PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI (TELAAH TERHADAP UU No. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH) Arif Dwi Atmoko, SH., MH1 ABSTRAK Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) pada awalnya dilakukan secara tidak langsung melalui perwakilan DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sebagai akibat dari perubahan konstelasi politik dan sosial, maka Pilkada tidak lagi dilakukan oleh DPRD, akan tetapi dipilih secara langsung oleh masyarakat. Pilkada langsung ini dilakukan sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Partai politik dan masyarakat daerah dianggap telah mengalami perubahan pendewasaan dalam berdemokrasi. Akan tetapi hal ini ternyata tidak sepenuhnya benar. Karena dengan Pilkada Langsung pelanggaran Pilkada tidak lagi melibatkan elit politik daerah, tetapi meluas menjadi persoalan dan sengketa masyarakat daerah. Kata Kunci: Pemerintahan Daerah, Pilkada, Pelanggaran Pilkada.
PENDAHULUAN Latar Belakang Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh gubernur, bupati atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah (Pasal 1 huruf 3 UU Pemda). Dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, pemda diberi hak-hak otonomi daerah. Hak otonomi daerah adalah hak wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan pengaturan perundang-undangan (Pasal 1 huruf 5 UU Pemda). Pasal 10 Ayat 1 UU Pemda menyatakan bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat meliputi: a. Politik Luar Negeri. b. Pertahanan. c. Keamanan. d. Yustisi. e. Moneter dan Fiskal Nasional. f. Agama. Demikian ditegaskan dalam Pasal 10 Ayat (3) UU Pemda. Dalam penyelenggara pemerintahannya, pemerintah daerah memperoleh penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Afan Gaffar tingkat pluralitas yang sangat tinggi dan pemilahan sosial yang saling berkonsolidasi antara agama, etnisitas, dan kelas sosial 1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
39
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
40
masyarakat Indonesia akan sangat sulit membentuk sebuah pemerintahan yang stabil yang mampu mewujudkan dirinya untuk memberikan pelayanan dan perlindungan masyarakat.2 Dengan model demokrasi yang seperti ini dalam masa transisi diperlukan sebuah pemerintahan yang kuat menjadi topangan masyarakat. Akan tetapi, pemerintahan yang kuat tidak identik dengan pemerintahan otoriter, yang menjalankan pemerintahan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah hukum dan hakhak asasi warga negara. Pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan yang memiliki tingkat legitimasi tinggi. Legitimasi tersebut diperoleh karena keberhasilannya dalam mewujudkan darinya dalam masyarakat sehingga masyarakat menghormati dan mempercayainya. Pemerintah yang seperti inilah yang harus dibangun di Indonesia pada saat memasuki masa-masa transisi menuju Indonesia baru yang dicita-citakan. Demokrasi dikembangkan atas dasar saling percaya antara satu dengan yang lainnya, karena kalau tidak ada kepercayaan, maka tidak dapat diharapkan banyak akan munculnya demokrasi. Kalau pemerintahan tidak memiliki kepercayaan terhadap rakyat, pemerintah akan memonopoli kekuasaan yang ada, segala sesuatu diputuskan sendiri sementara rakyat ditinggalkan. Di samping itu, kita harus memperhatikan bahwa demokrasi juga mempersyaratkan sikap dan perilaku yang moderat serta taat aturan hukum, kecenderungan ekstrimitas dalam sikap, jelas tidak akan mendukung bagi munculnya demokrasi. Untuk itu yang harus dilakukan, pertama, segera dirumuskan suatu strategi reformasi dan pemulihan yang integral dan komprehensif; kedua, terdapat kemauan politik yang kuat khususnya dari para elit untuk segera keluar dari krisis yang melelahkan; ketiga, harus selalu ada tekanan sosial (dalam arti positif), baik secara nasional maupun internasional; keempat, didukung oleh watak kepemimpinan yang profesional dan beretika pada semua tingkatan pemerintahan; kelima, rekomendasi nasional untuk menyelesaikan berbagai masalah dan kasuskasus yang dilakukan oleh rezim orde baru; keenam, komitmen untuk menjunjung prinsip supremasi hukum dan pemerintahan yang baik guna menjamin keadilan, keamanan, dan kepastian hukum. Rumusan Masalah a. Pelanggaran apa saja yang dapat terjadi dalam Pilkada? b. Bagaimanakah sanksi terhadap pelanggaran dalam Pilkada? 1. Metode Penelitian a. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro arti dari yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan terhadap data sekunder dan merupakan suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, juga menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku
2
Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Yogyakarta, h. 353
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Demokrasi,
Pustaka Pelajar,
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
41
dalam masyarakat.3 Pendekatan normatif dapat dimaksudkan sebagai penelaah suatu objek penelitian melalui penelaahan peraturan perundang-undangan, teori yang baku serta saling berhubungan dan menunjukkan hubungan kausalitas antara pokok permasalahan dengan teori-teori dan peraturan perundang-undangan tersebut. b. Sumber Bahan Hukum a. Bahan hukum primer yaitu aturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas seperti Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. b. Bahan hukum sekunder yang meliputi literatur, diklat, hasil penelitian, majalah-majalah hukum, surat kabar yang memuat berita yang berkaitan dengan bahan hukum primer. c. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum melalui pengumpulan data atas kasus yang terjadi dalam praktik praktisi di lapangan dan melalui studi kepustakaan dengan cara menggunakan peraturan perundang-undangan dengan membaca dan mempelajari literatur, diklat, aturan perundangan media cetak yang lain seperti surat kabar. d. Analisa Data Data yang sudah diolah selanjutnya dianalisis melalui metode deskriptif analisis,4 yang bertujuan menjelaskan dan menggambarkan suatu keadaan yang menghasilkan data non statistik yang kemudian diolah dengan menggunakan logika berfikir deduktif yaitu mengenai hal yang bersifat umum untuk menjelaskan hal yang lebih khusus, serta untuk menjawab permasalahan yang diajukan. PEMBAHASAN A. Pelanggaran dalam Pilkada Menurut Wolhoft5 dalam sistem organisme rakyat dipandang sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka warna persekutuan hidup seperti genealogi (rumah tangga), teritorial (desa, kota, daerah) fungsional spesial (cabang industri), lapisan-lapisan, dan sebagainya. Masyarakat dipandangnya sebagai suatu organisasi yang terdiri dari organorgan yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalitet organisasi itu, yaitu persekutuan-persekutuan hidup di atas. Persekutuan-persekutuan hidup inilah sebagai pengendali hak pilih, atau lebih tepat sebagai hak untuk mengutus wakil-wakil kepada perwakilan masyarakat (rakyat). Badan perwakilan menurut sistem organisasi ini bersifat badan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan hidup yang biasa disebut Dewan Korporatif. Dalam pemilihan mekanis, menurut Wolhoff, rakyat dipandang sebagai massa individu-individu inilah yang berfungsi sebagai pengendali hak pilih aktif 3
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cet. III, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, h. 11 4 Suryono Sukamto, Penelitian Hukum Normatif, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 10 5 Ibid, h.171.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
42
dengan masing-masing mengeluarkan satu suara dalam tiap pemilihan untuk satu lembaga perwakilan. Sistem pemilihan mekanis biasanya dilaksanakan dengan dua sistem pemilihan umum, yaitu: a) sistem proporsional; b) sistem distrik. Sistem pemilihan proporsional adalah suatu sistem pemilihan di mana kursi yang tersedia di parlemen dibagikan kepada partai-partai politik (organisasi peserta pemilihan umum) sesuai dengan imbangan perolehan suara yang didapat partai politik/organisasi peserta pemilihan bersangkutan. Oleh karena itu, sistem pemilihan umum ini disebut juga dengan “sistem berimbang”.6 Dalam sistem ini, wilayah negara merupakan satu daerah pemilihan. Akan tetapi, karena luasnya wilayah negara dan jumlah penduduk warga negara yang cukup banyak, wilayah itu dibagi atas daerah-daerah pemilihan (misalnya provinsi menjadi suatu daerah pemilihan). Kepada daerah-daerah pemilihan ini dibagikan sejumlah kursi yang harus diperebutkan, luas daerah pemilihan, perimbangan partai politik, dan sebagainya. Hal yang pasti adalah jumlah kursi yang diperebutkan pada masing-masing daerah pemilihan lebih dari satu, karena itu sistem pemilihan proporsional ini disebut juga dengan “Multi member Constituency”. Sisa suara dari masing-masing peserta pemilihan umum di daerah pemilihan tertentu tidak dapat lagi digabungkan dengan sisa suara di daerah pemilihan lainnya. Segi-segi positif dari sistem pemilihan proporsional: (1) suara yang terbuang sangat sedikit; (2) partai-partai politik kecil/minoritas, besar kemungkinan mendapat kursi di parlemen, sedangkan segi-segi negatif dari sistem ini adalah sebagai berikut:7 1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai politik dan timbulnya partaipartai politik baru. Sistem ini tidak menjurus ke arah integrasi bermacammacam golongan dalam masyarakat, tetapi kecenderungan lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan oleh karena itu kurang terdorong untuk menari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Sebagai akibatnya, sistem pemerintahan umum ini memperbanyak jumlah partai politik. 2. Setiap calon yang terpilih menjadi anggota parlemen merasa dirinya lebih terikat kepada partai politik yang mencalonkan dan kurang merasakan loyalitasnya kepada rakyat yang telah memilihnya. 3. Banyaknya partai politik mempersukar dalam membentuk pemerintahan yang stabil, lebih-lebih dalam sistem pemerintahan parlementer. Karena pembentukan pemerintah/kabinet harus didasarkan atas koalisi (kerja sama) antardua partai politik atau lebih. 4. Terjadinya pencerminan pendapat yang salah tingkat pertama (the first stage of distortions of opinion). Sistem pemilihan distrik adalah suatu sistem pemilihan yang wilayah negaranya dibagi atas distrik-distrik pemilihan, yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang tersedia di parlemen. Setiap distrik pemilihan hanya memilih satu orang wakil dari calon-calon yang diajukan oleh masing-masing partai politik/organisasi peserta pemilihan umum. Oleh karena itu, sistem ini juga disebut “single member constituency”. Pihak yang menjadi pemenangnya (calon
6 7
Sri Soemantri M. loc.cit. Bintan R. Saragih, op.cit, h. 180
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
43
terpilih) adalah yang memperoleh suara terbanyak (mayoritas) dalam distrik tersebut. Segi-segi positif sistem pemilihan distrik:8 1. Hubungan antara si pemilih dengan wakilnya sangat dekat, karena itu partaipartai politik tidak berani mencalonkan orang yang tidak populer (tidak dikenal) dalam distrik tersebut. Terpilihnya seorang calon biasanya karena kualitas dan kepopulerannya dan baru kemudian kepopuleran partai politiknya. 2. Sistem ini mendorong bersatunya partai-partai politik. Karena calon yang terpilih hanya satu, beberapa partai dipaksa/terpaksa bergabung untuk mencalonkan seorang yang lebih populer dan berkualitas serta berbakat di antara calon-calon yang lain. 3. Sistem pemilihan ini mengakibatkan terjadinya penyederhanaan jumlah partai politik. 4. Organisasi penyelenggara pemilihan dengan sistem ini lebih sederhana, tidak perlu memakai banyak orang untuk duduk dalam panitia pemilihan. Biaya lebih murah dan perhitungan suara lebih singkat karena tidak perlu menghitung sisa suara yang terbuang. Segi-segi negatif sistem pemilihan distrik adalah sebagai berikut: 1. Kemungkinan ada suara yang terbuang. Bahkan, ada kemungkinan calon terpilih mendapat suara minoritas lawan-lawannya. 2. Sistem ini akan menyulitkan partai-partai kecil dan golongan-golongan minoritas. Sukar bagi mereka mempunyai wakil di lembaga perwakilan. 3. Terjadinya pencerminan pendapat yang salah tingkat pertama dan tingkat dua (the first and the second stage of distortion of opinion). Untuk konteks Indonesia, banyak sekali orang yang mencampurkan antara electoral laws dengan electoral processes. Di dalam ilmu politik yang disebut dengan electoral laws menurut Douglas Rae adalah “those which govern the processes by which electoral preferences are articulated as votes and by which these votes are translated into distribution of governmental authority (typically parliamentary seats) among the competing political parties”. Artinya, sistem pemilihan dan aturan yang menata bagaimana pemilu dijalankan serta distribusi hasil pemilihan umum. Sementara electoral process adalah mekanisme yang dijalankan di dalam pemilihan umum, seperti misalnya mekanisme penentuan calon, cara berkampanye, dan lain-lain. Menurut Affan Gafar sistem pemilihan (electoral laws) tidak mempunyai kaitan dengan sistem kepartaian di Indonesia. Proses dan mekanisme pemilihan yang membawa konsekuensi terhadap sistem kepartaian. Ada dua alasan yang mendasari pendapat tersebut. Pertama, sejak tahun 1973 Indonesia sudah mengatur sistem tiga partai yang merupakan hasil reformasi sistem kepartaian yang dibuat oleh pemerintah, bukan sesuatu yang terjadi secara alamiah. Akibatnya, karena peraturan yang ada maka sudah tidak mungkin lagi untuk membentuk partai politik yang baru kecuali undang-undangnya yang harus diubah. Kedua, mekanisme dan proses pemilu yang tidak kompetitif telah berhasil membuat partai politik yang hegemonik. Proses pemilihan umum tersebut mencakup rekruitmen, calon-calon yang tidak terbuka, terutama untuk partaipartai politik non pemerintah. 8
Ibid.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
44
Di dalam proses rekruitmen tersebut partai non pemerintah tidak mempunyai kharisma sehingga tidak mampu menarik massa dukungan yang diharapkan. Hal ini terjadi karena besarnya peranan Lembaga Pemilihan Umum dan Kopkamtib di dalam menyaring calon-calon yang diajukan oleh partai.9 Ketika situasi politik berubah searah arus reformasi yang ditandai dengan jatuhnya Pemerintahan Soeharto pada 1998, pelaksanaan pemilu pada 1999 yang disiapkan dalam waktu singkat, terlaksana dengan relatif bebas, jujur dan adil khususnya jika dibandingkan dengan pelaksanaan pemilu sebelumnya. Ini merupakan pancangan awal menuju ke arah terbentuknya tatanan politik yang demokratis, suatu tatanan politik yang demokratis, suatu tatanan politik yang mampu menjamin tegaknya hak-hak politik rakyat sebagai cerminan dari prinsip kedaulatan rakyat. Pemilu 1999 jelas baru langkah awal dan belum mampu menjadi sarana partisipasi politik rakyat. Harusnya pemilu merupakan aktualisasi nyata demokrasi di mana rakyat bisa menyatakan kedaulatannya terhadap negara dan pemerintahan. Melalui pemilu ini rakyat menentukan siapa yang menjalankan dan mengawasi jalannya pemerintahan negara. Di sini rakyat memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakilwakilnya. Hanya saja persiapan pemilu 1999 perangkat perundang-undangnya masih memihak status quo dan tidak mencerminkan amanat reformasi. Sekurangkurangnya ada dua penjelasan. Pertama, pemilu dipersiapkan secara tergesa-gesa sehingga tidak memberi kesempatan kepada partai politik untuk melakukan sosialisasi program kepada masyarakat luas. Kedua, perangkat perundangundangan yang disiapkan masih terpaut dengan kepentingan partai Orde Baru.10 Pada 2004, bangsa Indonesia mendapat ujian yang berat karena disibukkan dengan banyaknya jadwal pemilihan, mulai dari Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD sampai dengan pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu di Indonesia, perselisihan hasil Pemilu Legislatif 2004 diadili dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Sebanyak 273 perkara masuk ke lembaga pelaksanaan kekuasaan kehakiman baru ini, dan Mahkamah Konstitusi telah menuntaskan tugas konstitusionalnya dengan memutus seluruh perkara dengan putusan yang bersifat final. 11 UUD 1945 telah mengalami perubahan mendasar sebanyak empat kali. Dalam rangka perubahan pertama sampai perubahan keempat UUD 1945, bangsa kita telah mengadopsikan prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, mulai dari pemisahan kekuasaan dan checks and balances sampai dengan penyelesaian “konflik politik” melalui jalur hukum. Dalam pelaksanaan Pilkada menurut ketentuan UU Pemda harus diikuti paling sedikit 2 (dua) pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pada proses pelaksanaan Pilkada selalu saja terjadi adanya pelanggaranpelanggaran terhadap aturan-aturan hukum yang berlaku. Hal ini dapat kita ketahui melalui media massa cetak (surat kabar) dan melalui media massa elektronik (televisi) seperti contohnya kasus Pilkada di Surabaya dalam pemilihan walikota di Surabaya pada 2005. 9
Affan Gafar. “Sistem Pemilihan Umum di Indonesia Beberapa Catatan Kritis”, dalam Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda (ed.). ibid, h.31. 10 ”Berita Mahkamah Konstitusi”, edisi khusus, 2004, hlm.4 11 Ibid.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
45
Pada proses pemilihan walikota di Surabaya telah diberitakan melalui surat kabar adanya pelanggaran-pelanggaran aturan-aturan Pilkada di Surabaya dalam pemilihan Walikota di Surabaya pada 2005. Pada proses pemilihan walikota di Surabaya telah diberitakan melalui surat kabar adanya pelanggaran aturan-aturan Pilkada yang berkaitan dalam pelaksanaan kampanye seperti pencurian waktu kampanye, merusak dan atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan lain, massa pendukung calon pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah melakukan pawai atau arakarakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan atau dengan kendaraan di jalan raya. Kecurangan dalam proses penghitungan suara, yaitu adanya politik uang (money politics), di mana tim sukses dari pasangan calon membagi-bagikan sejumlah uang kepada rakyatnya yang akan melakukan pemilihan. Pelanggaran yang juga terjadi pada pasca pemungutan suara di mana ketika KPUD Surabaya memutuskan kemenangan salah satu pasangan calon wali kota dan wakil walikota Surabaya yang ikut dalam Pilkada, massa pendukung calon pasangan walikota dan wakil walikota yang lain dan tidak mau menerima kekalahannya. Selanjutnya, mereka melakukan perusakan pada kantor DPRD Kota Surabaya yang tidak mau menerima berita acara penetapan calon pasangan walikota dan wakil walikota terpilih, yaitu Bambang DH dan wakilnya, Arief Afandi. Demikian pula pada kasus pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Tuban yang diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon bupati dan wakil bupati, yaitu Haeny Relawati dan Lilik Suherdjono yang didukung Partai Golkar dan pasangan calon bupati dan wakilnya, yaitu Noor Nahar Husein dan Go Tjong Ping yang didukung oleh koalisi PKB-PDIP. Pemilihan Pilkada di Kabupaten Tuban dilaksanakan pada 27 April dan pada hari esoknya, pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Haeny Relawati dan Lilik Suherdjono memperoleh kemenangan dalam Pilkada. Massa pendukung calon pasangan Noor Nahar Husein dan Go Tjong Ping yang tidak mau menerima kekalahan dan menuduh adanya kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada melakukan tindakan anarkis dengan merusak dan membakar kantor KPUD Tuban, merusak Kantor Bupati Tuban, bahkan merusak dan membakar rumah pribadi calon bupati terpilih. Ketidakpuasan dalam pelaksanaan Pilkada oleh pasangan calon kepala daerah yang ikut dalam Pilkada dapat dilakukan pasangan calon kepala daerah yang ikut dalam Pilkada dapat dilakukan pasangan calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPUD kabupaten/kota apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam pasal 99 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. B. Upaya Mengatasi Pelanggaran Pilkada 1. Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah adalah suatu mekanisme penggantian kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya yang dilakukan secara konstitusional.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
46
Sejak Negara Republik Indonesia ada, ketika dinyatakan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta di mana sehari setelah kemerdekaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang secara yuridis disebut sebagai pembentuk Negara menetapkan dan mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang dikenal UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945). Berdasarkan salah satu pasal Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada pasal 18 UUD 1945 di Negara Republik Indonesia dianut sistem desentralisasi. Berdasar pasal 18 UUD 1945 pada ayat (1) menegaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang. Selanjutnya, pada ayat (4) pasal 18 UUD 1945 menegaskan gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Undang-Undang yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah ini pertama kali pada era Orde Baru diatur pada Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Otonomi Daerah. Selanjutnya, Undang-Undang ini diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan semakin berkembangnya kehidupan demokrasi di Indonesia, maka Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Di dalam dua Undang-Undang sebelumnya pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pemilihan untuk Kepala Daerah Provinsi (Gubernur) dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pemilihan untuk Kepala Daerah Provinsi (Gubernur) dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. Sedang pemilihan kepala daerah kabupaten (bupati) dan kota (walikota) dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota. Pada Undang-Undang No. 32 tahun 2004, pemilihan kepala daerah provinsi kabupaten dan kota dilakukan oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan kepala daerah dan wakilnya. Berdasar Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diselenggarakan oleh suatu badan, yaitu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bertanggungjawab kepada DPRD (Pasal 57 ayat 1 UU NO. 32 Tahun 2004). Dalam rangka supaya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakilnya dapat berlangsung secara jujur dan adil berdasar pada ketentuan UU No. 32 tahun 2004, dibentuk Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Anggota panitia pengawas berdasar Undang-Undang ini berjumlah 5 (lima) orang untuk provinsi 5 (lima) orang untuk Kabupaten/Kota dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan. Panitia pengawas untuk Kabupaten/kota ditetapkan oleh DPRD, sedang panitia pengawas untuk kabupaten/kota ditetapkan oleh DPRD. Panitia pengawas pemilihan kepala darah dan wakil yang dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berdasar Undang-Undang No. 32 tahun 2004 adalah sebagai berikut:
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
47
a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa b. Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemerintah. c. Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau Sederajat. d. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun. e. Sehat jasmani dan rohani berdasar hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter. f. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih. g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya. i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan. j. Tidak sedang memiliki tanggung jawab utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara. k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasar keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela. m. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak. n. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung suami atau istri. o. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. p. Tidak dalam status sebagai pejabat kepala daerah. Bahwa calon pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik (pasal 59 UU No. 32 tahun 2004). Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Pada saat mendaftarkan pasangan calon partai politik atau gabungan partai politik wajib menyerahkan: a. Surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik yang bergabung. b. Kesepakatan tertulis antarpartai politik yang bergabung untuk mencalonkan pasangan calon. c. Surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan yang dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau para pimpinan partai politik yang bergabung. d. Surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan. e. Surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
48
f. Surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. g. Surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. h. Surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya sebagai pimpinan DPRD tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya. i. Surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. j. Kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. k. Naskah visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis. l. Kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. m. Naskah visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis. n. Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan pasangan calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lain. o. Masa pendaftaran pasangan calon paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan calon. Tahapan berikutnya KPUD melakukan penelitian terhadap pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik. Bilamana menurut KPUD pasangan calon tidak memenuhi semua persyaratan yang ditentukan sebagaimana diatur pada pasal 59 UU No. 32 tahun 2004; KPUD menetapkan pasangan calon yang dituangkan dalam Berita Acara Penetapan pasangan calon (Pasal 61 UU No. 32 Tahun 2004). Partai politik atau gabungan partai politik dilarang menarik calonnya dan/atau pasangan calon dan pasangan calon atau salah seorang dari pasangan calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPUD. Tahapan berikutnya dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah adalah pasangan calon kepala daerah yang diusulkan dalam Pilkada memasuki masa kampanye. Dalam hal salah 1(satu) calon atau pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara sehingga jumlah pasangan calon kurang dari 2 (dua) pasangan, tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah ditunda paling lambat 30 (tiga puluh) hari dan partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya berhalangan tetap mengusulkan pasangan calon pengganti paling lambat 3 (tiga) hari sejak pasangan calon berhalangan tetap dan KPUD melakukan penelitian persyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon pengganti paling lambat 4 (empat) hari sejak pasangan calon pengganti didaftarkan. Setelah masa kampanye berakhir, maka pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan melalui masa persiapan dan tahap pelaksanaan. Masa persiapan adalah meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Pemberitahuan DPRD kepada daerah mengenai berakhirnya masa jabatan. b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
49
c. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara, dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah. d. Pembentukan Panitia Pengawas Kecamatan (PKK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kepala Panitia Pemungutan Suara (KPPS). e. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau. Demikian diatur dalam pasal 65 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004. Tahapan pelaksanaan Pilkada berdasar Pasal 65 ayat (3) UU ini meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Penetapan daftar pemilih. b. Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah. c. Kampanye. d. Pemungutan suara. e. Penghitungan suara. f. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan. Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah, KPUD mempunyai tugas dan berwenang sebagai berikut (Pasal 66 ayat (1)): a. Merencanakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. b. Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perundangundangan. c. Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah. d. Menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. e. Meneliti persyaratan partai politik dan gabungan partai politik yang mengusulkan calon. f. Meneliti persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusulkan. g. Menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan. h. Menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye. i. Mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye. j. Menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. k. Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pilkada. l. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. m. Menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan hasil audit. Berdasarkan ayat (3) pasal 66 DPRD dalam penyelenggaraan Pilkada bertugas dan berwenang: a. Memberitahukan kepada kepala daerah mengenai akan berakhirnya masa jabatan. b. Mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan mengusulkan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpiliah. c. Melakukan pengawasan pada semua tahapan pelaksanaan pemilihan.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
50
d. Membentuk panitia pengawas. e. Meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD. f. Menyelenggarakan rapat paripurna untuk menyelenggarakan penyampaian visi, misi, dan program dari pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Panitia pengawas yang dibentuk oleh DPRD mempunyai tugas dan wewenang menurut Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: a. Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pilkada. b. Menerima laporan adanya pelanggaran pendaftaran peraturan perundangundangan dalam Pilkada. c. Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pilkada. d. Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan, kepada institusi yang berwenang. e. Mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada semua tingkatan. Sebelum memasuki tahapan pemungutan suara, pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah menyelenggarakan kampanye. Berdasar pasal 75 Undang-Undang ini masa kampanye adalah 14 (empat belas) hari dan berakhirnya 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara. Penetapan kampanye dan tim kampanye dibentuk oleh pasangan calon bersama-sama partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon tim kampanye menurut Undang-Undang ini didaftarkan ke KPUD bersamaan dengan pendaftaran pasangan calon. Penanggungjawab kampanye adalah pasangan calon, yang pelaksanaannya dipertanggungjawabkan oleh tim kampanye. Mengenai jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan oleh KPUD dengan memperhatikan usul dari pasangan calon (Pasal 75 ayat 9 UU No. 32 tahun 2004). Pelaksanaan kampanye dapat dilaksanakan melalui: a. Pertemuan terbatas. b. Tatap muka dan dialog. c. Penyebaran melalui media cetak dan media elektronik. d. Penyiaran melalui radio dan/atau televisi. e. Penyebaran bahan kampanye kepada umum. f. Pemasangan alat peraga ditempat umum. g. Rapat umum. h. Debat publik/debat terbuka antar calon, dan/atau i. Kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Demikian diatur dalam Pasal 76 ayat (1) Undang–Undang ini. Dalam penyampaian materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif. Berdasar pasal 78 UU ini dalam kampanye dilarang melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Mempersoalkan Dasar Negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. b. Menghina seorang, agama, suku, ras, golongan calon kepala daerah/wakil kepala daerah dan/atau partai politik. c. Menghasut atau mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
51
d. Menggunakan kekerasan, ancaman kekuasaan dan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau partai politik. e. Mengganggu keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum. f. Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sah. g. Merusak dan atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan calon lain. h. Menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah. i. Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan. j. Melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan atau dengan kendaraan di jalan raya. Dalam pelaksanaan kampanye pasangan calon dilarang, menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari (Pasal 85 UU No. 32 tahun 2004): a. Negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing, dan warga negara asing. b. Penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya. c. Pemerintah, BUMN, dan BUMD. Pasangan calon yang melanggar ketentuan sebagaimana tersebut di atas dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPUD. Setelah pelaksanaan kampanye Pilkada selesai dilaksanakan, pelaksanaan pemungutan suara siap dilaksanakan. Penentuan waktu dimulai dan berakhirnya pemungutan suara ditetapkan oleh KPUD (Pasal 92 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004). Dalam hal pelaksanaan pemungutan suara, suara yang dianggap sah untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah apabila sesuai dengan yang ditetapkan dalam Pasal 95 Undang-Undang ini. Setelah pelaksanaan pemungutan suara Pilkada selesai dilaksanakan dimulai penghitungan suara di tempat pemungutan suara oleh KPPS. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih (Pasal 107 ayat 1). Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 107 ayat 1 tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tersebut terdapat lebih dari satu pasangan calon yang memperoleh suaranya sama, penentuan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas (pasal 107 ayat 3 UU No. 52 tahun 2004). Dalam hal tidak terpenuhi atau tidak ada yang mencapai 25% dari jumlah suara yang sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih pengesahan dan pengangkatannya dilakukan oleh presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari (Pasal 109 ayat 1). Sedang pengangkatan pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota terpilih dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
52
nama Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari (pasal 109 ayat 2). Berdasar pasal 109 ayat (3) Undang-Undang ini pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD Provinsi, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU, Provinsi untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan. Untuk calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota terpilih, diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU Kabupaten/Kota untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan. 2.
Sanksi yang Dikenakan terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Pilkada Sesuai dengan asas negara berdasarkan asas hukum sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, segala proses penyelenggaraan pemerintahan negara harus berdasarkan pada aturan-aturan perundangan yang berlaku. Demikian pula pada pelaksanaan Pilkada harus menaati aturan-aturan pelaksanaannya yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004. Pelanggaran terhadap aturan-aturan yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 dapat dikenakan sanksi. Contohnya: pada jenis pelanggaran di mana setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu kampanye yang telah ditetapkan oleh KPUD, untuk masing-masing pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lambat 3 (tiga) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) demikian diatur pada pasal 116 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004. Dalam hal terjadi perusakan atau penghilangan alat peraga kampanye pasangan calon lain dan kampanye dilakukan dengan pawai atau penghilangan alat peraga kampanye pasangan calon lain dan kampanye dilakukan dengan pawai arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan atau dengan kendaraan di jalan raya, seperti yang telah terjadi di Surabaya, orang yang melakukan diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lambat 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), demikian diatur dalam Pasal 116 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004. Dalam hal terjadi kesengajaan oleh setiap orang memberikan atau menjanjikan, uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih pasangan calon tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan calon tertentu, sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), demikian diatur dalam pasal 117 ayat (2). Dalam tulisan ini, hanya mencantumkan 3 pasal saja yang mengatur tentang sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggaran pelaksanaan Pilkada sebagaimana kasus yang terjadi pada pelaksanaan Pilkada di Surabaya dan Tuban.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
53
Mengenai tindakan anarkis dan pembakaran yang terjadi pasca pemungutan suara dalam Pilkada di Tuban dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak terdapat pengaturannya. Untuk penjatuhan sanksi atau hukuman bagi orang yang melakukan tindakan anarkis seperti yang terjadi di Tuban. Tindakan anarkis dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal kejahatan. Sanksinya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mengenai penyelesaian hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran pelaksanaan Pilkada sejauh ini sepanjang yang saya ketahui tidak pernah dimuat dalam pemberitahuan pada media massa surat kabar. Hal ini dapat terjadi karena bukti-bukti terjadinya pelanggaran tidak kuat atau sukar untuk membuktikannya, seperti politik uang dalam Pilkada yang sulit untuk terbukti. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Bahwa dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dapat terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan pelaksanaan Pilkada yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pelanggaran yang terjadi umumnya pada pelaksanaan kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah yang didukung masa partai politik yang mengusulkan. Pelanggaran juga dapat terjadi pasca pemungutan suara di mana pasangan calon kepala daerah dan masa pendukungnya tidak mau menerima kesalahan kemudian melakukan tindakan anarkis. 2. Bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan Pilkada dikategorikan sebagai tindak pidana yang dapat dikenakan hukuman penjara dan hukuman denda yang selain diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, juga dapat dikenakan hukuman yang diatur dalam KUHP mengenai tindakan anarkis. B. Saran 1. Dalam rangka mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada, dipandang perlu untuk meningkatkan kesadaran hukum dan kematangan dalam kehidupan demokrasi yang dapat dilakukan melalui permasyarakatan; 2. Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh tokohtokoh masyarakat yang memimpin partai-partai politik yang dapat memberikan petunjuk dan himbauan kepada massa pendukungnya untuk mentaati aturan hukum yang berlaku pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dalam sistem demokrasi.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Arif Dwi Atmoko, SH, MH.: Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Demokrasi (Telaah terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
54
DAFTAR PUSTAKA BUKU Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999. Bintan R Saragih, Lembaga perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media pratama, Jakarta, 1987 Dahlan Thaib, Pemilu Ditinjau dari Landasan Konstitusional UUD 1945, Gaya Media Pratama, Jakarta. 1987 Darji Darmodiharjo, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, Laboratorium Pancasila, IKIP Malang, 1982. Kairudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. Mulyana W. Kusuma, Menata Politik Pasca Reformasi, KIPP Indonesia, Jakarta, 2000. Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Pringgodigdo, AK. Tiga Undang-Undang Dasar. PT. Pembangunan Jakarta, 1994. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cet. III, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998. Sri Soemantri M, Sistem Pemilu Dalam Ketatanegaraan Indonesia, Majalah PERSAHI, Nomor Ketiga, Januari 1990. Sukamto, Suryono, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, 1985 PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya