1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Salak merupakan salah satu komoditas buah asli dari Indonesia. Menurut Kementerian Pertanian Republik Indonesia (2013), produksi salak di Indonesia dalam 3 tahun terakhir, 2010, 2011, dan 2012 berturut-turut mencapai 749.876, 1.082.115, dan 1.035.406 ton. Popularitas salak sebagai buah meja semakin meningkat sejak petani di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta banyak mengembangkan varietas Pondoh yang memiliki rasa manis khas yang banyak disukai (Dimyati et al., 2008). Kini salak tidak hanya bisa ditemui sebagai buah meja. Pengolahan salak sebagai camilan dan minuman telah banyak ditemui. Sebagai contoh antara lain saat ini telah tersedia keripik salak, manisan salak, dodol salak, selai salak, dan sari buah salak. Sebagian besar produsen tersebut berbentuk industri rumah tangga dan menawarkan olahan salak sebagai salah satu oleh-oleh khas suatu daerah. Seperti contohnya, keripik salak yang ditawarkan oleh salah satu produsen keripik buah sebagai oleh-oleh khas dari Kota Malang, Jawa Timur (Darmaningrum, 2010). Banyaknya industri olahan salak tentunya memberikan satu dampak yang tidak bisa dihindarkan, yakni bertambahnya limbah buah salak yang terdiri atas kulit dan biji salak. Limbah salak yang bersifat kasar dan keras cukup menyulitkan untuk dapat diolah menjadi bahan yang dapat dimakan.
2
Beberapa pihak memanfaatkan limbah salak sebagai bahan untuk kerajinan, seperti pemanfaatan kulit salak untuk industri keramik (Hendri et al., 2010). Sedangkan, Aji dan Kurniawan (2012) memanfaatkan biji salak sebagai adsorben. Namun selain itu, ternyata telah muncul pula pemanfaatan limbah buah salak sebagai minuman yang diklaim memiliki efek menyehatkan yang belum dipublikasikan secara resmi tetapi muncul sebagai artikel populer di internet, yakni teh kulit salak (Gunawan, 2013) dan kopi biji salak (Ningsih, 2010). Edible portion dari buah salak hanya berkisar antara 56-65% (Supriyadi et al., 2002). Sehingga, limbah salak dapat mencapai 35-44% dari jumlah salak yang diolah atau dikonsumsi. Biji salak memiliki porsi sebesar 25-30%, sedangkan kulit salak memiliki porsi 10-14% dari bobot total buah salak (Supriyadi et al., 2002). Berdasarkan perbandingan jumlah tersebut, biji salak memiliki potensi yang lebih besar untuk dimanfaatkan daripada kulit salak. Biji merupakan salah satu cara utama tumbuhan untuk beregenerasi. Biji mengandung cadangan makromolekul dalam jumlah yang banyak dan khas yang disimpan sebagai bahan simpanan ekstra untuk digunakan sebagai sumber makanan cadangan untuk menopang perkecambahan awal. Karbohidrat merupakan cadangan makanan utama pada sebagian besar biji yang ditemukan. Bentuk karbohidrat cadangan yang paling sering dijumpai adalah pati, walaupun dalam beberapa tanaman lain simpanan tersebut berupa hemiselulosa yang terkait pada dinding sel (Bewley et al., 2013).
3
Biji salak terkenal memiliki tekstur yang sangat keras. Menurut Bewley et al. (2013) tekstur biji yang sangat keras disebabkan oleh tumpukan hemiselulosa dalam dinding sel yang sangat tebal yang merupakan cadangan makanan utama bagi embrio biji tersebut. Bewley et al. (2013) juga menyebutkan bahwa hemiselulosa yang paling sering muncul dalam biji adalah dalam bentuk mannan, yakni polimer manosa rantai panjang (antar manosa berikatan secara β 1→4) dengan kemungkinan kecil terdapat sedikit rantai samping berupa gula lain (berikatan secara α 1→6 dengan rantai utama mannan) yang utamanya adalah galaktosa. Jumlah rantai cabang galaktosa yang sangat sedikit pada mannan atau dapat disebut sebagai mannan murni dalam biji, menyebabkan mannan tersebut tidak larut dalam air (Buckeridge et al., 2000). Penelitian mengenai biji salak masih sangat jarang dan belum ada yang mempublikasikan secara resmi mengenai kandungan zat gizi yang terkandung di dalamnya. Kandungan makromolekul polisakarida yang diduga sangat tinggi di dalam biji salak, memunculkan potensi yang sangat besar untuk menjadikannya sebagai sumber gula. Pemanfaatan biji salak tersebut dapat dilakukan dengan cara hidrolisis, yakni pemecahan polimer menjadi monomernya akibat adanya reaksi dengan molekul air (Wyman et al., 2005). Salah satu cara hidrolisis yang dapat dilakukan adalah hidrolisis asam. Asam digunakan sebagai katalis untuk mempercepat reaksi antara rantai polimer dengan molekul air (Wyman et al., 2005). Selain itu, ion H+ dari asam akan mengganggu ikatan
4
hidrogen yang berada di antara rantai polisakarida yang ada, sehingga struktur yang awalnya kristalin akan dapat diubah menjadi amorf (Binod et al., 2011). Binod et al. (2011) menyebutkan bahwa salah satu asam yang dapat dipergunakan untuk hidrolisis asam adalah asam sulfat (H 2 SO 4 ). Dalam hidrolisis asam, tingkat pemecahan polimer atau depolimerisasi sangat bergantung pada struktur polisakarida yang dihidrolisis, lama waktu proses, suhu proses, dan kekuatan asam (BeMiller dan Whistler, 1996). Namun sayangnya pada hidrolisis asam, selain terjadi pemecahan polisakarida menjadi monosakarida juga terjadi dehidratasi dan degradasi monosakarida
tersebut
menjadi
senyawa
turunannya
seperti
hidroksimetilfurfural (HMF), asam levulinat, dan asam format (Wyman et al., 2005). Sehingga kondisi proses yang tepat sangat perlu untuk diketahui agar dapat diperoleh yield monosakarida yang maksimal. Setelah hidrolisis, jenis dan komposisi gula penyusun suatu polisakarida dapat dianalisis, sehingga jenis polisakarida tersebut dapat diketahui. Salah satu cara analisis yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan metode High-Performance Liquid Chromatography (HPLC), yakni untuk mengetahui komposisi gula yang ada di dalam hidrolisat yang diperoleh dari proses hidrolisis yang dilakukan (Uҁar dan Balaban, 2003). Dengan demikian, melalui penelitian terhadap kandungan biji salak, serta metode isolasi dan karakteristik gula yang dapat dihasilkan dari biji salak, diharapkan biji salak akan dapat lebih termanfaatkan sesuai dengan potensinya sebagai biomasa hasil pertanian dan tidak hanya menjadi limbah.
5
1.2. Perumusan Masalah a. Apa kandungan kimia utama yang terdapat di dalam biji salak? b. Bagaimana kondisi proses yang optimal untuk hidrolisis biji salak dan bagaimana karakterisik gula yang dihasilkan? c. Apakah biji salak berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber gula?
1.3. Tujuan Penelitian a. Mengetahui kandungan kimia utama yang terdapat di dalam biji salak. b. Mengetahui kondisi proses yang optimal untuk hidrolisis biji salak dan karakterisik gula yang dihasilkan. c. Mengetahui potensi biji salak untuk dijadikan sebagai sumber gula.
1.4. Manfaat Penelitian Memberikan informasi kepada masyarakat umum, mahasiswa, maupun industri mengenai pemanfaatan biji salak yang dapat digunakan sebagai sumber gula alternatif serta menumbuhkan inisiatif bangsa Indonesia untuk lebih memanfaatkan bahan-bahan yang selama ini dianggap sebagai sampah tidak berguna yang hanya akan dibuang.