang dewasa dalam “bentuk kecil” yang melakukan tindak pidana. Menurut Romli Atmasasmita dan Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak : 1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah : a. Faktor intelegentia b. Faktor usia c. Faktor kelamin d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga. 2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah : a. Faktor rumah tangga b. Faktor pendidikan dan sekolah c. Faktor pergaulan anak d. Faktor mass media.4
Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak untuk melakukan kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka terpaksa berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan pidana. Pertengahan Juni 2009, secara serentak beberapa stasiun televisi swasta nasional menayangkan dua kasus kriminalitas dengan pelaku anak-anak. Usia mereka 12 tahun–15 tahun dari latar belakang keluarga sederhana. Satu kasus pencurian terjadi di wilayah Depok dan yang lain adalah kasus perjudian di wilayah Tangerang. Anak-anak tersebut sangat tertekan di dalam tahanan, mereka menangis minta segera pulang dan ada pula yang hanya menundukkan kepala dengan lesu. Beberapa diantara mereka ada yang mengalami kekerasan selama penyidikan.
4
Soetodjo, Wagiati, 2006, Hukum Pidana Anak, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 17
4
Kasus Tangerang dan Depok merupakan gambaran kondisi anak-anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia. Berdasarkan hasil beberapa kali pengamatan di Pengadilan Negeri Solo terdapat beberapa anak yang dihadapkan ke persidangan. Salah satunya anak berinisial BT berumur 15 tahun karena mencuri sandal atau juga DSW yang berumur 14 tahun yang disidang karena melakukan pemerasan terhadap teman sekolahnya. Kasus-kasus tersebut keduanya harus mengenyam udara di Rumah Tahanan (Rutan) Solo beberapa bulan.5 Salah satu daerah yang berkembang di Indonesia adalah daerah Bali, dimana Bali sebagai salah satu wilayah Indonesia yang merupakan salah satu daerah pariwisata dan memiliki jumlah penduduk yang cukup padat serta keadaan sosialnya yang berkembang pesat baik dari keadaan penduduknya baik secara kuantitas ataupun kualitas sumber daya manusianya, dimana dalam hal ini daerah Bali saat ini terdapat beberapa kasus yang terkait dengan anak seperti dari data yang diperoleh dari Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Bali Tahun 2010 yaitu : 1) Kabupaten Buleleng : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak sejumlah 30 orang, dimana diantaranya melakukan tindak pidana pelecehan seksual sebanyak 15 orang, tindak pidana pencurian sebanyak 8 orang dan tindak pidana lainnya sebanyak 7 orang. 2) Kota Denpasar : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak sejumlah 13 orang, dimana diantaranya melakukan tindak pidana 5
Dian Sasmita, Anak-anak Dibalik Terali Besi, Serial Online Maret 22, 2011, availaible from : URL: http: Anak-anak-Dibalik-Terali.com, hal. 1
5
pelecehan seksual sebanyak 4 orang, tindak pidana pencurian sebanyak 9 orang. 3) Kabupaten karangasem : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak sejumlah 1 orang, dimana diantaranya adalah melakukan tindak pidana pencurian. 4) Kabupaten Jembrana : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak sejumlah 6 orang, dimana diantaranya melakukan tindak pidana pelecehan seksual sebanyak 1 orang, tindak pidana pencurian sebanyak 5 orang. 5) Kabupaten klungkung : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak sejumlah 2 orang, dimana diantaranya melakukan tindak pidana pelecehan seksual sebanyak 2 orang. 6) Kabupaten : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak sejumlah 1 orang, dimana anak tersebut melakukan tindak pidana pencurian.6 Berdasarkan dengan data penunjang diatas diketahui bahwa banyak kuantitas anak yang bermasalah dengan hukum yang harus menjalani proses peradilan pidana. Di usianya yang masih sangat muda, mereka harus mengalami proses hukum atas perkara pidana yang demikian panjang dan melelahkan, mulai dari tahap penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, persidangan oleh hakim dan pelaksanaan putusan
6
Sumber : Lembaga Perlindungan Anak Prov.Bali
6
hakim. Sejak tahap penyidikan, aparat hukum telah diberi kewenangan oleh UU untuk melakukan penahanan. Situasi dalam tahanan memberikan beban mental berlipat bagi si anak, ditambah lagi tekanan psikologis yang harus dihadapi mereka yang duduk dalam persidangan sebagai pesakitan. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh-kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan.7 Anak yang berhadapan dengan hukum akan sangat terkait dengan aturan hukum yang mengaturnya, dimana pada awalnya aturan yang berlaku di Indonesia saat ini tidak dapat terlepas dari instrumen internasional (Konvensi Internasional) yaitu terkait dengan pemenuhan hak-hak anak sendiri.Konvensi Hak-hak Anak yang disahkan pada tanggal 20 November 1989 dan tercantum dalam Resolusi PBB No.44/25 (Convention On The Rights Of The Child) yang oleh Pemerintah Republik Indonesia disahkan dengan Surat Keputusan Presiden No.36 Tahun 1990 tersebut memiliki makna yang sangat besar dalam konteks perlindungan anak termasuk pula terhadap anak yang bermasalah dengan hukum. Setelah dilakukannya ratifikasi atas Konvensi Hak-Hak Anak oleh Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, maka secara hukum menimbulkan kewajiban kepada Indonesia (negara peserta) untuk mengimplementasikan hak-hak anak tersebut 7
M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, 1995, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 1, dikutip dari UNICEF, Situasi Anak di Dunia 1995, Jakarta, hal. 1.
7
dengan menyerapnya ke dalam hukum nasional, dimana dalam hal ini tertuang dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan secara umum bahwa suatu upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif termasuk pula terkait dengan anak yang berhadapan dengan hukum sebagai akibat anak yang bermasalah dengan hukum, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut : a. nondiskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dapat dikemukakan merupakan perwujudan atau penampungan dari kaidah hukum Konvensi Hak Anak mengnai peradilan khusus untuk anak-anak yang bermasalah dengan hukum (children in conflict with law).8 Konvensi Hak Anak, ada 3 instrumen internasional yang
8
M. Joni & Zulchaina, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.74
8
dianggap penting tentang perlindungan anak yang bermasalah dalam hukum yaitu : 1. The United Nation Guidelines For The Prevention of Juvinile Deliquency (The Riyadh Guidelines) 2. The United Nation Standard Minimum Rules For The Administration Of Juvinile Justice (The Beijing Rules) 3. The United Nation Rules For The Protection Of Juvinile Dep Rived For Liberty Keseluruhan instrumen internasional tersebut tidak lepas dari tujuan utama dan pemikiran dari peradilan anak untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.9 Menurut yuridis perhatian pemerintah terhadap anak juga sudah terwujud sejak lama dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak sampai dengan keluarnya Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1997 tentan Pengadilan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini diatur tentang hukum pidana anak yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Undangundang ini mengatur pula tentang perlindungan hak-hak anak yang menjadi tersangka dalam tindak pidana karena peradilan pidana untuk anak bukanlah semata sebagai penghukum tetapi untuk perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak serta mencegah pengulangan tindakan dengan menggunakan pengadilan yang konstruktif. Negara-negara di dunia mencari alternatif tentang penyelesaian terbaik
9
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Penerbit Alumni Bandung, hal.111
9
mengenai cara penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yaitu sebagai pelaku tindak pidana, selain itu diupayakan pula adanya suatu pengaturan Internasional yang mengatur pelaksanaan peradilan anak serta menjadi standar perlakukan terhadap anak yang berada dalam sistem peradilan pidana seperti diantaranya adalah The Beijing Rules yang biasa digunakan sebagai standar minimum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengenai administrasi peradilan anak. Hak-hak anak didalam penyidikan wajar mendapat perhatian khusus demi peningkatan pembinaan dan mengembangkannya serta kesejahteran anak. Di dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 dengan jelas telah mengatur tentang penyidikan terhadap anak yang belum secara khusus diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana namun ada dugaan bahwa di lapangan jalanya proses penyidikan terhadap tersangka anak masih jauh dari harapan, dimana penyidik seringkali mengabaikan aturan yang ada dalam undang-undang atau dengan kata lain dalam penyidikan tersangka anak masih jauh dari yang diharapkan dalam aturan UndangUndang No. 3 Tahun 1997, misalnya di dalam pelaksanaan Pasal 42 ayat 2 yang bunyinya : ”Dalam melakukan penyidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau pertugas kemasyarakatan lainnya”. Beberapa tanggapan yang mengatakan banyak penyidik yang tidak memberikan perhatian secara khusus terhadap tersangka anak dalam peristiwaperistiwa itu menunjukkan hukum masih belum berpihak pada anak-anak padahal
10
sebagai subyek hukum anak-anak mestinya mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama dengan orang dewasa bahkan seharusnya anak-anak juga berhak mendapatkan bantuan penasehat hukum/pengacara. Sejak jaman dulu dalam praktik penyidikan terhadap anak-anak juga sering menjadi korban penekanan dan perlakuan kekerasan agar anak memberikan pengakuan sesuai yang dikehendaki para penyidik, anak-anak seringkali tidak mendapatkan perlindungan hukum karena terampas oleh praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh penyidik. Proses penanganan dimana dalam hal ini terkait dengan menangani permasalahan anak yang bermasalah dengan hukum terdapat permasalahan penegak hukum tidak sertamerta menyalahkan dan memberi cap atau stigma negatif pada anak yang melakukan pelaku pidana. Indonesia telah memiliki peraturan-peraturan mengenai prosedur penuntutan dalam peradilan anak. Polisi dalam suatu sistem peradilan pidana adalah awal dari proses tersebut di banyak Negara. Polisi mempunyai suatu otoritas legal yang disebut sebagai diskresi, dimana dengan otoritas tersebut polisi berhak meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Kemungkinan polisi melakukan atau menggunakan otoritas diskresi ini sangat besar. Beberapa negara melalui otoritas diskresi, setelah melalui pemeriksaan awal Polisi dapat menentukan bentuk pengalihan (diversi) terhadap suatu perkara anak. Diskresi adalah kewenangan yang dimiliki polisi untuk menghentikan penyidikan perkara dengan membebaskan tersangka anak, ataupun melakukan pengalihan (diversi) dengan tujuan agar anak terhindar dari proses hukum lebih lanjut. Diversi dapat dikatakan sebagai pengalihan tanpa syarat kasus-kasus anak
11
(yang diduga melakukan tindak pidana) dari proses formal. Program ini bertujuan menghindari anak mengikuti proses peradilan yang dapat menimbulkan label/cap/ stigma sebagai penjahat, namun hal ini belum diatur secara tegas dalam suatu aturan atau norma terkait dengan penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sehingga hal ini akan terkait kental dengan kapasitas dan kompetensi dari penyidik dan penuntut umum dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum. Bertitik tolak dari pemaparan diatas, maka diperlukan adanya suatu pemahaman baru yang dapat menjadi jalan keluar bagi masalah delinkuensi anak Indonesia, dimana seharusnya aparat penegak hukum lebih bijak dalam memahami dan memaknai kasus-kasus anak nakal, tidak semua tindak pidana menurut ketentuan perundang-undangan (KUHP) serta aturan yang khusus mengkaji mengenai kejahatan yang dilakukan oleh anak bisa serta merta diterapkan kepada seorang anak sesuai dengan instrumen internasional yang tetap harus dipegang untuk implementasinya disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Keadaan yang terjadi saat ini telah berkembang seiring dengan konsep berpikir manusia yang berkembang sehingga apabila seorang anak melakukan tindak pidana dalam hal proses yang diberlakukan terhadap seorang anak hendaknya lebih menekankan sarana non-penal yang dapat diambil namun haruslah tetap berorientasi dengan koridor hukum yang berlaku sehingga sarana non-penal dapat diterapkan pada kasus-kasus tertentu dengan syarat tertentu pula serta adanya peningkatan sumber daya manusia dari aparatur penegak hukum sehingga proses penangan anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan instrumen internasional dan hukum positif
12
di Indonesia demi masa depan anak yang lebih baik. Bertolak dari pemaparan tersebut diperlukan adanya suatu perumusan kebijakan khususnya dalam hukum pidana anak untuk menangani anak yang bermasalah dengan hukum di Indonesia. Dasar pemikiran dari penyusunan tesis ini adalah Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak hanya mengatur tata cara penanganan anak yang berhadapan dengan hukum yang notebene didalam penegakan hukumnya (proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum) masih terdapat norma yang kabur (multitafsir) dalam penanganan kejahatan anak belum jelas diatur mengenai dasar legalitas yang dipakai penyidik untuk melakukan tindakan lain seperti mengembalikan anak kepada orang tua atau wali ataupun menyerahkan anak kepada Departemen sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum yaitu dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak seperti : Pasal 5 (2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. (3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal diatas diatur dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 khususnya tentang legalitas apa yang dipakai penyidik untuk melakukan tindakan lain seperti mengembalikan anak kepada orang tua atau wali ataupun menyerahkan anak kepada Departemen sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum yang dalam
13
normanya belum dijelaskan secara tegas dan eksplisit sehingga menimbulkan keadaan suatu norma yang bersifat kabur (Leemten van Normen) . Penelitian tesis ini juga mengedepankan mengenai belum terdapat pengaturan yang kongkrit dan jelas (Norma Kosong) terkait dengan belum diaturnya norma khusus atau dituangkannya dalam satu Pasal khusus tentang diversi secara kongkrit dan jelas didalam aturan posistif di Indonesia khususnya dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak sehingga sesuai dengan Instrumen Internasional sehingga sangat diperlukan pembentukan hukum pada masa mendatang, oleh sebab itu pemerintah perlu menciptakan peraturan–peraturan yang akurat untuk mengantisipasi masalah tersebut melalui pembaruan dari hukum pidana yang telah ada saat ini. Bertitik tolak bahwa pembaruan hukum pidana pada hakikatnya berorientasi pada kebijakan (”policy-oriented”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai
(”value-oriented approach”). Pembaruan hukum pidana harus dilakukan
dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau ”policy” yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berdasarkan pemaparan diatas memili keinginan untuk menulis tesis dengan judul ” PEMBARUAN HUKUM PIDANA DALAM PROSES PENANGANAN ANAK YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM (DIKAJI DARI PERSPEKTIF PERADILAN PIDANA)”
14
1.2. Rumusan Masalah. Berdasarkan pada uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum dalam peradilan pidana ? 2. Bagaimanakah pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum di Indonesia dikaji dari perspektif Ius Constituendum ?
1.3. Ruang lingkup masalah Bertitik tolak dari rumusan masalah diatas maka dalam rangka untuk mendapatkan hasil pembahasan sedemikian sistematis, metodelogis serta tidak keluar dari permasalahan yang dikemukakan maka perlu adanya pembahasan-pembahasan yang dibatasi dengan ruang lingkup tertentu yang terurai dalam bab per bab yaitu: pembahasan permasalahan pertama dan pembahasan permasalahan kedua. Ruang lingkup dalam pembahasan pertama akan dibahas tentang proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum dalam peradilan pidana, kemudian akan dibahas mengenai pembahasan selanjutnya yaitu berkaitan dengan pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum di Indonesia dikaji dari perspektif Ius Constituendum.
15
1.4. Tujuan Penulisan Suatu penulisan yang bersifat ilmiah biasanya mempunyai suatu tujuan tertentu, demikian pula dalam penulisan tesis ini juga mempunyai tujuan, yaitu : 1.4.1 Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum terkait dengan paradigma science as a prosses ( ilmu sebagai proses ). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam penggaliannya atas kebenaran. 10 Adapun tujuan umum penulisan tesis ini adalah pengembangan konsep, asas, doktrin, dan teori hukum pidana khususnya dalam pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan bermasalah dengan hukum di Indonesia dikaji dari perspektif Ius Constituendum. 1.4.2. Tujuan khusus Adapun tujuan khusus penulisan tesis ini adalah : 1. Untuk mendeskripsi dan menganalisis secara mendalam mengenai proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum dalam peradilan pidana 2. Untuk mendeskripsi dan menganalisis secara mendalam mengenai pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum di Indonesia dikaji dari perspektif Ius Constituendum.
10
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud; 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana UNUD , hal. 25
16
1.5. Manfaat Penulisan Adapun manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya penulisan tesis ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1.5.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritik dalam pengembangan teori, konsep, asas hukum pidana khususnya bidang hukum anak khususnya bagi anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. 1.5.2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu untuk menambah pengetahuan mengenai sitem peradilan pidana khususnya proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum dalam peradilan pidana serta merumuskan pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum di Indonesia dikaji dari perspektif Ius Constituendum.
1.6. Orisinalitas Penelitian Kebijakan pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum memang kajian yang menarik untuk dibahas dalam dunia akademis, dimana dalam kajian ini bukan hanya membahas mengenai proses pidana anak yang ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana di Indonesia tetapi
17
membahas pula kebijakan apa yang patut untuk diterapkan dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum. Kebanyakan dalam dunia akademis apabila anak melakukan tindak pidana maka sarana penallah yang mutlak diberlakukan seperti yang telah diterangkan dalam beberapa tulisan antara lain : Pertama, penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Udayana atas nama Gusti Ayu Kade Komalasari dengan judul ”Sistem Pemidanaan Terhadap Anak Menurut Hukum Positif Indonesia” dimana rumusan masalahnya meliputi : 1. bagaimanakah sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum positif di Indonesia (Ius Constitutum)? , 2. apakah sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum positif di Indonesia telah sesuai dengan Konvensi Internasional? , 3. bagaimanakah sebaiknya sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum Indonesia dimasa mendatang (ius constituendum)?. Penelitian Tesis ini pada dasarnya berorientasi pada ”pemidanaan terhadap anak” dengan rumusan masalah yang mengkaji pemidanaan semata terhadap anak sehingga dari rumusan masalahnya adalah mengkaji mengenai aturan positif di Indonesia serta Konvensi Internasional, dengan hal tersebut penelitian ini mencoba untuk menentukan bagaimana sebaiknya sistem pemidanaan terhadap anak dimasa akan datang sesuai dengan hukum yang dicita-citakan, dimana pemidanaan adalah muara terakhir dari suatu adanya pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan adalah suatu proses penjatuhan pidana terhadap seseorang (terhadap tindak pidana anak, pemidaaan dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan).
18
Kedua, penulis menemukan penelitian tesis di Universitas Udayana atas nama I Wayan Yasa Abadhi dengan judul ”Kebijakan Legislatif Tentang Pidana Dan Pemindanaan Dalam Undang –Undang No. 3 Tahun 1997” dimana rumusan masalah meliputi : 1. bagaimanakah perlindungan hukum terhadap hak anak dalam proses peradilan pidana? , 2. bagaimanakah kebijakan tentang pidana dan pemidanaan dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997?. Penelitian Tesis ini pada dasarnya berorientasi pada ”pemidanaan terhadap anak” dengan rumusan masalah yang mengkaji pemidanaan semata terhadap anak serta memaparkan kebijakan tentang pidana dan pemidanaan yang tertuang dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sehingga dalam penelitian ini memaparkan bahwa anak yang bermasalah dengan hukum adalah objek dari hukum yang wajib untuk dipidana apabila telah secara hukum memenuhi unsur-unsur dari kejahatan yang disangkakan kepada anak tersebut. Ketiga, penulis menemukan penelitian tesis di Universitas Diponegoro atas nama Novie Amalia Nugraheni dengan judul ”Sistem Pemindanaan Edukatif Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana” dimana rumusan masalah meliputi : 1. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia saat ini ?, 2. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif ke depan yang tepat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana ?. Penelitian Tesis ini pada dasarnya berorientasi pada pemidanaan terhadap anak yang bersifat lebih edukatif dengan rumusan masalah yang mengkaji pemidanaan semata terhadap anak yang bermasalah dengan hukum, namun dalam penelitian ini lebih mengkai bagaimanakah
19
pemidanaan yang seharusnya diterapkan kepada anak sehingga pemidanaan tersebut lebih bersifat edukatif terhadap perkembangan anak tersebut. Bertolak dari beberapa penelitian tesis diatas apabila dibandingkan dengan penelitian penulis disini tidak mengkaji mengenai pidana dan pemidanaan terhadap anak melainkan bagimana agar seorang anak sedapat mungkin untuk tidak dipidana dan meskipun dipidana maka merupakan sebuah Ultimum Remidium terhadap seorang anak sehingga penggunaan pemidanaan hendaknya seminimal mungkin dan sehati-hati mungkin untuk diberlakukan sehingga dalam hal ini sarana non-penal diharapkan dapat diterapkan dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum khususnya dalam proses penyidikan di kepolisian, dimana dalam hal ini penulis juga mengkaji mengenai ketidaksesuain antara hukum positif Indonesia dengan Instrumen Internasional tentang Anak (The Beijing Rules) khususnya mengenai hal tidak diserap dan diadopsi masalah tentang norma yang mengatur diversi bagi anak yang bermasalah dengan hukum. Penelitian terdahulu, penekanan terhadap penelitian ini belum pernah mendapat kajian oleh karena itu penelitian penulis lakukan dapat dikemukakan karena masih bersifat orisinil dan layak untuk dijadikan sebagai objek penulisan dalam bentuk tesis.
2. Landasan Teoritis Dan Kerangka Berpikir 2.1. Landasan Teoritis
20
Definisi tentang teori diberikan oleh Snellbecker yang mengartikan teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati, sedangkan Kerlinger mendefinisikan teori sebagai : “A theory is a set of interrelated connstructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena (Sebuah teori adalah satu set saling terikat (konsep), definisi, dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis dari fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena)”.11 Sebuah Undang-undang dapat dikaji dari aspek normatif maupun aspek Empiris, secara garis besar ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law in books dan study law in action. 12 Bertolak dari hal tersebut, untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam, diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep .13
11
Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung ,
hal. 140 12
Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum ,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.196 13
Burhan Ashshofa, 2004, Metoda Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal.19
21
Sebelum seorang peneliti sampai pada usaha penemuan hukum in concreto atau sampai pada usaha menemukan asas dan doktrinnya, atau sampai pula pada usaha menemukan teori-teori tentang law in proses dan law in action, maka mereka harus mengetahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk hukum positif yang tengah berlaku. 14 Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan suatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.15 Menurut Pasal 1 huruf 2 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat dua kategori perilaku anak yang dapat membuat seorang anak berhadapan dengan hukum yakni status offences dan criminal offences. Status offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak termasuk kejahatan atau anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi seorang anak. Misalnya, tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah, sedangkan criminal offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan atau anak yang bermasalah dengan hukum.16
14
Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada , Jakarta, hal. 81 15
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), hal.30 16
Ibid, hal.2
22
Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah yaitu : 1)
Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana;
2)
Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana17
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena: 1) Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum; atau 2) Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau 3) Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.18 Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi menjadi :
17
Ketentuan dalam Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tanggal 15 Desember 2009. Pasal 1 Butir 3 18
Apong Herlina, 2004, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, Unicef, Jakarta, hal. 17
23
1) Pelaku atau tersangka tindak pidana; 2) Korban tindak pidana; 3) Saksi suatu tindak pidana.19
Penulisan tesis ini akan mengkaji mengenai teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas disini terutama hal-hal yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur dengan melihat hal tersebut untuk menentukan kebijakan pidana yang akan diterapkan dimasa yang akan datang. Berdasarkan konsep umum tersebut untuk mengkajinya penulis menggunakan beberapa teori yang dapat digunakan untuk mengkajinya yaitu : 1. Politik kriminal (Criminal Politiek ) Politik kriminal dalam hal ini merupakan kebijakan-kebijakan atau usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan, dimana dalam hal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy), Semuanya merupakan bagian dari politik sosial (social policy) yaitu usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal yaitu : a) Dalam arti sempit yaitu keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana
19
Ibid
24
b) Dalam arti luas yaitu merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. c) Dalam
arti paling luas, yaitu merupakan keseluruhan kebijakan, yang
dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.20 2. Kebijakan hukum pidana (Penal Policy). Penal Policy dikatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Objek dari hukum pidana bukan hanya meliputi perbuatan dari suatu masyarakat dalam konteks secara umum tetapi hukum pidana juga memeliki sasaran kepada para penguasa. Menurut Peters, pernah menyatakan pembatasan dan pengawasan/ pengendalian kekuasaan negara merupakan dimensi yuridis yang sesungguhnya dari hukum pidana; tugas yuridis dari hukum pidana bukanlah ’’mengatur masyarakat’’ , tetapi "mengatur penguasa" yaitu :"the limitation of, and control over, the powers of the State constitute the real yuridical dimension of criminal law :The Juridical task of criminal law is not policing society but policing the police"( pembatasan, dan kontrol atas, kekuasaan Negara merupakan dimensi
20
Sudarto. 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto II), hal. 114
25
yuridical nyata dari hukum pidana: Tugas Yuridis hukum pidana tidak kebijakan masyarakat tetapi kepolisian polisi).21 Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu : a. Tahap
kebijakan
legislatif
(formulatif)
yaitu
menetapkan
atau
merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang. b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.22 Pada tahap kebijakan legislatif merupakan muara dari kebijakan hukum pidana itu sendiri dimana dalam hal ini akan berorientasi kepada pelaksanaan hukum pidana itu sendiri dimana dalam hal ini akan sangat terkait dengan ditetapkan sistem pemidanaan, maka pada hakekatnya sistem pemidanaan itu merupakan sistem kewenangan/ kekuasaan menjatuhkan pidana. Pidana tidak hanya dapat dilihat dalam arti sempit/ formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti luas/ material.
21
G.P. Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, KIuwer-Deventer, Holland, Hal.
139. 22
Barda Nawawi Arief, 1998 Beberapa Aspek Kebiiakan Penegakan dan Penqembanqan Hukum Pidana (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I)PL Citra Aditya Bakti Bandung, , hal.30
26
Bertolak dari hal tersebut dalam konteks arti sempit atau formal, penjatuhan pidana ini berarti kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang, sedangkan dalam arti luas atau material, penjatuhan pidana merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana, jadi dalam hal ini merupakan keseluruhan proses dari sistem peradilan pidana itu sendiri, hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral, dimana keseluruhan proses penegakan hukum itupun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Perumusan tujuan politik kriminal yang demikian itu pernah pula dinyatakan dalam salah satu laporan Kursus Latihan ke -34 yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973 sebagai berikut: Most of group members agreed some dicussion that "protection of the society" could be accepted as the final goal of criminal policy, Although not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by terms like "happiness of citizens", "a wholesome and cultural living", "social welfare" or equality (Sebagian besar anggota kelompok setuju beberapa
27
dicussion bahwa "perlindungan masyarakat" dapat diterima sebagai tujuan akhir dari kebijakan kriminal, Meskipun bukan tujuan utama masyarakat, yang mungkin bisa digambarkan dengan istilah seperti "kebahagiaan warga", "sebuah sehat dan hidup budaya "," kesejahteraan sosial "atau kesetaraan)".23
Terkait dengan hal tersebut dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan dalam konteks upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Pelaksanaan dalam orientasi politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Politik hukum menurut Sudarto adalah: 1. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung di dalam masyarakat dan apa yang dicita-citakan. 2. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik, sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.24
Bertolak dari hal tersebut sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan
23
Summary report, 1974, Resource Material Series No.7, UNAFEI, Hal. 95
24
M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, hal. 19
28
merumuskan suatu perundang-undangan yang baik dalam arti memenuhi syarat kepastian hukum, keadilan dan daya guna yang akan mencapai tujuan dari aturan tersebut. Menurut A. Mulder, politik hukum pidana (Strafrechtpolitiek) ialah garis untuk menentukan : 1. Seberapa jauh
ketentuan-ketentuan
pidana yang
berlaku
perlu
diubah atau diperbaharui. 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. 3. Cara
bagaimana
penyidikan,
penuntutan,
peradilan,
dan
pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.25
Penggunaan hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan, hal ini terlihat dari praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak dipersoalkan. Persoalan sekarang adalah garis-garis kebijakan
atau
pendekatan
yang
bagaimanakah
sebaiknya
ditempuh dalam menggunakan hukum pidana.
25
Barda Nawawi Arief, 1992, Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana Pasca Sariana Universitas Indonesia (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II). Jakarta, hal. 7.
29
Menurut Herbert L. Packer, sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman. Selanjutnya Packer menyatakan bahwa : 1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana (The criminal sanction is indispenable; we could not, now or in the foreseeable future get along, without it). 2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki utk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta utk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya (The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross & immediate harms and threats from harms). 3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa ( The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used provedently and humanely, it i s Guarantor; used indiscriminately and, it is coercively threatene r).26 Packer berpendapat bahwa dalam konteks frasa sembarangan dan secara paksa yang dikatakan oleh Packer dalam hukum pidana ditujukan kepada dua hal, yaitu tentang norma hukum apa yang dilanggar (hukum pidana materiel) dan bagaimana cara menegakkan hukum terhadap tindakan tersebut (hukum pidana formil) sehingga dalam menggunakan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan harus dilakukan dengan hati-hati, karena bukan tidak mungkin
26
Herbert L. Packer, 1967,The Limits of The Criminal Sanction, Stanford California University Press, hal. 344
30
penggunaan sanksi pidana itu akan menjadi semacam "bumerang" bagi tujuan pemidanaan itu sendiri. 3. Teori Pemidanaan Terkait dengan apa yang akan dikaji dalam tesis ini penulis juga menekankan sarana penal yang telah diberlakukan di Indonesia saat ini yaitu pada penerapan sanksi yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi di dalam penegakan hukum. Penerapan sanksi pidana dari Undang-undang RI NO. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dimana apabila kita lihat maka terdapat beberapa teori yang dapat digunakan sebagai landasan dalam penerapan sanksi pidana yakni terdapat 3 ( tiga ) teori : 1. Teori Imbalan (absolute/vergeldingstheorie) 2. Teori Maksud atau Tujuan (relative/doeltheorie) 3. Teori Gabungan (verenigingstheorie) Bertolak dari hal tersebut maka masing-masing teori ini memberi alasan atau dasar penjatuhan pidana yang berbeda-beda. 1. Teori Imbalan (absolute/vergeldingstheorie) Menurut teori ini dasar dari pemberian hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri. Dimana karena kejahatan itu telah member dan menimbulkan penderitaan dari orang lain maka sebagai imbalannya (vergelding) maka si pelaku juga harus diberi penderitaan. Para pakar penganut teori ini, antara lain: a. Immanuel kant Immanuel kant berpendapat bahwa dasar hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri, yang telah menimbulkan penderitaan bagi
31
orang lain, sedangkan hukuman itu merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan. b. Hegel Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa hukum adalah suatu kenyataan kemerdekaan. Maka dari pada itu kejahatan merupakan tantangan terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi imbalan sehingga hukuman merupakan vergelding. c. Herbart Menurut pakar ini, kejahatan menimbulkan perasaan tidak enak pada orang lain. Untuk melenyapkan perasaan tidak enak itu, pelaku kejahatan harus diberi hukuman sehingga masyarakat merasa puas. d. Stahl Hukuman adalah sesuatu yang diciptakan oleh tuhan. Karena kejahatan itu merupakan pelanggaran terhadap perikeadilan tuhan, untuk menindaknya Negara diberi kekuasaan sehingga dapat melenyapkan atau memberi penderitaan bagi pelaku kejahatan. 2. Teori Maksud atau Tujuan (relative/doeltheorie) Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu. Dimana dalam teori ini tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan. Dimana terdapat perbedaan dalam prevensi yakni: a. Prevensi umum (algemene preventive) hal ini dapat dilakukan dengan ancaman hukuman, penjatuhan hukuman, dan pelaksanaan hukuman. b.
Spesial prevensi, yakni yang ditujukan kepada orang yang melakukan kejahatan itu.
3. Teori Gabungan Pada dasarnya teori gabungan ini adalah gabungan antara teori imbalan dan teori maksud dan tujuan. Dimana apabila digabungkan maka pengertian teori gabungan ini adalah mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan untuk memperbaiki pribadi si penjahat.27 27
, hal. 105
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta
32
Bertolak dari hal tersebut diatas, dalam hal ini akan terkait pula dengan aliran utilitarianism yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Bentham. Pandangan ini terutama menentukan suatu pemikiran yang memiliki tujuan berdasarkan manfaat tertentu ( teori manfaat atau teori tujuan ) dan bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat.28 Jeremy Bentham pula yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mencapai “the greatest happiness for the greatest number of people (kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar orang)”. Hal ini berarti bahwa manfaat yang yang menjadi orientasi dari penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak dibawah umur. Hukum pidana modern menyatakan bahwa pemidanaan yang diterima oleh seorang anak yang melakukan perbuatan itu tidak hanya berupa pidana, akan tetapi juga tindakan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatanperbuatan yang merugikannya yang sering disebut dengan double track system, namun dilihat dari latar belakang kemunculan dapat disimpulkan bahwa ide dasar sistem tersebut adalah kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan.29 Hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, yaitu usaha yang rasional dalam menanggulangi kejahatan, sebab disamping penanggulangan dengan
28
Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, Jakarta hal 128 29
Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT.Raja Grafindo, Jakarta, hal 24
33
menggunakan pidana, masih ada cara lain untuk melindungi masyarakat dari kejahatan.30 4. Sistem Peradilan Pidana Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah “sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan”.31 Berkenaan dengan istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system tidak terpisah dari istilah sistem yang digambarkan oleh Davies et.al sebagai “the word system conveys an impression of a complec to end”artinya bahwa kata system menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang komplek lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir, oleh karena itu dalam mewujudkan tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.32 Keempat komponen tersebut harus bekerja sama secara terpadu (Integrated Criminal Justice Administration). Berproses secara terpadu artinya bahwa keempat sub sistem ini bekerja sama berhubungan walaupun masing-masing berdiri sendiri. Polisi selaku penyidik melakukan penyidikan termasuk penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan oleh penyidik.
30
Sudarto, 1977, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto I) hal.101 31
Mardjono Reksodiputro, 1997, Kriminlogi dan Sistem Peradilan Pidana, (Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia), Jakarta, hal. 84 32
Ibid, hal.14
34
Hakim atas dasar dakwaan penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pendapat W.La Patra menyatakan bahwa “I do believe that a criminal justice system does exist, but that it function very poorly. The criminal justice system is a loosely connected, nonharmonious, group of social entities”.33 Menurut La patra disini menyatakan bahwa ketika para sub sistem ( komponen Sistem Peradilan Pidana) tidak menjalankan fungsi secara individu maka sistem peradilan pidana adalah merupakan sistem, hal ini berbeda dengan kenyataannya yaitu komponenkomponen sistem peradilan pidana berfungsi secara individu yang menyebabkan sistem peradilan pidana bukanlah sistem. Ketika fungsi akan sistem peradilan pidana yang sepatutnya di simpangi dengan fungsi individu maka dalam hal ini sistem peradilan pidana akan kehilangan koneksi, sehingga menimbulkan ketidakharmonian dalam masyarakat. 5. Teori Hukum Progresif Teori ini merupakan teori yang dicanangkan oleh Satjipto Rahardjo. Mengutip pendapat Satjipto Rahardjo, terdapat 2 macam tipe penegakan hukum progresif : 1. Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif;
33
W.La Patra, 1978, Analyzing of Criminal Justice System,Lexington Books, hal.99
35
2. Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan serta teoritisi hukum Indonesia.34
Menurut Satjipto penafsiran hukum progresif dibutuhkan untuk kembali memanusiakan aturan hukum yang sangat kaku, cara itu berguna agar hukum mampu mencapai kehendak tertinggi dari keinginan manusia di dunia yaitu kebahagian. Hukum berfungsi mencapat harapan-harapan tersebut, menurut Satjipto hendaknya hukum bisa memberikan kebahagian kepada rakyat dan bangsanya.35 Munculnya Hukum progresif adalah untuk menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya. “Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade terakhir, Satjipto Rahardjo menekankan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan manusia”. Mengingatkan bahwa letak persoalan hukum adalah di manusianya. Menurut beliau bahwa pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu : hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas untuk melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu hukum itu bukan
34
Subur Tjahjono, Identifikasi Hukum Progresif Di Indonesia, Serial Online Juli 30, 2011, availaible from : URL: http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-DiIndonesia 35
Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif,, Penerbit Kompas, Jakarta, hal. 10.
36
merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.36 Kepentingan rakyat ( kesejahteraan dan kebahagiaanya) harus menjadi orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum. Melihat pemaparan teori yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo tersebut, apabila dikaitkan dengan pembahsan tesis yang akan dibahas disini terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak maka dalam orientasi tersebut yaitu apabila suatu tatanan hukum khususnya menganai pengadilan anak apabila dikaji dalam kosep fakta yang ada serta dianggap kurang atau tidak memiliki tujuan baik secara universal (internasional) dan nasional maka pada hakekatnya diperlukan suatu pemikiran atau konsep bersifat progresif sehingga penanganan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum khususnya terkait dengan proses peradilan pidana yang dilaluiny sehingga diharapkan sesuai dengan instrumen Internasional dan nasional mengenai konsep perlindungan anak sehingga tidak akan menimbulkan kerugian fisik ataupun mental bagi pelaku anak yang bermasalah dengan hukum. 6. Teori Harmonisasi Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan,
teknik
penyusunan,
perumusan,
pembahasan,
pengesahan,
pengundangan dan penyebarluasan. Di antara rangkaian proses di atas ada proses yang tidak disebutkan secara tegas tetapi mempunyai peran yang sangat penting 36
Benard L.Tanya, Yoan N.Simanjuntak, Markus Y.Hage, Teori Hukum,Cetakan Kedua, C.V. Kita, Surabaya, hal.246
37
yaitu
proses
pengharmonisasian.
Bertolak
dari
hal
tersebut
maka
pengharmonisasian merupakan salah satu rangkaian proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Proses pengharmonisasian dimaksudkan agar tidak terjadi atau mengurangi tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan perumusan suatu norma atau peraturan perundang-undangan maka dalam hal ini norma hukum ditetapkan oleh badan hukum yang berwenang. Pemikiran harmonisasi bermula dari Rudolf Stamler yang mengemukakan bahwa konsep dan prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup “harmonisasi” antara maksud, tujuan dan kepentingan individu dengan maksud, tujuan dan kepentingan masyarakat umum.37 Dengan kata lain, hukum akan tercipta baik apabila terdapat keselarasan antara maksud, tujuan dan kepentingan penguasa (pemerintah) dengan masyarakat. Di sisi lain, Badan Pembina Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham), memberikan pengertian harmonisasi
hukum
sebagai
kegiatan
ilmiah
untuk
menuju
proses
pengharmonisasian (penyelarasan/kesesuaian/keseimbangan) hukum tertulis yang mengacu pada nilai-nilai filosofos, sosiologis, ekonomis dan yuridis.
37
Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL: http://www.legalitas.org
38
2.2 Kerangka Berpikir Berdasarkan perumusan masalah dan landasan teoritis, maka peneliti dapat menyusun suatu kerangka berpikir sebagai pegangan guna untuk menelaah secara akademis permasalahan yang diangkat dalan penelitian tesis ini sebagai berikut :
DELIKUENSI ANAK
KEBIJAKAN KRIMINAL JALUR PENAL
IUS CONSTITUTUM
JALUR NON PENAL
IUS CONSTITUTUM
MELALUI DIVERSI
IUS 3. Metode Penulisan OPERATUM
3. Metode Penelitian 3.1. Jenis Penelitian Dalam membuat suatu karya ilmiah, penggunaan suatu metode mutlak diperlukan. Penggunaan suatu metode bukan hanya mutlak untuk digunakan dalam suatu penelitian maupun penulisan ilmiah, metodelogi juga sebagai pembimbing
39
untuk mengkaji aturan menemukan hasil penelitian atau penulisan ilmiah, dimana dalam penelitian ini terdapatnya norma yang kabur (multitafsir) dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum
belum jelas diatur mengenai
syarat aparat penegak hukum yang berwenang dalam menangani kejahatan anak seperti Kepolisian (Penyidik) dalam Pasal 41 UU No.3 Tahun 1997, Kejaksaan (Penuntut Umum) dalam Pasal 53 UU No.3 Tahun 1997, Hakim dalam Pasal 10 UU No.3 Tahun 1997 tentang syarat yang dianggap berpengalaman dalam menangani kejahatan yang dilakukan anak sehingga dalam hal ini sejauh mana ukuran yang dipakai sebagai syarat pengalaman untuk menangani tentang kejahatan yang dilakukan oleh anak, apakah ukuran waktu ataupun kuantitas kasus yang pernah ditangani oleh para aparat penegak hukum tersebut. Penelitian ini juga mengkaji adanya norma kosong mengenai diversi dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak sehingga dalam hal ini aturan positif Indonesia tidak menuangkan Instrumen Internasional yang telah diratifikasi dalam aturan Positif di Indonesia. Sesuai dengan sifat keilmuan ilmu hukum yang bersifat sui generis sehingga penelitian hukum mempunyai karakter yang khusus. Atas dasar kekhususan sifat tersebut maka penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Terkait
dengan penelitian tesis
yang akan
dibahas
mempergunakan penelitian hukum normatif yang mencakup :
disini
penulis
40
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang mana dalam penyusunan tesis ini yang dipakai adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undangundang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kepres No.36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak, dan konvensi internasional khususnya The United Nation Standard Minimum Rules For The Administration Of Juvinile Justice (The Beijing Rules), serta perjanjian international terkait anak. b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjeiasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.38 3.2. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum Normatif pada umumnya mengenal 7 jenis pendekatan yakni : 1. Pendekatan kasus (The Case Approach) ; 2. Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach); 3. Pendekatan fakta ( The Fact Approach) ; 4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach); 38
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tiniauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, Hal. 13
41
5. Pendekatan Frasa (Word & Prhase Approach) ; 6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach) ; 7. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach).39 Penelitian mengenai kebijakan pembaharuan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum ini dilakukan dengan: a. Statute Approach (Pendekatan perundang-undangan), maksudnya pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari peraturan-peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penelitian ini b. Analitical & Conseptual approach (Pendekatan analisis konsep hukum), maksudnya bahwa dengan pendekatan tersebut dapat dicari pembenaran atas suatu teori atau asas yang yang digunakan dalam penelitian ini. c. Comparative Approach (Pendekatan Perbandingan), maksudnya pendekatan yang dilakukan dengan cara perbandingan. d. Policy-oriented Approach (Pendekatan Kebijakan), maksudnya pendekatan yang dilakukan dengan cara berorientasi pada kebijakan. e.
Value-oriented Approach (Pendekatan Nilai), maksudnya pendekatan yang dilakukan dengan cara berorientasi pada nilai.
39
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud; 2006, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana UNUD, hlm.8
42
3.3. Sumber Bahan Hukum Bahan hukum dibagi tiga yaitu bahan hukum primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum sekunder diperoleh dari literatur atau buku-buku, dan bahan hukum tersier diperoleh dari kamuskamus dalam hal ini kamus hukum.40 Penelitian hukum dengan premis normatif, datanya diawali dengan data skunder yang disebut dengan bahan hukum yang meliputi : 1. Bahan hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari : a. Norma atau kaedah dasar, yaitu Pembukaan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia b. Peraturan Dasar c. Peraturan perundang-undangan d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan seperti hukum adat e. Yurisprudensi 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan Undang – undang, hasil-hasil penelitian atau pendapat pakar hukum
40
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II) hal. 52
43
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus (hukum), ensiklopedi dan lain-lain .41 Pentingnya penelian hukum berdasarkan kaidah perundang-undangan sebagai inti dari penerapan hukum secara praktek hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Buku “Legal Research“ yaitu : “ legal research is an essential component of legal practice. it is the process of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law”42 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan: a. Bahan hukum primer yang meliputi : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kepres No.36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan
Konvensi
Hak-hak
Anak,
dan
konvensi
internasional khususnya The United Nation Standard Minimum Rules For The Administration Of Juvinile Justice (The Beijing Rules), serta perjanjian international terkait anak.
41
42
Amiruddin dan Zaenal Asikin, Op.cit, hal.31
Morris L.Cohen and Kent C.Olson, 2000, legal Research ,West Group, ST.Paul Minn, Printed in the United States of America, Hal.1
44
b. Bahan bahan hukum sekunder yang berupa pendapat para pakar hukum tentang
kebijakan
pembaharuan
hukum
pidana
dalam
proses
penanganan anak yang bermasalah dengan hukum. c. Bahan hukum tersier yaitu kamus bahasa Indonesia dan kamus hukum. 3.4. Teknik pengumpulan bahan Pengumpulan data kepustakaan dilakukan dengan menggunakan catatancatatan kecil dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap beberapa norma (aturan positif), buku atau literatur yang ada dengan masalah yang dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut ditelaah dengan konsep, pemikiran, ataupun pendapat-pendapat beberapa ahli hukum serta menelaahnya dengan teori yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas, khususnya mengenai kebijakan pembaharuan hukum pidana bagi anak yang bermasalah dengan hukum. 3.5. Teknik Analisis Bahan-bahan hukum terkait dengan penelitian ini yang telah terkumpul tersebut dapat digunakan berbagai tehnis analisis sebagai berikut : 1. Deskripsi adalah tehnik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. 2. Interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatika, historis sistimatis, teleologis, kontekstual dan lain-lain.
45
3. Konstruksi berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi (acontrario). 4. Evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum skunder. 5. Sistimatisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat. 6. Argumentasi, tidak bisa dilepaskan dari tehnik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. 7. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen, makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.43 Dalam tesis ini bahan hukum akan diteliti dengan menggunakan tehnik deskripsi, interpretasi, evaluasi dan argumentasi.
43
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana UNUD,Op.Cit, hal.1
46
BAB II TINJAUAN UMUM PEMBARUAN HUKUM PIDANA, ANAK YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM, DAN SISTEM PERADILAN PIDANA
2.1 Pembaruan Hukum Pidana 2.1.1 Pengertian Pembaruan Hukum Pidana Sejarah pembangunan hukum di Indonesia sudah dirintis sejak setelah proklamasi kemerdekaan dan pada waktu itu telah dilakukan penyesuaian atau screening terhadap Wetboek Van Strafrech atau KUHP.44 Pembaruan hukum yang dilakukan oleh pemerintah tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai sebagaimana telah dirumuskan dalam UUD 1945 secara singkat adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila, hal ini merupakan garis kebijakan umum yang menjadi landasan dan sekaligus tujuan politik hukum Indonesia serta hal ini pula yang menjadi landasan dan tujuan dari setiap usaha pembaruan hukum termasuk pula pembaruan hukum dibidang hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan di Indonesia.45
44
45
Subekti , 1980, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, hal.6
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legeslatif Dan Penanggulangan Kejahatan (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief III), Universitas Diponogoro, Semarang, hal.1
47
Pembaruan (reform) yaitu suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi terhadap sesuatu hal yang akan ditempuh melalui kebijakan46, artinya harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan. Berkaitan dengan pengertian pembaruan hukum pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan yaitu: Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum di Indonesia.47 Pembaruan hukum yang akan ditempuh adalah hukum pidana (penal reform). Maka pengertian pembaruan hukum pidana tersebut yaitu pada hakekatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosiokultural masyarakat yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum.48 Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana,49 yang secara etimologis, istilah kebijakan hukum pidana berasal dari kata “kebijakan” dan “hukum pidana”. Sebagaimana menurut Sudarto yang dikemukakan oleh Barda
46
Op.cit, hal. 27
47
Ibid, hal.48
48
Ibid, hal. 27
49
Ibid
48
Nawawi Arief: Masalah “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. 50 Bertolak dari uraian tersebut di atas, pembaruan hukum pidana ditentukan dengan kebijakan hukum pidana itu sendiri, artinya pembaruan hukum pidana dapat diarahkan melalui kebijakan hukum pidana, atau adanya kebijakan hukum pidana berarti telah mengadakan suatu pembaruan hukum pidana. Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut : Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.51 Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari pengertian tentang politik hukum maupun dari politik kriminal. Pengertian politik hukum menurut Sudarto adalah sebagai berikut:
50
Ibid, hal.25
51
Ibid, hal.24
49
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. 2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.52 Mengkaji hal ini maka lebih lanjut Sudarto menjelaskan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Menurut A. Mulder sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief: Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan: 1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui ; 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; 3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.53
52
Ibid, hal 24
53
Ibid, hal 25
50
Pendapat yang dikemukakan oleh Mulder ini sebenarnya lebih bertolak pada pengertian sistem hukum pidana menurut Marc Ancel sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari : 1. peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya; 2. suatu prosedur hukum pidana, dan 3. suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).54 Menurut Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa setiap usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Maka kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan lewat bantuan pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (sosial defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam
54
Ibid, hal.26
51
pengertian “social policy”, sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy”, dan “social defence policy”.55 Kebijakan hukum pidana dapat juga dilihat sebagai bagian dari politik kriminal. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan atau perbuatan yang dilarang. Maka kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Politik kriminal merupakan usaha yang rasional dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Dirumuskan oleh Marc Ancel, politik kriminal adalah the rational organization of the control of crime by society.56 Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan: Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Saparinah Sadli menyatakan bahwa perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial; dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial; dan merupakan ancaman riil atau potensiil bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Dengan demikian kejahatan disamping merupakan masalah kemanusiaan, ia juga merupakan masalah sosial, malahan menurut Benedict
55
Ibid, hal.27
56
Op.cit. hal. 162
52
S. Alper merupakan “the oldest sosial problem (masalah Sosial tertua)”.
57
Hal ini
diperkuat oleh pendapat dari Daniel Galser yang menyatakan bahwa “crime like most topics in social psychology , refers to a class of behavior the separate instances of which have many and diverse subjective and objective aspects (kejahatan seperti topik yang paling dalam dari psikologi sosial, mengacu pada kelas contoh perilaku yang terpisah dari aspek-aspek subyektif dan obyektif yang bersifat banyak dan beragam)”.58 Sebagai suatu persoalan sosial yang menuntut penyelesaian, maka upaya untuk penanggulangan kejahatan telah dimulai terus-menerus. Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun demikian usaha inipun masih sering dipersoalkan. Menurut Roeslan Saleh sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa ada tiga alasan mengenai perlunya pidana dan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan yang pada intinya sebagai berikut : a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untukmencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing. b. Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas
57
58
Op.cit, hal. 148.
Stuard H.Traub and Craig B.Little, 1968, Theories Of Devience (Third Edition), State University Of New York at Cortland, hal.183
53
pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja. c. Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaituwarga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.59
Bertolak dari hal tersebut maka nampak bahwa prevensi khusus dan prevensi umum menjadi pertimbangan utama. Di sisi lain ada pertimbangan nilai yaitu keseimbangan antara nilai dari hasil perbuatan yang dikenakan pidana dengan biaya yang dikeluarkan. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakkan hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakkan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.60 H.L. Packer dalam bukunya “The Limits of Criminal Sanction”, sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief: a. (the criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the oreseeable future, get along without it) Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana.
59
Ibid, hal.152
60
Ibid, hal.149
54
b. (the criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm).Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya c. (the criminal sanction is atau once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener) Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.61
Bertolak dari hal tersebut, maka tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan karena pada hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem social seperti dikemukakan Packer di atas, tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy). Bertolak dari pengertian kebijakan hukum pidana di atas, Barda Nawawi Arief menyimpulkan, bahwa: Dilihat dari bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-udangan pidana yang baik….Dengan demikian, yang dimaksud “peraturan hukum positif” (the positive rules) adalah peraturan perundang-udangan
61
Ibid. Hal, 155.
55
hukum pidana. Oleh karena itu, istilah “penal policy” adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.62 2.1.2 Ruang Lingkup Pembaruan Hukum Pidana Mengkaji hal-hal tersebut diatas maka untuk merespon amanat pembukaan UUD1945 maka pembaruan sebagai produk perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia menjadi agenda yang patut diprioritaskan. Dengan demikian dari amanat tersebut juga tersimpul keharusan untuk melakukan pembaruan di bidang hukum. Usaha pembaruan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan pula dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai seperti telah dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, namun mengingat permasalahan hukum menyentuh aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas sehingga setiap saat berubah, maka pembaruan tidak dapat dilakukan dalam sekejap. Sebagaimana pengertian pembaruan hukum pidana yang telah dikemukakan pada sub-1 di atas, dalam hal ini, ruang lingkup pembaruan hukum pidana meliputi: 1. Pembaruan substansi hukum pidana; 2. Pembaruan struktur hukum pidana; dan 3. Pembaruan budaya hukum pidana. Pembaruan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Proses Penanganan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum adalah melakukan pembaruan pada aspek pembaruan
62
Ibid. Hal.25.
56
substansi hukum pidana, dimana pembaruan substansi hukum pidana, Barda Nawawi Arief berpendapat: 1. Suatu reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio-folosifik, sosio-politik, sosio-kultural masyarakat. Pembaruan hukum pidana pada dasarnya adalah: -
Pembaruan konsep nilai
-
Pembaruan ide-ide dasar
-
Pembaruan pokok-pokok pemikiran
-
Pembaruan paradigma/wawasan
2. Sebagai bagian dari “Sosial Policy”, pemnaharuan hukum pidana hakekatnya merupakan bagian dari upaya mengatasi masalah sosial untuk mencapai kesejahteraan/perlindungan masyarakat. 3. Sebagai dari “Criminal Policy”, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya penaggulangan kejahatan. 4. Sebagai bagian dari “Law Enforcement Policy” pembaruan hukum pidana pada
hakekatnya
merupakan
bagian
kelancaran/efektivitas penegakkan hukum. 5. Pembaruan substansi hukum pidana meliputi: a. pembaruan hukum pidana materiel, b. pembaruan hukum pidana formal,
dari
upaya
menunjang
57
c. pembaruan hukum pelaksanaan pidana.63 Pembaruan hukum pidana terhadap persiapan melakukan tindak pidana sebagai delik, maka ruang lingkup pembaruan hukum pidana bertolak dari pembaruan substansi yang meliputi pembaruan hukum pidana materiel. Pembaruan hukum pidana/ KUHP Nasional juga merupakan bagian dari pembaruan hukum pidana substansi, patut dikemukakan bahwa dalam rangka pembaruan hukum pidana nilai-nilai tersebut telah diakomodasikan oleh penyusun RUU KUHP. Hal ini dapat dilihat dari beberapa prinsip yang terkandung dalam penyusunan rancangan KUHP Nasional yang antara lain menyebutkan: a. bahwa hukum pidana dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar (basic sosial value) prilaku hidup masyarakat, dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai oleh falsafah dan idiologi negara Pancasila; b. bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain melakukan pengendalian sosial (sicial control) tidak mau atau belum dapat diharapkan keefektifitasannya; dan bahwa dalam menggunakan hukum pidana sesuai dengan kedua pambatasan (a) dan (b) di atas, harus diusahakan dengan sungguhsungguh bahwa cara seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu tanpa mengurangi
63
Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL: http://eprints.undip.ac.id/17715/1/Idi_Amin.pdf
58
perlindungan yang perlu diberikan terhadap kepentingan kolektifitas dalam masyarakat demokratik yang modern. Pernyataan di atas, maka tendensi untuk tetap mempertahankan unsur-unsur asli dalam pembaruan hukum di Indonesia patut dikedepankan, apalagi terhadap hukum pidana. Mengingat hukum pidana dengan segala aspeknya (aspek-aspek sifat melawan hukum, kesalahan, dan pidana) mempunyai sifat dan fungsi yang istimewa, serta mempunyai fungsi ganda yakni yang primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian dari politik kirminal) dan yang sekunder, ialah sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara sepontan atau secara dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya. Fungsi yang kedua ini tugas hukum pidana adalah policing the police, yakni melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana sebagai sarana secara tidak benar. Upaya untuk melakukan reorientasi terhadap persiapan melakukan tindak pidana sebagai delik, maka kode etik penggunaan hukum pidana tersebut dapat digunakan sebagai landasan dalam merumuskan kebijakan tentang persiapan melakuan tindak pidana sebagai delik agar lebih berorientasi baik pada perlindungan individu maupun masyarakat. Dengan demikian akan tercipta hukum pidana yang lebih fungsional yang tetap berakar pada nilai-nilai sosial masyarakat. Sebagaimana Barda Nawawi Arief menyatakan: Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik san sosio-
59
kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.64
Penjelasan di atas, bahwa secara konstitusional pembaruan hukum nasional termasuk hukum pidana harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Keharusan konstitusioal tersebut patut untuk dikedepankan agar hukum yang akan terbentuk benar-benar merupakan penjelmaan dari nilai-nilai yang hidup alam masyarakat. Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa pembaruan hukum pidana pada hakekatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (“value- oriented approach”).65 Bertolak dari uraian tersebut di atas, perlu adanya pembaruan kebijakan kriminal yang digunakan untuk mencegah kejahatan sedini mungkin, sehingga perbuatan dapat dilihat dari dua sudut pendekatan yaitu sudut pendekatan kebijakan dan sudut pendekatan nilai, sehubungan dengan masalah ini, Barda Nawawi Arief menyatakan pendapat sebagai berikut: 1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan: a. sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi
64
65
Ibid
Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Perbandingan (Selanjutnya disebut dengan Barda Nawawi Arief IV), PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.4
60
hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum b. sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya
merupakan
bagian
dari
upaya
perlindungan
masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan) c. sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/ menunjang tujuan nasional (yaitu : “Social defence” dan “Social Welfare”).66 2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai: Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan upaya melakukan peninjauan kembali (“reorientasi dan reevaluasi”) nilai-nilai sosio politik, sosiofilosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicitacitakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS), hal ini dipandang bahwa hukum (hukum pidana) merupakan perwujudan suatu unsur sosial masyarakat yang mempengaruhi ada tidaknya penjaTuhan sanksi (dipidananya) terhadap persiapan melakukan tindak pidana tersebut, sehingga perlu adanya pembaruan kebijakan kriminal sejalan beriringan waktu yang didasarkan pada nilai-nilai sosio politik, sosio 66
Ibid, hal.3
61
filosofik, sosio kultural dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.Bertolak dari sudut pendekatan kebijakan dan sudut pendekatan nilai, pengkajian menitikberatkan pada hukum pidana materiil (KUHP), mengingat bagian hukum pidana ini yang mampu merumuskan atau memformulasikan perbuatanperbuatan
apa
yang
pertanggungjawaban
dijadikan
pidananya,
tindak
serta
pidana,
bagaimana
bagaimana mengenai
mengenai
pidana
dan
pemidanaannya. Bertolak dari hal tersebut maka tahap formulasi menempati posisi strategis jika dibandingkan tahap aplikasi maupun tahap pelaksanaan hukum pidana yang merupakan kelanjutan dari operasionalisasi atau penegakkan hukum pidana. Mengenai posisi strategis dari tahap formulasi ini juga dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief : Tahap penetapan pidana hemat kami justru harus merupakan tahap perencanaan yang matang mengenai kebijakan-kebijakan tindakan apa yang seharusnya diambil dalam hal pemidanaan apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, dengan perkataan lain tahap ini harus merupakan tahap perencanaan strategis dibidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberi arah pada tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia sekarang masih tetap menggunakan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang mulai diterapkan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918 dan merupakan produk hukum pemerintahan jaman kolonial Hindia Belanda, dengan berbagai perubahan dan penambahannya.
62
KUHP yang berasal dari Belanda tentu memiliki jiwa, pola pikir dan normanorma yang berbeda dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat bangsa Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Sudarto, bahwa WvS kita ini tidak mungkin mencerminkan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia secara penuh, karena tidak dibuat oleh kita sendiri. Secara politis, sosiologis, maupun praktis KUHP yang berlaku di Indonesia sekarang perlu segera diganti dengan KUHP yang berasal dan bersumber dari nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Beberapa karakteristik hukum pidana yang mencerminkan proyeksi hukum pidana masa datang secara ringkas di dinyatakan oleh Muladi sebagai berikut : 1. Hukum pidana nasional mendatang, dibentuk tidak hanya sekadar alasan sosiologis, politis dan praktis semata-mata, melainkan secara sadar harus disusun dalam kerangka Idiologi Nasional Pancasila. Hal ini akan memberi kesadaran bahwa sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya tidak hanya merupakan suatu sistem yang bersifat phisik semata-mata melainkan juga merupakan sistem abstrak yang merupakan jalinan nilai-nilai yang konsisten dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. 2. Hukum pidana pada masa yang akan datang tidak boleh mengabaikan aspekaspek yang bertalian dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia. 3. Hukum
pidana
mendatang harus
dapat
menyesuaikan
diri
dengan
kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh didalam pergaulan
63
masyarakat beradab, dalam arti beradaptasi yang kadang-kadang berupa pengambilan hikmah dari perkembangan tersebut. 4. Sistem peradilan pidana, politik kriminal, politik penegakan hukum merupakan bagian dari politik sosial. Dengan demikian hukum pidana mendatang harus memikirkan pula aspek-aspek yang bersifat preventif. 5. Hukum pidana mendatang harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan efektifitas fungsinya di dalam masyarakat.67 Indonesia sebagai sebuah negara yang sudah merdeka juga berupaya segera mengadakan pembaruan KUHP (WvS) yang disesuaikan dengan politik hukum, keadaan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia serta diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan jika dibandingkan dengan undang-undang warisan kolonial. Bertolak dari hal tersebut maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana dapat mencakup kebijakan di bidang pidana formil, materiel serta pelaksanaan pidana itu sendiri. Ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sangat luas karena tidak hanya menyangkut hukum pidana dalam arti materiel (pidana dan pemidanaan) tetapi juga mengatur tentang bekerjanya hukum pidana melalui lembaga sub-sistem peradilan yang ada serta bagaimana pelaksanaan eksekusinya.
67
Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL: http://eprints.undip.ac.id/17715/1/Idi_Amin.pdf
64
2.2. Pengertian Anak dan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum 2.2.1. Pengertian Anak Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).68 Pada tingkat Internasional rupanya tidak terdapat keseragaman dalam perumusan batasan tentang anak, tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai anak anatara satu negara dengan negara laun cukup beraneka ragam yaitu : Dua puluh tujuh negara bagaian di Amerika Serikat menentukan batasan umur antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan btas umur antara 816. Di Inggris ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri Belanda mentukan bata umur antara 12-18 tahun. Negara Asia anatara lain : Srilanka mentukan batas umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea mentukan batas umur antara 14-18 tahun, Kamboja mentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara Asean antara lain Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.69
Maka bertitik tolak dari aspek tersebut ternyata hukum positif Indonesia ( ius constitutum ) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi soeorang anak, hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai peraturan ataupun hukum yang berlaku, yaitu :
68
69
Lilik Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak Di Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung, hal.
Paulus Hadisuprapto, 1997, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya, PT.Aditya Bakti, Bandung, hal.8
65
1. Menurut Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pada Pasal 1 (1) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan si anak belum pernah kawin. Jadi anak dibatasi syarat dengan umur antara 8 tahun sampai 18 tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin, maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinannya atau perkawinanya putus kaena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa, walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun. 2. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak ( Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ) Pada Pasal 1 (1) merumuskan bahwa anak adalah seseorang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 3. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pada Pasal 1 angka (2) merumuskan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.70 Batasan umur ini juga digunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Perdata, tetapi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah anak, yang digunakan istilah dewasa yaitu telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun akan tetapi sudah atau pernah kawin, sedangkan belum dewasa 70
Abdussalam, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, hal.5
66
adalah seseorang yang umurnya belum mencapai 21 tahun dan tidak atau belum pernah kawin.71 4. Dalam Hukum Perburuhan Pada Pasal 1 (1) Undang-undang Pokok Perburuhan ( Undang-undang No.12 Tahun 1948 ) memberikan pengertian anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 tahun kebawah. 5. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) Pasal 45 KUHP, memberikan definisi anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 ( enam belas ) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana maka hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah tersebut dikembalikan kepada orang tuanya; walinya ataupun pemeliharanya dengan tidak dikenakan hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Ketentuan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP ini sudah dihapus dengan lahirnya Undang-undang No.3 Tahun 1997.72 6. Anak menurut Undang-undang Perkawinan ( Undang-undang No.1 Tahun 1974 )
71
Djoko Prakoso, 1986, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, Ghalia Indonesia, Jakarta
72
Op.cit, hal. 3
hal.84
67
Pada Pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) undang-undang Pokok Perkawinan memberikan batasan-batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata ) Pada Pasal 330 KUH Perdata memeberikan penjelasan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. 8. Menurut Hukum Adat Indonesia Dalam hukum adat Indonesia maka batasan untuk disebut anak bersifat pluralistic. Dalam artian kreteria untuk menyebut seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Misalnya : telah “ kuat gawe “, “ akil baliq ”, “ menek bajang ”, dan lain sebagainya.73 Menurt Pasal 1 Konvensi Anak merumuskan pengertian anak sebagai “setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.74 Berbagai
criteria
untuk
batasan
usia
anak
pada
dasarnya
adalah
pengelompokan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa atau menjadiseorang subyek hukum yang data bertanggungjawab secara mandiri
73
74
Op.Cit, hal.6
Chandra Gautama, 2000, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers Dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, hal.21
68
terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindaka hukum yang dilakukan oleh anak itu.75 Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa indikator untuk mengatakan bahwa seseorang telah dikatakan telah dewasa adalah bahwa ia dapat melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain baik orang tua maupun wali.76 Berdasarkan penjelasan-penjelasan beberapa peraturan perundang-undangan diatas, maka dapat dilihat bahwa pengertian anak adalah bervariatif dimana hal tersebut dilihat dari pembatasan batas umur yang diberikan kepada seorang anak apakah anak tersebut dibawah umur atau belum dewasa dan hal tersebut dapat dilihat dari pengertian masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Namun meskipun demikian pada prinsipnya anak dibawah umur adalah seseorang yang tumbuh dalam perkembangannya yang mana anak tersebut memerlukan bimbingan untuk kedepannya. 2.2.2 Pengertian Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum Hukum internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus atau dapat dirujuk oleh setiap negara dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Hukum internasional mensyaratkan negara untuk memberikan perlindungan
75
Maulana Hasan Wadong, 2000, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, hal.24 76
Djuhaendah Hasan, 1999/2000, Pengkajian Hukum Tentang Masalah Hukum Pelaksanaan Putusan Pengadilan Yang Mengandung Alimentasi Terhadap Anak Yang Belum Dewasa, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM, hal.12
69
hukum dan penghormatan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui pengembangan hukum, prosedur, kewenangan, dan institusi (kelembagaan).77 Secara konseptual anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law), dimaknai sebagai : Seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka atau dituduh melakukan tindak pidana.78 Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah yaitu : 1)
Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana;
2)
Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana79
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena: 77
Inter-Parliamentary Union & UNICEF, 2006, Improving the Protection of Children in Conflict with the Law in South Asia: A regional parliamentary guide on juvenile justice, UNICEF ROSA, hal.2 78
UNICEF, 2006, Child Protection Information Sheet, Child Protection INFORMATION
Sheet 79
Ketentuan dalam Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tanggal 15 Desember 2009. Pasal 1 Butir 3
70
1) Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum; atau 2) Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau 3) Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.80 Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi menjadi : 1) Pelaku atau tersangka tindak pidana; 2) Korban tindak pidana; 3) Saksi suatu tindak pidana.81 Menurut Pasal 1 huruf 2 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat dua kategori perilaku anak yang dapat membuat seorang anak berhadapan dengan hukum yakni status offences dan criminal offences. Status offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak termasuk kejahatan atau anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi seorang anak. Misalnya, tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah, sedangkan criminal offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan atau anak yang bermasalah dengan hukum.82
80
Op.Cit, hal. 17
81
Ibid
71
Menurut Romli Atmasasmita dan Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak : 1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah : e. Faktor intelegentia f. Faktor usia g. Faktor kelamin h. Faktor kedudukan anak dalam keluarga. 2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah : e. Faktor rumah tangga f. Faktor pendidikan dan sekolah g. Faktor pergaulan anak h. Faktor mass media.83
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau yang (dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda, sedangkan Deliquency artinya terabaikan atau mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Kamus Besar Bahasa Indonesia, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.84 Perbuatan
dikatakan
delinkuen
apabila
perbuatan-perbuatan
tersebut
bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.85
82
Op.Cit, hal.2
83
Op.Cit, hal. 17
84
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 219 85
Sudarsono, 1991, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 10.
72
Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono adalah sebagai berikut : Juvenile Deliquency yaitu perilaku jahat / dursila, atau kejahatan / kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.86 Menurut Romli Atmasasmita Juvenile Deliquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.87 Menurut Paul Mudikdo memberikan perumusan mengenai Juvenile Delinquency, sebagai : 1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan lain sebagainya; 2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat; 3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.88
86
Kartini Kartono, 1992, Pathologi Sosial( 2), Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, hal.7
87
Romli Atmasasmita, 1983, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja(Selanjutnya disebut dengan Romli I), Armico, Bandung, hal.40 88
Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, hal.9
73
Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu perbuatan tindakan anti sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum bila dilakukan oleh seseorang yang berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan (crime), namun jika yang melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang yang berusia dibawah 21 tahun maka disebut dengan kenakalan (Deliquency).
2.3. Sistem Peradilan Pidana Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi penanggulangan kejahatan melalui sarana penal lazimnya secara operasional dilakukan melalui langkah-langkah: Perumusan norma-norma hukum pidana yang di dalamnya terkandung adanya unsur substantif, struktural dan kultural masyarakat tempat sistem hukum pidana itu diberlakukan. Sistem hukum pidana yang berhasil dirumuskan itu selanjutnya secara operasional bekerja lewat suatu sistem yang disebut Sistem Peradilan Pidana.89 Istilah sistem menurut Anatol Rapport sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdussalam dan DPM Sitompul memberikan pengertian sistem adalah whole which function as a whole by virtue of the interdependence of its parts (Keseluruhan yang berfungsi sebagai satu kebulatan yang saling ketergantungan diantara bagian tersebut). RL Ackoff menyatakan sistem sebagai entity conceptual or physical, which 89
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal.7
74
concists of interdependent parts (kesatuan konseptual atau fisik yang terdiri dari bagian-bagian yang tidak terpisahkan).90 Istilah sistem dari bahasa Yunani "systema" yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of several parts (Seluruh diperparah dari beberapa bagian).91 Secara sederhana sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan dari yang rendah sampai yang tinggi. Menurut Lili Rasjidi, ciri suatu sistem yaitu : a. Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses) b. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung (interdependence of its parts) c. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more than the sum of its parts) d. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the whole determines the nature of its parts) e. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be understood if considered in isolation from the whole) f. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.92
90
Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta,
91
Tatang M. Amirin, 1986, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali Cet.1, Jakarta, hal. 5.
hal. 5.
92
Lili Rasjidi, I.B. Wiyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem,: PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal 43
75
Pengertian Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System menurut para ahli hukum antara lain : a. Menurut Remington dan Ohlin, sebagaimana yang dikutip oleh Romli Atmasasmita, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. b. Menurut Hagan membedakan pengertian “Criminal justice system” dan “Criminal Justice Process”. “Criminal Justice System” adalah interkoneksi antara keputusan tiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana sedangkan “Criminal Justice Process” adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. c. Menurut Marjono Reksodiputro sistem peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. d. Menurut Muladi Sistem Peradilan Pidana, harus dilihat sebagai “The network of Courts and tribunal which deal with criminal law and it’s enforcement”. Sistem peradilan Pidana di dalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem pendukungnya ialah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga koreksi atau pemasyarakatan yang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan dari sistem peradilan Pidana yang terdiri dari : 1. Tujuan Jangka Pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana. 2. Tujuan jangka menengah berupa pencegahan kejahatan dan 3. Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial93 Menurut Black’s law Dictionary, rumusan dari sistem peradilan Pidana Terpadu atau Integrated Criminal Justice System adalah “… the collective institutions through which an accused offender passes until the accusations have been disposed of or the assessed punishment conclued (kolektif lembaga-lembaga melalui mana
93
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2006, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Universitas Diponegoro. Semarang, hal. 3.
76
pelaku menuduh melewati sampai tuduhan telah dibuang atau hukuman dinilai menyimpulkan)…”.94 Menurut Chamelin/Fox/Whisenand, yang dikutip oleh Abdussalam dan DPM Sitompul, Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana adalah suatu sistem dalam proses menentukan konsep sistem yaitu berupa aparatur peradilan pidana yang diikat bersama dalam hubungan antara sub system kepolisian, pengadilan, dan lembaga penjara.95 Menurut Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana dapat dilihat dari sudut pendekatan normatif yang memandang keempat aparatur (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata, pendekatan manajemen atau administratif yang memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut.96 Sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan sistem yang berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara,
94
Henry Campbel Black, 1999, Black’s Law Dictionary, St Paul Minn, West Group, hal. 381
95
Op.Cit, hal. 5
96
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme(Selanjutnya disebut dengan Romli II), Bina Cipta, Bandung, hal. 16
77
masyarakat maupun individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Pemahaman mengenai tujuan sistem peradilan pidana ini sangat penting, dimana peradilan pidana hanya dapat berfungsi secara sistematis apabila bagian sistem tersebut mengingat akan tujuan yang hendak dicapai oleh keseluruhan bagian lainnya, dengan kata lain sistem tersebut tidak akan sistematis jika hubungan antara polisi dengan pengadilan, penuntut umum dan lembaga permasyarakatan, lembaga pemasyarakatan dengan pengadilan dan seterusnya tidak harmonis. Semua komponen yang berada dalam subsistem peradilan pidana dalam harus bekerjasama secara "terpadu" dan terintegrasi. Dirangkainya kata "terpadu" dalam istilah "sistem peradilan pidana" nampaknya sangat menarik sebab dalam pengertian "sistem" itu sendiri semestinya sudah mencakup makna terpadu, meskipun hal itu hanya dilakukan untuk memberikan penekanan akan perlunya "integrasi" dan "koordinasi" dalam sistem peradilan pidana.97 Menurut Bagir Manan bahwa terpadu dalam sistem peradilan adalah keterpaduan antara penegak hukum. Keterpaduan dimaksudkan agar proses peradilan dapat dijalankan secara efektif, efisien, saling menunjang dalam menemukan hukum yang tepat untuk menjamin keputusan yang memuaskan baik bagi pencari keadilan maupun menurut pandangan kesadaran, atau kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat pada umumnya.98
97
Op.Cit, hal. 1
98
Bagir Manan, 2005, Sistem Peradilan Berwibawa, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 93.
78
Menurut O.C. Kaligis bahwa Sistem Peradilan pidana terpadu adalah teori yang berkenan dengan upaya pengendalian kejahatan melalui kerjasama dan koordinasi diantara lembaga-lembaga yang oleh undang-undang diberi tugas untuk itu. Kejahatan sendiri sulit dihilangkan sama sekali dimuka bumi ini, tetapi melalui sistem peradilan pidana terpadu kejahatan tersebut dapat dikendalikan sehingga tidak bertambah banyak bahkan jika mungkin, berkurang. Pengendalian kejahatan sama maknanya dengan ketertiban di mana setiap orang mematuhi hukum yang berlaku dalam masyarakat.99 Bertolak dari pemaparan yang tertuang dalam sistem peradilan pidana diatas apabila kita kaji dengan pembahasan tesis disini maka kita akan berbicara mengenai sistem peradilan pidana anak (juvenile justice system). Sistem Peradilan Pidana Anak (juvenile justice system) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum. Unsur tersebut meliputi beberapa unsur yaitu : 1. Polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. 2. Jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.
99
O.C. Kaligis, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, PT. Alumni, Bandung, hal 171.
79
3. Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. 4. Institusi penghukuman.100 Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya. Kewenangan tersebut dilengkapi dengan hukum pidana material yang diatur dalam KUHP dan hukum pidana formal yang diatur dalam KUHAP.
2.4. Lembaga Dalam Peradilan Anak Istilah peradilan menunjuk kepada lingkungan badan peradilan. 101 Menurut Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 10 ayat (2) menyatakan bahwa adanya empat lingkungan badan peradilan yaitu : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Badan-badan peradilan tersebut mempunyai kekuasaan dan wewenang masing-masing dalam tugas menyelesaikan perkara sedangkan istilan pengadilan mengacu kepada fungsi badan peradilan itu sendiri.
100
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Robert C. Trajanowics and Marry Morash, 2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, hal 5 101
Loc.Cit, hal.16
80
Didalam suatu peradilan tidak menutup adanya suatu pengadilan khusus sehingga dalam hal ini memungkinkan adanaya pengkhususan didalam suatu peradilan itu sendiri. Pengadilan Anak adalah salah satu contoh pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan Anak tugas dan wewenangnya pada prinsipnya sama dengan pengadilan lain meskipun sama tetap harus ada diperhatikan bahwa perlindungan anak merupakan tujuan utama.102 Lembaga-lembaga yang menangani perkara anak sesuai dengan Undangundang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu : 1. Kepolisian Kepolisian adalah pihak yang paling awal melakukan penanganan terhadap pelaku kejahatan atau pelanggaran, jika terjadi suatu kejahatan polisi wajib melakukan pengusutan dan melakukan penyidikan, selanjutnya pihak kejaksaan mengambil alih perkara guna melakukan penuntutan kepada para pelaku kejahatan di muka pengadilan. Kepolisian memiliki beberapa kewenangan diantarananya yaitu : Kepolisian berwenang melakukan penyelidikan, dimana penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang diduga merupakan kejahatan atau tindak pidana guna mendapatkan bukti permulaan yang diperlukan untuk memutuskan apakah diperlukan penyidikan atau tidak sesuai Pasal 1 (5) KUHAP, dalam hal ini Pejabat yang berwenang melakukan penyelidikan adalah polisi (pasal 1 butir 4 KUHAP). Bukti permulaan 102
Bambang Waluyo, 2000, Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Graha, Jakarta, hal.103
81
diartikan sebagai petunjuk awal adanya keterlibatan seseorang atau kelompok dalam tindak pidana. Menurut Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) No Pol. SKEP/04/1/1982, bukti permulaan yang cukup merupakan katerangan dan data yang terkandung dalam dua diantara : a. Laporan polisi b. Berita Acara Pemeriksaan Polisi c. Laporan hasil penyelidikan d. Keterangan saksi/saksi ahli e. Barang bukti103 Barang bukti menurut pasal 184 UU No 8/1981 adalah keterangan saksi, keterangan Kepolisian
ahli, juga
surat,
petunjuk
dan
keterangan
terdakwa.
memiliki
wewenang
untuk
melakukan
penyidikan,
dimana penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna mengungkap tindak pidana dan menemukan tersangka atau pelaku. Pejabat yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana adalah polisi atau pejabat sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, khusus untuk tindak pidana ekonomi dan korupsi peejabat yang berwenang adalah kejaksaan.104 Adapun wewenang yang dimiliki penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b sampai dengan huruf j KUHAP, yaitu :
103
Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik (Selanjutnya disebut dengan Darwan Prinst II), Djambatan, Jakarta, hal. 30 104
Tadjuddin Malik, Integrated Criminal Justice System di Indonesia, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL: http: http://tadjuddin.blogspot.com/2010/07/kemandirianyudisial.html
82
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya suatu tindak pidana 2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian 3. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka 4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat 6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang 7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi 8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara 9. Mengadakan penghentian penyidikan 10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab Undang - Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI terdapat beberapa ketentuan yang secara khusus mengatur tentang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan yang tidak diatur di dalam KUHAP dan hal ini merupakan relevansi dari azas hukum pidana (Lex Specialist Derogat Lex Generalis). Secara sosiologis, kewenangan polisi dalam proses pemeriksaan pendahuluan ini dapat dilihat sebagai kedudukan (status) dan peranan (role). Berdasarkan perumusan kedua peraturan perundang-undangan ini, Barda Nawawi Arief memerinci tugas pokok Polri sebagai penegak hukum yang memelihara keamanan dalam negeri, yang lebih luas mencakup berbagai aspek yang sangat luhur dan mulia, yaitu: a. Aspek ketertiban dan keamanan umum; b. Aspek perlindungan terhadap perorangan dan masyarakat / dari gangguan / perbuatan melanggar hukum / kejahatan; dari penyakit-penyakit masyarakat
83
dan aliran-aliran kepercayaan yang membahayakan; termasuk aspek pelayanan masyarakat dengan memberi perlindungan dan pertolongan. c. Aspek pendidikan sosial di bidang ketaatan / kepatuhan hukum warga masyarakat; d. Aspek penegakan hukum di bidang peradilan, khususnya di bidang penyelidikan dan penyidikan.105
Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Polisi memiliki tugas pokok yaitu :memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, dalam melaksanakan tugas pokok ini, maka Polisi Republik Indonesia bertugas : a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
105
Loc.Cit, hal.3
84
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.. Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa dengan memperhatikan perincian tugas yuridis Polri seperti telah dikemukakan di atas, terlihat pada intinya ada dua tugas Polri dibidang penegakan hukum, yaitu penegakan hukum di bidang peradilan pidana (dengan sarana "penal") dan penegakan hukum dengan sarana ("non penal"). Dengan demikian dalam menjalankan tugasnya Polri sebenarnya "berperan ganda" baik sebagai "penegak hukum” maupun sebagai "pekerja sosial" ("social worker"). Untuk kedua tugas ganda ini, dalam Kongres PBB ke-5 (mengenai Prevention of Crime and The Treatment of Offenders) pernah digunakan istilah "law enforcement duties", dan "service-oriented task".106 Peranan ganda dari tugas polisi sebagaimana disebutkan diatas sering disebut pula dengan "ambivalensi peranan polisi", sehingga untuk menghindari kerancuan pembahasan dalam penelitian ini, maka fungsi / peranan Polisi yang hendak dibahas adalah fungsi / peranan Polisi sebagai aparatur penegak hukum di bidang peradilan pidana sebagai bagian "criminal justice system” khususnya di bidang penyidikan perkara tindak pidana.
106
Ibid, hal.4
85
Fungsi ini dalam organisasi kepolisian diemban oleh "fungsi reserse" yang khusus melaksanakan hukum dalam bidang represif yaitu melakukan segala tindakan sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana, sehingga fungsi reserse atau penyidikan ini baru dilaksanakan setelah diketahuinya tindak pidana, baik melalui laporan, pengaduan, tertangkap tangan maupun diketahui langsung oleh penyidik. Adapun pengertian fungsi reserse atau peyidikan adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi penyidikan, penindakan, pemeriksaan serta penyelesaian dan penyerahan perkara kepada penuntut umum (Kejaksaan) dalam rangka sistem acara pidana.107 Perkara pidana yang dilakukan oleh anak – anak pada umumnya ketentuan yang dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat dalam KUHP, maka penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri. Sejalan dengan diberlakukannya undang – undang pengadilan anak, telah dipertegas bahwa penyidikan terhadap perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik Polri dengan dasar hukum Pasal 41 ayat (1) Undang – Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 yang pada intinya menyebutkan bahwa ”penyidikan terhadap anak nakal dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri”. Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap perkara anak nakal. Undang – Undang Pengadilan Anak dikenal adanya penyidik anak, yang berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak diangkat oleh Kapolri dengan Surat
107
Departemen Pertahanan Keamanan AKABRI, 1980, Fungsi Reserse POLRI, Jakarta, hal.5
86
Keputusan Khusus untuk kepentingan tersebut. Undang – Undang Pengadilan Anak melalui Pasal 41 Ayat (2) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh seorang anggota Polri adalah : 1. Telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; 2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
2. Kejaksaan Tugas pokok jaksa dibidang pidana menurut Pasal 27 Undang-undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan adalah mempunyai tugas dan wewenang : a. melakukan penuntutan dalam perkara pidana; b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat; d. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Jaksa penuntut umum secara organic termasuk dalam lembaga kejaksaan merupakan lembaga yang berdiri sendiri dibawah pimpinan Jaksa Agung. Kejaksaan menganut asas “satu dan tidak terpisahkan”, artinya dalam melaksanakan tugasnya pejabatpejabat kejaksaan diharuskan mengindahkan hubungan hirarki dilingkungan pekerjaannya.108
108
Soesilo Yuwono, 1982, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP Sistem Dan Prosedur, Alumni Bandung, hal.44
87
Jaksa penuntut umum mempunyai kewenangan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 14 KUHAP yaitu :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke pengadilan; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan penuntutan; h. menutup perkara demi kepentingan hukum; i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j. melaksanakan penetapan hakim. Penyidikan perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik anak sehingga pada tahap penuntutan juga dilakukan oleh penuntut umum anak dengan syarat-syarat sebagai mana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berbunyi : (2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak Undang-undang Pengadilan Anak menghendaki agar setiap Kejaksaan Negeri memiliki penuntut umum anak untuk menangani perkara anak nakal, apabila pada
88
suatu kejaksaan negeri tidak mempunyai penuntut umum anak maka tugas penuntut perkara anak nakal dibebankan kepada penuntut umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa sesuai dengan pasal 53 ayat (3) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
3. Pengadilan Pengadilan adalah lembaga yang berwenang untuk memerikasa, mengadili, dan memutus suatu perkara termasuk perkara anak nakal berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak disidang pengadilan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Fungsi hakim dalam mengadili suatu perkaramaka haki mempunyai kedudukan bebas dan bertanggungjawab terhadap segala urusan dalam peradilan oleh pihak-pihak lain dilarang kecuali dalam hal diperkenankan oleh Undang-undang. Hakim adalah harapan para justiabelen (pencari keadilan) oleh karena itu mereka harus membaca jiwa yang terkandung di dalam teks-teks hukum.109 Pemerikasaan siding anak dilakukan oleh hakim khusus yaitu : Hakim Anak.Pengangkatan hakim anak ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan surat keputusan dengan mempertimbangkan usulan Ketua Pengadilan Tinggi tempat hakim bersangkutan bertugas sebagaimana diatur dalam PAsal 9 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
109
Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI Vol. 6, Satjipto Rahardjo, Dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, Juli, 2009
89
Pengangkatan hakim anak oleh Ketua Mahkamah Agung karena hal tersebut menyangkut teknis yuridis pengadilan dan merupakan pengangkatan hakim khusus (Spesialis). Syarat-syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan anak di atur dalam Pasal 10 yang berbunyi : Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 adalah : a. telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; dan b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
Terkait dengan perkara anak nakal maka dalam hal ini hakim yang memeriksa dan memutus perkara anak ini adalah hakim tunggal kecuali dipandang perlu untuk diperiksa oleh majelis hakim.
4. Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan sering disingkat dengan istilah ”LAPAS”, dimana hal ini merupakan tempat terpidana untuk menjalani hukuman pidananya baik yang menjalani hukuman penjara maupun kurungan. Menurut Satjipto Rahardjo, narapidana bukan orang hukuman melainkan orang tersesat dan kesempatan untuk bertobat, tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan melalui bimbingan.110 Operasional di lapangan banyak kalangan yang tidak mengetahui atau tidak mau mengakui bahwa instansi pemasyarakatan adalah termasuk dalam jajaran 110
Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.38
90
penegak hukum, akan tetapi di kalangan akademisi pengakuan tersebut tidak perlu diragukan lagi. Terlebih hal ini apabila dibandingkan dengan negara negara maju seperti Amerika Serikat, instansi pemasyarakatan (correction) dilibatkan dan disejajarkan dengan instansi Kepolisian, Kejaksaan, serta Pengadilan dalam suatu sistem penegakan hukum terpadu yakni yang disebut dengan istilah integrated criminal justice system (Sistem Peradilan Pidana Terpadu).111 Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Pasal 8 disebutkan bahwa Petugas Pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, sebagai pejabat fungsional penegak hukum, Petugas Pemasyarakatan terikat untuk menegakkan integritas profesi dalam pelaksanaan misi Pemasyarakatan. Konteks pelaksanaan misi Pemasyarakatan tersebut menempatkan posisi petugas Pemasyarakatan dalam lintas relasi yang setara merupakan prasyarat berjalannya sistem peradilan pidana yang terpadu.
Pasal 60 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak mengatur bahwa : (1) Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang harus terpisah dari orang dewasa. (2) Anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
111
Romli Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana Dan Kriminologi (Selanjutnya disebut dengan Romli III), Mandar Maju, Jakarta, hal.140
91
Lembaga Pemasyarakatan anak adalah tempat pendidikan dan pembinaan bagi anak pidana, anak negara dan anak sipil, apabila disuatu tempat belum ada LAPAS anak
maka
anak
didik
pemasyarakatan
ditempatkan
di
LAPAS
namun
penempatannya dipisahkan dengan narapidana dewasa. Salah satu hal ini merupkan suatu bentuk kekhususan yang terdapat dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sehingga prinsip ini diharakan dalam pelaksanaannya atau secara formil dilakukan oleh para aparat penegak hukum yang yang terkait dengan anak yang bermasalah dengan hukum.
5. BAPAS (Balai Pemasyarakatan) Balai Pemasyarakatan adalah suatu lembaga mutlak yang harus ada salam sebuah system eradilan pidana anak khususnya bagi anak yang bermasalah dengan hukum, dimana dalam hal ini BAPAS merupakan sebuah lembaga pelaksana peraturan perundang-undangan khususnya dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pengertian mengena Pembimbing Kemasyarakatan diatur dalam Pasal 1 angka 11 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang
menyatakan
bahwa
Pembimbing
Kemasyarakatan
adalah
petugas
pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan yang melakukan bimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Berbicara
mengenai
tahap
persidangan
sebelum
dibuka,
Hakim
memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan yang berisi data individu anak,
92
keluarga, pendidikan dan kehidupan sosial anak serta kesimpulan atau pendapat dari Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 56), pada waktu pemeriksaan saksi hakim dapat memerintahkan terdakwa keluar sidang., sedangkan orang tua, wali,orang tua asuh, penasihat huklum dan pembimbing kemasyarakatan tetap hadir (Pasal 57). Tugas Balai Pemasyarakatan adalah sebagai perantara untuk melaksanakan bimbingan Pemasyarakatan, dalam perkara anak BAPAS bertugas mempersiapkan LITMAS
(Penelitian
Kemasyarakatan)
yang
dilaksanakan
oleh
Petugas
Pemasyarakatan, selaku pejabat fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas Pembinaan, Pengamanan dan Pembimbingan warga Binaan Pemasyarakatan. LITMAS hendaknya dibuat berdasarkan fakta-fakta yang jelas, bagaimana keadaan anak disekolah, dilingkungan tempat tinggalnya, keterangan RT, RW, Lurah setempat, bagaimana kehidupan sehari-hari anak tersangka tersebut. Selain hal tersebut suatu keluhan dan keberatan masyarakat setempat, data-data yang perlu dipelajari Hakim dalam mempertimbangkan Pemidanaan yang akan dijatuhkan, dan apabila hal tersebut tidak dilakukan maka dapat diancam dengan ancaman batal demi hukum bilamana LITMAS tidak dipertimbangkan Hakim (Pasal 59 ayat 2).
6. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) BAB XI pada pasal 74 Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen. Pasal 75 mengatur tentang keanggotaan Komisi
93
Perlindungan Anak Indonesia yang terdiri dari beberapa unsur yakni ; unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyaraktan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. Pasal 76 mengatu tentang tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia yaitu : (1) Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat,
melakukan
penelaahan,
pemantaun,
evaluasi,
dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak; (2) Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. VISI & MISI KPAI :
VISI : Terjamin, Terpenuhi, dan terlindunginya hak – hak anak di Indonesia.
Misi : a) Menyadarkan semua orang terutama orang tua, keluarga, masyarakat dan negara akan pentingnya perlindungan hak anak; b) Menyadarkan anak-anak sendiri akan hak - haknya;
94
c) Menerima Pengaduan masyarakat dan memfasilitasi pelayanan terhadap kasus-kasus pelanggaran hak-hak anak.112
112
Magdalena Sitorus, 2006, Makalah Perlindungan Anak Di Indonesia Dan Implementasinya, Disampaikan dalam Seminar Kejahatan Terhadap Anak, Meridien 11 Juli 2006, Jakarta.
95
BAB III PROSES PENANGANAN ANAK YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM DALAM PERADILAN PIDANA
3.1 Proses Penanganan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum Di Indonesia Berbicara mengenai proses peradilan anak yang berhadapan dengan hukum maka sebelum membahas menganai hal bagaimana proses peradilan anak di Indonesia dan dalam instrumen internasional maka hendaknya kita membahas mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan proses penanganangan anak itu sendiri. Proses peradilan adalah suatu proses yuridis, dimana harus ada kesempatan orang berdiskusi dan dapat memperjuangkan pendirian tertentu yaitu mengemukakan kepentingan oleh berbagai macam pihak, mempertimbangkannya dan dimana keputusan yang diambil tersebut mempunyai motivasi tertentu.113 Seperti halnya orang dewasa, anak sebagai pelaku tindak pidana juga akan mengalami proses hukum yang identik dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana, arti kata identik disini mengandung arti ”hampir sama”, yang berbeda hanya lama serta cara penanganannya. Menghadapi dan menangani proses peradilan anak nakal, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak
113
Shanty Dellyana, 1988, Wanita Dan Anak Dimata Hukum, Liberty, Yogyakarta, hal.57.
96
dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penangannya sehingga hal ini akan akan berpijak ada konsep kejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Menurut Retnowulan Sutianto perlindungan anak merupakan suatu bidang Pembangunan Nasional, melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional.114 Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan. Proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum erat kaitannya dengan penegakan hukum itu sendiri, dimana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (juvenile justice system). Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana 114
Romli Atmasasmita, 1997, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat Romli IV) hal. 166
97
pada hakikatnya merupakan ”sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” yang diwujudkan dalam 4 (empat) subsistem yaitu: 1. Kekuasaan ”Penyidikan” (oleh Badan/Lembaga Penyidik) 2. Kekuasaan ”Penuntutan” (oleh Badan/Lembaga Penuntut Umum) 3. Kekuasaan ”Mengadili dan Menjatuhkan putusan/pidana” (oleh Badan Pengadilan) 4. Kekuasaan ”Pelaksanaan Putusan Pidana” (oleh Badan/Aparat Pelaksana/Eksekusi).115 Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya. Kewenangan tersebut dilengkapi dengan hukum pidana material yang diatur dalam KUHP dan hukum pidana formal yang diatur dalam KUHAP. Perkembangan terakhir dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat pada Pasal 5 ayat (1), maka advokat telah mempunyai legitimasi sebagai aparat penegak hukum dan dapat dimasukkan sebagai salah satu komponen sistem peradilan pidana.116 Teori berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system). Ada yang menggunakan pendekatan dikotomi dan atau pendekatan trikotomi.117 Pendekatan dikotomi berdasarkan pendapat Herbert L. Packer membedakan
115
Barda Nawawi Arief, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Selanjutnya disebut dengan Barda Nawawi Arief V), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 20. 116
Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, hal.23 117
Romli Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Banding , (selanjutnya disingkat Romli I), hal. 137.
98
pendekatan normatif ke dalam dua model yaitu Due Process Model dan Crime Control Model.118 Pembedaaan dua model tersebut sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan stuktur masyarakat di Amerika. Kedua model sistem peradilan di atas terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya dilandasi pada asumsi tentang: 1. Penetapan suatu tindakan sebagai tindakan pidana harus terlebih dahulu ditetapkan jauh sebelum proses identifikasi dan kontak dengan seorang tersangka pelaku kejahatan atau lebih dikenal dengan asas ex post facto law, artinya undang-undang tidak berlaku surut. 2. Hukum untuk melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku kejahatan. 3. Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak.119 Sedangkan perbedaan sistem Due Process Model (D.P.M) dan Crime Control Model. Crime Control Model (C.C.M) dapat dilihat pada tabel di bawah ini120:
118
Op.cit, hal.152
119
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Bina Cipta, Bandung, (selanjutnya disingkat Romli V) hal. 18 120
Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Bina Cipta, Bandung, (selanjutnya disingkat Romli VI) hal. 12
99
Perbedaan Model Crime Control Model dan Due Process Model Crime Control Model
Versus
Due Process Model
5 Karakteristik
Nilai (Value)
6 Karakteristik
1. Represif
Mekanisme
1. Preventif
2. Presumption of Guilt
(Mechanism)
2. Presumption of Innocence
3. Informal Fact Finding
3. Formal - Adjudicative
4. Factual Guilt
4. Legal Guilt
5. Efisiensi
5. Efektifitas
Affirmative Model
Tipologi
Negative Model
Pendekatan trikotomi yang dapat dipaparkan dalam pembahasan ini meliputi tiga model yaitu : 1. Medical model pendekatan ini berawal dari ajaran Lombroso yang menyatakan penjahat merupakan seorang yang memiliki kepribadian yang menyimpang, dan disebut sebagai orang yang sakit, oleh karena itu sistem peradilan pidana
100
harus menjadi terapi, sehingga pelaku kejahatan rnenjadi manusia yang normal.121 2. Justice Model model ini melakukan pendekatan pada masalah-masalah kesusilaan, kemasyarakatan, dan norma-norma hukum serta pengaruh-pengaruh sistem peradilan pidana. Model ini melakukan re-evaluasi terhadap hasil-hasil dari administrasi peradilan pidana dan memberikan perhatian khusus pada sanksi pidana, moral, dan social cost.122 3. Model Gabungan Model ini adalah model gabungan antara Medical model dan Justice Model, dimana dalam hal ini menitikberatkan pada kompensasi atas korban-korban kejahatan.123
Menurut Muladi, selain Due Process Model (D.P.M) dan Crime Control Model. Crime Control Model (C.C.M) ada model lain yang dikemukakan oleh Muladi yaitu Model Keseimbangan Kepentingan. Menurut Muladi model sistem peradilan pidana yang cocok bagi Indonesia adalah model yang mengacu pada “daad-dader srafrecht” yang disebut dengan Model Keseimbangan Kepentiangan. Model ini
121
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legeslatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara (Selanjutnya disebut dengan Barda Nawawi Arief VI), Badan Penerbit UNDIP, Semarang , hal.19 122
Loc.Cit
123
Ibid
101
adalah model yang realistik yaitu memerhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu : kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban kejahatan.124 Menurut pendapat lainnya terkait dengan model dalam sistem peradilan pidana juga dikemukakan oleh Griffiths yaitu Family Model, setelah kita mempelajari secara mendalam maka kita juga tidak dapat menerima sepenuhnya Family Model dari Griffiths yang saat ini digunakan di negeri Belanda dimana model itu kurang memadai karena terlalu offender oriented padahal disisi lain terdapat korban (the victimof crime) yang memerlukan perhatian serius.125 Bertolak timbulnya konsep pemikiran tersebut dalam tesis ini adalah tidak terlepas dari adanya peraturan yang memuat hukum materiil dan formil terkait dengan perkara yang pelakunya anak yaitu tidak terlepas dari Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak., dimana dalam aturan norma ini dalam kenyataan yang terjadi di Indonseia belumlah dapat memenuhi tujuan dari Undang-undang itu sendiri dimana dalam orientasi ini adalah berorientasi pada ”kepentingan terbaik bagi anak”. Undang-undang No.3 Tahun 1997 yang merupakan ius constitutum mengenai Pengadilan Anak saat ini tidak efektif sebaimana yang digariskan pada konsiderans dan penjelasan Undang-undang itu sendiri, disebabkan pada undang-undang itu tidak memberikan ruang dan jalan keluar untuk melakukan diskresi dan diversi kepada 124
Op.Cit, hal.13
125
Op.Cit, hal.5
102
hakim setelah melihat penilaian BAPAS. Padahal diskresi dan diversi merupakan klep pengaman bagi anak-anak pelaku delinkuen tertentu, untuk terhindar dari proses konvensional sistem peradilan pidana anak yang lazimnya memiliki dampak negatif terhadap terjadinya stigmatisasi anak. Undang-undang No.3 Tahun 1997 tersebut pada tataran ius operatum ketentuan UU No.3 tahun 1997, penegakan hukumnya belum mampu dilakukan oleh aparat penegak hukum yang profesional membidangi anak sebagaimana dikehendaki undang-undang itu sendiri. Dalam kajian kriminologi, stigmatisasi yang dialami anak menjadi factor pemicu kriminogen dalam mengulangi kenakalan berikutnya. Bertolak dari hal tersebut diatas apabila kita lihat dalam ius constitutum maka di Indonesia terkait dengan proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum adalah berdasarkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)) dan Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana sesuai dengan asas “Lex Spesialis derogat Lex Generalis” yaitu aturan khusus mengesampingkan aturan umum sehingga dalam hal proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum adalah berlandaskan Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, namun sepanjang tidak diatur oleh undang-undang ini maka KUHAP tetap diberlakukan. Dalam konteks ini kita berbicara tentang mekanisme peradilan pidana sebagai suatu “proses”, dimana hal ini dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan serta diakhiri dengan
103
pelaksanaan pidana di tempat pemasyarakatan.126 Proses (pelaksanaan penegakan hukum) pidana merupakan suatu bentuk pemeriksaan yang dilakukan menurut tatacara yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 3 KUHAP), Undang-undang ini menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka yang ada dalam proses dimana pelaksanaan dan hak dan kewajiban mereka itu menjadi intinya proses.127 Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum adalah : 1. Dalam Proses Penyidikan ”Kekuasaan Penyidikan” adalah tahap yang paling menentukan dalam operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut dan 126
Romli Atmasasmita, 1983, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana,, Bina Cipta, Bandung, (selanjutnya disingkat Romli VII) hal. 16 127
hal 2
Soedirdjo, 1985, Jaksa Dan Hakim Dalam Proses Pidana, Akademika Presindo, Jakarta,
104
diadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan perbuatannya. Tanpa melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara otomatis, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu tahapan penuntutan,pemeriksaan di muka pengadilan dan tahap pelaksanaan putusan pidana tidak dapat dilaksanakan. Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya128, sedangkan ”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah dan benda sitaan/barang bukti. Di Indonesia, masalah kewenangan dan ketentuan mengenai ”Penyidikan” diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHAP. Tindakan yang dapat dilakukan penyidik adalah penangkapan, penahanan,
mengadakan
pemeriksaan
ditempat
kejadian,
melakukan
penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan 128
((BAP),
penyitaan,
penyimpanan
perkara,
melimpahan
Andi Hamzah, 2006, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet.5, Sinar Grafika, Jakarta, hal.118
105
perkara.129 Penyidikan yang diterapkan dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak harus dipandang sebagaimana layaknya status dan fungsi seorang penyidik menurut KUHAP. Penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuknya, dimana berdasarkan Pasal 41 ayat (2) yang berbunyi : Pasal 41 ayat (2) : Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a. telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
Sedangkan terkait dengan penyidikan anak tersebut haruslah dalam suasana kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Ayat ( 1 ), ( 2 ) dan ( 3 ) UU RI No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa : a. Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan; b. Dalam melakukan penyelidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya; c. Proses penyidikan terhadap anak nakal wajib dirahasiakan.
129
Pramita dan Tamba B.I.T, 2003, Perlindungan Hak Anak Dalam Proses Peradilan Pidana Pada Tahap Penyidikan, Jurnal Hukum, hal.29
106
Bertolak dari hal tersebut maka pada waktu pemeriksaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tersebut seorang penyidik tidak memakai seragam atau dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik. Berbicara mengenai penyidikan anak maka kita akan berbicara mengenai kewenangan yang diatur menurut Pasal 5 ayat (2) dan (3) Undangundang No.3 Tahun 1997 yang berbunyi : Pasal 5 (2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. (3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Bertolak dari bunyi Pasal tersebut terlihat jelas adanya suatu keadaan yang bersifat kabur, dimana dalam hal ini apakah yang menjadi dasar legalitas atas tindakan lain yang berupa pengembalian anak yang bermasalah dengan hukum kepada orang tua atau wali ataupun tindakan pengembalian kepada pihak Departemen Sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum. Terkait dengan hal tersebut akan sangat bersinggungan dengan adanya diskresi yang dimiliki oleh pihak penyidik, sehingga dalam hal ini menimbulkan adanya multitafsir terhadap perumusan Pasal tersebut.
107
Secara khusus tidak ada ketentuan undang-undang di Indonesia yang menetapkan standar tindakan lain atau pengalihan (diversi) untuk pelaksanaan penanganan perkara terhadap anak pelaku tindak pidana oleh aparat kepolisian, namun demikian berdasarkan kewenangan diskresi yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l yang berbunyi: “Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab” serta ayat (2) yang berbunyi: Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat: 1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebutdilakukan; 3) Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; 4) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan 5) Menghormati hak asasi manusia.
Rumusan kewenangan diskresi kepolisian merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum kepolisian (plichtmatigheids
108
beginsel), yaitu asas yang memberikan kewenangan kepada aparat kepolisian untuk ber-tindak ataupun tidak melakukan tindakan apapun berdasarkan penilaian pribadi sendiri dalam rangka kewajibannya menjaga, memelihara ketertiban dan men-jaga keamanan umum. Keabsahan kewenangan diskresi kepolisian, didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk menjalankan tugas kewajibannya dan ini tergantung pada kemampuan subjektifnya.130 Berpijak dari hal tersebut maka akan sangat terkait pula dengan TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Penyelenggaraan Tugas POLRI, dimana TR ini bersifat arahan untuk menjadi pedoman dalam pelaksanaan diversi Dalam TR ini disebutkan bahwa prinsip diversi yang terdapat dalam konvensi hak-hak anak anak, yaitu suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak. Diversi dapat dikembalikan ke orang tua, si anak baik tanpa maupun disertai peringatan informal/formal, mediasi, musyawarah keluarga pelaku dan keluarga korban, atau bentuk-bentuk penyelesaian terbaik lainnya yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat.131
130
Momo Kelana, 2002, Memahami Undang-undang Kepolisian (Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002), Latar Belakang dan Komentar Pasal demi Pasal, PTIK Press, Jakarta, hal. 111 131
TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006. Butir DDD. Dua
109
Secara garis besarnya tugas-tugas penyidikan terdiri dari tugas menjalankan operasi lapangan
dan tugas administrasi hukum. Menurut
Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak , terdapat tugastugas penyidik yang berhubungan dengan tugas yang meliputi : a) Penangkapan Pengertian penangkapan menurut KUHAP Pasal 1 butir (20) : “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Ketentuan hukum acara pidana yang menjadi sorotan essential dari proses penyidikan adalah penangkapan terhadap pelaku tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, dimana tugas penangkapan berbatasan dengan ketentuan hukum yang menegakkan hak-hak asasi anak yang mendapatkan tuntutan keadilan hukum terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah (lembaga polisi). Ketentuan terhadap dasar perlindungan anak harus dapat menonjolkan bentuk-bentuk tindakan dan upaya rasional dan berdimensi rasa keadilan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Wewenang penangkapan dan penahanan terhadap anak meurut Pasal 43 Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak menentukan bahwa kegiatan yang berhubungan dengan penangkapan dan penahanan mengikuti ketentuan Hukum Acara Pidana ((KUHAP). Penangkapan dan
110
penahanan terhadap anak pelaku kejahatan atau anak nakal diatur dalam Pasal 43, 44, 45 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak bahwa : Penangkapan anak nakal sama seperti penangkapan terhadap orang dewasa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu pada Pasal 19 dan penangkapan tersebut dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 ( satu ) hari. Wewenang penangkapan dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum harus pula memperhatikan asas hukum pidana yaitu : Presumsion Of Innocence ( Asas Praduga Tak Bersalah). Kedudukan anak dalam proses pemeriksaan penyidikan terdapat nuansa yang menimbulkan hak-hak anak secara khusus yang dapat mengesampingkan upaya paksa dan tindakan paksa dari proses penyidikan. Kontak awal anatara anak dan polisi harus dihindarkan dalam suasana kekerasan fisik dan psikis sehingga dalam proses penyidikan terdapat hak-hak anak yang meliputi : 1. Terhadap keluarga anak sebagai tersangka wajib diberitahukan terlebih dahulu baik melalui surat maupun lisan sebelum proses penangkapan dilakukan 2. Penangkapan terhadap anak tidak dibolehkan dengan menggunakan alat atau senjata upaya paksa atau wewenang paksa 3. Tersangka anak haru segera mendapat bantuan hukum secara wajib dan Cuma-cuma (dalam penangkapan penyidik penuntut umum harus mengikutsertakan seorang pengacara yang kelak akan menjadi penasehat hukum anak tersebut) 4. Tersangka anak atau orang belum dewasa harus segera mendapatkan proses pemeriksaan
111
5. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian sebagai akibat dari kesalahan.132
b) Penahanan Menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP : “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”
Berdasarkan wewenang tersebut maka setiap instansi penegak hukum memiliki wewenang untuk melakukan penahanan.133
Penahanan Anak harus memperhatikan kepentingan yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, maupun sosial anak serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat misalnya dengan ditahannya anak akan membuat masyarakat aman dan tentram.134 Terkait dengan penahanan sama halnya seperti penangkapan, penahanan tahap pertama terhadap anak juga sama dengan penahanan terhadap orang dewasa yaitu dilakukan hanya berlaku paling lama 20 (dua puluh) hari dan apabila belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 10 (sepuluh) hari. 132
Kadja, Thelma Selly M, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan, Jurnal Hukum Yurisprudensia, No.2 Mei 2000, hal.184 133
Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hal.164 134
Gatot Supramono, 2000, Hukum Acara Peradilan Anak, Djambatan, Jakarta, hal.40
112
Dalam waktu 30 (tiga puluh hari), Polri sebagai penyidik tindak pidana sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum, apabila jangka waktu tersebut dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Perbedaan antara penahanan terhadap anak dengan penahanan orang dewasa terletak di jangka waktu perpanjangan penahanan apabila proses penyidikan belum selesai. Jika anak-anak diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) hari tapi jika orang dewasa dapat diperpanjang paling lama 40 (empat puluh) hari. Disamping itu penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara atau di tempat tertentu. Pasal 45 Undang-undang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa penahanan
dilakukan
setelah
dengan
sungguh-sungguh
mempertimbangkan kepentingan anak dan/atau kepentingan masyarakat. Alasan penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Tempat penahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani serta sosial anak harus dipenuhi. 2. Dalam Proses Penuntutan Menurut Pasal 1 butir 7 KUHAP, “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang
113
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”. Pengadilan anak wewenang penuntutan terhadap anak-anak yang diduga melaukan tindak pidana ada pada Jaksa Penuntut umum, yang ditetapkan berdasarkan surat Keputusan Jaksa Agung. Apabila Penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan yang dilakukan oleh kepilisian ternyata terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak maka jaksa selaku penuntut umum dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP), kemudian melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak bahwa Kejaksaan (Penuntut Umum) diatur dalam Pasal 53 ayat (2) yang berbunyi : Pasal 53 : (2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak
Bertolak dari hal tersebut maka dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum khususnya dalam proses penuntutan dipandang sangat
114
diperlukan untuk mendapatkan perlindungan hukum terkait dengan hak-hak anak dalam proses penuntutan yang meliputi : a) Menetapkan masa tahanan terhadap anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan b) Membuat dakwaan yang dimengerti oleh anak c) Secepatnya melimpahkan pada Pengadilan Negeri d) Melaksanakan penetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan atau mengadakan rehabilitasi.135 3. Dalam Proses Persidangan Anak yang berhadapan dengan hukum ketika anak tersebut dihadapkan dalam proses persidangan maka dalam hal ini perlindungan terhadap anak telah dilakukan ketika penentuan hakim yang menangani perkara anak tersebut dilakukan. Hakim anak diangkat berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan Pasal 9 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Berdasarkan Pasal 10 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berbunyi : Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 adalah : a. telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; dan b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. 135
Kadja, Thelma Selly M, Op.Cit, hal.189
115
Penjelasan Atas Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak tidak ada menjelaskan maksud dan batasan “telah berpengalaman”, oleh karena itu perlu ditetapkan berapa lamanya pengalaman seorang hakim di pengadilan negeri dianggap memenuhi syarat untuk diangkat sebagai Hakim Anak. Menurut Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa lima tahun telah cukup kiranya bagi seorang hakim untuk menguasai hukum acara dan hukum materiil serta mengenal variasi jenis perkara yang ditangani.136 Beberapa hak-hak anak dalam proses persidangan dalam proses peradilan pidana anak meliputi : a) Hak untuk mendapat penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan persidangan pada kasusnya b) Hak untuk mendapatkan pendamping, penasehat hukum selama persidangan c) Mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai dirinya d) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan dan menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial e) Hak untuk menyatakan pendapat f) Hak untuk memohon ganti rugi atas perlakukan yang menimbulkan penderitaan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili dengan alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang-orang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. g) Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan atau penghukuman yang positif dalam artian masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya 136
Romli Atmasasmita, 1997, Peradilan Anak di Indonesia (Selanjutnya Disebut dengan Romli VIII), Mandar Maju, Bandung, hal.53
116
h) Melakukan persidangan yang tertutup demi kepentingannya.137 Mengenai tata ruang sidang Pengadilan Anak, belum ada ditentukan secara jelas dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, oleh karena itu tata ruang sidangnya dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 230 ayat (3) KUHAP, sebagai berikut: a) tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat Penuntut Umum, terdakwa, Penasihat Hukum dan pengunjung; b) tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua sidang; c) tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan hakim; d) tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan dari tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum; e) tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat hakim; f) tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi pemeriksaan; g) tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah didengar; h) bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim sedangkan lambang negara ditempatkan pada dinding bagian atas di belakang meja hakim; i) tempat rohaniawan terletak di sebelah kiri tempat panitera; j) tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i di atas diberi tanda pengenal; k) tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu masuk utama ruang sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu.138
137 138
Op.Cit, hal 52 Op.Cit, hal.65
117
3.2. Proses Penanganan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum Berdasarkan Instrumen Internasional Bertolak bahwa suatu penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Perlindungan hukum anak yang berhadapan dengan hukum kedudukannya sangat penting mengingat dalam mekanisme prosesnya hal terkait dengan perlindungan anak tidak boleh diabaikan . Menurut Arif Gosita, usaha-usaha perlindungan anak ini sebenarnya merupakan suatu tindakan hukum yang mempunyai akibat hukum oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum bagi bagi kegiatan perlindungan
anak
tersebut.
Kepastian
hukumnya
perlu
diusahakan
demi
kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.139 Berbagai dokumen atau instrumen Internasional dalam upaya memberikan perlindungan terhadap anak sudah sepantasnya mendapat perhatian semua negara termasuk Indonesia dan diimplementasikan ke dalam berbagai bentuk kebijakan perundang-undangan
dan
kebijakan
sosial
lainnya.
Mengabaikan
masalah
perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Maka ini
139
Arief Gosita, 1985, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, hal.18
118
berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai cara apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan. Instumen internasional terkait dengan anak dalam persepektif internasional sangat banyak jumlahnya, dimana dalam hal ini terlihat semakin adanya perhatian khusus dari negara-negara didunia menangani masalah Anak. Proses penanganan anak yang berhadapan hukum menurut instrumen internasional terdapat beberapa instrumen yang penting untuk dikaji terkait dengan permasalahan tesis disini antara lain Konvensi Hak-hak Anak dan The United Nation Standard Minimum Rules For The Administration Of Juvinile Justice (The Beijing Rules), dimana terkait dengan masalah mekanisme atau proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum adalah berdasarkan instrumen tersebut. Adapun pemaparan dari instrument internasional tersebut yaitu : 1. Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), yaitu Resolusi No. 109 Tahun 1990, terdapat 2 pasal yang sangat perlu diperhatikan terkait dengan perlindungan hukum dalam proses anak yang berhadapam dengan hukum khususnya dinyatakan pada : Artikel 37 memuat prinsip-prinsip bahwa Negara-negara peserta menjamin : (a) Tidak seorang anak pun dapat menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Hukuman mati atau seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak boleh dikenakan pada kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berusia di bawah 18 tahun. (b) Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.
119
(c) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat manusianya dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan manusia seusianya. Khususnya, setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus dipisahkan dari orang-orang dewasa, kecuali bila dianggap bahwa kepentingan terbaik si anak yang bersangkutan menuntut agar hal ini tidak dilakukan dan anak berhak untuk mempertahankan hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat atau kunjungan-kunjungan, kecuali dalam keadaan-keadaan khusus. (d) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak untuk secepatnya memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain yang layak dan juga menggugat keabsahan perampasan kemerdekaannnya di depan pengadilan atau pejabat lain yang berwenang, independen dan tidak memihak dan berhak untuk dengan segera memperoleh keputusan mengenai tindakan perampasan kemerdekaan tersebut.140 Artikel 40 : 1. Negara-negara peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh, atau dinyatakan melanggar hukum pidana untuk diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan peningkatan perasaan anak akan martabat dan harga dirinya, yang memperkuat penghargaan anak pada Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar orang lain dan yang mempertimbangkan usia anak dan keinginan untuk meningkatkan reintegrasi anak dan menciptakan anak yang berperan konstruktif dalam masyarakat. 2. Untuk tujuan ini dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dari instrumen-instrumen internasional yang relevan, negara-negara peserta khususnya menjamin bahwa: (a) Tidak seorang anak pun dapat disangka, dituduh atau dinyatakan melanggar hukum pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada saat tindakan itu dilakukan. (b) Setiap anak yang disangka atau dituduh telah melanggar hukum pidana mempunyai setidak-tidaknya jaminan-jaminan sebagai berikut: (i) Untuk dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan kesalahannya menurut hukum. (ii) Untuk secepatnya dan secara langsung diberitahukan mengenai tuduhan-tuduhan terhadapnya dan jika dipandang layak, melalui orang tua atau wali anak yang sah, dan untuk memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain dalam mempersiapkan dan mengajukan pembelaannya. 140
Purnianti ;Mamik Sri Supatmi ;Ni Made Martini Tinduk, 2002, Analisa Situasi Anak-Anak yang Berada dalam Sistem Peradilan di Indonesia, UNICEF Indonesia, hal.20
120
(iii)
Untuk memperoleh keputusan atas masalah tersebut tanpa ditunda-tunda oleh pejabat atau lembaga pengadilan yang berwenang, independen, dan tidak memihak dalam suatu pemeriksaan yang adil sesuai dengan hukum, dengan kehadiran penasehat hukum atau bantuan lain yang layak, kecuali jika dianggap hal itu bukan untuk kepentingan terbaik si anak, khususnya dengan memperhatikan usia atau situasi anak, orang tua dan wali hukumnya yang sah. (iv) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau mengakui kesalahan; untuk memeriksa atau menyuruh memeriksa saksi saksi yang memberatkan dan untuk memperoleh peran serta dan pemeriksaan saksi-saksi yang meringankan anak dalam kondisi kesetaraan. (v) Jika dianggap telah melanggar hukum pidana, anak berhak agar keputusan dan setiap tindakan yang dikenakan sebagai akibatnya ditinjau kembali oleh pejabat yang lebih tinggi yang berwenang, independen dan tidak memihak atau oleh badan peradilan sesuai dengan hukum yang berlaku. (vi) Untuk memperoleh bantuan cuma-cuma dari seorang penerjemah apabila anak tidak dapat memahami atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan. (vii) Untuk dihormati sepenuhnya kehidupan pribadinya dalam semua tahap proses pengadilan. 3. Negara-negara peserta harus berupaya meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga-lembaga yang secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh atau dinyatakan melanggar hukum pidana dan khususnya : (a) Menetapkan usia minimum sehingga anak-anak yang berusia di bawahnya dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana. (b) Bilamana layak dan diinginkan, melakukan langkah-langkah untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa harus menempuh jalur hukum, dengan syarat bahwa Hak Asasi Manusia dan perangkat pengamanan hukum sepenuhnya dihormati. 4. Berbagai penyelesaian perkara seperti pemeliharaan, perintah pemberian bimbingan dan pengawasan, pemberian nasehat, masa percobaan, pemeliharaan anak, program-program pendidikan dan pelatihan kejuruan dan alternatif-alternatif lain di luar memasukan anak ke dalam lembaga perawatan harus disediakan guna menjamin anak-anak ditangani dengan cara yang layak bagi kesejahteraan mereka dan sebanding baik dengan keadaan mereka, maupun dengan pelanggaran yang dilakukan.
121
Melalui Kepres Nomor 36 tahun 1990, Konvensi Hak Anak telah diratifikasi dan berlaku mengikat menjadi hukum Inodnesia. Konsekuensi dari suatu negara melakukan ratifikasi perjanjian internasional seperti Konvensi Hak Anak yaitu : (1) Merumuskan/menyatakan atau menguatkan kembali aturan hukum internasional yang sudah ada; (2) Mengubah/menyempurnakan ataupun menghapus kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada, untuk mengatur tindakan-tindakan yang akan datang; (3) Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali yang belum ada sebelumnya.141 Setelah dilakukannya ratifikasi atas Konvensi Hak-Hak Anak oleh Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, maka secara hukum menimbulkan
kewajiban
kepada
Indonesia
(negara
peserta)
untuk
mengimplementasikan hak-hak anak tersebut dengan menyerapnya ke dalam hukum nasional, dalam hal Undang-Undang Pengadilan Anak, dapat dikemukakan merupakan perwujudan atau penampungan dari kaidah hukum Konvensi Hak Anak mengnai peradilan khusus untuk anak-anak yang bermasalah dengan hukum (children in conflict with law).142 2. The United Nation Standard Minimum Rules For The Administration Of Juvinile Justice (The Beijing Rules)
141 142
Syahmin Ak, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, hal 66 M. Joni & Zulchaina, Op.Cit, hal.74.
122
Instrumen internasional ini menjadi resolusi PBB pada tanggal 29 Nopember 1985 dalam Resolusi 40/33, dimana dalam ketentuan ini menggambarkan bahwa dalam proses peradilan pidana anak harus menggambarkan adanya jaminan-jaminan khusus bagi anak dibidang anak yang berhadapan dengan hukum. The Beijing Rules merupakan peraturan-peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak yang mengatur tentang sistem peradilan pidana yang 'sensitif' terhadap anak, aturan ini merupakan aturan standar yang digunakan apabila seorang anak berhadapan dengan hukum serta harus menjalani proses peradilan pidana anak itu sendiri. The Beijing Rules mengatur beberapa prinsip umum dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain sebagai mana yang diatur dalam rule 7.1 menjelaskan beberapa hal penting yang merupakan esensial bagi suatu fair and just trial yang bersifat umum yang artinya jaminan-jaminan hukum yang berlaku bagi setiap orang pada umumnya juga harus berlaku bagi anak sehingga dalam The Beijing Rules menegaskan jaminan-jamina procedural yang harus dijamin pada setiap proses peradilan anak yaitu : a) hak diberitahu akan tuntutan-tuntutan terhadapnya (the right to be notified of the charges) b) hak untuk tetap diam (the right to remain silent) c) hak untuk memperoleh pengacara (the right to counsel) d) hak akan kehadiran orang tua atau wali (the right to the presence of a parent or guardian) e) hak untuk menghadapkan dan memeriksa silang saksi-saksi (the right confront and cross examine witnesses)
123
f) hak untuk naik banding ke pihak berwenang yang lebih tinggi akan dijamin pada seluruh tahap proses peradilan (the right to appeal to higher authority)143 Rule 7.1 diatas merupakan suatu jaminan-jaminan procedural yang mendasar yang bersifat umum. The Beijing Rules secara keseluruhan terdiri dari 6 bagian yaitu : 1) 2) 3) 4) 5) 6)
General Prinsiples Investigasi dan penuntutan Adjudication and disposition Pembinaan luar lembaga Pembinaan dalam lembaga Penelitian, perencanaan dan evaluasi.144
Pembahasan mengenai General Prinsiples telah dipaparkan diatas selanjutnya dalam pembahasan selanjutnya adalah terkaiat tentang : 1) Bidang Penyidikan dan Penuntutan The Beijing Rules dalam Rule 10 meminta perhatian khusus dalam masalah kontak awal terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, dimana disebutkan pula bahwa dalam hal penangkapan atau penahan terhadap anak maka orang tua atau walinya harus segera diberiahukan dalam waktu yang sesingkat mungkin setelah penangkapan atau penahanan dilakukan (Rule 10.1). Hakim atau pejabat yang berwenang tanpa menunda-nunda waktu harus pula mempertimbangkan masalah pengeluaran anak tersebut dari penangkapan atau penahanan (Rule 10.2). Selanjtnya dalam Rule 10.3 disebutkan bahwa kontak antara aparat-aparat penegak hukum dengan pelangga anak (Junivile offender) harus dilakukan dengan cara diatur 143
Op.Cit, hal.115
144
Ibid, hal.116
124
sedemikian rupa sehingga dapat menghormati status hukum anak itu, memajukan kesejahteraan anak itu, dengan memperhatikan keadaan-keadaan mengenai perkara itu. Masalah proses penanganan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum dalam hal ini perlu untuk sangat diperhatikan terkait dengan masalah Sumber Daya Manusia (SDM) dari aparat penegak hukum khususnya dari sub-sistem Kepolisian, dimana dalam The Beijing Rules dalam Rule 12.1 menekankan adanya suatu pendidikan khusus dan latihan khusus bagi aparat penegak hukum khususnya Kepolisisan sehingga dalam hal ini unit polisi khusus yang terdidik dan terlatih menangani proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum. The Beijing Rules mengatur pula hal yang sangat signifikan dan perlu mendapat
porsi utama bagi penanganan anak yang bermasalah dengan
hukum yaitu : terkat dengan adananya pengaturan Diversi (Rule 11.1). Sesuai dengan yang tercantum dalam Resolusi PBB tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration
of
Juvenile
Justice,
(Beijing
Rule) Rule 11 : “Diversion, involving removal from criminal justice processing, and frequently redirection to community support services, is commonly practiced on a formal and informal basis in many legal system. This practice serves to hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many cases, non intervention would be the best response. This diversion at the out set and without referral to alternative (social) services may be the optimal response. This is especially the case where the offence is of a non-serious nature and where the family, the school r other informal social control
125
institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and constructive manner (Diversi, melibatkan penghapusan dari pengolahan peradilan pidana, dan sering redirection ke layanan dukungan masyarakat, umumnya dilakukan secara formal dan informal dalam sistem hukum banyak. Praktek ini berfungsi untuk menghambat efek negatif dari proses berikutnya dalam administrasi peradilan anak (misalnya stigma keyakinan dan kalimat). Dalam banyak kasus, intervensi non-akan menjadi jawaban terbaik. Ini pengalihan di set keluar dan tanpa rujukan ke alternatif (sosial) jasa dapat respon yang optimal. Hal ini terutama kasus di mana pelanggaran bersifat tidak serius dan di mana keluarga, sekolah r informal lainnya lembaga kontrol sosial sudah bereaksi, atau mungkin bereaksi, dalam cara yang tepat dan konstruktif)”145 Secara umum diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat.146 Bertolak dari hal tersebut maka diversi (pengalihan) dalam The Beijing Rules Butir 11 Ayat (1), (2), (3), (4), juga diatur bahwa: a) Apabila perlu, pertimbangan harus diberikan kepada pejabat yang berwenang dalam menangani anak pelaku tindak pidana tanpa mengikuti proses peradilan. b) Polisi, jaksa, atau Lembaga lain yang menangani kasus anak-anak nakal harus diberi kewenangan untuk menangani kasus tersebut dengan kebijakan mereka tanpa melalui peradilan formal, sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam
145
Hadisuprapto, Paulus. 2006, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal.16 146
Unicef, 2004, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Manual Pelatihan untuk POLISI, Jakarta
126
tujuan sistem hukum yang berlaku dan sesuai dengan asas-asas dalam ketentuan lain. c) Setiap diversi yang melibatkan penyerahan kepada masyarakat atau pelayanan lain yang dipandang perlu, membutuhkan persetujuan anak, atau orang tua, atau walinya. Keputusan untuk mengalihkan kasus harus tunduk pada peninjauan kembali pejabat yang berwenang pada prakteknya. d) Untuk mempermudah disposisi kebijakan kasus-kasus anak, upaya-upaya harus dilakukan untuk mengadakan program masyarakat seperti pengawasan dan panduan secara temporer, restitusi, dan kompensasi kepada korban. Pertimbangan harus diberikan apabila perlu untuk mengadili pelaku anak tanpa melalui peradilan formal dari pejabat yang berwenang, untuk mengalihkan atau tidak mengalihkan kasus, selain itu Diversi harus digunakan apabila dimungkinkan. Polisi, jaksa atau lembaga lain harus diberikan wewenang untuk menyelesaikan kasus-kasus semacam itu dengan kebijakan mereka tanpa melalui persidangan formal, sesuai dengan kriteria yang tercantum sebagai tujuan dari sistem hukum dan sesuai dengan pinsip-prinsip dalam
ketentuan-ketentuan
sebaiknya
mempunyai
wewenang
untuk
melakukan diversi. Pada penahanan sementara menunggu proses pemeriksaan pengadilan, The Beijing Rules menegaskan hal-hal sebagai berikut : a) Penahanan sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai pilihan langkah terakhir dan untuk jangka waktu sesingkat mungkin. (Rule 13.1)
127
b) sedapat mungkin penahanan sebelum pengadilan akan diganti dengan langkah-langkah alternatif, seperti pengawasan secara dekat, perawatan intensif atau penempatan pada sebuah keluarga atau pada suatu tempat atau rumah pendidikan. (Rule 13.2) c) Anak-anak yang berada di bawah penahanan sebelum pengadilan berhak akan semua hak dan jaminan menurut Peraturan-Peraturan Minimum Stanadar bagi Perlakuan terhadap Narapidana yang telah disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. (Rule 13.3) d) Penahanan sebelum pengadilan akan ditempatkan terpisah dari orangorang dewasa dan akan ditahan pada suatu lembaga terpisah dari suatu lembaga yang juga menahan orang dewasa. (Rule 13.4) e) Sementara dalam penahanan, remaja-remaja akan menerima perawatan, perlindungan dan semua bantuan individual sesuai dengan usia, jenis kelamin dan kepribadian. (Rule 13.5)
2) Pemeriksaan Pengadilan The Beijing Rules menegaskan bahwa dalam kasus anak apabila tidak dilakukan tindakan diversi berdasarkan ketentuan Rule 11 maka anak harus ditangani oleh pejabat yang berwenang (competent authority) sesuai dengan prinsip –prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak (Rule 14.1), dalam hal ini ditegaskan pula bahwa proses pemeriksaan harus bersifat kondusif bagi kepentingan anak yang terpenting dan dilakukan dalam suasana saling pengertian sehingga anak dapat berpartisipasi dan memberikan pernyataan secara bebas (Rule 14.2). Mengenai bantuan hukum dan kedudukan orang tua atau wali, The Beijing Rules menegaskan bahwa : a) Selama jalannya proses peradilan anak itu akan memiliki hak untuk diwakili oleh seorang penasehat hukum atau untuk memohon bantuan
128
hukum bebas biaya di mana terdapat ketentuan untuk bantuan demikian di negara itu.(Rule 15.1) b) Orang tua atau wali akan berhak ikut serta dalam proses peradilan dan dapat diharuskan oleh pihak yang berwenang untuk menghadirinya demi kepentingan anak itu. Namun demikian, mereka dapat ditolak untuk ikut serta oleh pihak yang berwenang jika terdapat alasan-alasan untuk menduga bahwa pengecualian itu diperlukan demi kepentingan anak itu.(Rule 15.2) Masalah proses anak yang berhadapan dengan hukum dalam hal ini sangat diperlukan untuk diperhatikan yaitu penegasan terhadapan anak harus dilakukan secara cepat, sebagaimana diatur dalam Rule 20.1 The Beijing Rules bahwa setiap perkara anak harus ditangani sejak awal secara cepat tanpa penundaan yang tidak perlu (Eac case shall from the outset be handel expeditiously without any unnecessary delay).147 Bertolak dari hal tersebut maka penting halnya kita mengkaji masalah diversi sebagai salah satu cara untuk untuk mengalihkan tindakan dari tindakan formal ke tindakan informal dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum khususnya pada tahap penyidikan oleh kepolisian, oleh sebab itu maka dalam kajian ini akan membahas mengenai dasar legalitas apa yang dipakai dalam pelaksanaan pengambilan tindakan lain berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali
147
Op.Cit, hal 130
129
ataupun pengembalian anak kepada Departemen Sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum. Melihat beberapa pemaparan diatas terkait dengan proses peradilan anak di Indonesia dan dalam instrumen internasional maka dalam hal ini kita dapat mengkajinya yaitu didalam beberapa Pasal-pasal dalam hukum positif indonesia ataupun Rule-rule dalam instrumen internasional terkait dengan permasalahan anak terdapat beberapa pengaplikasian dari aturan internasional pada hakekatnya telah diadopsi dalam aturan hukum positif kita, namun adopsi tersebut belum sepenuhnya dilkukan sehingga dalam hal proses penanganan anak di Indonesia tersebut masih terdapat kendala-kendala dalam pelaksanaannya antara lain yaitu : 1. Masalah tentang legalitas apa yang dipakai penyidik untuk melakukan tindakan lain berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali ataupun pengembalian anak kepada Departemen Sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum yang dalam normanya belum dijelaskan secara tegas dan eksplisit sehingga menimbulkan keadaan suatu norma yang bersifat kabur (Leemten van Normen) serta menimbulkan suatu keadaan yang multitafsir, dimana setelah dikaji secara akademis maka masalah dasar legitemasi terkait dengan proses penangan anak yang bermasalah dengan hukum maka ada beberapa landasan legitemasi dalam penggunaan diversi ataupun tindakan lain yang dapat diambil oleh penyidik adalah Pasal 5 Undang-unadng No.3
130
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 16 Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian khususnya mengenai diskresi, TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Penyelenggaraan Tugas POLRI sebagaimana dalam hal ini lebih menekankan pada tindakan (non penal) dan bukan pada tindakan (penal) sehingga dalam hal ini akan mempengaruhi penegakan hukum khususnya proses anak yang berhadapan dengan hukum. 2. Masalah Diversi sangat penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak pelaku delinkuen oleh sebab itu maka pengaturan secara khusus mengenai diversi sangatlah diperlukan untuk pembangunan hukum kedepannya, olek karena diversi dapat menghindarkan anak dari proses stigmatisasi yang lazimnya terjadi dalam proses penanganan anak lewat sistem peradilan pidana anak sehingga dalam hal penanganan proses anak yang berhadapan dengan hukum diharapkan kedepannya dapat ditangani dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kedudukan anak. Bertolak dari pemaparan diatas tersebut, maka berdasarkan penelitian normatif yang dilakukan oleh penulis dalam tesis ini terkait dengan adanya kekaburan norma tersebut adalah menemukan solusi yang tepat guna untuk penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satu solusi yang dapat dilakukan terhadap
131
kekaburan norma adalah dengan melakukan suatu penfsiran (interpretasi) terhadap hukum tersebut. Menurut Bruggink mengelompokan berbagai macam interpretasi yaitu : 1)
Interpretasi Bahasa (detaalkundige interpretatie)
2)
Historis Undang-undang (de wetshistorische interpretatie)
3)
Sistematis (de systematische interpretatie)
4)
Kemasyarakatan (de maatshappelijke interpretatie)148
Kekaburan norma dari legalitas dari penyidik untuk menentukan tindakan lain berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali ataupun pengembalian anak kepada Departemen Sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum yang tertuang dalam Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak dapat dipergunakan interpretasi bahasa yaitu dalam konteks tata bahasa yang dimaksud tersebut menekankan pada penyidik sebagai aparat penegak hukum yang memiliki suatu kewenangan atau diskresi dalam penanganan proses sistem peradilan pidana anak yang berhadapan dengan hukum dapat menggunakan tindakan lain dalam proses penangan anak. Bertolak dari hal dapat dipergunakan interpretasi hitoris dari perundang-undangan tentang Pengadilan Anak tersebut dimana Undang-undang No.3 Tahun 1997 adalah penjelmaan salah satu konvensi internasional tentang anak khususnya The Beijing Rules sehingga dalam hal ini legalitas dalam melakukan
148
hal.71
Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
132
tindakan lain berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali ataupun pengembalian anak kepada Departemen Sosial oleh aparat penegak hukum tersebut dapat kita kaji dari The Beijing Rules khususnya Rule 20.1 The Beijing Rules.
133
BAB IV PEMBARUAN HUKUM PIDANA DALAM PROSES PENANGANAN ANAK YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM DI INDONESIA DIKAJI DARI PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM
4.1. Fungsi Dan Tujuan Pengadilan Anak Peradilan Anak pertama kali ada di Amerika Serikat yang diawali pada tahun 1899 di Chicago. Pengadilan itu sendiri dinamakan Juvennile Court of Cook Country, yang kemudian diikuti oleh negara bagian lainnya. Di Belanda sendiri sudah terdapat Undang-Undang Anak (kinderwetten) sejak tahun 1901 dimana mengenai anak-anak ini yang penting untuk diperhatikan bukanlah mengenai masalah pemidanaan bagi mereka, melainkan masalah pendidikan yang perlu diberikan kepada mereka.149 Di Indonesia sendiri, Peradilan Anak terbentuk sejak lahirnya UndangUndang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dengan berlakunya undangundang tersebut mulai tanggal 03 Januari 1998, maka tata cara persidangan maupun penjatuhan hukuman dilaksanakan berlandaskan undang-undang tersebut. Memang jauh sebelum dibentuknya Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut, pengadilan negeri telah menyidangkan berbagai perkara pidana yang terdakwanya anak-anak dengan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dan KUHAP.150
149
Lamintang, 1988, Hukum Penitensir Indonesia, CV Armico, Bandung, hal.171
134
Menurut Soedarto, sejak tahun lima puluhan perhatian ke arah terwujudnya pengadilan anak telah timbul di mana-mana.151 Di samping itu beberapa hakim telah dikirim ke luar negeri untuk mempelajari penyelanggaraan pengadilan anak. Di beberapa Pengadilan Negeri telah ditunjuk hakim-hakim tertentu mengadili perkaraperkara yang terdakwanya adalah anak-anak, dengan tidak terlalu menyimpang dari acara yang berlaku bagi orang-orang dewasa.152 Menurut Soedarto, Pengadilan anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak.
153
Menurut analisa sejarah
(Eropa dan Amerika) ternyata, bahwa ikut campurnya pengadilan dalam kehidupan anak dan keluarga senantiasa ditujukan kepada menanggulangi keadaan yang buruk seperti kriminalitas anak, terlantarnya anak dan eksploitasi terhadap anak.154 Secara harafiah, Peradilan Anak terdiri dari dua kata yaitu kata peradilan dan anak. Menurut kamus Bahasa Indonesia, peradilan berarti segala sesuatu mengenai pengadilan. Bertolak dari hal tersebut maka peradilan merupakan peristiwa atau kejadian atau hal-hal yang terjadi mengenai perkara di pengadilan. Secara sempit, peradilan
adalah
hal-hal
yang
menyangkut
hukum
acara
yang
hendak
mempertahankan materiilnya. Sedangkan secara luas adalah kejadian-kejadian atau 150
Gatot Supramono, Op.Cit, hal.19 Sudarto, 1981, Pengertian dan ruang lingkup Peradilan Anak (Selanjutnya disebut dengan Sudarto III), Bina Cipta, Bandung, hal. 79. 151
152
Notoprojo Sri Widojati, 1974, Peradilan Anak-anak, Bina Cipta, Bandung, hal. 57
153
Op.Cit, hal 80.
154
Op.Cit, hal. 80.
135
hal-hal yang terjadi dengan suatu perkara termasuk proses penerapan hukum acara dalam mempertahankan materiilnya.155 Secara juridis, peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk Badan Peradilan, dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Bantuan Hukum, untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi setiap warga Indonesia.156 Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah “eigenrichting”.157 Fungsi Peradilan Anak pada umumnya adalah tidak berbeda dengan peradilan lainnya yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, namun untuk Peradilan Anak perkara yang ditangani khusus menyangkut perkara anak. Pemberian perlakuan khusus dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik serta mental anak sebagai generasi penerus yang harus diperhatikan masa depannya, dimana dalam hal ini untuk memberikan suatu keadilan, hakim melakukan berbagai tindakan dengan menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya. Hakim dalam mengadili berusaha 155
Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu, 1993, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal.14 156
Ibid, hal.16
157
Op.Cit, hal.51
136
menegakkan kembali hukum yang dilanggar oleh karena itu biasa dikatakan bahwa hakim atau pengadilan adalah penegak hukum. Pengadilan dalam mengadili harus berdasarkan hukum yang berlaku meliputi hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Bertolak dari hal tersebut maka dalam pelaksanaanya, fungsi tersebut dijalankan oleh pejabat-pejabat khusus Peradilan Anak, dengan kata lain, fungsi tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya pemegang peran yaitu pejabat-pejabat peradilan. Bertolak dari hal tersebut maka tujuan Peradilan Anak, bukanlah sematamata mengutamakan pidananya saja sebagai unsur utama, melainkan perlindungan bagi masa depan anak adalah sasaran yang hendak dicapai oleh Peradilan Anak.158 Tujuan peradilan bukan hanya menyatakan terbukti tidaknya suatu peristiwa konkrit dan kemudian menjatuhkan putusan saja, melainkan menyelesaikan perkara. Putusan itu harus menuntaskan perkara, jangan sampai putusan itu tidak dapat dilaksanakan atau bahkan menimbulkan perkara atau masalah baru, dimana mengingat bahwa anak harus mendapat perlindungan dan oleh karena itu perlu mendapat perhatian dan perlakuan khusus pula, maka dalam Peradilan Anak ini janganlah hendaknya ditititkberatkan kepada terbukti tidaknya perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan si anak semata-mata tetapi harus lebih diperhatikan dan dipertimbangkan latar belakang dan sebab-sebab serta motivasi pelanggaran atau perbuatan yang dilakukan oleh si anak dan apa kemungkinan akibat putusan itu bagi si anak demi masa depan si anak.159 Bertolak dari hal tersebut maka, melalui
158
Op. Cit., hal.39
137
Peradilan Anak diharapkan adanya suatu perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak serta pencegahan terjadinya pengulangan kejahatan anak melalui tindakan pengadilan yang konstruktif. Penanganan anak yang berhadaan dengan hukum pada prinsipnya terkait dengan tujuan dan dasar pemikirannya adalah untuk mengutamakan kesejahteraan anak ditegaskan dengan jelas dalam The Beijing Rules khususnya dalam rule 5.1 mengenai Aims of juvenile justice ditegaskan ”The juvenile justice shall emphasize the well being of the juvenile and shall ensure that any reactin to juvenile offenders shall always be in proportion to the circum of the both the offender and offence (Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apa pun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya)”. Rule 5.1 ini menunjukkan pada dua tujuan atau sasaran yang sangat penting yaitu : 1) Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile) Sasaran utama dalam tujuan ini merupakan fokus utama dalam sisitem hukum yang menangani pelanggaran ana khususnya dalam system hukum yang mengikuti model peradilan pidana harus lebih menekankan atau mengutamakan kesejahteraan anak 159
Loc. Cit.
138
2) Prinsip Proporsionalitas (the principle of proportionality) Bahwa disebutkan sasaran kedua adalah menyangkut prinsip proporsionalitas dimana dalam hal ini merupakan alat untuk mengekang sanksi yang lebih menghukum dalam arti hanya membalas semata-mata Bertolak dari aturan tersebut apabila dasar pemikiran dan tujuan peradilan anak difokuskan pada kesejahteraan anak maka berpijak kepada Undang-undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, proses peradilan anak juga haruslah dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial sehingga dari pendekatan yang berorientasi pada kesejahteraan atau kepentingan anak diperlukan pula pendekatan secara khusus dalam proses penanganana anak yang bermasalah dengan hukum. Hal ini berarti bahwa diperlukan adaanya perhatian khusus, pertimbangan khusus, pelayanan khusus, dan perlakuan khusus dalama penanganan anak yang bermasalah dengan hukum tersebut.
4.2. Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dunia hukum dalam beberapa tahun ini telah mengalami reformasi cara pandang dalam penanganan anak yang melakukan kenakalan dan perbuatan melanggar hukum. Banyak negara yang mulai meninggalkan mekanisme peradilan anak yang bersifat represif dikarenakan kegagalan sistem tersebut untuk memperbaiki tingkah laku dan mengurangi tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Para pakar hukum dan pembuat kebijakan mulai memikirkan alternatif solusi yang lebih tepat dalam penanganan anak dengan memberikan perhatian lebih untuk
139
melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan rehabilitasi) dalam penyelesaian masalah, berbeda dengan cara penanganan orang dewasa. Hal ini dikarenakan peningkatan kesadaran bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa. Masa anak-anak adalah periode yang rentan dalam kondisi kejiwaaan dimana anak belum mandiri, belum memiliki kesadaran penuh, kepribadian belum stabil atau belum terbentuk secara utuh, dengan kata lain keadaan psikologinya masih labil, tidak independen, dan gampang terpengaruh. Kondisi demikian menyebabkan adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh anak tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh anak itu sendiri, karena anak sebagai pelaku bukanlah sebagai pelaku murni akan tetapi juga sebagai korban. Anak tidak seharusnya dihadapkan pada sistem peradilan jika ada yang lebih baik demi kepentingan terbaik bagi anak untuk menangani perbuatan anak yang melanggar hukum. Kesadaran untuk menjadikan peradilan pidana sebagai langkah terakhir untuk menangani Anak Berhadapan dengan Hukum tercermin dari konvensi yang disepakati oleh negara-negara di dunia. Bertolak dari pemaparan yang dijelaskan diatas, maka kita akan berbicara dan menelaah kebijakan yang bersifat alternatif, yaitu : 1. Konsep Diversi Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan
140
kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan. Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata ” diversion” pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana Anak ( President ’s Crime Commissions) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1990.160 Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti Diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak ( Children’s Courts) sebelum abad ke- 19 yaitu Diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (policy cautioning). Prakteknya telah berjalan dinegara bagian Victoria Australia pada tahun 1959 , di ikuti oleh negara bagian Queensland pada tahun 1963.161 Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Delinquency a Sociological Approach menyatakan ”Diversion is an attempt to divert, or channel out, 160
Marlina , 2008, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak , Jurnal Equality, hal.1 161
Ibid
141
youthful offender from the juvenile justice system (Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari system peradilan pidana).162 Penjelasan terkait dengan diversi sebagai mana telah diatur dalam The Beijing Rules , dimana dalam hal ini hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Resolusi PBB tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, (Beijing Rule) Rule 11 : “Diversion, involving removal from criminal justice processing, and frequently redirection to community support services, is commonly practiced on a formal and informal basis in many legal system. This practice serves to hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many cases, non intervention would be the best response. This diversion at the out set and without referral to alternative (social) services may be the optimal response. This is especially the case where the offence is of a non-serious nature and where the family, the school r other informal social control institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and constructive manner (Diversi, melibatkan penghapusan dari pengolahan peradilan pidana, dan sering redirection ke layanan dukungan masyarakat, umumnya dilakukan secara formal dan informal dalam sistem hukum banyak. Praktek ini berfungsi untuk menghambat efek negatif dari proses berikutnya dalam administrasi peradilan anak (misalnya stigma keyakinan dan kalimat). Dalam banyak kasus, intervensi non-akan menjadi jawaban terbaik. Ini pengalihan di set keluar dan tanpa rujukan ke alternatif (sosial) jasa dapat respon yang optimal. Hal ini terutama kasus di mana pelanggaran bersifat tidak serius dan di mana keluarga, sekolah r informal lainnya lembaga kontrol sosial sudah bereaksi, atau mungkin bereaksi, dalam cara yang tepat dan konstruktif)”163
162
Marlina, 2007, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Medan, hal. 83 163
Op.Cit, hal.16
142
Secara umum diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat.164 Dari ketentuan substantive UU No.3 tahun 1997 yang mengatur tentang peradilan anak nakal tidak ada mengatur tentang diversi, yaitu membuat pengaturan dari bentuk penyimpangan penanganan anak pelaku delinkuen di luar jalur yustisial konvensional sebagaimana dikehendaki dalam Commentary Rule 11 Resolusi PBB 40/33, UN Standard Minimum Rule for the Administration of Juvenile Justice.165 Diversi sangat penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak pelaku delinkuen, diversi dapat menghindarkan anak dari proses stigmatisasi yang lazimnya terjadi dalam proses pemidanaan anak lewat sistem peradilan pidana anak. Menurut pendapat Peter C. Kratcoski, ada tiga jenis pelaksanaan program diversi yang dapat dilaksanakan yaitu :17 a) Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat. b) Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan. 164
165
Ibid
M.Musa, 2008, Peradilan Restoratif Suatu Pemikiran Alternatif System Peradilan Anak Indonesia, Serial Online Februari 14, 2009, availaible from : URL: Hukum Online.com/2009/02/14/ Peradilan-Restoratif-Suatu-Pemikiran-Alternatif-System-Peradilan-Anak
143
c) Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.166
Salah satu pedoman yang dapat menjadi pegangan penyidik Polri dalam menerapkan konsep diversi dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum adalah TR Kabareskrim Polri No. Pol.: TR/1124/XI/2006 yang memberi petunjuk dan aturan tentang teknik diversi yang dapat dilakukan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. TR Kabareskrim Polri yang berpedoman pada Pasal 18 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membahas masalah Diskresi Kepolisian. TR ini bersifat arahan untuk menjadi pedoman dalam pelaksanaan diversi, dimana dalam TR ini disebutkan bahwa prinsip diversi yang terdapat dalam konvensi hak-hak anak anak, yaitu suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak. Diversi dapat dikembalikan ke orang tua, si anak baik tanpa maupun disertai peringatan informal/formal, mediasi, musyawarah keluarga
166
Loc.Cit
144
pelaku dan keluarga korban, atau bentuk-bentuk penyelesaian terbaik lainnya yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat.167 Kepada Kepolisian diarahkan agar sedapat mungkin mengembangkan prinsip diversi dalam model restorative justice guna memproses perkara pidana yang dilakukan oleh anak yakni dengan membangun pemahaman dalam komunitas setempat bahwa perbuatan anak dalam tindak pidana harus dipahami sebagai kenakalan anak akibat kegagalan/kesalahan orang dewasa dalam mendidik dan mengawal anak sampai usia dewasa. Tindak pidana anak juga harus dipandang sebagai pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia sehingga memunculkan kewajiban dari semua pihak atau seluruh komponen masyarakat untuk terus berusaha dan membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik melalui kelibatan semua pihak untuk mengambil peran guna mancari solusi terbaik, baik bagi kepentingan pihak-pihak yang menjadi korban dan juga bagi kepentingan anak sebagai pelaku di masa sekarang dan dimasa datang. Setiap tindak pidana yang melibatkan anak dapat diproses dengan pendekatan restorative justice sehingga menjauhkan anak dari proses hukum formal/pengadilan agar anak terhindar dari trauma psikologis dan stigmasasi serta dampak buruk lainnya sebagai ekses penegakan hukum.168 Penahanan terhadap anak hanya dilakukan ketika sudah tidak ada jalan lain dan 167
TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006. Butir Dua
168
Ibid Butir Empat
145
merupakan langkah terakhir (ultimum remidium), dan pelaksanaanya harus dipisahkan dari tahanan dewasa.169 Pengaturan lain mengenai pemberlakuan diversi dapat pula dilakukan dengan merujuk pada Pasal 28 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Penyelenggaraan Tugas POLRI, dimana dalam melaksanakan tindakan pemeriksaan terhadap anak, petugas wajib mempertimbangkan: a. hak untuk mendapatkan petugas pendamping khusus untuk anak; b. hak untuk didampingi oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas); c. hak untuk didampingi oleh orang tua atau wali; dan d. penerapan prosedur khusus untuk perlindungan dan peradilan anak Hal ini memberi pedoman dan wewenang bagi penyidik Polri untuk mengambil tindakan lain yang bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Dasar hukum penerapan diversi ini adalah Pasal 18 ayat 1 huruf L yang diperluas oleh Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi: “Polisi dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dengan batasan bahwa tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, selaras dengan kewajiban hukum/ profesi yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan tersebut, tindakan tersebut harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya, 169
Ibid Butir Lima
146
didasarkan pada pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati Hak Asasi Manusia.
Penerapan ketentuan diversi merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. Adapun tujuan dari diversi yaitu ; 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Untuk menghindari penahanan Untuk menghindari cap/label sebagai penjahat Untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku Agar pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya Untuk mencegah pengulangan tindak pidana Untuk memajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan pelaku tanpa harus melalui proses formal Program diversi juga akan menghindari anak mengikuti proses system peradilan Lebih lanjut program ini akan menjauhkan anak-anak dari pengaruhpengaruh dan implikasi negative dari proses peradilan tersebut.170
Bertolak dari hal tersebut diatas terdapat beberapa bentuk – bentuk Diversi yaitu sebagai berikut : 1) 2) 3) 4) 5) 170
Non intervensi Peringatan informal Peringatan formal Mengganti kesalahan dengan kebaikan / Restitusi Pelayanan Masyarakat
Lushiana Primasari, Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Serial Online September 16, 2009, availaible from : URL:http:Keadilan-Restoratif-Dan-Pemenuhan-Hak-Asasi-Bagi-Anak-Yang-Berhadapan-DenganHukum.com, hal.3
147
6) 7) 8) 9)
Pelibatan dalam program keterampilan Rencana individual antara polisi, anak, dan keluarga Rencana yang diputuskan oleh pertemuan tradisional Rencana yang didasarkan pada hasil pertemuan kelompok keluarga171
Pengalihan apapun yang melibatkan perujukan kepada pelayanan– pelayanan masyarakat atau pelayanan lain akan memerlukan persetujuan remaja itu, atau orang tua walinya dengan syarat keputusan merujuk perkara tersebut tergantung pada kajian dari pihak berwenang yang berkompeten atas permohonan tersebut. Menurut standard Internasional Diversi dapat dilakukan pada setiap tahapan proses peradilan, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, dan pelaksanaan putusan hakim, namun dalam ketentuan hukum di Indonesia, pelaksanaan Diversi hanya dimungkinkan ditingkat penyidikan artinya hanya merupakan kewenangan dari kepolisian, sementara di lembaga lain seperti Kejaksaan, Kehakiman, atau Lembaga pemasyarakatan belum ada aturan yang mengaturnya. Hal ini yang harusnya mulai dipikirkan oleh pemerintah agar penerapan diversi ini dapat berjalan dalam semua tahap proses peradilan. Keberadaan Diversi ini sangat diperlukan, sebab melalui Diversi tersebut penuntutan pidana gugur dan
171
Makalah APH Training-Diversi-RJ, FH UNDIP, 2007
148
criminal track – record anakpun serta stigmatisasi anak tidak terjadi.172 Pada tingkat penuntutan, upaya diversi tidak dapat dilakukan, karena lembaga penuntut tidak memiliki kewenangan diskresioner, sedangkan pada tingkat pengadilan diversi terbatas pada tindakan pengadilan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara atau kurungan. Diversi dalam hal ini akan sangat terkait dengan diskresi, dimana diskresi adalah kewenangan yang dimiliki Polisi untuk mengehentikan penyidikan perkara dengan membebaskan tersangka anak, atau pun melakukan pengalihan dengan tujuan agar anak terhindar dari proses hukum lebih lanjut. Penerapan peradilan khusus anak telah memberikan ruang untuk pelaksanaan diversi secara luas. Perubahan-perubahan pada peradilan umum menuju peradilan yang mengutamakan perlindungan anak dan diversi pada saat itu dapat kita lihat pada tabel berikut : Tabel Restrukturisasi Peradilan Pidana Setelah Reformasi Hukum Proses
Kebijakan
Penyebab Kejahatan
Tindakan pencegahan Delikuensi
Tindak Pidana Oleh Anak
Dekriminalisasi
Ditangkap Polisi
Diversi
Pengadilan
Proses Peradilan Anak
Penjara
172
Loc.cit
Deinstitutionalisation/Diskresi
149
Tabel 1 di atas mengambarkan terjadinya perubahan kebijakan peradilan pidana yang ditujukan untuk melindungi anak yang bermasalah dengan hukum. Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikanperlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan. Setelah itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran maka tidak perlu diproses ke polisi. Selanjutnya jika anak yang melakukan pelanggaran sudah terlanjur ditangkap oleh polisi, polisi dapat melakukan diversi tanpa meneruskan ke jaksa penuntut. Kemudian apabila kasus anak sudah sampai di pengadilan, maka hakim dapat melakukan peradilan sesuai dengan prosedurnya dan diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana penjara. Terakhir bila anak sudah terlanjur berada di dalam penjara, maka petugas penjara dapat membuat kebijakan diversi terhadap anak sehingga anak dapat di limpahkan ke lembaga sosial, atau sanksi alternatif yang berguna bagi perkembangan dan masa depan anak.173 Bertolak dari hal tersebut sebagaimana yang ditekankan dalam literatur berjudul ”Crime and Criminal Justice Policy” menyatakan bahwa ”One of the keys to diversion has been the increased use of cautioning by the 173
Marlina, 2008, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008, hal.98
150
police”, the police clearly have discreation in dealing with offender (Salah satu kunci untuk pengalihan telah memperingatkan peningkatan penggunaan oleh polisi ", jelas polisi telah discreation dalam berurusan dengan pelaku).174 Lembaga kepolisian merupakan salah satu kunci untuk melakukan diversi, dimana lembaga kepolisisan menggunakan kewenangan diskresioner yang dimilikinya, antara lain tidak menahan anak akan tetapi menetapkan suatu tindakan berupa mengembalikan anak kepada orang tuanya atau menyerahkannya kepada negara.
2. Restorative Justice Konvensi Negara-negara di dunia mencerminkan paradigma baru untuk menghindari peradilan pidana anak. Restorative Justice (keadilan restoratif) adalah alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan anak yang bermasalah dengan hukum Keadilan restoratif (restoratif justice) merupakan hal yang relatif baru di Indonesia, meskipun demikian dalam hal ini restorative justice memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi masalah delinkuensi anak. Perubahan paradigma tentang keadilan dalam hukum pidana merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini. Masyarakat Internasional semakin menyadari dan menyepakati bahwa perlu ada
174
Tim Newburn, 1995, Crime and Criminal Justice Policy (1 Edition), LONGMAN, Sosial Policy in Britain Series, hal.139
151
perubahan pola pikir yang radikal dalam menangani permasalahan Anak yang berhadapan dengan hukum. Sistem peradilan anak yang sekarang berlandaskan pada keadilan retributive (menekankan keadilan pada pembalasan) dan restitutive (menekankan keadilan atas dasar pemberian ganti
rugi)
hanya
memberikan
wewenang
kepada
Negara
yang
didelegasikan kepada Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim). Pelaku dalam hal ini anak yang berhadapan dengan hukum dan korbannya sedikit sekali diberikan kesempatan untuk menyampaikan versi keadilan yang mereka inginkan. Negara yang menentukan derajat keadilan bagi korban dengan memberikan hukuman penjara pada pelaku, karena itu tak heran tindak kriminal yang dilakukan anak yang berhadapan dengan hukum semakin meningkat karena di penjara mereka justru mendapat tambahan ilmu untuk melakukan kejahatan dan kemudian merekrut anak lain untuk mengikutinya. Restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan materil). Restorative Justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan.175 Kenyataan yang ada saat ini, sistem pemidanaan yang berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (integrated justice), yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi
175
Bagir Manan, 2008, Retorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, hal. 4.
152
masyarakat. Hal inilah yang mendorong kedepan konsep ”restorative justice”. Menurut Bagir Manan, menguraikan tentang substansi ”restorative justice” berisi prinsip-prinsip, antara lain: ”Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”.176 Bertolak dari hal tersebut maka dalam hal menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara yang lebih informal dan personal, dari pada penyelesaian dengan cara-cara beracara yang formal (kaku) dan impersonal. Menurut Fruin J.A. dalam Paulus Hadisuprapto, ”peradilan anak restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap pelaku delinkuensi anak tidak akan efektif tanpa adanya kerjasama san keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat”. Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa keadilan paling bak terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses
176
Ibid, hal.7
153
peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.177 Menangani masalah anak yang berhadapan dengan hukum hendaknya dilakukan dengan pendekatan secara kekeluargaan dan sedapat mungkin menghindarkan anak dari lembaga peradilan. Pengadilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum menjadi upaya terakhir setelah berbagai upaya yang dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan telah ditempuh. Secara umum, prinsip-prinsip keadilan restoratif adalah : 1. Membuat pelanggar bertangung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya; 2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif; 3. Melibatkan para korban, orangtua, keluarga besar, sekolah, dan teman sebaya; 4. Menciptakan fórum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah;menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.178
177
Paulus Hadisuprapto, 2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya (Selanjutnya disebut dengan Paulus II), Bayumedia Publishing, Malang, hal 225 178 Op.Cit, hal.357
154
Dalam restorative justice metode yang dipakai adalah musyawarah pemulihan dengan melibatkan korban dan pelaku beserta keluarga masingmasing, ditambah wakil masyarakat yang diharapkan dapat mewakili lingkungan dimana tindak pidana dengan pelaku anak tersebut terjadi. Dengan adanya dukungan dari lingkungan setempat untuk menyelesaikan masalah di luar sistem peradilan anak diharapkan dapat menghasilkan putusan yang tidak bersifat punitif, namun tetap mengedepankan kepentingan dan tanggung jawab dari anak pelaku tindak pidana, korban dan masyarakat. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keadilan restoratif ini adalah anak sebagai pelaku, korban dan saksi akan dilindungi oleh sistem peradilan anak yang ramah anak dan peka gender dan oleh masyarakat.179 Proses restorative justice pada dasarnya merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang pada dasarnya merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Berdasarkan perundang-undangan yang diuraikan dan situasi kondisi (fakta) yang terjadi selama ini, maka upaya penyelesaian masalah anak yang bermasalah dengan hukum melalui upaya diversi dan keadilan restoratif
179
Kusumaningrum, Keadilan bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka Protective Environment, Serial Online September 16, 2009, availaible from URL: http: //www.unicef.org/ Indonesia /uni-jjs1_2final.pdf
155
(restorative justice) merupakan salah satu langkah yang tepat bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang bermasalah dengan hukum. Bertolak dari hal tersebut diatas maka untuk mengefektifkan restorative justice dalam rangka pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan hukum, perlu sosialisasi dan koordinasi dari berbagai pihak, yaitu aparat penegak hukum, keluarga, maupun tokoh masyarakat. Tanpa sosialisasi tersebut maka penerapan restorative justice menjadi sulit diwujudkan sebagai alternatif penyelesaian masalah anak yang berhadapan dengan hukum.
4.2. Pembaruan Hukum Pidana Dalam Proses Penanganan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum di Indonesia Dikaji
Perspektif Ius
Constituendum Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri, dimana dalam hal ini dapat ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio-filosofik, sosio- kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Bertolak dari hal tersebut maka makna dan hakikat pembahaman hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek
artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada
hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatar belakangi hal tersebut.
156
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio-filosofik, sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Pembaharuan hukum pidana pada kakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ("policy-oriented") dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ("value-oriented approach")180. Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau "policy" yaitu bagian dari politik hukum atau penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal,dan politik sosial. Setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Bertolak dari hal tersebut maka pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Bertolak dari hal tersebut diatas maka makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana, sebagai berikut: 1. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan : a. Sebagai bagian dari kebijakan-sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-
180
Barda Nawawi, 1994, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Selanjutnya disebut dengan Barda Nawawi Arief VII), Universitas Diponegoro, Semarang, hal.31
157
masalah
sosial
(termasuk
masalah
kemanusiaan)
dalam
rangka
mencapai/menunjang tujuan nasionat (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya); b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan); c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. 2. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai: Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali ("re-orientasi dan reevaluasi") nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik, sosio- kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan "reformasi" hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicitacitakan sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).181 Dua
masalah
sentral
dalam
kebijakan
kriminal
dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan: 181
Ibid
158
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana. 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi intergral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berati pemecahan masalah-masalah diatas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosio-politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana,. termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral diatas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. Penanggulangan delinkuensi anak erat kaitannya dengan kebijakan kriminal (criminal policy), hal ini melihat suatu delikuen anak baik itu merupkan pelanggaran ataupun perbuatan pidana maka kita harus melihatnya secara logis bahwa suatu kebijakan sangatlah diperlukan menimbang anak adalah aset suatu bangsa yang perlu mendapat perhatian khusus. Kebijakan kriminal sebagai usaha rasional masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, di dalam gerak operasionalnya terarah pada dua
159
jalur, yaitu kebijakan penal dan kebijakan non penal.182 Menurut Paulus Hadisuprapto penggunaan sarana penal atau jalur hukum pidana cenderung merugikan masa depan anak karena membekaskan stigma pada anak.183 Melalui sarana penal, seorang anak terpaksa harus berhadapan dengan proses hukum yang panjang, mulai pada proses penyidikan oleh kepolisian, proses penuntutan oleh jaksa, proses persidangan di pengadilan oleh hakim, dan mengalami proses penahanan dalam rumah tahanan. Kondisi tersebut dapat memberikan tekanan baik fisik maupun mental bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Satjipto Rahardjo, dalam tulisannya berjudul : "Pembangunan Hukum yang diarahkan kepada tujuan Nasional", mengemukakan bahwa tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan sesudah kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada keputusan politik yang diambil dalam kedua masa tersebut dan pengimplimentasiannya kedalam system hukum masing-masing. Apabila keputusan politik yang diambil setelah kemerdekaan rakyat
yang
182
Op.Cit, hal.16
183
Op.cit, hal.5
17 Agustus 1945 adalah mengutamakan kemakmuran sebesar-besamya,
maka
keputusan demikian harus
160
dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum dan sruktur hukumnya pun harus menyediakan kemungkinan untuk melakukan hal itu.184 Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Soedarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama diatas, yang seeing disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut: a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan mi maka (penggunaan) kejahatan
hukum
dan
pidana
mengadakan
bertujuan pengugeran
untuk
menanggulangi
terhadap
tindakan
penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian, (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat. c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan – badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampuan beban tugas (overlasting).185
184
Masalah-masalah Hukum , No.5-6 Thn. XII/1982, FH. UNDIP, hal. 2
161
Masalah dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan adalah kecendrungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subyektif, misalnya nilai-nilai, ke dalam proses pembuatan keputusan. Dikemukakan pula bahwa perkembangan dari "a policy oriented approach" ini lamban datangnya, karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian. Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Ha lini merupakan konsekwensi logis, karena seperti dikatakan oleh Soedarto, dalam melaksanakan politik (kebijakan) orang mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak altematif yang dihadapi.186 Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang
185
Op.Cit, hal 44
186
Ibid, hal. 161.
162
fungsional; dan inipun merupakan pendekatan yang melekat (inherent) pada setiap kebijakan yang rasional, dengan demikian dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgment approach). Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminil dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas, dimana upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan : a. Penetapan hukum pidana (criminal law application). b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment through mass media).187 Bertolak dari hal tesebut diatas maka dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua yaitu jalur, yakni sarana penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (bukan/diluar hukum pidana) sedangkan upaya-upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non-penal. Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai, karena seperti dikatakan oleh Christiansen, "the conception 187
Dwi H. Retnaningrum & Manunggal K. Wardaya, 2008, Perlindungan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana, Jurnal PENEGAKAN HUKUM, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, hal.6
163
of problem crime and punishment is an essential part of the culture of any society (konsepsi masalah kejahatan dan hukuman merupakan bagian penting dari budaya setiap masyarakat)".188 Menurut W. Clifford, "the very foundation of any criminal justice system consist of the phylosophy behind a given country (sangat dasar dari setiap sistem peradilan pidana terdiri dari filosofi di balik pemberian Negara)".189 Terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan
nasionalnya
bertujuan
untuk membentuk
manusia Indonesia seutuhnya. Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tujuan tersebut, maka pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia. Bertolak dari hal bahwa kebijakan kriminal sebagai usaha rasional masyarakat
untuk
menanggulangi
kejahatan,
di
dalam
gerak
operasionalnya terarah pada dua jalur, yaitu kebijakan penal dan kebijakan non penal maka dalam hal proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dapat pula diambil kebijakan dalam dua hal tersebut. 188 189
Op.Cit, hal. 15. Karl O. Christiansen, dalam Resource Material Series No.7, 1974,UNAFEI, hal.75.
164
Sebagaimana telah dipaparkan secara jelas dan kongkrit bahwa jalur penal telah diatur secara tegas dan jelas dalam aturan positif di Indonesia untuk masalah penanganan anak yang berhadapan dengan hukum yaitu sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak namun proses penanganan dalam sarana penal tersebut lebih menekankan kepada suatu proses peradilan anak yang dapat menimbulkan suatu stigmatisasi dan labeling kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam konteks di Indonesia, dengan degradasi moral anak, mekanisme tersebut dapat diterapkan guna menghilangkan stigmatisasi dan labeling yang diproduksi oleh sistem peradilan anak. Anak yang tersesat dalam dunia hitam harus dikembalikan atau direhabilitasi melalui kebijakan Non Penal (tindak mempidana) khususnya melalui diversi yang bermuara pada restorative justice. Kebijakan ini sesuai dengan pemikiranpemikiran Marc Ancel sendiri yang pernah mengungkapkan bahwa apabila terjadi suatu kejahatan dalam suatu wilayah, maka yang sakit bukan hanya pelaku tetapi juga masyarakat, Ancel yang berpandangan reformis dan moderat lebih sempurna menganalisis bahwa kegagalan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan termasuk kenakalan remaja, karena hukum pidana seharusnya bertitik tolak “perlindungan sosial dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, karena itu sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian
165
hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus tetap dipertahankan, namun tidak digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknikteknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.190 Bertolak dari kebijakan penegakan hukum pidana termasuk pula penanganan pidana anak maka dalam hal ini akan berorientasi kepada : 1) kebijakan legislatif (formulatif) 2) kebijakan yudikatif/ aplikatif 3) kebijakan eksekutif/administratif Maka dalam proses penangan anak yang bermasalah dengan hukum khususnya sarana non-penal (aturan diversi) haruslah terlebih dahulu dirumuskan secara limitatif dalam hukum positif Indonesia dimana dalam hal ini yaitu Undang-undang Pengadilan Anak, hal ini tidak terlepas dari asas legalitas yang dianut hukum pidana khususnya Indonesia yang bersistem hukum Civil Law. Menurut Max Weber definisi hukum yaitu :”an order will be called law if it is externally guaranteed by the probality that coercion (physical or psycological) to bring about conformity or avenge violation will be apllied by staff of people holding themselves spesially ready for purpose (suatu pendekatan akan disebut hukum jika dijamin oleh probality eksternal bahwa
190
SR. SIanturi dan Mompang Panggabean, 1996, Hukum Penitensia di Indonesia, AHM dan PTHM, Jakarta, hal. 20
166
paksaan (fisik atau psycological) untuk membawa kesesuaian atau membalas pelanggaran akan ditetapkan oleh badan khusus guna untuk mencapai tujuan)”.191 Berkaitan dengan perumusan suatu norma maka dalam hal ini norma hukum ditetapkan oleh badan hukum yang berwenang. Bertolak dari hal tersebut maka sangatlah penting adanya suatu aturan yang telah disahkan oleh badan yang berwenang atau dilakukannya penormaan dari konvensi internasional tentang anak yang telah ada sebelumnya sehingga para aparat penegak hukum yang menangani proses penangan anak yang bermasalah dengan hukum memiliki pegangan didalam praktek sistem peradilan anak tersebut. Patut dicatat pula bahwa penormaan tersebut haruslah selaras dengan nilai filosofi dan sosial dari masyarakat Indonesia, dimana Pemikiran harmonisasi bermula dari Rudolf Stamler yang mengemukakan bahwa konsep dan prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup “harmonisasi” antara maksud, tujuan dan kepentingan individu dengan maksud, tujuan dan kepentingan masyarakat umum. Dengan kata lain, hukum akan tercipta baik apabila terdapat keselarasan antara maksud, tujuan dan kepentingan penguasa (pemerintah) dengan masyarakat. 192 Bercermin pada ketidakmampuan sarana penal
dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak selama ini maka pola proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum yang bertujuan pada restorative justice melalui diversi dapat segera mulai dilaksanakan di Indonesia. Implementasi pola penanggulangan dan penyelesaian 191
Alan Hunt, 1978, The Sosiological Movement in Law, British Library Cataloging in Publication Data, hal.103 192
Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL: http://www.legalitas.org
167
kasus kriminal oleh anak tidak akan hilang dari makna status anak yang memerlukan perhatian dan kasih sayang serta bimbingan dan pendidikan, kemudian anak nakal yang kembali ke masyarakat melalui pendekatan ini lolos dari stigmatisasi dan labeling narapidana serta akhirnya antara proses penanganan dan penyelesaian anak yang bermasalah dengan hukum dengan pemulihan keseimbangan ketertiban terjadi tanpa terasa dipaksakan oleh para pihak termasuk penegak hukum. Efek penjeraan (deterrence) serta pencegahan (prevency) khusus dan umum, dapat memiliki korelasi erat dan saling mempengaruhi, sehingga prevalensi dan tingkat kejahatan dapat terukur terutama apabila pelakunya anak-anak.
168
BAB V PENUTUP
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembahasan seperti yang telah diuraikan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut:
1. Kesimpulan : 1. Bahwa dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang mengatur mengenai tindakan lain berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali ataupun pengembalian anak kepada Departemen Sosial yang dapat dilakukan penyidik adalah belum dijelaskan secara tegas dan eksplisit sehingga menimbulkan keadaan suatu norma yang bersifat kabur (Leemten van Normen), dimana setelah dikaji secara akademis maka masalah dasar legitemasi terkait dengan proses penangan anak yang bermasalah dengan hukum maka ada beberapa landasan legitemasi dalam penggunaan diversi ataupun tindakan lain yang dapat diambil oleh penyidik adalah Pasal 5 Undang-unadng No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 16 Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian khususnya mengenai diskresi, TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Penyelenggaraan Tugas POLRI sebagaimana dalam hal ini
169
lebih menekankan pada tindakan (non penal) dan bukan pada tindakan (penal) sehingga dalam hal ini akan mempengaruhi penegakan hukum khususnya proses anak yang berhadapan dengan hukum. 2. Bahwa dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak belum adanya pengaturan yang jelas dan kongkrit (norma kosong) mengenai diversi, dimana diversi sangat penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak pelaku delinkuen serta dapat menghindarkan anak dari proses stigmatisasi yang lazimnya terjadi dalam proses pemidanaan anak lewat sistem peradilan pidana anak. Bertolak dari hal tersebut diperlukan adanya penemuan hukum (Rechtvinding), dimana dalam hal ini memungkinkan untuk adanya suatu penormaan dari konvensi internasional yang telah ada yang telah mengatur konsep diversi tersebut. Dengan demikian, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio-filosofik, sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia serta pembaruan hukum pidana pada kakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ("policyoriented") dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ("valueoriented approach")
170
2. Saran 1. Hendaknya dasar legetimasi mengenai adanya pengaturan tindakan lain yang dapat dilakukan oleh penyidik dapat digunakan oleh penyidik dalam setiap proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sembaring menunggu disahkannya RUU Pengadilan anak itu sendiri agar proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan prinsip peradilan anak tersebut berjalan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. 2. Hendaknya dalam konteks pembaruan hukum pidana, penggunaan kebijakan penal saat ini dalam penanganan proses anak yang bermasalah dengan hukum haruslah dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak menimbulkan stigmatisasi bagi anak, oleh karena itu dari perspektif ius constituendum diperlukan pula penggunaan kebijakan non-penal. Kebijakan non penal melalui diversi dalam dalam proses anak yang berhadapan dengan hukum
memerlukan dukungan
adanya pengaturan hukum positif secara jelas sehingga aparat penegak hukum dalam pelaksanaannya memiliki pegangan yuridis yang jelas dalam penanganan proses anak yang bermasalah dengan hukum dapat dilaksanakan dengan benar
dan adil guna memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Kebijakan tersebut sangat perlu diupayakan untuk mencegah stigmatisasi dan proses labeling yang kerap terjadi apabila anak diproses melalui sistem peradilan pidana anak.