BAB V PEMBAHASAN
A. Karakteristik Subjek Penelitian 1. Jenis Kelamin Adanya perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat produktivitas seseorang. Secara universal, tingkat produktivitas laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dimiliki oleh perempuan seperti fisik yang kurang kuat, dalam bekerja cenderung menggunakan perasaan atau faktor biologis seperti harus cuti ketika melahirkan. Namun dalam keadaan tertentu terkadang produktivitas perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki, misalnya pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran (Amron, 2009). Walaupun laki-laki lebih memiliki tingkat produktivitas yang tinggi dibanding perempuan dalam hal pekerjaan yang menggunakan fisik yang kuat, perempuan memiliki produktivitas kerja yang lebih tinggi dibanding laki-laki dalam pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran seperti membatik. Jadi pada penelitian ini perempuan memiliki produktivitas kerja yang lebih tinggi daripada laki-laki dalam pekerjaan membatik. Berdasarkan penelitian ini semua responden berjenis kelamin perempuan yang artinya jenis kelamin telah bersifat homogen sehingga apabila dilakukan uji statistik untuk mengetahui perbedaan produktivitas
41
42
kerja yang disebabkan oleh jenis kelamin dapat dipastikan hasil uji tidak signifikan. Hal ini tidak sejalan dengan Suma’mur (2014) dimana produktivitas kerja dipengaruhi oleh jenis kelamin. 2. Umur Berdasarkan penelitian ini semua responden tergolong dalam umur produktif. Menurut Simanjuntak (1985) produktivitas kerja akan meningkat seiring dengan pertumbuhan usia dan kemudian cenderung menurun kembali menjelang usia tua, karena fisik yang semakin lemah. Pekerja yang lebih muda cenderung memiliki ketidakberdayaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja yang lebih tua, hal ini dikarenakan pekerja yang lebih tua cenderung lebih stabil, lebih matang, mempunyai pandangan yang lebih seimbang terhadap kehidupan sehingga tidak mudah mengalami tekanan mental ketidakberdayaan dalam pekerjaan. Jadi dalam penelitian ini responden yang berada dalam umur produktif mempunyai produktivitas kerja yang tinggi karena tidak termasuk dalam kategori yang lebih muda dan pekerja yang lebih tua. Berdasarkan penelitian ini semua responden memiliki umur yang produktif, yang artinya umur telah bersifat homogen sehingga apabila dilakukan uji statistik untuk mengetahui perbedaan produktivitas kerja yang disebabkan oleh umur dapat dipastikan hasil uji tidak signifikan. Hal ini tidak sejalan dengan Suma’mur (2014) dimana produktivitas kerja dipengaruhi oleh umur. 3. Masa Kerja
43
Berdasarkan penelitian ini masa kerja responden paling banyak adalah diatas 3 tahun. Masa kerja diatas 3 tahun termasuk dalam kategori masa kerja lama sehingga telah memiliki pengalaman kerja yang cukup diimbangi dengan keterampilan dan keahlian. (Andrianto, 2014; Handoko, 2007). Menurut Siagian (2008) bahwa masa kerja menunjukkan berapa lama seseorang bekerja pada masing-masing pekerjaan atau jabatan. Orang baru mulai bekerja kurang berpengalaman dan biasanya memiliki produktivitas yang rendah pula (Simanjuntak, 1985). Jadi pada penelitian ini responden pada masa kerja lama yaitu diatas 3 tahun telah cukup memiliki keterampilan dan keahlian sehingga produktivitas yang tinggi. Berdasarkan penelitian ini masa kerja tidak dikendalikan, sehingga masih bersifat heterogen. Uji statistik Mann-Whitney dilakukan untuk mengetahui perbedaan produktivitas kerja yang disebabkan oleh masa kerja. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,039 yang berarti terdapat perbedaan produktivitas kerja terhadap masa kerja. Hal ini sejalan dengan Suma’mur (2014) dimana produktivitas kerja dipengaruhi oleh masa kerja. 4. Tingkat Pendidikan Berdasarkan penelitian ini responden paling banyak memiliki tingkat pendidikan SD. Hal ini tidak sejalan dengan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi juga tingkat produktivitas atau kinerja tenaga tersebut (Simanjuntak, 1985). Pada umumnya orang yang mempunyai pendidikan formal maupun informal yang lebih tinggi akan
44
mempunyai wawasan yang lebih luas. Tingginya kesadaran akan pentingnya produktivitas akan mendorong tenaga kerja yang bersangkutan melakukan tindakan yang produktif (Kurniawan, 2010). Jadi pada penelitian ini responden yang memiliki tingkat pendidikan SD lebih memiliki produktivitas kerja yang tinggi apabila dibandingkan dengan responden yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, hal ini dikarenakan dalam pekerjaan membatik tidak hanya dibutuhkan pendidikan tetapi juga diperlukan keterampilan dan keahlian. Berdasarkan penelitian ini tingkat pendidikan tidak dikendalikan sehingga masih bersifat heterogen. Uji statistik Kruskal-Wallis digunakan untuk mengetahui perbedaan produktivitas kerja yang disebabkan oleh tingkat pendidikan. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,963 yang berarti tidak ada perbedaan produktivitas kerja terhadap tingkat pendidikan. Hal ini tidak sejalan dengan Boediono (2003) dimana produktivitas kerja dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. 5. Keterampilan Berdasarkan penelitian ini semua responden telah memiliki keterampilan dalam membatik. Pembatik tulis dikatakan terampil apabila bekerja pada bagian mencanting. Pekerja akan menjadi lebih terampil bila mempunyai kecakapan dan pengalaman yang cukup, pekerja yang bekerja dengan cara kerja yang lebih baik akan menggunakan fasilitas kerja dengan baik dan pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitasnya (Boediono, 2003). Jadi pada penelitian ini responden telah memiliki keterampilan
45
untuk menggunakan fasilitas kerja dengan baik dan memiliki pengalaman kerja yang dapat meningkatkan produktivitas kerja. Berdasarkan
penelitian
ini
semua
responden
memiliki
keterampilan dalam membatik, yang artinya keterampilan telah bersifat homogen sehingga apabila dilakukan uji statistik untuk mengetahui perbedaan produktivitas kerja yang disebabkan oleh keterampilan dapat dipastikan hasil uji tidak signifikan. Hal ini tidak sejalan dengan Boediono (2003) dimana produktivitas kerja dipengaruhi oleh keterampilan.
B. Perbedaan Penggunaan Kursi Kerja Ergonomis dan Kursi Kerja Tidak Ergonomis terhadap Produktivitas Kerja Pada penelitian ini didapatkan hasil uji statistik Mann-Whitney menunjukkan nilai p value = 0,002 atau p ≤ 0,05 yang memiliki arti bahwa ada perbedaan yang signifikan antara produktivitas kerja pada responden yang menggunakan kursi kerja ergonomis dan kursi kerja tidak ergonomis di Industri Batik Masaran Sragen. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Adiatmika dkk (2007) tentang perbaikan kondisi kerja dengan pendekatan ergonomi total menunjukkan bahwa ada penurunan keluhan muskuloskeletal 5,53% dan penurunan kelelahan 67,9% secara bermakna (p<0,05). Produktivitas karyawan meningkat 61,36% dan penghasilan perajin meningkat 55,29% secara bermakna (p<0,05). Perbedaan kursi kerja ergonomis dan kursi kerja tidak ergonomis di industri batik Masaran adalah bagian sandaran tempat duduk, dan lebar
46
landasan tempat duduk, panjang landasan tempat duduk dan tinggi kaki kursi. Bagian sandaran tempat duduk hanya terdapat di kursi kerja ergonomis. Lebar landasan tempat duduk kursi kerja ergonomis dan kursi kerja tidak ergonomis memiliki selisih 7,5 cm. Panjang landasan tempat duduk kursi kerja ergonomis dan kursi kerja tidak ergonomis memiliki selisih 9,2 cm. Selisih tinggi kursi kerja ergonomis dan kursi kerja tidak ergonomis adalah 6 cm. Kursi kerja tidak ergonomis tidak memiliki sandaran punggung. Hal ini menyebabkan bagian tubuh terlalu kedepan untuk memajukan posisi duduknya. Sandaran punggung (belakang) akan membantu dalam menjaga keseimbangan posisi duduk. Dalam pendesainan diharapkan sedapat mungkin sandaran punggung ini disesuaikan/mendekati kontur tulang belakang (Kholik, 2002). Selain itu kursi harus dilengkapi dengan sandaran pinggang. Sandaran pinggang tidak boleh terlalu tinggi, karena dapat menyebabkan gerakan bahu dan tangan terbatas dan posisi kerja yang tidak nyaman (Panero dkk, 2003). Lebar dan panjang landasan kursi kerja tidak ergonomis tidak dirancang sesuai dengan pinggul dan paha pekerja. Lebar kursi ditentukan dengan tujuan untuk memberikan penyangga pada pinggul sehingga perlu dibuat agak lebar untuk memberikan perasaan nyaman pada pemakainya. Lebar kursi diukur dari tepi pinggul ke tepi lainnya dengan menambah kelonggaran
dari
ketebalan
pakaian.
Panjang
alas
duduk
tidak
mengganggu/menghambat aktivitas yang dilakukan oleh pengguna kursi (Kholik, 2002). Selain itu, landasan kursi kerja tidak ergonomis tidak menggunakan bahan yang nyaman sehingga pekerja cepat lelah ketika duduk.
47
Bagian tinggi kaki kursi tidak ergonomis terlalu pendek sehingga pekerja bekerja secara membungkuk dengan kaki yang ditekuk. Tinggi kursi sebaiknya dirancang sesuai dengan ketinggian alas duduk dari pekerja yang akan menggunakannya. Hal ini penting karena ukuran kursi yang tidak tepat akan berakibat kurang baik terhadap pemakainya baik dari segi desain maupun kesehatan, yang akan dapat mengakibatkan sirkulasi darah terganggu dan kaki cepat lelah (Kholik, 2002). Data produktivitas kerja pada responden yang menggunakan kursi kerja ergonomis lebih banyak daripada responden yang menggunakan kursi kerja tidak ergonomis. Hal ini dikarenakan kursi kerja ergonomis akan mampu memberikan sikap kerja yang alamiah dan akan membantu menghindari ketidaknyamanan. Apabila pekerja merasakan bahwa kursinya nyaman, maka kelelahan baik keluhan musculoskeletal disorder akan berkurang. Kelelahan kerja yang berkurang dapat membuat sedikit kesalahan kerja dan penyakit akibat kerja. Kecepatan dan ketepatan kerja pekerjapun akan meningkat sehingga kinerja dan keluaran dalam proses produksi akan meningkat dengan kata lain produktivitas kerja pekerja akan meningkat (Nurmianto, 2004). Perancangan kursi kerja yang tidak ergonomis mengakibatkan postur kerja yang salah mengakibatkan keluhan otot atau muskuloskeletal disorder dan kelelahan dini (Sanjaya, 2013). Kursi kerja yang buruk adalah penyebab kerja otot statis dan sikap kerja yang tidak alamiah. Pemakaian kursi yang tepat tidak menyebabkan keluhan-keluhan pada pekerja. Pada umumnya keluhankeluhan yang terutama adalah sakit pinggang, sakit di leher dan bahu dan pada
48
lengan dan tangan (Suma’mur, 1987). Keluhan-keluhan tersebut disebut dengan keluhan muskuloskeletal disorder. Level keluhan muskuloskeletal dari yang paling ringan hingga paling berat akan mengganggu konsentrasi dalam bekerja, menimbulkan kelelahan dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas (Tarwaka, 2010). Produktivitas kerja juga dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor lainnya, seperti jenis kelamin, umur, masa kerja, tingkat pendidikan dan keterampilan. Pada penelitian ini faktor jenis kelamin, umur dan keterampilan telah terkendali, sehingga tidak mempengaruhi perbedaan produktivitas kerja. Sedangkan masa kerja dan tingkat pendidikan belum terkendali sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap perbedaan produktivitas kerja. Masa kerja dalam penelitian mempengaruhi perbedaan produktivitas kerja akan tetapi nilai probabilitas lebih besar dari kursi kerja, sedangkan tingkat pendidikan tidak mempengaruhi perbedaan produktivitas kerja. Sehingga dalam penelitian ini, kursi kerja mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap perbedaan produktivitas kerja. Akan tetapi terdapat faktor-faktor produktivitas kerja pada penelitian ini yang belum diteliti seperti pekerjaan yang menarik dan sikap mental, sehingga faktor-faktor tersebut mungkin dapat lebih mempengaruhi produktivitas kerja. Dalam penyusunan penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan, antara lain adalah : 1. Faktor-faktor produktivitas kerja seperti pekerjaan yang menarik dan sikap mental tidak diteliti.
49
2. Jumlah sampel tenaga kerja tergantung pada musim panen, saat musim panen maka jumlah sampel tenaga kerja sedikit. Hal ini disebabkan karena tenaga kerja lebih memilih bekerja di sawah daripada bekerja membatik. 3. Tenaga kerja yang bersifat borongan dimana tenaga kerja mengambil kain batik untuk dikerjakan dirumah, sehingga tidak semua tenaga kerja bekerja di tempat industri batik. Hal ini membuat jumlah sampel tenaga kerja sedikit. 4. Industri batik yang telah menggunakan kursi kerja ergonomis masih sedikit sehingga untuk mencari sampel yang menggunakan kursi kerja ergonomis masih sulit. 5. Produktivitas kerja tidak dapat dihitung menggunakan penghasilan tidak dapat dilakukan karena pekerja dari satu industri batik dengan industri batik lain memiliki harga perkain yang berbeda.