BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Wacana krisis pangan yang mengemuka pada saat ini lebih banyak diakibatkan oleh ketersediaan bahan pangan (food security). Ketersediaan ini dipengaruhi oleh supply dan demand dari pangan. Dimana demand akan terus meningkat sesuai dengan teori Malthus. Data jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah sebanyak 237.641.326 jiwa, yang mencakup mereka yang bertempat tinggal didaerah perkotaan sebanyak 118.320.256 jiwa (49,79%) dan 1
didaerah perdesaan sebanyak 119.321.070 jiwa (50,21%).
Pertumbuhan
penduduk akan terus-menerus meningkat. Berbicara mengenai krisis pangan memang sangat krusial, bahkan dunia harus bersama-sama berpikir untuk mengatasi masalah kelaparan karena demand yang terus bertambah. Selain itu akar permasalahan pangan juga dapat dilihat dari segi pengaturan yang ada pada sisi supply. Hal ini diakibatkan oleh banyak hal, diantaranya konversi penggunaan lahan dan semakin ketatnya air sebagai penunjang utama pertanian. Membedah masalah irigasi dalam konteks Indonesia, reformasi pada sektor irigasi dapat dilihat melalui dua aspek, yakni service management dan resources management. Service management mengacu pada the provision of infrastructure seperti jaringan pipa distribusi, fasilitas pengolahan air, sumber pasokan air (supply sources) dan sebagainya, sedangkan resources management
1
http://sp2010.bps.go.id/, diakses pada tanggal 4 Juli 2014.
1
mengacu pada pengalokasian air antara sektor pertanian, industri, rumah tangga, isu-isu polusi dan sebagainya.2 Reformasi services management di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1987, diawali dengan reformasi kebijakan di sektor irigasi. Sejak awal berkuasanya rezim pemerintahan orde baru, kebijakan irigasi difokuskan pada rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi baru. Kebijakan ini secara finansial didukung oleh naiknya harga minyak dan pinjaman dari lembaga keuangan internasional dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pertanian. Sejak tahun 1968-1993, US$10 milyar telah diinvestasikan untuk sektor irigasi dan 70% diantaranya berasal dari hutang luar negeri, untuk memperbaiki dan membangun jarigan irigasi yang mengairi 5 juta hektar sawah.3 Puncaknya dapat kita lihat pada swasembada beras pada tahun 1984. Pemerintahan baru era Presiden Joko Widodo mengatakan, pada 2015, pemerintah akan berfokus pada dua hal, yaitu pembangunan infrastruktur dan pertanian. Untuk sektor pertanian, Jokowi menyatakan akan membangun 49 waduk secara bertahap dalam lima tahun. Pada 2015, ada 13 waduk yang akan dibangun. Selain waduk, Jokowi juga akan membangun irigasi dengan kapasitas total 1 juta hektare.4 Irigasi menjadi sektor penting untuk dikelola dalam rangka mendukung tercapainya swasembada di daerah-daerah. Salah satunya Kabupaten Purworejo di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Purworejo merupakan salah satu kabupaten 2
Eric Gutierrez, dkk, New Rules, New Roles: Does PSP Benefit the Poor?, “WaterAid and Tearfund”, 2003. 3 Bryan Bruns, From Voice to Empowerment: Rerouting Irrigation Reform in Indonesia, November 1999. 4
http://bisnis.tempo.co/read/news/2014/12/24/090630787/jokowi-fokuskan-anggaran-2015-pada-dua-sektor diakses pada tanggal 30 Juni 2015.
2
yang berperan sebagai penyangga utama Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) di Jawa Tengah.5 Purworejo menjadi kabupaten dengan urutan 13 dari penghasil padi terbesar di Jawa Tengah dengan luas panen 55.075 (ha) menghasilkan produksi 296.043 ton pada tahun 2014.6 Walaupun tren hasil panen selama 5 tahun terakhir cenderung tidak stabil, meningkat tajam pada tahun 2012 sebesar 356.422 ton dan menurun sampai dengan tahun 2014. Purworejo merupakan kabupaten yang tidak terlalu luas dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Jawa Tengah, namun luasan lahan sawah dari total luas kabupaten cukup besar. Sehingga sawah merupakan lahan utama untuk mencari nafkah, terutama untuk penduduk yang tinggal dipedesaan. Karena baik atau tidaknya hasil produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh pengairan/irigasi sebagai penunjang utamanya. Lebih jauh kita dapat melihat juga bagaimana sumber daya manusia dalam mengelola irigasi sebagai CPR secara berkeadilan berjalan sehari-hari. Ketika pengelolaan irigasi dilakukan dengan baik, maka hasil panen juga baik. Ketika hasil panen baik maka persediaan beras untuk menyuplai kebutuhan masyarakat juga aman. Begitulah kira-kira logika irigasi dalam politik pertanian. Irigasi di Indonesia mempunyai cerita sejarah yang panjang dan turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Di Jawa misalnya, diketahui bahwa tali sejarah irigasi jika ditarik ke belakang sekurang-kurangnya sampai awal abad IX.7 Irigasi dibangun pertama kali oleh para petani sendiri untuk
5
Riyaningtyas, Dyah Puspita. 2010. Studi Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian Di Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo. Tidak dipublikasikan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. 6
Data BPS Jawa Tengah “Produksi Padi dan Palawija Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014”
7
Anggoedi Abdullah, Sejarah Irigasi Di Indonesia, “International Commission on Irrigation and Drainage”, Jakarta, 1985.
3
memenuhi kebutuhan pengairan sawah yang mereka miliki. Tujuan pengelolaan sumber daya air adalah menghilangkan ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang semakin menurun dengan permintaan air yang semakin meningkat, dimana sumber daya air harus dikelola dengan memperhatikan fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial dalam sumber daya air itu sendiri.8 Disamping itu pengaturan sumber daya air juga harus diarahkan untuk mewujudkan keterpaduan dan sinergi antar wilayah, antar sektor, dan antar generasi. Dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi, mendiskripsikan bahwa yang dimaksud dengan sistem irigasi tidak hanya terbatas pada aspek kelembagaannya namun menyangkut berbagai aspek yang terkait dengan keirigasian yang meliputi aspek prasarana irigasi, air irigasi, manejemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sumber daya manusia. Termasuk juga dalam melihat dinamika yang terjadi pada lembaga pengelolaan irigasi yang muncul dari ranah masyaraat, juga perlu ditelaah secara mendalam. Sumber daya air ini, dikelola secara terpusat oleh pemerintah melalui Departemen Kimpraswil dan Direktorat Pengelolaan Sumber daya Air. Pengelolaan irigasi di Indonesia mulai berubah sejak keluarnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang membawa isu perlunya penerapan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang mengandung prinsip-prinsip partisipatif, keterbukaan, efektif
8
Lihat tulisan lebih lanjut Affendi Anwar dan Ansofino, “Beberapa Dimensi Masalah Sumber daya Air ke Arah Pengelolaan Optimal”, dalam buku Arsyad, Sitanala dan Ernan Rustiadi (ed.), 2008, Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan, Jakarta: Crespent Press & Yayasan Obor Indonesia.
4
dan efisien, dan lain-lain. Menuntut adanya semangat demokratisasi pengelolaan sumber daya air untuk kepentingan bersama. Negara hadir untuk mengatur pengelolaan irigasi di kabupaten/kota juga terdapat dinas-dinas terkait seperti Dinas Pengairan. Disetiap pintu air juga dikelola dan dikontrol oleh mantri-mantri pengairan yang bertugas buka-tutup air. Mantri-mantri pengairan ini sebagai representasi utama dalam mengatur pengelolaan irigasi di aliran sungai utama. Aktor-aktor Negara menganggap sumber daya air adalah milik Negara dan dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan bunyi pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Sumber daya air ini dipandang sebagai barang bebas (free goods), siapapun dapat memanfaatkannya. Namun banyak disalahartikan dan disalahgunakan oleh kelompok-kelompok tertentu. Sehingga dalam mengelola irigasi di berbagai daerah akan ditemukan pola-pola yang unik dan berbeda-beda satu dengan yang lainnya, dan sampai sekarang masih berjalan dengan baik. Irigasi semacam ini biasanya disebut “irigasi desa” atau “irigasi tradisional”.9 Salah satu sistem irigasi tradisional yang terkenal dan sudah menjadi objek kajian di Indonesia, yakni Subak di Bali. Setelah penulis melakukan beberapa literature review terhadap kajian sejenis, Subak merupakan sistem pengelolaan i r i g a s i
ya n g
sudah teratur dan terdapat lembaga yang
menaunginya. Tetapi ada juga lembaga tradisional yang tidak mempunyai nama khusus, dan biasanya hanya dikenal dengan istilah yang dipakai untuk
9
Ambler, John S. (ed.) 1992, Irigasi Di Indonesia: Dinamika Kelembagaan Petani. Jakarta: LP3ES.
5
ketuanya saja. 10
Seperti Ili-Ili yang ada di Kelurahan Sucenjurutengah,
Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo. Lembaga pengelola irigasi ini jelas hanya diambil dari istilah yang dimunculkan dalam sebutan oleh masyarakat setempat untuk beberapa orang yang bermain dalam pengelolaan irigasi. Juga sistemnya tidak mempunyai struktur yang jelas seperti di Subak, namun pengelolaan irigasi tetap berjalan. Dalam hal ini penguasaan sektor ekonomi politik dijalankan oleh Ili-Ili, sebagai orang yang cukup dipercaya untuk mengatur buka atau menutupnya pintu air yang melewati wilayah desa. Pada prakteknya, pengelolaan irigasi dilakukan secara terbatas oleh sekelompok orang dan bersifat turun-temurun. Terkadang banyak sekali terjadi perselisihan masalah pembagian air pada kelas-kelas kedua (petani penggarap), karena memang sebenarnya pertarungan untuk mendapatkan air ini tidaklah mudah. Pada awal musim kemarau 2015 misalnya, setiap petani harus keluar dini hari sampai dengan menjelang pagi karena jika tidak dilakukan penjagaan maka jatah untuk sawah mereka akan diambil oleh petani lain. Ini sangat berkontradiksi sekali dengan apa yang terjadi di Bali, dengan menggunakan sistem Subak, yang mengarah pada keteraturan pembagian air. Jika ditarik hubungan lebih keatas lagi, Ili-Ili juga harus berhubungan dengan mantri-mantri dan Dinas Pengairan pintu utama air supaya wilayahnya “kebagian jatah” distribusi air saluran Kedung Putri. Berdasarkan informasi yang penulis dapat dari salah seorang petani. Pengairan sawah di Kelurahan
10
Ibid., hlm. 20.
6
Sucenjurutengah mengalami banyak sekali problema terkait dengan manajemen irigasi yang dilakukan. Pengairan dulu dengan yang sekarang cukup berbeda, informasi yang penulis dapatkan bahwa Kedung Putri memang sengaja dipolitisasi oleh mantrimantri yang berjaga disetiap pintu air. Terutama pada saat musim kemarau, dimana semua orang yang mempunyai sawah dan bergantung pada saluran irigasi tersebut harus berlomba-lomba mencari air. Hal ini karena aparat pemerintah telah bersifat rent seeking behaviors, hak milik Negara telah disalahgunakan untuk diberikan ke pengelola yang memberikan uang pelicin (bribery) yang lebih tinggi.11 Dalam penelitian ini tidak ditujukan untuk meneliti politisasi yang dilakukan oleh mantri-mantri pengairan. Justru penulis tertarik untuk meneliti IliIli desa sebagai aktor yang cukup penting dalam resources management. Posisi orang-orang ini ada di desa-desa, dan sampai sekarang pun penulis belum pernah mengetahui secara pasti latar belakang sosok Ili-Ili ini sehingga dapat ditunjuk untuk representasi masyarakat
dalam bernegoisasi dengan desa dan mantri-
mantri pengairan untuk mengalirkan air ke desanya. Penelitian ini menjadi sangat penting dan menarik untuk menelisik lebih dalam bagaimana Ili-Ili bekerja, dan pola kelembagaan pada saat ini. Juga menelusuri lebih lanjut latar belakang dan kepentingan apa sebenarnya yang didapat oleh Ili-Ili ini dalam mengelola irigasi untuk kepentingan publik. Karena walaupun memiliki lahan yang luas tetapi tidak memiliki penguasaan terhadap air
11
Arsyad, Op.Cit., 134.
7
maka tanah yang dimiliki tidak akan berproduksi. Sehingga diperlukan sebuah sistem pengelolaan irigasi yang baik. B. Rumusan Masalah Pertanyaan yang ingin penulis ungkapkan berdasarkan latar belakang masalah yang telah dirumuskan adalah sebagai berikut : “Bagaimana mekanisme kelembagaan pengatur air (Ili-Ili) di cabang Saluran Irigasi Kedung Putri Kelurahan Sucenjurutengah Kecamatan Bayan Kabupaten Purworejo sebagai common pool resources?” C. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan yang akan dicapai diantaranya sebagai berikut : 1. Mengetahui model pengelolaan sumber daya air yang dilakukan oleh Ili-Ili di Purworejo; 2. Mengetahui sejarah kemunculan Ili-Ili sebagai institusi informal yang secara kedudukan berkuasa dalam pengaturan irigasi untuk sawah di pedesaan Jawa; 3. Memahami tata kelola sektor pertanian (agriculture governance) khusus terkait dengan pengelolaan irigasi; 4. Mengetahui mekanisme kelembagaan Ili-Ili dalam pengaturan irigasi.
8
D. Kerangka Pemikiran D.1. Kelembagaan Organisasi Dalam penelitian tentang Ili-Ili ini perlu untuk menjabarkan juga kelembagaan yang ada dalam Ili-Ili yang sudah berjalan sejak lama. Karena beberapa permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan CPR juga dapat diidentifikasi melalui penjabaran-penjabaran yang ada dalam aspek kelembagaan. Hal ini akan membantu penulis dalam penelitian ini. Dalam beberapa literatur pengantar Sosiologi dikatakan bahwa, dimana ada suatu kehidupan masyarakat maka disitulah akan ditemukan berbagai macam wadah yang meangakomodir aktivitas hidup masyarakat tersebut. Wadah-wadah inilah yang tumbuh dan berkembang kemudian mengorganisasi norma sebagai pengatur perilaku dalam kelompok masyarakat tersebut dalam melakukan aktivitasnya. Hubungan antar masyarakat ini dapat berlangsung antara individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok yang lain. Norma-norma tersebut, apabila diwujudkan dalam hubungan antar manusia, dinamakan social-organization (organisasi sosial). Didalam perkembangan selanjutnya, norma-norma tersebut berkelompok-kelompok pada berbagai keperluan pokok kehidupan manusia.12 Dalam kehidupan manusia saling bergantung satu sama lain juga mempunyai kelebihan dan kekurangan. Akibatnya manusia memiliki kelebihan dan kekurangan inilah manusia berkelompok atau hidup dengan makhluk lainnya,
12
Soekanto, Soerjono, Prof. Dr., 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
9
dan memiliki wadah-wadah untuk beraktivitas yang dinamakan institusi atau lembaga. D.1.1 Pengertian Institusi Dalam beberapa buku Pengantar Sosiologi salah satunya karya Prof. Dr. Soerjono Soekanto, social institution banyak diterjemahkan sebagai lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial. Namun disini dalam perkembangan ilmu pengetahuan, lembaga dapat diartikan melalui pendekatan bahasa. Lembaga (dalam bahasa Indonesia) merupakan terjemahan dari dua istilah /kata yaitu institute dan institution. Pada dasarnya keduanya memiliki perbedaan pengertian. Insitute merupakan bentuk nyata/konkrit
dari sebuah lembaga
sedangkan institution merupakan wujud abstrak dari suatu lembaga. Lebih lanjut, institution merupakan sekumpulan norma-norma pengatur perilaku dalam aktivitas hidup tertentu.13 Koentjaraningrat (1964) mempertegas dengan pendapatnya bahwa lembaga kemasyarakatan sebagai pranata sosial yang diartikan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.14 Pendapat tersebut didukung oleh Soerjono Soekanto (1982) lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat.15 Dorongan untuk hidup secara berkelompok dengan norma-norma yang berjalan bukan hanya disebabkan manusia sebagai makhluk sosial, tetapi 13
Soegiyanto. 2002. Lembaga Sosial. Jogjakarta: Global Pustaka Utama. Koentjaraningrat. 1964. Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbit Universitas. 15 Soekanto, Op. Cit., hlm 170. 14
10
kemudian kita dapat melihat adanya saling ketergantungan membuat manusia harus saling berhubungan atau berkelompok satu sama lain serta tuntutan kehidupan yang tidak dapat dipenuhi sendiri. Kelembagaan ini meliputi pengertian yang luas, yaitu selain mencakup pengertian organisasi, juga terkait dengan aturan main (role of the game) atau aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial. Kelembagaan petani dibentuk pada dasarnya mempunyai beberapa peran, Esman dan Uphoff (1986)16 mengemukakan diantaranya yaitu: a) Tugas
dalam
organisasi
(interorganizational
task)
untuk
memediasi masyarakat dan Negara; b) Tugas sumber daya (resource task) mencakup mobilisasi sumber daya (tenaga kerja, modal, material, informasi) dan pengelolaannya dalam mencapai tujuan masyarakat; c) Tugas pelayanan (service tasks) mencakup permintaan pelayanan yang menggambarkan tujuan pembangunan atau koordinasi permintaan masyarakat lokal; d) Tugas antar organisasi (extra-organizational tasks).
D.1.2 Proses terbentuknya institusi Terbentuknya institusi atau lembaga juga melalui tahapan-tahapan sebagai sebuah proses. Tahapan-tahapan tersebut dapat kita sarikan dari pemaparan sebelumnya mengenai definisi institusi, yaitu mula-mula timbul suatu kebutuhan 16
Lebih lanjut dijabarkan dalam artikel Mantenggomena, Faesal M. 2013, Peran Penyuluh dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Padi Mendukung Swasembada Pangan. (diakses melalui laman http://ntb.litbang.pertanian.go.id/article79/Peran-Penyuluh-DalamUpayaMeningkatkan-Produktivitas-PadiMendukung-Swasembada-Pangan.html. Diakses pada tanggal 5 Juli 2015.
11
bersama, kemudian atas dasar kebutuhan bersama inilah terbentuk suatu kelompok. Setiap anggota kelompok mempunyai keterkaitan yang erat satu sama dengan yang lain merasa saling memiliki. Karena dalam studi kasus ini yang menjadi kajian adalah sumber daya air, semua anggota berperasaan sama saling membutuhkan air untuk irigasi. Agar segala sesuatu yang berhubungan untuk mencapai keinginan bersama dapat tercapai, timbullah ketentuan-ketentuan bersama untuk ditaati oleh seluruh anggota kelompok atau masyarakat terdampak. Norma-norma yang telah disepakati tersebut setelah mengalami suatu proses, pada akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan, disebut dengan proses institusionalisasi. Wiese dan Becker memberikan gambaran bahwa sampai norma itu oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai, kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari.17 D.1.3 Institusi Informal Konsep mengenai institusi informal ini perlu dibedakan dengan institusi formal, lebih lanjut Gretchen Helmke dan Steven Levitsky (2003) memberikan penjelasan yakni melalui pembedaan state-societal (Negara-Masyarakat). Lebih lanjut dijelaskan bahwa institusi formal merujuk pada state bodies (badan peradilan, lembaga legislative, birokrasi) dan peraturan Negara yang memaksa (konstitusi, hukum, regulasi). Sedangkan institusi informal menekankan pada sisi
17
Soekanto, Op. Cit., hlm. 175.
12
kewarganegaraan, keagamaan, kekeluargaan, norma masyarakat, dan aturanaturan bermasyarakat juga berorganisasi.18 Peraturan informal berasal dari masyarakat dan dijalankan oleh masyarakat itu sendiri sebagai respon terhadap pengaturan kehidupan bersama. Institusi informal sebagai aturan sosial bersama. Beberapa ciri-ciri institusi informal seperti yang dikatakan oleh Brinks dalam Helmke (2003) dibawah ini.
Informal institutions are socially shared rules, usually unwritten, that are created, communicated, and enforced outside of officially sanctioned channels.19
Analisa institusi informal juga terkait dengan pola relasi yang terjadi. Relasi-relasi ini berakar pada fungsi institusi informal itu sendiri, yakni sebagai fungsional (problem solving) dan disfungsional (problem creating). Lebih lanjut Edna Ullman-Margalit menjelaskan dalam kutipan berikut. On the one hand, many studies treat informal institutions as playing afunctional or problem-solving role. Thus, norms are cast as solutions to problems of social interaction and coordination. On the other hand, another strand of scholarship casts informal institutions as primarily dysfunctional or problem-creating.20
Menjadi sebuah analisa menarik untuk mengetahui kemunculan institusi informal yang ada dimasyarakat. Hans-Joachim Lauth memberikan empat tipologi relasi institusi informal berdasarkan dua dimensi. Pertama, melihat pada efektivitas dari institusi formal. Kedua, terkait dengan derajat kompatibilitas
18
Helmke, Gretchen, dan Steven Levitsky. 2003. Informal Institutions And Comparative Politics: A Research Agenda. Kellogg Institute. 19 Ibid., hlm.12. 20 Edna Ullman-Margalit. 1978. The Emergence of Norms. Oxford: Oxford University Press.
13
diantara tujuan kepentingan aktor.21 Lebih lanjut dapat dilihat melalui bagan berikut ini.
Table 1. Tipologi Institusi Informal Hans-Joachim Lauth
Penjelasan lebih lanjut, tipe komplementari terjadi apabila tujuan aktor konvergen dan institusi formal yang efektif. Pola ini merujuk pada adanya mekanisme saling melengkapi antara institusi formal dan informal. Tipe substitusi, pola hubungan antar aktor konvergen, disisi lain institusi formal tidak efektif, sehingga institusi informal akan menggantikan institusi formal. Tipe akomodasi terjadi apabila kapasitas institusi formal efektif, namun tujuan antar aktor divergen. Tipe terakhir, kompetisi, terjadi apabila kapasitas institusi formal tidak efektif, dan dibarengi dengan tujuan antar aktor divergen. D.2. Common Pool Resource Paradigma dalam melihat manajemen jaringan itu bekerja sangat erat kaitannya dengan pergeseran ruang publik. Pergeseran ruang publik disini menurut penulis sangat berhubungan dengan kepemilikan sumber daya dalam masing-masing aktor yang mungkin terlibat. Ruang publik dapat diterjemahkan sebagai arena aktor-aktor dalam mengelola sumber daya, mengarah kedalam halhal yang berada paling menguntungkan untuk masing-masing aktor. 21
Helmke, Op. Cit., hlm. 12.
14
Berdasarkan karakteristik sumber dayanya, air dan segala aspek pemanfaatannya bersifat sumber daya milik bersama (common pool resource). Sifat tersebut
sulit
membatasi
orang
untuk
memanfaatkannya,
biaya
pembatasnya (exclusion cost) menjadi tinggi, pengambilan suatu unit sumber daya akan
mengurangi
kesediaan
bagi
pihak
lain
untuk
memanfaatkannya
(substractibility atau rivalry). Akibatnya setiap individu berupaya menjadi penumpang bebas (free rider), memanfaatkan sumber daya tanpa bersedia berkontribusi terhadap penyediaannya. Kompleksitas untuk mengelola kepentingan bersama itu muncul dan semakin menyeruak ke permukaan secara konsisten dan terlembaga sejalan dengan berkembangnya pendekatan governance.22 Karena dalam pendekatan governance menekankan pada pencapaian sinergi atau konsensus, begitu juga akan berpengaruh terhadap kepentingan bersama, Definisi dari CPR sendiri seperti yang ada dibawah ini, penulis tertarik mengambil dari penjelasan berikut ini. “A resource that benefits a group of people, but which provides diminished benefits to everyone if each individual pursues his or her own self-interest. The value of a commonpool resource can be reduced through overuse because the supply of the resource is not unlimited, and using more than can be replenished can result in scarcity”.23
CPR menurut cuplikan diatas adalah sumber daya yang menguntungkan bagi sekelompok orang atau beberapa kelompok orang. Tetapi sumber daya ini tidak selamanya kekal karena jumlahnya hanya terbatas, dan jika masing-masing
22
Pratikno, (2007). Manajemen Jaringan dalam Perspektif Strukturasi, “Jurnal Administrasi Kebijakan Publik”, Vol. 12, Nomor 1 (Mei 2008), hal. 1-19, Yogyakarta: MAP UGM. 23 http://www.investopedia.com/terms/c/common-pool-resource.asp, diakses pada tanggal 12 November 2014.
15
orang atau kelompok hanya mengutamakan kepentingan sendiri, maka konsekuensi yang dapat terjadi akan ada persaingan dalam perebutan sumber daya tersebut dan akan mengarah pada kelangkaan juga menimbulkan pengurangan keuntungan bagi masing-masing orang atau kelompok. Karena dalam persaingan ini sumber daya harus terbagi-bagi ke masing-masing aktor. Lebih lanjut lagi Elinor Ostrom (1990) menerbitkan bukunya yang terkenal, Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Actions, yang berisi tentang upaya untuk merumuskan tindakan bersama (collective actions) dilakukan, dan menjadi mekanisme pengelolaan apa yang disebut CPR. Ostrom (1994) membuat tipologi barang-barang (goods) dalam dua karakteristik utama, yaitu tingkat exclusion atau kemudahan dalam memiliki barang-barang (goods) apakah barang tersebut dapat dimiliki secara ekonomi dan ada hukum yang melindunginya tidak. Kedua, subtractability, atau dengan kata lain apakah barang tersebut memiliki kemanfaatan besar dan banyak diminati oleh para aktor persaingan atau tidak.24 Kuadran-kuadran dalam klasifikasi tersebut seperti dalam gambar dibawah ini. Table 2. Tipologi Barang-Barang (Goods)
24
Ostrom, Elinor, Gradner, dan Walker. 1994. Rules, Games, and Common-Pool-Resource. Michigan: University of Michigan Press.
16
Berdasarkan bagan tersebut kita dapat dengan mudah membedakan antara barang publik dan barang privat. Barang publik apabila dalam kepemilikan (exclusion) sulit namun untuk manfaat belum tentu berlaku secara luas atau (subtractibility) rendah, sehingga dengan mekanisme hierarkis tentu akan dengan mudah dikelola dengan payung-payung hukum yang melandasinya. Berkebalikan dengan barang publik, barang privat berada pada kuadran dimana tingkat kepemilikan (exclusion) mudah, namun kemanfaatan akan dapat dirasakan secara luas oleh pemilik dan banyak yang meminati, pengelolaan yang cocok untuk diterapkan mungkin dengan mekanisme pasar, karena disitu terdapat aktor-aktor yang bersaing dalam mengelola barang (goods). Sedangkan CPR ini berada pada kuadran yang cukup unik, dimana tingkat kepemilikan (exclusion) sulit dan juga tingkat (substractability) tinggi. Artinya selain kepemilikan sangat sulit aktor yang meminati barang-barang (goods) ini juga banyak karena kebermanfaatan juga luas. Dengan kata lain CPR adalah barang yang terbatas keberadaannya namun kemanfaatannya sangat luas dan harus dikelola secara bersama-sama. Berdasarkan pemaparan diatas, dalam konteks ini, pengelolaan CPR hanya dapat dilakukan apabila para aktor secara sadar dan sukarela dapat melakukan collective actions (kerja bersama). Namun pola perilaku maupun konstruksi berfikir yang melekat pada individu lebih mengedepankan keuntungan secara privat dan mengabaikan kondisi sosial disekitarnya. Sehingga akan terakumulasi dan akan menimbulkan tragedy of the commons. Seperti yang dikatakan Garret Hardin dibawah ini.
17
The expression “the tragedy of the commons” has come to symbolize the degradation of the environment to be expected whenever many individuals use a scarce in common.25
Beberapa cara untuk menyelesaikan masalah tragedy of the commons dengan menerapkan kebijakan sosialisme dan privatisasi. Kebijakan sosialisme muncul karena problem lingkungan tidak dapat diselesaikan hanya dengan membangun konsensus saja. Kebijakan ini memberikan rekomendasi untuk pemerintah mengatur sistem pengelolaan sumber daya alam agar tragedy of the commons dapat dihindari. Kebijakan privatisasi dikatakan oleh Robert J. Smith untuk menghindari tragedy of the commons dengan cara mengganti sistem kepemilikan bersama menjadi sistem kepemilikan private.26 Alokasi sumber daya milik bersama dilakukan dengan mengatur beberapa hal. Pertama, akses terhadap sumber daya. Kedua, aturan pemanfaatannya melalui privatisasi (private property rights) atau kepemilikan negara (state property rights). Kebijakan ini tidak selalu berhasil dilakukan pada sumber daya milik negara, karena pengelola tidak dapat mengatasi biaya transaksi yang tinggi dalam penegakan aturan atau penjagaan sumber daya, seperti biaya pengawasan, personil, dan lain-lain. Sehingga penumpang bebas (free rider) tidak dapat dikontrol. Kemudian muncul tindakan oportunis (opportunistic behavior) berupa perburuan rente (rent-seeking) oleh aparat pengawas lapangan.27 Oleh sebab itu sistem irigasi yang bersifat CPR dapat menyelesaikan masalahnya dengan berdialog untuk berkomitmen dan membangun konsensus.
25
Ostrom, Elinor. 1990. Governing the Commons. Cambridge: Cambridge University Press.
26
Ibid. hlm. 8-12
27
Garrett Hardin, “The Tragedy of the Commons”, Science, New Series, Vol. 162, No. 3859. (Dec. 13, 1968),
pp. 1243-1248.
18
Menjadi hal yang sangat menarik untuk diteliti, apalagi jika memasuki musim kemarau panjang. Secara eksplisit peneliti meletakkan fokus penelitian tentang resource ini pada kelembagaan dan kepemimpinan Ili-Ili ini yang akan dielaborasikan dengan konsep common pool resources secara ideal agar diperoleh sumber daya yang berkeadilan.
Kelembagaan Organisasi
ILI-ILI Common Pool Resources Resource Management Gambar 1. Kerangka Teoritis Penelitian
Dari kedua set teori yang telah dipaparkan, penulis mencoba mengkerangkai penelitian ini dengan gambaran sebagai berikut. Dalam pengelolaan irigasi, penulis dapat mengelompokkan bahwa irigasi sebagai common pool resources, dimana terdapat kepemilikan bersama dan akses yang tidak terbatas. Dalam pengelolaan common pool resources telah disebutkan bahwa daya dukung alam semakin menurun sedangkan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Selain itu, perlu diingat kembali bahwa irigasi termasuk barang langka pada musim kemarau panjang. Dimana konsekuensi atas hal tersebut, muncul organisasi yang bernama Ili-Ili untuk mengelola saluran irigasi agar ribuan hektar sawah dapat teraliri 19
secara adil. Pengelolaan irigasi sebagai bagian resources management akan penulis telusuri melalui sudut pandang kelembagaan dalam tubuh Ili-Ili yang melihat kemunculan Ili-Ili sebagai sebuah institusi informal yang terus menerus mengalami dinamika. E. Definisi Konseptual Definisi konseptual merupakan batasan-batasan yang diterapkan bagi konsep penelitian. Tujuannya untuk menghindari ambiguitas pemaknaan variablevariabel dalam penelitian ini. Institusi Informal Institusi informal menekankan pada sisi kewarganegaraan, keagamaan, kekeluargaan, norma masyarakat, dan aturan-aturan bermasyarakat juga berorganisasi. Peraturan-peraturan yang terwujud dihasilkan oleh masyarakat itu sendiri sebagai respon atas pengaturan-pengaturan dalam kehidupan sehari-hari. Common Pool Resources (CPR) Barang-barang yang terbatas keberadaannya namun kemanfaatannya sangat luas dan harus dikelola secara bersama-sama (collective goods). F. Definisi Operasional Definisi operasional merupakan penjabaran turunan dari definisi konseptual yang sekiranya cocok digunakan dalam melakukan penelitian ini. Definisi operasional dapat digunakan untuk memudahkan dalam pengukuran variabel tertentu yang membantu dalam pelaksanaan penelitian.
20
Institusi Informal Munculnya organisasi atau orang-orang untuk mengelola saluran irigasi agar ribuan hektar sawah dapat teraliri secara adil merupakan suatu hal akibat adanya persaingan untuk mendapatkan barang publik. Selain hal tersebut beberapa hal berikut dapat menjadi tambahan untuk membantu penjelasan mengenai institusi informal yang berlaku dalam penelitian ini, diantaranya sebagai berikut: 1. Bagaimana political rules of the game dalam pengelolaan irigasi di Sucenjurutengah; 2. Pemilihan aktor utama (Ili-Ili) sebagai alat pengatur distribusi sumber daya air; 3. Bagaimana pola kepemimpinan Ili-Ili dalam institusi informal; 4. Bagaimana bentuk relasi yang dijalankan Ili-Ili sebagai institusi informal dengan Negara. Common Pool Resource (CPR) Dalam melihat barang-barang publik sangat menarik untuk mengetahui bagaimana pola pengelolaan secara kolektif hingga tercipta konsensus oleh para aktor yang berkepentingan. Dinamika pengelolaan CPR ini juga dapat dilihat melalui beberapa aspek berikut ini: 1. Sejarah pengelolaan irigasi di saluran Kedung Putri ini dan pergeseran kepemilikan; 2. Alasan masing-masing aktor melihat irigasi sebagai sebagai sebuah arena perebutan.
21
G. Metode Penelitian G.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian kualitatif dengan metode studi kasus tunggal. Studi kasus merupakan kajian sederhana namun cakupannya bersifat luas. Robert K. Yin berpendapat bahwa studi kasus ini dapat berfokus pada suatu individu, organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi, dan kejadian sekitar. Hal yang ingin dikaji melalui desain studi kasus yaitu penjelasan mengapa sesuatu yang menarik itu bisa terjadi, bagaimana implementasinya, dan apa yang dihasilkan dari sesuatu yang menarik itu.28 Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan batasan lingkup Ili-Ili hanya khusus berada di Kabupaten Purworejo. Memahami kelembagaan dan dinamika yang terjadi pada Ili-Ili di Kelurahan Sucenjurutengah merupakan sebuah peristiwa yang bersifat kontemporer, dimana berlakuknya dualisme pengelolaan irigasi dalam tubuh Ili-Ili ini menjadi bukti kuat dalam mendukung penelitian ini. Sehingga penelitian ini menarik untuk ditelaah lebih dalam untuk menjelaskan pergeseran dalam kelembagaan Ili-Ili di Kelurahan Sucenjurutengah. Untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini penulis akan mengintepretasikan data-data lapangan yang didapat agar fakta dapat terungkap dibalik realita yang ada. Dengan studi kasus, penelitian ini dapat mengungkapkan jawaban dibalik rumusan masalah yang diajukan yakni “how”, itu artinya penelitian ini berusaha menjabarkan proses dari sebuah fenomena yang terjadi.
28
Robert K. Yin,. 2003. Case Study Research (Desain and Methods, 3rd ed). London: SAGE Publication.
22
G.2. Lokasi Guna keperluan mencari data untuk penelitian ini, yang menjadi lokasi utama adalah cabang saluran irigasi Kali Kedung Putri yang mengalir melalui Kelurahan Sucenjurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Di tempat tersebut ada sebuah sistem pengelolaan irigasi yang dilakukan oleh beberapa orang yang disebut Ili-Ili. Namun juga tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penelitian disekitar desa Sucenjurutengah cakupan wilayah kekuasaan Ili-Ili. Pihak kelurahan dan juga Dinas Pengairan Kabupaten Purworejo juga akan menjadi lokasi pendukung untuk penelitian ini. G.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan observasi langsung dan wawancara mendalam. Data yang didapat melalui observasi langsung terdiri dari pemerian rinci tentang kegiatan, perilaku, tindakan orang-orang, serta juga keseluruhan kemungkinan interaksi interpersonal, dan proses penataan yang merupakan bagian dari pengalaman manusia yang dapat diamati.29 Sedangkan wawancara mendalam, data yang diperoleh terdiri dari kutipan langsung dari orang-orang tentang pengalaman, pendapat, perasaan, dan pengetahuannya.30 Kedua teknik ini dinilai relevan karena penelitian ini bersifat eksploratif. Peneliti akan mengembangkan data-data yang peneliti temukan dilapangan dengan tetap berpegang pada rumusan masalah dan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data observasi langsung dan wawancara akan
29
Dede Oetomo. 2011. Penelitian Kualitatif: Aliran & Tema (dalam buku Suyanto, Bagong, dan Sutinah,. 2011. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.) 30 Ibid., hlm 186.
23
menghasilkan data-data yang cukup komprehensif meskipun penelitian ini dilakukan dengan batasan waktu tertentu. Ada dua data yang digunakan dalam penelitian ini, data primer dan data sekunder. Pertama, data primer dalam penelitian ini yakni data yang diperoleh melalui observasi secara langsung terhadap seluruh kegiatan Ili-Ili dan aktor lain dan juga wawancara secara mendalam kepada aktor-aktor yang terkait pengelolaan irigasi di Desa Sucenjurutengah. Kedua, data sekunder yang peneliti dapatkan dari berbagai literatur terkait pengelolaan irigasi di berbagai daerah di Indonesia. Seperti buku mengenai irigasi karangan John S. Ambler judul Irigasi Di Indonesia: Dinamika Kelembagaan Petani. Fungsinya agar penulis memliki pandangan yang luas dalam hal pengaturan irigasi sebagai collective goods yang dikelola oleh Ili-Ili. Selain itu menambah referensi dengan membaca penelitian-penelitian sejenis akan memperkuat akar pondasi daripada penelitian ini. Penulis juga menelusuri berbagai macam informasi pendukung melalui internet sesuai dengan tema yang diajukan. G.4. Teknik Analisis Data Data-data yang sudah penulis dapatkan kemudian dikumpulkan dengan mengelompokkan berdasarkan jenisnya. Contohnya data yang didapat dari observasi langsung, wawancara mendalam, dan dari literatur. Data yang didapat dari studi literatur dapat digunakan sebagai pendukung data primer (observasi langsung dan wawancara mendalam).
24
Sedangkan data yang berasal dari wawancara dan observasi akan membantu peneliti untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah dan juga dinamika yang ditemukan dilapangan. Sehingga, peneliti dapat menarik kesimpulan dengan menghubungkan antara satu bagian dengan bagian lainnya. G.5. Sistematika Penulisan Untuk menyajikan hasil penelitian, maka tulisan ini akan dibagi dalam beberapa bab yang saling berkesinambungan. Sistematika dari bab tersebut antara lain Bab pertama, dalam bab ini khusus membahas paparan fundamental yang penulis gunakan untuk menjelaskan bab-bab berikutnya. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab antara lain latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, definisi konseptual, definisi operasional, serta metode penelitian. Bab kedua, dalam naskah ini penulis mengajak untuk melihat pengelolaan sumber daya irigasi yang dilakukan Ili-Ili dan wilayah kekuasaanya. Bab ini meliputi selayang pandang Kelurahan Sucenjurutengah, Ili-Ili sebagai aktor asli pengelola irigasi desa/kelurahan, pemindahan tampuk kekuasaan Ili-Ili, usaha IliIli mengairi Bhumi Sucenjurutengah yang luas, dan mengetahui kepentingan menjadi Ili-Ili. Bab ketiga, penulis mengajak untuk mendalami pengelolaan irigasi yang berlandaskan konsensus pada pengelolaan common pool resources (CPR) dalam hal ini yang dilakukan oleh Mbah Tar. Bab ini meliputi pengelolaan irigasi dengan model konsensus dan dampaknya secara sosial, era kepemimpinan Mbah Tar, penyelewengan bertajuk konsensus masyarakat, adanya matahari kembar dalam
25
pengelolaan irigasi di Kelurahan Sucenjurutengah, dan meredupnya matahari pertanda berakhirnya kepemimpinan Mbah Tar. Bab keempat, penulis mengajak pembaca melihat pergeseran sistem pengelolaan konsensus menjadi state way . Pergeseran ini dapat dilihat melalui penjabaran bab ini, diantaranya, melihat pengelolaan air versi Negara (state way), faktor daya dukung alam yang semakin menurun, melihat kepemimpinan Pak Parno sebagai ketua P3A Dharma Tirta “Ngudi Makmur” Kelurahan Sucenjurutengah, dan pandangan masyarakat terhadap irigasi dulu dan sekarang. Bab kelima, penjabaran mengenai jawaban atas rumusan masalah penelitian.
26