BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Menurut Hendrik L. Blum dalam Kusnoputranto (1986), derajat kesehatan masyarakat yang optimal dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu : faktor lingkungan, perilaku manusia, pelayanan kesehatan dan keturunan. Keempat faktor tersebut saling terkait dengan faktor lain, yaitu sumber daya alam, keseimbangan ekologi, kesehatan mental, sistem budaya dan populasi sebagai satu kesatuan. Lingkungan mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap derajat kesehatan masyarakat. Faktor lingkungan tersebut meliputi lingkungan fisik, lingkungan biologik dan lingkungan sosio kultural (Depkes RI, 2003). Dewasa ini banyak penyakit menular yang telah mampu diatasi bahkan ada yang telah dapat dibasmi berkat kemajuan teknologi dalam mengatasi masalah lingkungan biologis yang erat hubungannya dengan penyakit menular. Akan tetapi masalah penyakit menular masih tetap dirasakan oleh sebahagian besar penduduk negara sedang berkembang, disamping munculnya masalah baru pada negara yang sudah maju. Penguasaan teknologi terhadap pengaruh lingkungan biologi yang erat hubungannya dengan penyakit menular maka penguasaan terhadap lingkungan fisik sedang dikembangkan di berbagai negara dewasa ini yang sejalan dengan penguasaan terhadap lingkungan biologis (Noor, 2000). Manusia memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungan dalam hal ini menitikberatkan pada interaksi – interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaktif antara penduduk dengan
Universitas Sumatera Utara
lingkungan yang memiliki atau mengandung potensi bahaya yang menimbulkan gangguan kesehatan, salah satunya adalah penyakit yang ditularkan melalui vektor. Mewabahnya penyakit yang disebabkan oleh vektor itu diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang buruk, juga termasuk lingkungan fisik (Anies, 2006). Kondisi faktor lingkungan fisik seperti adanya perubahan iklim, pencahayaan yang kurang, kelembaban yang tinggi, kondisi lingkungan disekitar rumah yang buruk menyebabkan perkembangbiakan vektor semakin meningkat, salah satunya adalah penyakit demam Chikungunya. Disamping kasus demam berdarah yang merebak di sejumlah wilayah Indonesia dan penderitanya semakin banyak, masyarakat direpotkan pula dengan kasus Chikungunya. Demam Chikungunya banyak ditemukan di daerah – daerah beriklim tropis dan subtropis. Penyakit ini tidak menimbulkan kematian tetapi apabila mewabah dapat menimbulkan kerugian karena akan menurunkan produktivitas individu (Anies, 2006). Infeksi dengan virus Chikungunya menimbulkan demam Chikungunya yang mirip dengan demam dengue, tetapi gejala klinik dan pendarahannya lebih ringan daripada yang ditimbulkan oleh virus dengue. Gejala yang seringkali menjadi keluhan bagi penderita adalah demam dengan nyeri tulang (break-bone fever) dan disebut sebagai flu tulang. Penyakit demam Chikungunya ini dapat ditularkan oleh nyamuk-nyamuk
Aedes
aegypti,
Aedes
albopictus,
Culex
fatigans,
Culex
tritaeniorrhynchus, Culex gelidus dan nyamuk Mansonia. Penularan penyakit Chikungunya sangat cepat karena penyebarannya melalui nyamuk yang mudah berkembang biak di setiap tempat yang memiliki air tergenang. Penanggulangan penyakit ini dapat dilakukan seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), menjaga
Universitas Sumatera Utara
kebersihan lingkungan dan upaya pembinaan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan lingkungan. Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan semakin banyaknya transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya peran aktif masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya sirkulasi virus sepanjang tahun (Suroso, 2003). Penyakit demam Chikungunya berasal dari bahasa Swahili berdasarkan gejala pada penderita, yang berarti (posisi tubuh) meliuk atau melengkung (that which contorts or bends up), mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi hebat (arthralgia). Nyeri sendi ini menurut lembar data keselamatan (MSDS) Kantor Keamanan Laboratorium Kanada terutama terjadi pada lutut, pergelangan kaki serta persendian tangan dan kaki. Daerah penyebaran penyakit di daerah tropis, terutama urban di Asia, India, Afrika Timur. Virus Chikungunya menimbulkan epidemi di wilayah tropis Asia dan Afrika sejak diidentifikasi tahun 1952- 1953 di Afrika Timur. Sejak 1954, virus menyebabkan epidemi di negara Asia termasuk Filipina, Thailand, Cambodia, India, Birma, dan Sri Lanka. Dibeberapa negara, Chikungunya dianggap sebagai penyakit ”emerging” dan ”re-emerging”. Terjangkitnya penyakit Chikungunya erat kaitannya dengan migrasi dan musim (Suharto, 2007). Di Indonesia, demam Chikungunya dilaporkan pertama kali di Samarinda tahun 1973. Kemudian berjangkit di Kuala Tunkal, Jambi tahun 1980. Tahun 1983 merebak di Martapura, Ternate dan Yogyakarta. Setelah vakum hampir 20 tahun, awal 2001 terjadi kejadian luar biasa (KLB) demam Chikungunya terjadi di Muara
Universitas Sumatera Utara
Enim, Sumatera Selatan dan Aceh, disusul Bogor bulan Oktober. Setahun kemudian, demam Chikungunya berjangkit lagi di Bekasi (Jawa Barat), Purworejo dan Klaten (Jawa Tengah) tahun 2002. Jumlah kasus Chikungunya yang terjadi sepanjang tahun 2001-2003 mencapai 3.918 kasus tanpa kematian (Suharto, 2007). Pada tahun 2007, kasus demam Chikungunya muncul di Sumatera Utara, yakni di Pancur Batu, Deli Serdang. Selanjutnya sejak tahun 2008 sampai dengan tanggal 10 Juni 2009 Chikungunya telah berjangkit di beberapa kabupaten/kota dengan beberapa penderita, namun belum ada kematian. Rincian berdasarkan laporan yang masuk, sebagai berikut : Kabupaten Padang Lawas Selatan 48 penderita, Asahan 93 penderita, Serdang Bedagai 715 penderita, Labuhan Batu 726 penderita, Labuhan Batu Selatan 151 penderita, Labuhan Batu 59 penderita, Nias Selatan 80 penderita, Langkat 70 penderita, dan Deli Serdang 123 penderita. Tidak tertutup kemungkinan di daerah lain selain daerah-daerah tersebut sudah ada kasus demam Chikungunya tetapi tidak dilaporkan ke puskesmas atau tidak termonitor oleh petugas kesehatan (Chandra, 2009). Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan Sei Rampah yang terdiri dari 17 desa yang berpenduduk 15.302 pada bulan September 2009. Telah terjadi wabah demam Chikungunya yang menjangkit banyak penduduk karena pada tahun – tahun sebelumnya belum pernah terjadi wabah demam Chikungunya. Wabah demam Chikungunya yang terjadi di tujuh desa awalnya muncul pada bulan April sampai pada bulan Juni 2009 yaitu di Desa Simpang Empat dengan jumlah kasus sebanyak 88 kasus, Desa Tanah Raja 165 kasus, Desa Pergulaan 26 kasus, Desa Sinah Kasih 60 kasus, Desa Silau Rakyat 176 kasus, Desa Cempedak Lobang 26 kasus, Desa
Universitas Sumatera Utara
Rambung Estate 10 kasus tanpa adanya ditemui kasus kematian. Dan mungkin saja dapat kasus yang sama di desa lain tetapi tidak terdata oleh pelayan kesehatan setempat atau masyarakat merasa tidak terlalu menimbulkan bahaya bagi dirinya sehingga tidak mau memeriksakannya (Profil Puskesmas Firdaus Kecamatan Sei Rampah, 2009).
1.2. Perumusan Masalah Tingginya kasus demam Chikungunya Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai karena banyak terdapat lahan pertanian, kebun, memelihara ternak dan kondisi lingkungan fisik yang buruk sehingga meningkatkan kuantitas vektor. Hal inilah yang menjadi kontribusi bagi peneliti untuk melakukan penelitian di Kecamatan Sei Rampah sehingga dapat dibuat suatu perumusan masalah yaitu belum diketahuinya
hubungan
faktor
lingkungan
fisik
dengan kejadian penyakit
Chikungunya di desa Tanah Raja Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2009.
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan fisik dengan kejadian penyakit Chikungunya di desa Tanah Raja Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2009.
Tujuan Khusus
Universitas Sumatera Utara
1. Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik responden meliput i jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan dengan kejadian Penyakit Chikungunya di desa Tanah Raja Kecamatan Sei Rampah tahun 2009. 2. Untuk mengetahui hubungan antara pencahayaan dengan kejadian penyakit Chikungunya di desa Tanah Raja Kecamatan Sei Rampah tahun 2009. 3. Untuk mengetahui hubungan antara kelembaban dengan kejadian penyakit Chikungunya di desa Tanah Raja Kecamatan Sei Rampah tahun 2009. 4. Untuk mengetahui hubungan antara suhu dengan kejadian penyakit Chikungunya di desa Tanah Raja Kecamatan Sei Rampah tahun 2009. 5. Untuk mengetahui hubungan antara tempat perindukan nyamuk dengan kejadian penyakit Chikungunya di desa Tanah Raja Kecamatan Sei Rampah tahun 2009. 6.
Untuk mengetahui hubungan antara tempat peristirahatan nyamuk dengan kejadian penyakit Chikungunya di desa Tanah Raja Kecamatan Sei Rampah tahun 2009.
7. Untuk mengetahui hubungan antara keberadaan jentik dengan kejadian penyakit Chikungunya di desa Tanah Raja Kecamatan Sei Rampah tahun 2009.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Manfaat Penelitian 1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai bahan informasi dalam mendukung pelaksanaan kegiatan pemberantasan penyakit Chikungunya. 2. Bagi penulis dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam penerapan ilmu selama menempuh pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Medan. 3. Sebagai bahan masukan informasi bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian ini dalam rangka pemberantasan penyakit Chikungunya di Kabupaten Serdang Bedagai.
Universitas Sumatera Utara