BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan
administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan ekonomi yang hendak dicapai melalui desentralisasi adalah mewujudkan kesejahteraan melalui penyediaan pelayanan publik yang lebih merata dan memperpendek jarak antara penyedia layanan publik dan masyarakat lokal. Pelaksanaan otonomi daerah yang menitikberatkan pada daerah kabupaten dan kota ditandai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan dari Pemerintah pusat ke Pemerintah daerah yang bersangkutan. Hal tersebut menegaskan bahwa Pemda memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumber daya yang dimiliki untuk belanja-belanja daerah dengan menganut asas kepatuhan, kebutuhan, dan kemampuan daerah yang tercantum dalam anggaran daerah (Kusnandar, 2010). Pemerintah daerah setiap tahunnya diminta untuk membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pengertian APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui oleh pemerintah daerah dan Dewan
1
2
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Fungsi APBD menurut Undang-Undang nomor 17 tahun 2001 tentang Keuangan Negara adalah untuk otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah yang merupakan pedoman bagi Pemda dalam memberikan pelayanan kepada publik dalam masa satu tahun anggaran. APBD terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Anggaran sektor publik berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. (Kusnandar, 2010). Maharani (2010) menyatakan bahwa dalam era desentralisasi fiskal sekarang ini, diharapkan adanya peningkatan pelayanan di berbagai sektor terutama sektor publik, dengan adanya peningkatan dalam layanan di sektor publik dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk untuk menanamkan investasinya di daerah. Oleh karena itu, pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik yang dapat dilakukan dengan peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya. Dengan meningkatnya pengeluaran modal diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik karena hasil dari pengeluaran belanja modal adalah meningkatnya aset tetap daerah yang merupakan prasyarat dalam memberikan pelayanan publik oleh Pemerintah daerah. PAD dan transfer dari pusat merupakan beberapa jenis pembiayaan untuk membiayai kegiatan Pemerintah Daerah. Selain itu, Pemerintah Daerah juga dapat
3
memanfaatkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) yang merupakan alternatif pembiayaan ketika suatu pemerintahan daerah mengalami defisit. SiLPA menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 merupakan Selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Jumlah SiLPA yang ideal perlu ditentukan sebagai salah satu dasar evaluasi
terhadap
pelaksanaan
program/kegiatan
pemerintah
daerah
kota/kabupaten. Pelampauan target SiLPA yang bersumber dari pelampauan target Penerimaan Daerah dan efisiensi sangat diharapkan, sedangkan yang bersumber dari ditiadakannya program/kegiatan pembangunan apalagi dalam jumlah yang tidak wajar sangat merugikan masyarakat. Dalam acara penyerahan DIPA 2012 di Istana Negara, Presiden Republik Indonesia menegaskan bahwa SiLPA yang dihasilkan dari efisiensi APBD hendaknya digunakan untuk kepentingan masyarakat. Sejauh ini mekanisme penggunaan SiLPA masih pro dan kontra. SiLPA digunakan pula untuk permasalahan krusial yang sebelumnya memang disetujui oleh pihak legislatif. Sebagian besar SiLPA disumbangkan ke Belanja Langsung berupa Belanja Modal yang secara langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Jumlah Belanja Langsung berupa pembangunan infrastruktur, pengadaan aset, dan sebagainya yang mana di dalamnya juga terdapat Belanja Modal lebih kecil dari jumlah Belanja Tidak Langsung (Panggabean, 2011), sehingga timbul banyak permasalahan misalnya tentang penggunaan dana SiLPA untuk belanja modal tahun sebelumnya yang belum terealisasi. Moral hazard pemerintah daerah dalam hal ini patut dipertanyakan,
4
karena perlu adanya kejelasan penggunaan SiLPA untuk belanja publik ataupun belanja aparatur semata. Faktor utama bagi daerah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah dengan meningkatkan investasi yang dapat dilakukan diantaranya dengan meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang memadai, baik kualitas maupun kuantitas, dan menciptakan kepastian hukum. Dalam upaya peningkatan kemandirian daerah, Pemda dituntut untuk mengoptimalkan potensi pendapatan yang dimiliki dan salah satunya adalah memberikan proporsi belanja modal yang lebih besar untuk pembangunan pada sektor-sektor yang produktif di daerah (Harianto dan Adi, 2007). Anggaran belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Luas Wilayah digunakan sebagai salah satu variabel karena dalam realisasinya belanja modal untuk kepentingan publik cenderung berupa pembangunan fisik di suatu kawasan atau daerah tersebut. Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa ada beberapa variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan layanan publik di setiap daerah, salah satunya adalah luas wilayah. Kusnandar (2010) menyatakan bahwa daerah dengan wilayah yang lebih luas membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih banyak sebagai syarat untuk pelayanan kepada publik bila dibandingkan dengan daerah dengan wilayah yang tidak begitu luas. Namun pada kenyataannya, daerah yang lebih luas belum tentu memiliki tingkat
5
pertumbuhan ekonomi yang sama dengan daerah yang lebih kecil. Masih banyak daerah-daerah yang memiliki luas wilayah yang cukup besar, akan tetapi daerah tersebut terdapat lebih banyak daerah pertanian apabila dibandingkan dengan daerah pemerintahannya, seperti pusat kota dll. Sebaliknya, banyak juga terdapat daerah yang cenderung lebih sempit luas wilayahnya, akan tetapi daerah tersebut kebanyakan didominasi oleh pusat kota dan pemerintahan yang tentunya akan membutuhkan lebih banyak belanja modal untuk mendanai daerah tersebut. Tabel 1.1 Realisasi Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2008-2012 (dalam juta rupiah) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kabupaten / Kota Kab. Bandung Kab. Bekasi Kab. Bogor Kab. Ciamis Kab. Cianjur Kab. Cirebon Kab. Garut Kab. Indramayu Kab. Karawang Kab. Kuningan Kab. Majalengka Kab. Purwakarta Kab. Subang Kab. Sukabumi Kab. Sumedang Kab. Tasikmalaya Kota Bandung Kota Bekasi Kota Bogor Kota Cirebon Kota Depok Kota Sukabumi Kota Tasikmalaya Kota Cimahi Kota Banjar Kab. Bandung Barat
BELANJA MODAL 2008 180.436 148.106 366.061 312.879 222.134 140.036 249.645 216.436 171.100 742.127 149.482 722.902 198.796 149.047 983.717 211.679 345.161 304.885 911.914 943.790 233.912 820.656 109.889 101.204 100.904 778.223
2009 148.925 664.800 510.325 808.766 162.063 141.989 754.647 174.769 198.266 460.703 120.562 103.849 168.592 148.640 967.771 165.098 390.988 342.503 108.450 920.224 239.254 120.426 118.848 952.473 104.073 996.856
2010 198.091 391.290 612.386 120.099 224.833 140.388 155.205 123.498 215.659 127.191 171.765 126.162 148.249 258.511 102.603 185.630 405.610 275.321 165.940 140.366 219.718 505.960 124.139 911.357 622.660 157.567
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat (diolah)
2011 172.470 643.501 703.671 174.115 222.510 194.435 180.601 229.035 197.928 188.900 195.921 144.491 184.707 202.654 154.987 167.144 612.082 323.904 132.953 140.011 295.461 50.859 104.451 102.871 151.418 149.207
2012 541.288 713.743 1.150.891 206.830 286.524 343.716 455.068 246.367 684.959 130.189 302.247 181.679 242.464 178.567 181.346 215.746 1.036.657 682.923 259.423 89.615 548.327 70.287 63.438 152.023 83.917 298.388
6
Tabel 1.2 Realisasi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2008-2012 (dalam juta rupiah) No
Kabupaten / Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kab. Bandung Kab. Bekasi Kab. Bogor Kab. Ciamis Kab. Cianjur Kab. Cirebon Kab. Garut Kab. Indramayu Kab. Karawang Kab. Kuningan Kab. Majalengka Kab. Purwakarta Kab. Subang Kab. Sukabumi Kab. Sumedang Kab. Tasikmalaya Kota Bandung Kota Bekasi Kota Bogor Kota Cirebon Kota Depok Kota Sukabumi Kota Tasikmalaya Kota Cimahi Kota Banjar Kab. Bandung Barat
SILPA 2008 187.263 381.968 320.210 171.147 68.335 32.617 37.971 91.482 178.264 26.313 31.161 30.818 62.655 102.661 26.714 182.392 298.348 142.499 98.294 190.557 72.528 71.727 74.764 68.359 11.094
2009 155.510 773.808 432.305 25.387 77.801 22.860 8.084 44.961 168.236 2.986 32.933 39.182 14.872 75.674 21.071 154.150 258.651 140.750 132.416 21.325 189.519 46.670 54.142 70.284 57.450 131.855
2010 317.829 494.626 427.656 173.168 106.473 141.227 184.753 93.603 246.689 97.642 65.409 96.085 56.632 237.761 63.787 135.369 372.499 98.348 168.171 88.986 225.973 72.804 118.843 235.256
2011 258.191 156.660 261.336 92.679 121.392 90.264 115.051 104.008 307.065 47.839 50.746 30.369 3.711 12.751 22.468 110.697 276.560 86.714 9.765 19.948 244.764 15.731 288.245 96.896 6.054 -
2012 307.965 700.208 144.175 19.130 131.356 67.749 43.511 97.846 414.570 424.413 87.468 34.986 103.204 108.294 -
Sumber: www.djpk.depkeu.go.id (diolah) Berdasarkan
tabel
diatas,
dapat
dilihat
bahwa
belanja
modal
kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat mengalami kenaikan dan juga penurunan setiap tahunnya. Pasal 137 menyatakan bahwa Sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk: 1.
Menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja;
7
2.
Mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung;
3.
Mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. Berdasarkan undang-undang tersebut, secara pengaruh seharusnya ketika
angka SiLPA menunjukkan peningkatan, maka seharusnya Belanja Modal pada tahun berikutnya juga akan mengalami peningkatan, akan tetapi sebagaimana data yang tercantum dalam tabel tersebut terdapat beberapa kasus dimana ketika SiLPA mengalami peningkatan, Belanja Modal justru malah mengalami penurunan. SiLPA dalam hubungannya dengan belanja modal telah diteliti oleh Ardhini (2011) dengan objek penelitian di kabupaten/kota wilayah Jawa Tengah dengan hasil yang menyatakan bahwa SiLPA berpengaruh positif terhadap belanja modal. Hal ini mengindikasikan bahwa SiLPA merupakan salah satu sumber pendanaan belanja modal. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2013) menunjukkan bahwa tingkat pembiayaan SiLPA tahun lalu berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal tahun berikutnya dengan arah hubungan positif. Hubungan yang positif berarti bahwa semakin besar tingkat pembiayaan SiLPA tahun lalu maka semakin besar pula alokasi belanja modal di tahun berikutnya. Hasil penelitian Harianto (2013) menunjukkan bahwa informasi SiLPA dan informasi arus kas (operasional, investasi dan pendanaan) secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penganggaran belanja modal Pemerintah Daerah.
8
Penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar (2010) menunjukkan bahwa Sisa Lebih Perhitungan Anggaran berpengaruh positif dan signifikan pada α=1%, hal ini mengindikasikan bahwa SiLPA tahun sebelumnya sangat berpengaruh pada alokasi belanja tahun berikutnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti bermaksud untuk menganalisis sejauh mana SiLPA dan Luas Wilayah berpengaruh pada Belanja Modal. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul : “PENGARUH SISA LEBIH PERHITUNGAN ANGGARAN (SiLPA) DAN LUAS WILAYAH TERHADAP BELANJA MODAL” (Pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2008-2012) 1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, penulis
mengidentifikasikan masalah yang akan menjadi pokok pemikiran dan pembahasan adalah sebagai berikut: 1)
Apakah SiLPA berpengaruh terhadap Belanja Modal?
2)
Apakah Luas Wilayah berpengaruh terhadap Belanja Modal?
3)
Apakah SiLPA dan Luas Wilayah secara simultan berpengaruh terhadap Belanja Modal?
1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan yang hendak dicapai melalui
penelitian ini adalah sebagai berikut:
9
1)
Untuk menguji pengaruh Sisa Lebih Perhitungan Anggaran terhadap pengalokasian Belanja Modal.
2)
Untuk menguji pengaruh Luas Wilayah terhadap pengalokasian Belanja Modal
1.4
Kegunaan Penelitian
1.
Bagi ilmu pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dan bahan acuan atau sumber untuk observasi lebih lanjut dalam bidang Akuntansi Sektor Publik mengenai Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Luas Wilayah, dan Belanja Modal.
2.
Bagi penulis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti berkenaan dengan adanya pengaruh Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
dan
Luas
Wilayah
Terhadap
Belanja
Modal
pada
kota/kabupaten di provinsi Jawa Barat. 3.
Bagi pemerintah daerah Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan memberikan masukan dalam hal penyusunan kebijakan di masa yang akan datang yang berkaitan dengan pengalokasian belanja modal yang terdapat di dalam APBD.
4.
Bagi peneliti selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi terpercaya yang dapat kembali dikaji untuk jenis objek yang lain.
10
1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini penulis lakukan pada Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Jawa Barat yang berlokasi di Jl. PHH Mustapa No. 43 Bandung, 40124. Penelitian ini dilakukan pada bulan September hingga selesai.