1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Arti Penting Bidang Kajian Yang Diambil Semenjak dahulu sampai dewasa ini, yang namanya hukum tidak akan pernah lenyap. Andai pun dia berubah, itu merupakan sebuah keniscayaan dari dinamika kehidupan yang memang dinamis, termasuk hukum itu sendiri. Kedinamisan tersebut juga mengandung nilai-nilai yang berlaku umum. Hal ini dipertegas oleh Scholten yang mengatakan ada asas hukum yang bersifat universal yang berlaku kapan saja dan dimana saja, tidak terpengaruh waktu dan tempat. Meneurut scholten, ada lima asas hukum universal, yaitu asas kepribadian, asas persekutuan, asas kesamaan, asas kewibawaan, dan asas pemisahan antara baik dan buruk1. Semua itu bagian dari asas hukum universal. Nilai-nilai hukum yang universal akan tetap hidup, yang selalu berubah hanya tataran dalam hukum positif saja. Hal demikian sangatlah wajar, karena untuk hukum positif ada adagium yang merupakan postulat hukum itu sendiri, yakni “Het recht achter de faiten”,yang menyatakan (hukum itu berjalan tertatih-tatih mengikuti kenyataan)2, akan selalu ketinggalan di belakang dinamika masyarakat. Jadi, yang namanya aturan dalam pengertian ini sejak disahkan langsung seketika itu juga menjadi ketinggalan dari dinamika masyarakat yang terus bergerak maju. Itulah alasannya
1
Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogykarta. hlm. 9 2 Satjipto Harardjo, 2004, Ilmu Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm. 4.
2
banyak sekarang pemikiran-pemikiran yang ingin memberikan gagasan (notions) untuk melampaui pemikiran hukum positif tersebut. Dalam penegakan hukum menurut seorang jurist terkenal Lawrence M. Friedman menyebutkan berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung pada tiga unsur yakni: Substansi (legal substance), Struktur (legal structure), dan Budaya Hukum (legal culture), satu sama lain memiliki hubungan kuat3. a. Substansi Hukum adalah norma (aturan, keputusan) hasil dari produk hukum . b. Struktur Hukum diciptakan oleh sistem hukum yang mungkin untuk memberikan pelayanan dan penegakan hukum . c. Budaya Hukum adalah ide, perilaku, keinginan, pendapat dan nilai-nilai yang berkaitan dengan hukum ( positif atatu negatif ) . Sudikno Mertokusumo juga mengatakan tiga hal yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum, yakni kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan. (gerecthtigkeit)4. Baik yang disampaikan oleh Friedman maupun Sudikno, kedua pendapat tersebut juga berlaku dan sangat berkaitan dalam penegakan hukum perdagangan dunia, terlebih khusus lagi hukum dalam kerangka WTO yang penulis angkat. Pengertian Hukum Perdagangan Dunia dan hukum WTO mungkin secara pandangan orang awam tidak ada bedanya, tapi Hikmahanto Juwana membedakannya dengan sangat nyata. Kalau hukum WTO dimasukkan dalam
3
Lawrence M Friedman, 1975, The Legal Sistem, A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, hlm. 14. 4 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty, Yogyakarta, hlm. 160.
3
hukum publik internasional, sedangkan hukum perdagangan dunia dimasukkan dalam bidang Hukum Perdata Internasional5. Hal demikian bisa dipahami melihat norma-norma dan titik berat subyek yang diaturnya. Untuk hukum perdagangan dunia
memang
menitikberatkan
pada
pengaturan
berbagai
kepentingan
perdagangan makro di berbagai belahan dunia tanpa ada diskriminasi di tingkat negara-negara. Dengan penekanan utama pada Hukum Publik Internasional yang penulis angkat mengenai WTO dan norma-norma yang mengaturnya, serta sedikit ulasan tentang WTO dan kontribusinya dalam mengatur jalannya perdagangan internasional yang non diskriminasi sehingga dapat menyejahterakan seluruh penduduk dunia. Alasan dari keberadaan hukum (Raison d’etre) untuk mengatasi konflik kepentingan manusia6, termasuk dalam hukum WTO itu sendiri yang merupakan akumulasi kepentingan yang sangat kompleks. Hal tersebut di atas dapat terwujud dengan penerapan konsep yang dirumuskan oleh Friedman untuk mewujudkan hukum yang membumi. Tidak ketinggalan, konsep Sudikno juga harus dipadukan di dalamnya karena hukum dagang memiliki unsur kepentingan yang sangat tinggi, sehingga unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan harus tetap diprioritaskan. Dikaitkan dengan perdagangan dunia, sejak Putaran Bali yang baru saja diadakan di Indonesia dan menghasilkan berbagai kesepakatan, hal ini telah membuka kembali peranan WTO. Pencapaian tersebut merupakan prestasi bagi Indonesia kerena selama ini Pertemuan Tingkat Menteri selalu deadlock akibat
5
Daniar Natakusumah, et all, 2010, Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), Obor, Jakarta, hlm. xvii. 6 Sudikno Mertokusumo, 2005, Op.Cit, hlm. 31.
4
tingginya tingkat kepentingan di dalamnya yang tidak bisa menghasilkan kesepakatan. Dengan begitu rumit dan sangat dinamisnya hukum perdagangan dunia dan banyaknya kepentingan yang harus diselaraskan dalam kerangka WTO, apalagi sebagai negara berkembang Indonesia memiliki kepentingan yang tinggi dalam perdagangan dunia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi makro dalam tingkat global. Peningkatan pada ekonomi makro dalam konteks ini hanya dapat ditingkatkan dengan melakukan ekspor karena hasil ekspor merupakan faktor utama atas tersedianya devisa (valuta asing) sedangkan impor merupakan faktor utama untuk pemakaian devisa7. Sehingga penguasaan tentang perdagangan dunia, terutama WTO adalah suatu kemutlakan. Selain itu, penguasaan yang bersifat holistik dan komprehensif dalam bidang WTO akan memberikan solusi yang efektif dalam pemecahan masalah kegiatan perdagangan Indonesia ke depan. Sehingga keputusan penulis untuk mengambil bidang kajian hukum perdagangan dunia dalam kerangka hukum publik internasional (dalam modalitas WTO) memang sangat diperlukan saat sekarang mengingat besarnya kepentingan kita sebagai pemain didalamnya. 2. Arti Penting Praktik Kerja Lapangan Pada dasarnya seluruh disiplin ilmu di dunia ada unsur praktikal didalamnya, sehingga sangat dibutuhkan yang namanya kerja lapangan untuk memberikan peserta didik tidak hanya konsep teoritis yang berasal dari logika, dan fakta empiris yang bersifat general, tapi dengan memberikan praktik kerja 7
Radiks Purba, 1976, Pengetahuan Perdagangan Luar Negeri Indonesia, Pustaka Dian Jakarta, hlm. 11.
5
lapangan tersebut akan membekali mereka dengan pengetahuan dalam ranah praktek juga. Apalagi untuk ranah ilmu sosial, lebih spesifik penulis mengatakan ilmu hukum, hampir tidak ada yang bersifat postulat. Semuanya yang hari ini menjadi teori ataupun konsep dalam hukum positif, pada suatu saat bisa saja tidak dipakai lagi. Hal tersebut dikarenakan sifat dari ilmu hukum positif itu yang berlaku pada daerah tertentu dan untuk waktu tertentu. Dengan kata lain, semua itu sangat tergantung tempat dan waktu keberadaannya. Nilai-nilai universal Hukum jelas akan kekal sampai akhir zaman tapi hukum positif yang dipelajari di seluruh perguruan tinggi di dunia ini sangat terpengaruh akan dimensi ruang dan lekang oleh waktu. Hal di atas diperkuat dengan adagium hukum:“Het Recht Hink Achter De Feiten Aan” yang penulis sudah bahas sebelumnya. Jadi dari pemaparan penulis di atas sangat jelas arti penting dari praktik kerja lapangan. Apapun ilmunya, termasuk bidang hukum sendiri, sangat membutuhkan yang namanya praktek lapangan ini, baik itu dari tingkat Diploma bahkan sampai tingkatan post-doktoral. Seperti yang sudah disebutkan di atas, ilmu hukum sangat dipengaruhi dengan yang namanya waktu, ruang atau tempat, sehingga tidak bisa dilepaskan dari hal empiris yang didapatkan dalam ranah praktek. Untuk lulusan hukum sendiri baik untuk para sarjana bahkan sampai tingkat master (profesi) yang namanya praktik kerja lapangan ataupun istilah lain yang bermakna sama, ini merupakan suatu kewajiban. Sebagai contoh adalah notaris dan pengacara yang merupakan profesi hukum yang sangat familiar di kalangan masyarakat. Kedua profesi tersebut mewajibkan mereka yang sebelum
6
mendapatkan pengakuan atau pengangkatan dari lembaga profesi maka mereka harus menjalani magang ataupun praktek lapangan meskipun dari segi waktu berbeda-beda mulai dari tiga bulan sampai dengan satu tahun magang. Untuk Diploma hukum sendiri, hanya memerlukan magang selama 2 (dua) bulan saja dan itu bukan prasyarat untuk mengambil sertipikat profesi seperti yang disebutkan di atas, melainkan hanya sebagai mata kuliah semester akhir untuk menyelesaikan pendidikan di program tersebut. Intinya, kerja lapangan merupakan suatu kemutlakan dalam dunia hukum, apalagi bagi D3 Hukum untuk menunjang paradigma kevokasian yang menekankan praktek daripada teori. Hal ini merupakan prasyarat utama yang tidak dapat diganggu-gugat. Pada prinsipnya, yang namanya pendidikan hukum, baik itu Diploma maupun untuk tingkatan sarjana, antara teori dan paraktek tidak dapat dipisahkan. Sehingga dikotomi di antara keduanya yang mengatakan yang satu dititikberatkan pada teori (sarjana), sedangkan yang satunya lagi dititik beratkan pada praktek (diploma), Hal yang demikian sama sekali tidak dapat dibenarkan. Dalam hukum, konsep lapangan dan teori harus berjalan beriringan sehingga gagasan untuk memasukkan hukum dalam ranah vokasi sebagai sesuatu yang terpisah dengan teori adalah suatu hal yang tidak tepat dan sulit untuk mencarikan justifikasinya, karena antara teori dan praktek dalam ilmu hukum tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sosiolog Hukum Indonesia Satjipto Rahardjo mengatakan untuk konteks pendidikan hukum di Indonesia, pendidikan S1 hukum sendiri juga cenderung menitikberatkan pada praktek hukum untuk menunjang karir mereka
7
ke depan, bukan pada teori, apalagi analisis hukum yang mengacu pada genuine science. “…. Mereka (S-1) itu memang sangat membutuhkan pengetahuan pengetahuan praktis oleh karena nantinya akan memasuki dunia profesi hukum, sebagai hakim jaksa advokat, dan lain-lainnya. Mereka juga disebut praktisi hukum dan model pendidikannya adalah pendidikan professional kendati dengan tingkat universitas. Oleh karena sifat pendidikan professional yang demikian itu, maka ilmu hukum yang diajarkan juga tidak berkualitas ilmu yang sebenarnya. Ia bukan sebenarnya ilmu (Genuine Science) melainkan ilmu praktis (Practical Science).8 Selain itu, Satjipto Rahardjo mengatakan ilmu hukum yang sebenarnya itu baru ada pada tingkat doktoral, karena menurutnya di tataran itulah yang sebenarnya ilmu hukum (Genuine Science) baru diterapkan, sedangkan untuk level di bawahnya masih belum bisa disebut sebagai genuine science itu sendiri. Untuk pemakaian istilah „paralegal‟ dalam gelar juga terdapat permasalahan. Negara Anglo-saxon seperti Amerika, Inggris sampai dengan negara-negara Hukum Kontinental termasuk Indonesia istilah paralegal masih belum ada kesamaan arti. Tapi yang jelas, pemakaian istilah paralegal secara global merujuk pada sarjana hukum itu sendiri yang belum memiliki pengalaman banyak dalam praktik hukum. Untuk konteks Indonesia, penggunaan istilah ini lebih tidak terarah, baik untuk sarjana muda sampai dengan masyarakat yang mendapatkan pendidikan hukum beberapa hari dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) juga mendapat gelar yang sama. Sehingga penggunaan istilah paralegal untuk D3 Hukum (Baca: UGM) adalah istilah yang digunakan secara by accident, bukan karena by design.
8
Satjipto Harardjo, Op.Cit, hlm.21-22.
8
Terlepas dari permasalahan di atas, yang namanya bagian dari calon penegak hukum apapun bentuk profesinya, pembekalan dengan Praktek Lapangan merupakan suatu kebutuhan pokok sehingga mereka semua dapat memahami hukum dengan komprehensif serta holistik sehingga memahami seluk beluk hukum dari berbagai perspektif yang dari hari ke hari sangat kompleks ini, sehingga dapat disimpulkan tujuan dilaksanakannya PKL adalah untuk memberikan pengalaman nyata (empiris) kepada peserta didik agar mendapatkan ilmu baik secara teori maupun praktek sehingga dapat memahami dan meyimpulkan hal-hal yang mungkin terjadi di luar dua hal di atas. Mereka juga diharapkan bisa memahami das sein (peristiwa konkrit), dan das sollen (menyangkut keharusan)9, atau dengan kata lain konsep ideal yang seharusnya ada atau yang dicita-citakan untuk menggapai cita hukum tertinggi. Dari hal di atas dapat disimpulkan tujuan praktek lapangan sebagai berikut: a. Memberikan pengalaman rill kepada mahasiswa akan dunia lapangan dalam penerapan hukum yang sesungguhnya. b. Memberikan keterampilan profesional dan bahkan sikap profesional untuk menghadapi kerja di kemudian hari. c. Menjembatani perbedaan antara teori dan praktek dan cara penanganannya yang sering kali ditemukan dalam magang untuk mempersiapkan diri dalam menempuh dunia kerja nantinya. Selain itu, untuk menjadi paralegal dalam memberikan legal assistance dalam bidang riset hukum bahkan sebagai peneliti mandiri, berdasarkan Pasal 20 Angka
9
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm.16.
9
(2) dalam SK Rektor Nomor 3/P/SK/HT/2013 untuk lulusan program Diploma Hukum sebenarnya hal demikian dapat terjadi. SK tersebut secara eksplisit mensyaratkan minimal untuk menjadi seorang peneliti di pusat studi adalah D-3 dengan bidang yang sesuai, dan IPK (GPA) minimal 3,25. Aturan tersebut merupakan kesempatan bagi lulusan diploma dengan disiplin ilmu yang sesuai untuk berkiparah dalam bidang penelitian pada pusat studi di lingkungan UGM, termasuk penulis sendiri yang ingin berkiprah pada penilitian bidang hukum. 3. Tempat Praktik Kerja Lapangan Dan Alasan Pemilihan Ekonomi merupakan hal yang pokok dalam dunia ini, dan hal yang paling penting dalam dunia ekonomi baik dari segi mikro ataupun makro adalah perdagangan. Perdagangan ini juga nantinya akan membawa dampak pada kebijakan suatu pemerintahan, baik kebijakan ke dalam maupun ke luar negeri mereka karena menyangkut kesejahteraan negaranya. Dengan demikian, setiap negara di dunia akan berusaha mencari framework dan sistem ekonomi yang dapat mendukung aktifitas ekonomi di negaranya untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Dengan momentum dekolonialisasi yang terjadi pertengahan abad kedua puluh yang menumbuhkan banyak negara baru dimana negara baru tersebut ratarata lemah dalam sistem ekonomi, maka timbul gagasan untuk menciptakan sistem ekonomi yang berkeadilan di tingkat global. Perumusan sistem tersebut memang sangat rumit karena harus menyesuaikan norma-norma hukum dengan kepentingan berbagai negara yang saling bertolak belakang satu sama lain, apalagi untuk menengahi kepentingan antara negara maju dengan negara berkembang.
10
Namun demikian, dengan lahirnya GATT yang merupakan cikal-bakal WTO nantinya ini suatu jalan terang untuk hal tersebut meskipun dalam GATT hanya baru mengatur ketentuan mengenai barang saja. Tetapi menurut analisis penulis itu juga sudah merupakan terobosan perdagangan yang sangat signifikan karena teknologi digital yang mendukung perdagangan jasa masa itu juga belum berkembang dengan pesat. Memang sebelum WTO lahir ada yang namanya ITO (International Trade Organization). Diharapkan adanya ITO sebagai perwujudan dari GATT untuk menyelesaikan permasalahn internasional. Pada tahun 1948, teks piagam ITO selesai dirumuskan. Tetapi ITO tidak dapat terwujud karena kongres AS tidak dapat menyetujuinya ketika presiden AS (Harry S. Trauman) menyerahkan teks kepada kongres untuk memperoleh persetujuan.10 Pengusahaan ITO ini jelas untuk pembuatan suatu badan internasional yang kuat dan mengatur berbagai hal mengenai perdagangan internasional karena GATT hanya mengatur sebagian kecil saja seperti yang dikatakan diatas. Hal ini dipertegas oleh Amrita Narlikar, “The coverage of GATT was minuscule in camparison to the far more ambitious ITO; in fact it was no more than the commercial policy chapter of the ITO with a weak dispute settlement mechanism11. Namun, tetap saja setelah diusahakan berulang kali, pada tahun 1951 kongres secara nyata menolak teks tersebut. Untuk Indonesia sendiri sebagai negara berkembang, telah mengusahakan konsep perdagangan yang adil dan non-diskriminasi merupakan hal yang diimpiimpikan agar barang produksi negara Indonesia bisa bersaing di negara luar. 10
H. S. Kartadjoemena, 1996, GATT Dan WTO, UI-Press, Jakarta, hlm. 43 Amrita Narlikar, 2005, The World Trade Organization: A Very Short Introduction, Oxford University Press, Oxford, hlm.15 11
11
Memang ini satu sisi merupakan suatu peluang, tetapi di sisi lain juga merupakan masalah bagi negara yang tidak siap, karena perdagangan dunia dalam tataran norma WTO jelas bertujuan untuk meliberalisasi pasar. Banyak kalangan memang resistence dengan istilah tersebut, karena liberalisasi pasar akan mengokohkan yang kaya, dan akan mengekalkan yang miskin. Tetapi sebenarnya WTO tidak seburuk itu jika dilihat secara komprehensif, Seperti yang dikemukakan L. Alan Winters, “Trade liberalization may have adverse consequences for someincluding some poor people-that should be avoided or ameliorated to the greatest extent possible. My fundamental belief, however, is trade liberalization aids growth, which, in turn, aids poverty alleviation”12. Penulis berpendapat bahwa, jika sebuah negara dapat mengatasi permasalahan sumberdaya manusia di negaranya, hal ini bukanlah masalah bagi negara tersebut. Selain itu, di dalam ketentuan WTO negara-negara lemah juga dilindungi, sehingga unsur humanis tetap ada. Untuk mengurangi efek negatif yang didapat oleh negara seperti yang dikatakan di atas maka berbagai negara melakukan pembelajaran dan memahami norma-norma dan konsep WTO. Indonesia yang menjadi salah satu negara anggota juga harus menerapkan konsep tersebut. Universitas Gadjah Mada melalui Pusat Studi Perdagangan Dunia atau Center Of World Trade Studies yang merupakan satu-satunya institusi penelitian di negara ini yang dibiayai WTO melalui WTO chairs programme telah berusaha untuk mencapai tujuan tersebut supaya dapat mengadvokasi kepentingan perdagangan Indonesia. 12
Bernard Hoekman, Aaditya Mattoo, and Philip English, 2002, Development, Trade, And The WTO, The World Bank, Washington, D.C. Bab IV. hlm 28.
12
Tidak hanya itu, Program Pasca Sarjana Hubungan Internasional UGM juga mendirikan program baru yakni magister Global Trade Diplomacy yang latar belakang pendiriannya adalah untuk mempersiapkan calon magister untuk melakukan diplomasi dalam forum dagang internasional, di mana mereka dibekali dengan ilmu hukum, ekonomi, hubungan internasional, serta pertanian yang merupakan produk ekspor utama Indonesia di level internasional. Pendirian program magister tersebut juga dikarenakan pengalaman Indonesia yang harus menyewa pengacara asing seperti dari Mayer Brown Law Firm untuk menyelesaikan kasus rokok kretek pada DSB-WTO yang memakan biaya sangat mahal13. Program magister tersebut merupakan salah satu kontribusi nyata UGM untuk mengadvokasi kepentingan bangsa dalam menyediakan sumber daya manusia Indonesia yang cakap untuk berdiplomasi mengenai persoalan perdagangan Indonesia di level internasional . Penulis sangat menyadari, masalah ketersedian sumber daya manusia yang cakap dalam perdagangan dunia tidak hanya masalah Indonesia saja. Negara sebesar Cina juga sekarang sedang kewalahan untuk mencari sumber daya mereka yang bisa memahami perdagangan dunia secara komprehensif. Perlu diketahui, Cina mewajibkan ahli hukum bisnisnya untuk kuliah di universitas terbaik Amerika dan mewajibkan mereka magang pada lawfirm ternama di sana untuk mendapatkan ilmu yang cukup dan
13
Mayerbrown, Tanpa Tahun, “Mayer Brown secures appellate win for Indonesia in WTO dispute over US legislation banning clove cigarettes”, http://www.mayerbrown.com/MayerBrown-secures-appellate-win-for-Indonesia-in-WTO-dispute-over-US-legislation-banning-clove cigarettes-04-16-2012/, diakses 10 Mai 2014.
13
pada akhirnya ditarik kembali untuk mengadvokasi kepentingan dagang negaranya.14 Sampai saat ini, seandainya Cina memiliki sengketa perdagangan dengan Amerika, mereka seringkali akan menggambil pengacara asing. Seperti yang diketahui, memang dalam kode etik pengacara, seorang pengacara tidak akan merugikan kliennya. Tetapi tetap ironis dengan populasi penduduk yang banyak, mereka belum bisa menciptakan pengacara yang qualified untuk standar WTO. Dengan alasan itulah Indonesia mulai mempersiapkan sumber dayanya untuk menghadapi kompromi dan negosiasi perdagangan dunia agar kepentingan Indonesia tidak dirugikan sehingga lulusan magister program studi Global Trade Diplomacy sangat dibutuhkan. Dengan semangat untuk membela kepentingan nasional tersebut penulis yang memang sangat tertarik dengan hukum internasional terutama hukum publik dan hukum bisnis mengambil praktik kerja lapangan di Pusat Studi Perdagngan Dunia UGM. Penulis menyadari dengan sangat kompleknya masalah perdagangan dunia, yang mengharuskan adanya sinergi dari berbagai bidang ilmu, kontribusi penulis memang tidak akan signifikan untuk PSPD sendiri. Tetapi meskipun demikian, minimal secara pribadi penulis bisa memahami bagaimana sulitnya pengkajian perdagangan internasional yang ada, baik itu di tingkat bilateral, regional maupun multilateral dalam modalitas WTO. Apalagi untuk Indonesia tempat penulis lahir dan dibesarkan ini, kepentingan perdagangannya sangat besar karena oleh sumber daya alam dan 14
Tina Wang, 2009, “Where http://www.forbes.com/, diakses tanggal 28 April 2014..
Are
China's
WTO
Lawyers?”,
14
manusia yang juga besar sehingga perlu memahami perdagangan dunia sedari dini. Terutama mengingat negara kita yang baru berkembang yang sektor andalannya adalah pertanian dan perkebunan. Hal ini perlu perhatian khusus, karena sering kali isu pertanian ini mendapat masalah dalam prakteknya di WTO sehingga diperlukan perhatian khusus. Ini modal yang sangat besar untuk penulis yang memang sangat tertarik dalam bidang penelitian hukum, sehingga ke depan dapat dipraktekkan dalam legal assistant penelitian hukum. Betapapun rumitnya perdagangan dunia terutama dalam sudut pandang hukum, tetapi itu semua dapat dipelajari dan bahkan setiap masalah yang ada di dalamnya bisa dicarikan pemecahannya. Hal ini karena ilmu hukum itu pada prinsipnya sangat sederhana. Sejauh apapun analisis dalam ilmu hukum, tetapi pada akhirnya harus kembali ke logika dasar dan bisa diterima oleh akal sehat, termasuk juga analisis hukum dalam sengketa perdagangan dunia. Kapasitas PSPD yang didukung oleh para akademisi di bidang-bidang yang berkaitan dengan WTO dan melihat track-record kinerja yang dilakukan selama ini, membuat penulis yakin untuk melaksanakan praktek lapangan di PSPD UGM karena mengingat ketertarikan dan minat penulis setelah menyelesaikan pendidikan di program Diploma hukum adalah untuk menjadi legal assistant pada bidang penelitian ilmu hukum nantinya. Disamping itu dengan mengingat SK Rektor Nomor 3/P/SK/HT/201315 yang memungkinkan
15
SK Rektor Nomor 3/P/SK/HT/2013 pada Pasal 20 Angka (2)
15
dari Diploma 3 untuk menjadi peneliti sehingga, PSPD merupakan tempat yang sangat cocok untuk penulis dalam memulai dunia kerja dalam bidang penelitian.
B. Tujuan Pada dasarnya, tujuan dilaksanakannya praktik kerja lapangan ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni yang bersifat subyektif dan obyektif. Tujuan subyektif dilaksanakannya praktik kerja lapangan adalah untuk memenuhi syarat kelulusan dari Program Diploma 3 Hukum Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, dan juga untuk memperoleh gelar Ahli Madya dalam bidang hukum. Tujuan obyektif tersebut diantaranya: 1. Menciptakan mahasiswa yang terampil dan bertanggung jawab serta memiliki profesionalitas dalam dunia kerja. 2. Melatih mahasiswa peka terhadap isu kepentingan bangsa dalam kancah globah dan berusaha untuk mengadvokasinya, dengan kapasitasnya. 3. Melatih kemampuan mahasiswa untuk menjadi pribadi yang cakap, terampil, mandiri, mampu bersikap, mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan dalam bekerja, dengan menerapkan teori-teori yang telah diberikan di bangku perkuliahan. 4. Menumbuhkan kemampuan berinteraksi sosial dengan orang lain di dalam dunia kerja, serta meningkatkan kepercayaan diri untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi di lapangan. 5. Memperoleh data terkait yang diperlukan dalam rangka penyusunan laporan tugas akhir.
16
C. Manfaat Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, manfaat dari praktek lapangan yang dilakukan sebenarnya sangat banyak jika dijalani oleh mahasiswa sesuai dengan standar program operasional, termasuk bagi penulis sendiri. Selain tujuantujuan pragmatis untuk menyelesaikan studi penulis di Program Diploma 3 Hukum, praktek lapangan juga merupakan sarana untuk menyalurkan minat penulis sebagai calon paralegal yang ingin menguasai ilmu hukum dalam bidang Hukum Publik Internasional, lebih khususnya lagi dalam bidang Hukum perdagangan internasional. Selain itu juga membuat penulis memahami lingkungan penelitian di Pusat Studi UGM akan kinerja pusat studi secara umum. Penulis juga bisa mengikuti seminar-seminar dalam hukum WTO, diplomasi perdagangan dunia, dan seluk beluk WTO lainnya yang sebenarnya itu adalah materi mahasiswa S2 Global Trade Diplomacy. Penulis juga dalam keseharian dapat berdiskusi baik dari mahsiswa GTD maupun Magister of Arts International Relations (MAIR). Suatu pengalaman yang luar biasa bagi penulis untuk mendapatkan pengalaman demikian. Penulis tidak menemui kendala yang berarti walaupun topik yang diangkat tersebut rumit selama melakukan kegiatan praktek lapangan di PSPD UGM, karena penulis berpendapat tidak ada ilmu yang tidak bisa dipelajari. Hal yang diperlukan hanya keinginan saja untuk mempelajarinya. Apalagi PSPD UGM sudah dilengkapi dengan sumber bacaan yang mendukung sehingga kalau sudah ada kemauan untuk memahami, semuanya pasti bisa seperti pepatah arab: Man Jadda Wa Jadda (Siapa Yang Bersungguh-Sungguh Pasti Akan Berhasil).