BAB I PENDAHULUAN
1.
Alasan Pemilihan Judul Judul merupakan gambaran inti dari masalah yang dibahas. Pada dasarnya
tujuan utama mencantumkan judul dalam penelitian ilmiah adalah untuk memberi deskripsi yang padat tentang isi penelitian yang sesungguhnya. Dalam penelitian kali ini, judul yang dipilih adalah Diskursus Arisan. Kedua konsep itu akan dijelaskan satu persatu dalam pemaparan di bawah ini. Diskursus atau yang sering pula disebut wacana sering mengandung beberapa pengertian yang terkadang membingungkan. Misalnya dalam kalimat, „Ayo segera dilaksanakan, jangan hanya menjadi wacana saja‟. Kata wacana di sini dapat bermakna sebagai pemikiran yang ingin dilawankan dengan praktik nyata atau aplikasi. Makna tersebut sebenarnya kurang sesuai dengan pemahaman mengenai analisis diskursus yang banyak dipelajari selama ini. Ada banyak pengertian lain mengenai diskursus atau wacana—selanjutnya tulisan ini akan lebih banyak memakai kata diskursus. Pengertian yang mana yang digunakan dan dipahami akan mempengaruhi cara analisis diskursus tersebut diterapkan. Sekalipun memiliki pengertian yang beragam, analisis diskursus pada umumnya membongkar language use atau bahasa yang digunakan sehari-hari, baik yang berupa teks lisan maupun tertulis, sebagai objek kajian dalam sebuah penelitian.1 Objek kajian atau penelitian analisis diskursus adalah unit bahasa di
1
Widyastuti Purbani, Analisis Wacana/ Discourse Analysis. (Disampaikan pada Lokakarya Penelitian di UBAYA, Surabaya , 28 Januari 2005)
1
atas kalimat atau ujaran yang memiliki kesatuan dan konteks, bisa berupa naskah pidato, rekaman percakapan yang telah dinaskahkan, percakapan langsung, catatan rapat, debat, ceramah atau dakwah agama, dan sebagainya yang tidak artifisial dan memang eksis dalam kehidupan sehari-hari. Howarth, Norval dan Stravrakakis menjelaskan bahwa analisis diskursus merujuk kepada praktik menganalisis bahan-bahan mentah empiris dan informasi sebagai pembentukan diskursus.2 Bahan empiris dan informasi yang dimaksud adalah data-data linguistik maupun non-linguistik berupa pidato, laporan, manifesto, wawancara, peristiwa sejarah, ide, bahkan organisasi serta lembaga. Ini artinya bahwa analis diskursus memperlakukan data-data tersebut sebagai teks-teks atau tulisan. Analisis diskursus digunakan secara meluas di berbagai bidang ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan, dan sering digunakan secara lintas disipliner. Analisis diskursus telah berkembang sejak tahun 1980-an baik di dalam penelitian politik maupun dalam penelitian sosial. Setiap diskursus merupakan konstruksi politik dan sosial. Ada banyak pendekatan yang digunakan dalam analisis diskursus. Namun untuk memudahkan pemahaman di awal tulisan ini, peneliti menentukan tiga jenis analisis diskursus menurut pendekatannya. Ketiga jenis analisis diskursus ini diambil dari makalah yang ditulis oleh Purbani.3 Ketiganya yakni empirisme positivistik, fenomenologi, dan post-strukturalisme—penelitian ini menggunakan pendekatan yang terakhir.
2 3
Ahmad Taufan Damanik. 2010. Evaluasi Kelebihan-kelebihan Analisis Diskursus. Loc. cit.,, hal. 2.
2
Empirisme positivistik melihat bahwa bahasa hanya sebagai media komunikasi belaka. Bahasa hanya dipandang sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, untuk mengekspresikan rasa cinta dan seni, untuk melakukan
persuasi-persuasi,
serta
wahana
untuk
menyampaikan
dan
melestarikan kearifan-kearifan serta nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh suatu komunitas. Empirisme positivistik memandang pola dan hubungan makna dalam bahasa dapat dipelajari secara otonom tanpa acuan-acuan informasi lainnya. Misalnya, saat menganalisis sebuah pidato, referensi mengenai seluk-beluk pembicara tidak begitu diperlukan. Analis hanya perlu mengkaji naskah atau teks pidato yang dimaksud, dan melihat makna pidato berdasarkan pada kaidah-kaidah semantik/sintaksis teks tersebut. Diskursus dalam perspektif ini dimaknai sebagai: “Pengucapan-pengucapan yang kompleks dan beraturan, yang mengikuti norma atau standar yang telah pasti dan pada gilirannya mengorganisasikan kenyataan yang tak beraturan. Norma atau standar itu, lebih jauh lagi dianggap ikut menyusun perilaku-perilaku manusia yakni dengan cara memasukkan episode-episode penampilan tertentu dalam kategori-kategori politik, sosial, atau hubungan sosial lainnya”4 Menurut Purbani, pandangan Saphiro ini menyiratkan bahwa kaidah, norma atau standar (dalam hal ini sintaksis dan semantik) sangat menentukan nilai suatu wacana. Secara lebih sederhana, Purbani mengutip dari Crystal dan Cook mendefinisikan diskursus sebagai unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat, sering berupa satuan yang runtut/koheren dan memiliki tujuan dan konteks tertentu, seperti ceramah agama, argumen, lelucon atau cerita. Walaupun tidak setegas Saphiro, Purbani mengatakan bahwa Nunan melihat pentingnya unsur-
4
Saphiro dalam Latif, dikutip dari makalah yang ditulis oleh Purbani.
3
unsur keruntutan dan koherensi sebagai hal yang penting untuk menilai sebuah diskursus. Nunan menyatakan bahwa analisis diskursus adalah studi mengenai penggunaan
bahasa
yang
memiliki
tujuan
untuk
menunjukkan
dan
menginterpretasikan adanya hubungan antara tatanan atau pola-pola dengan tujuan yang diekspresikan melalui unit kebahasaan tersebut. Analisis diskursus model Nunan ini dilakukan melalui pembedahan dan pencermatan secara mendetil terhadap elemen-elemen linguistik seperti kohesi, elipsis, konjungsi, struktur informasi, tema, dan sejenisnya. Ini dilakukan untuk menunjukkan makna yang tidak tampak pada permukaan sebuah diskursus. Misalnya sebuah percakapan yang secara fisik tidak memiliki cohesive links sama sekali dapat menjadi diskursus yang runtut dalam konteks tertentu, sementara suatu kelompok kalimat yang memiliki cohesive links justru tidak atau belum tentu menjadi diskursus yang runtut. Maka dapat disimpulkan bahwa eksistensi cohesive link tidak menjamin keruntutan suatu diskursus. Oleh karena itu, dibutuhkan pengetahuan mengenai fungsi setiap ujaran yang ada untuk memahami sebuah diskursus. Misalnya pada contoh diskursus yang dikutip dalam makalah Purbani berikut: A: Kita akan menerima tamu-tamu untuk makan siang. B: Ia seorang penulis besar. Kedua diskursus di atas sekilas tampak tidak bermakna, dan antara ujaran yang satu dengan yang lain nampak tidak berkaitan. Tapi jika kita memahami konteks dan fungsi masing-masing ujaran, sesungguhnya teks tersebut merupakan diskursus yang bermakna.
4
Pandangan fenomenologi melangkah lebih jauh dari pandangan empirisme positivistik. Pendekatan fenomenologi melihat bahasa tidak steril dari subjek atau penuturnya. Tidak seperti pandangan empirisme positivistik yang memotong objek dari subjeknya, dalam perspektif ini subjek dianggap memiliki intensiintensi yang mempengaruhi bahasa atau diskursus yang diproduksinya. Dalam pandangan ini subjek memiliki peran yang penting karena ia dapat mengendalikan hal-hal yang diungkapkan, apa yang ia maksud, bagaimana maksud itu dikemukakan: secara terselubung atau eksplisit. Purbani mengutip pendapat Dallmayr bahwa bahasa dan diskursus menurut pemahaman fenomenologi justru diatur dan dihidupkan oleh pengucapan-pengucapan subjek yang bertujuan. Setiap pernyataan adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Analisis diskursus dalam perspektif ini berusaha membongkar dan mengungkap maksud-maksud tersembunyi yang ada di balik ujaran-ujaran yang diproduksi: dengan cara meneliti ujaran-ujaran yang ada dalam diskursus, lalu mengaitkannya dengan jati diri si penulis atau pembicaranya. Analisis ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan kepada para pembaca yang berpotensi tidak
atau kurang menyadari adanya maksud
tersembunyi dari si pencipta diskursus tersebut. Lebih jauh dari fenomenologi, pendekatan post-strukturalisme memandang bahasa bukan semata sebagai medium ekspresi. Bahasa menjadi sarana dalam membentuk relasi kuasa antar-subjek. Pandangan ini melihat adanya konstelasi kekuatan dalam proses pembentukan dan reproduksi makna.
5
Jika dalam dua pendekatan sebelumnya kata diskursus terbatas pada pengertian unit kebahasaan, pernyataan, pemikiran atau landasan penentuan dan pemahaman terhadap fakta-fakta; dalam konsep Foucault, diskursus mengandung pengertian akan adanya kuasa (power) di balik pernyataan-pernyataan tersebut. Paham
ini
mempercayai
bahwa
relasi
kekuasaan
dalam
masyarakat
mempengaruhi dan membentuk cara-cara bagaimana kita saling berkomunikasi dan bagaimana pengetahuan diciptakan. Diskursus dipercayai sebagai piranti yang membentuk relasi kuasa dalam masyarakat melalui proses-proses pendefinisian, pengisolasian, pembenaran. Kuasa dalam diskursus menentukan mana yang bisa dikatakan, mana yang tidak terhadap suatu bidang tertentu, pada kurun waktu tertentu pula. Tata diskursus terdiri dari sekumpulan peraturan-peraturan tak tertulis serta asumsi-asumsi yang dipahami bersama sebagai upaya untuk mengatur apa yang pantas ditulis, dipikirkan dan dilakukan dalam suatu bidang. Analisis diskursus mempelajari tentang peraturan-peraturan, konvensi serta prosedur yang membenarkan dan menentukan tata diskursus. Ia menelusuri secara mendalam segala sesuatu yang dikatakan atau ditulis dalam masyarakat, sistem umum, aturan-aturan: mengatur apa yang boleh dikatakan dan apa yang tidak boleh, apa yang bisa diperdebatkan dalam suatu bidang kajian. Salah satu yang dirasa mengganggu dari pendekatan ini adalah krisis kebenaran dan rasionalitas. Dalam pandangan post-strukturalisme, misalnya fakta sejarah dan fakta legal pun dipandang sebagai konstruksi diskursif yang maknanya amat tergantung pada siapa yang bicara, di mana, bagaimana, kapan,
6
dan sebagainya. Sehingga, tulisan-tulisan sejarah yang pada mulanya dianggap ilmiah dapat dibongkar kembali menggunakan analisis diskursus model ini. Faktafakta sejarah menjadi kabur sehingga tidak bisa dijadikan patokan. Dari tiga model analisis diskursus, model terakhir yang menggunakan perspektif Foucault dirasakan paling memberi peluang untuk melakukan pembongkaran kritis terhadap "kebenaran-kebenaran" yang selama ini dianggap mapan. Judul dari penelitian ini pun menggunakan analisis diskursus poststrukturalisme, khususnya dari Michel Foucault. Tentu masih banyak modelmodel analisis diskursus lain yang dapat digunakan, yang memberi pilihan seluasluasnya bagi peneliti atau pengkaji. Konsep arisan sendiri juga mengikuti kata diskursus dalam judul penelitian ini. Arisan merupakan sebuah institusi sosial yang hadir dalam masyarakat. Sebagai sebuah institusi, tentu arisan mempunyai tujuan penting yang hendak dicapai oleh masyarakat: pemenuhan kebutuhan dasar. Predikat arisan sebagai institusi sosial memiliki relevansi dengan jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Institusi sosial merupakan salah satu instrumen untuk membangun masyarakat menuju kesejahteraan yang diharapkan. Penelitian ini merupakan sebuah usaha memahami institusi kreatif yang ada di masyarakat. Masyarakat merupakan satuan kehidupan yang bersifat multidimensi. Dalam dinamika kehidupan keseharian, masing-masing dimensi tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan. Oleh karena itu, pembangunan masyarakat sebagai sebuah proses perubahan, juga bersifat multidimensi. Pembangunan
7
masyarakat dapat dipahami secara utuh apabila dilihat dari pelbagai dimensi tersebut secara komprehensif dan integral.5 Penelitian ini dimaksudkan sebagai sebuah upaya memahami pembangunan dari dimensi yang berbeda. Pembangunan masyarakat pada dasarnya adalah proses perubahan menuju kondisi yang lebih baik. Pembangunan masyarakat salah satunya dapat dilakukan melalui upaya pemberdayaan. Institusi-institusi yang ada dalam masyarakat dapat menjadi sarana pemberdayaan untuk mencapai tujuan pembangunan, salah satunya melalui arisan. Oleh karena itu, menyoroti arisan sebagai institusi kreatif yang ada di masyarakat pedesaan merupakan hal yang menarik. Tentu topik arisan yang dikaitkan dengan modal sosial sudah cukup banyak dibahas. Maka, membicarakan arisan dari dimensi yang berbeda akan memberi pemahaman yang komprehensif tentang arisan itu sendiri. Ada beberapa definisi mengenai arisan, bahkan beberapa daerah di Indonesia mempunyai sebutan yang berbeda. Misal, di Tanah Batak (Sumatra Utara) orang menyebut kegiatan arisan dengan istilah jula-jula, atau ada pula yang menyebutnya tarik-tarikan—karena setiap anggota bergiliran menarik (mendapat) dana arisan pada saat tertentu sesuai hasil undian. Meskipun beragam, tapi antara satu dan lainnya hampir sebagian besar memiliki persamaan maksud dan batasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan arisan sebagai pertemuan berkala (misal sebulan sekali, dsb.) dengan pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yang memperolehnya, secara bergiliran sampai semua anggota
5
Soetomo. 2009. Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. vi
8
memperolehnya. Praktiknya, penentuan pemenang arisan tidak selalu diundi, tapi juga bisa melalui perjanjian. Arisan merupakan sistem lain untuk menyimpan dan meminjam uang yang beroperasi di luar lembaga ekonomi formal. Geertz juga turut berpendapat mengenai konsep arisan.6 “The basic principle upon which the rotating credit association is founded is everywhere the same: a lump sum fund composed of fixed contributions from each member of the association is distributed, at fixed intervals and as a whole, to each member of the association in turn.” Prinsip dasar yang digunakan dalam asosiasi kredit berputar (arisan) adalah sama: dana yang terkumpul terdiri dari iuran tetap dari masing-masing anggotanya, kemudian didistribusikan sesuai dengan interval waktu yang telah ditetapkan sehingga setiap anggota akan menerima uang dengan jumlah yang sama antara satu dengan yang lain sesuai gilirannya. Misalnya ada 10 orang yang mengikuti satu arisan. Pertemuan arisan ditetapkan satu bulan sekali. Masingmasing anggota diwajibkan membayar iuran arisan sebesar Rp1000,00. Maka, setiap bulannya masing-masing anggota mendapat Rp10.000,00 dalam satu putaran sesuai gilirannya (termasuk iuran yang disetor oleh anggota yang mendapat uang arisan pada saat itu). Desa Hargomulyo yang terletak di Kecamatan Gedangsari Kabupaten Gunungkidul merupakan lokasi yang dipilih untuk penelitian ini. Wilayah ini didominasi sektor pertanian. Desa Hargomulyo yang secara administratif masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Gunungkidul memiliki jenis arisan yang 6
Clifford Geertz, The Rotating Credit Association: a “Middle Rung” in Development, in: Economic Development and Cultural Change, Vol. 10, No. 3 (April, 1962), 241-263. Tulisan ini dapat dilihat di: http://hypergeertz.jku.at/GeertzTexts/Rotating_Credit1.htm diakses Selasa, 8 Juli 2014 pukul 07.56 wib.
9
beragam. Mulai dari arisan kelompok tani, arisan Rukun Tetangga (RT), arisan dusun hingga arisan desa pun ada. Inilah yang membuat Desa Hargomulyo menarik untuk ditilik. Banyaknya kegiatan arisan yang terdapat di desa ini mengindikasikan bahwa arisan telah diterima oleh sebagian besar warganya dan tidak ada lagi yang mempersoalkan. Fakta mengenai praktik arisan di desa tersebut menjadi menarik bila menggunakan kerangka pendekatan analisis diskursus dari Michel Foucault. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, model diskursus tersebut mencoba membongkar fakta-fakta tersembunyi yang selama ini sudah dianggap mapan dan dipandang sebagai sebuah kebenaran. Diskursus ala Foucault memiliki konsep kekuasaan yang menarik dan berbeda dengan model kekuasaan kaum strukturalis yang selama ini banyak dipakai oleh ilmuwan sosial untuk menjelaskan realitas. Kaum strukturalis memandang bahwa kuasa itu terpusat, dimiliki oleh kelompok superior untuk mengatur golongan inferior. Sedangkan menurut Foucault, kuasa itu tidak dimiliki tetapi hadir dalam relasi-relasi yang membentuk diskursus; membentuk sebuah kebenaran. Teori Diskursus dari Michel Foucault dirasa relevan dan mampu memfasilitasi rumusan masalah dalam penelitian ini. Teori tersebut menjadi kerangka penelitian untuk menjelaskan praktik arisan di Desa Hargomulyo— selanjutnya penjelasan tentang diskursus akan dibahas lebih mendalam di sub judul Kerangka Teori. Penelitian ini tidak berangkat dari asumsi bahwa arisan itu bermasalah, tapi sebagai sebuah upaya melakukan dekonstruksi terhadapnya. Untuk itu, Diskursus Arisan dipilih sebagai judul penelitian ini.
10
2. Latar Belakang Arisan sudah menjadi fenomena sosial di Indonesia. Sampai saat ini arisan masih menjadi bagian yang lekat dengan kehidupan masyarakat. Mulai dari arisan keluarga, Rukun Tetangga, desa, sekolah, kantor, kalangan buruh hingga sosialita pasti pernah terlibat dalam kegiatan arisan. Sebagai kegiatan sosial, oleh sebagian masyarakat arisan dipandang memiliki daya tarik untuk menjalin silaturahmi di antara anggota-anggotanya. Sedang dari sudut pandang ekonomi, kegiatan arisan dapat dikatakan berperan sebagai institusi keuangan non-formal. Salah satu hal yang menarik dari arisan yaitu tidak adanya jaminan (agunan) ketika salah satu anggota mendapat giliran meminjam uang dari anggota-anggota yang lain. Ada banyak penelitian yang menyebutkan bahwa arisan berkaitan dengan modal sosial yang dapat dikembangkan untuk pembangunan. Salah satunya yakni makalah yang ditulis oleh Bambang Hudayana dalam laman Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada.7 Makalah tersebut memiliki judul besar Urgensi Revitalisasi Modal Sosial dalam Upaya Pengurangan Resiko Bencana. Konsep modal sosial dalam makalah ini berkiblat pada pemahaman Putnam.8 Putnam memahami modal sosial sebagai kekuatan kolektif yang relevan bagi bekerjanya masyarakat sipil dan pembangunan sosial. Putnam melihat bahwa konsep modal sosial itu menujukkan adanya nilai kesetaraan yang dijunjung bersama oleh masyarakat. Makalah ini mengurai berbagai kekuatan modal sosial 7
Makalah disampaikan pada Seminar dan Kongres II Forum PRB DIY dengan tema “Memperkokoh Penguatan Kapasitas Lokal dalam Upaya Pengurangan Resiko Bencana”, di Yogyakarta pada 30-31 Januari 2013. Bambang Hudayana merupakan Dosen pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, dan Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM. Makalah ini dapat dilihat pada http://pspk.ugm.ac.id/artikel-terbaru.html diakses Minggu, 8 Juni 2014 pukul 13.44 wib. 8 Ibid.
11
yang secara nyata terbukti menjadi elemen penting dalam penanggulangan bencana dengan belajar dari kasus bencana tektonik di Yogyakarta 2006, dan erupsi Merapi 2010. Dengan menyimak kekuatan modal sosial dalam agenda penanggulangan bencana tersebut, makalah ini menarik benang merah urgensi revitalisasi modal sosial ke depan agar lebih berhasil guna, dan menjadi kekuatan dalam penanggulangan bencana secara partisipatif. Dalam makalahnya, Hudayana menyebutkan kelompok arisan menjadi salah satu perkumpulan sosial yang mampu memperkuat modal sosial. “…Bencana membuat mereka terpanggil untuk memperkuat modal sosialnya dengan menghidupkan perkumpulan sosial seperti kelompok arisan, kelompok pembatik, dan petani.” Selain makalah dari Hudayana, analisis terhadap arisan sebagai modal sosial juga ditulis oleh Ahmad Nasir Siregar.9 Skripsi yang ditulis pada 2006 tersebut berjudul Arisan: Manifestasi Modal Sosial Pedagang Pasar Tradisional (Studi Kasus Arisan Pedagang di Pasar Gentan Ngaglik Sleman DIY). Skripsi ini memaparkan bahwa arisan tidak hanya digunakan sebagai lembaga tabungan saja oleh pedagang Pasar Gentan, melainkan juga sebagai lembaga untuk merekatkan interaksi
sosial
antar-pedagang
di
pasar
tersebut.
Siregar
menemukan
kecenderungan dari masyarakat untuk melakukan upaya-upaya kreatif yang dilandaskan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Upayaupaya kreatif tersebut merupakan manifestasi dari modal sosial sebagai kekuatan yang melekat dengan masyarakat pedagang di Pasar Gentan. Siregar juga menyimpulkan bahwa arisan menjadi institusi lokal yang mempunyai pengaruh
9
Mahasiswa Program Strata-1 Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.
12
yang cukup berarti terhadap pembangunan masyarakat, karena gagasan yang berkembang dalam lingkungan sosial pasar tersebut tidak menjadikan pedagang tercerabut dari akar-budayanya. Penelitian mengenai konsep arisan yang berperan sebagai lembaga keuangan di sektor informal juga telah dilakukan. Hotze Lont melakukan riset tentang arisan sebagai financial self-help organizations. Hasil riset ini kemudian diberi judul Juggling Money: Financial Self-Help Organizations and Social Security in Yogyakarta. Berikut ini merupakan kutipan dari laman KITLV sebagai pihak penerbit buku hasil riset tersebut:10 “This social-anthropological study, focusing on urban Indonesia, examines a variety of financial self-help organizations (arisan and simpan pinjam) as instruments for dealing with financial difficulties related to illness, death, and unemployment….” Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa riset Lont yang dibukukan pada tahun 2005 ini menjelaskan bahwa arisan dapat menjadi instrumen keuangan untuk menghadapi kesulitan yang berkaitan biaya sakit, biaya upacara kematian, serta tidak adanya penghasilan akibat menganggur. Berbeda dengan Lont, Daniel M. T. Fessler menyoroti faktor-faktor psikokultural yang membuat arisan menjadi populer dan diterima oleh masyarakat.11 Fessler melakukan penelitian mengenai arisan di Dusun Baguk, Provinsi Bengkulu. Faktor psikokultural yang dapat mencegah kecurangan membuat praktik arisan dapat diterima dan berlanjut dalam masyarakat. Arisan menjadi populer karena proses dan nilai-nilai yang ada di dalamnya sejalan 10
http://www.kitlv.nl/book/show/901 diakses Minggu, 8 Juni 2014 pukul 15.24 wib. Daniel M. T. Fessler, Windfall and Socially Distributed Willpower: Psychocultural Dynamics of Rotating Savings and Credit Associations in a Bengkulu Village. Ethos Vol. 30 No. 1-2. (March, 2002), Hlm. 25-48. 11
13
dengan norma-norma yang ada di masyarakat. Bagian yang menarik dari arisan terletak pada kemampuannya menciptakan perasaan senang bagi anggotanya karena seperti mendapat rejeki nomplok dan sensasi seperti telah memenangi sebuah perjudian. Analisis ini menunjukkan bahwa perilaku ekonomi harus dipahami dalam konteks pola budaya yang membentuk tindakan. Artikel yang ditulis oleh Fessler ini memaparkan hubungan yang kompleks antara budaya (culture) dan perilaku ekonomi. Arisan ternyata tidak melulu identik dengan pedesaan. Nadia Mulya dan Joe Roesma berhasil memotret praktik arisan di perkotaan, khususnya di kalangan sosialita. Buku karya mereka yang diberi judul Kocok! The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites menangkap fenomena arisan sosialita dari yang menggelikan hingga membuat miris.12 Misalnya saja, saat seorang anggota arisan harus meminjam tas teman dan mengakui sebagai miliknya, atau terjebak membeli tas palsu karena keburu demam tren terbaru, atau ibu-ibu paruh baya dengan dandanan heboh sukses membuat bising satu restoran, dan melupakan makanan di depan mata demi berfoto ria dan eksis di media sosial seperti Twitter, Instagram, juga Path. Nadia-Joy juga menyentil arisan dengan tarikan kontroversial: seks— dari lelaki, swinger (bertukar pasangan seks), sampai orgy (pesta seks). Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa kegiatan arisan ternyata merambah semua kalangan, tanpa mengenal batas kelas.
12
Yemima Lintang Khastiti. 1 Maret 2013. Arisan, Ajang Pertemanan sekaligus Wujud Eksistensi Perempuan Urban. Selengkapnya dapat dilihat di http://www.fimela.com/read/2013/03/01/arisanajang-pertemanan-sekaligus-wujud-eksistensi-perempuan-urban diakses Jumat, 1 Agustus 2014 pukul 14.37 wib.
14
Artikel dan beberapa hasil riset yang telah dipaparkan menjadi bahan yang menguatkan bahwa topik tentang arisan menarik untuk dibahas. Seperti telah disebutkan sebelumnya, arisan sudah menjadi fenomena sosial dan bagian dari kehidupan masyarakat. Hampir semua lapisan masyarakat tak asing lagi dengan konsep arisan. Kajian tentang arisan seperti: konsep arisan sebagai bagian dari modal sosial; arisan sebagai lembaga keuangan sektor informal; relasi arisan dengan kultur masyarakat; bahkan arisan sebagai gaya hidup telah banyak atau setidaknya sudah pernah dilakukan. Namun, sepanjang penelusuran peneliti, belum ditemukan referensi atau karya-karya akademis yang membahas tentang arisan dari kacamata diskursus. Memang ada tulisan-tulisan yang berkaitan dengan diskursus, namun bukan diskursus arisan. Ada sejumlah tulisan yang lebih dulu dibuat terkait konsep pemikiran Michel Foucault mengenai diskursus. Tulisan-tulisan tersebut dapat membantu peneliti untuk memberi gambaran mengenai desain penelitian yang dilakukan meskipun tetap terdapat perbedaan. Berikut beberapa tulisan tentang diskursus. Pertama, laporan penelitian yang ditulis oleh Widya Priyahita.13 Penelitian tersebut berjudul Politik-Ilmu Politik di Indonesia (2012). Secara umum ada tiga hal yang disuguhkan dalam penelitian ini melalui kajian bertajuk politik ilmupolitik (politic of politics). Pertama, yakni cara membaca ilmu dengan kacamata
13
Mahasiswa Program Strata-2, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.
15
politik. Kedua, mengaitkan politik dengan seluk-beluk kuasa (versi Foucault dan Poskolonial). Serta ketiga, menyisipkan spirit kritis dan reflektif. Selain Widya Priyahita, ulasan tentang diskursus juga ditulis oleh Milda Longgeita Pinem.14 Tulisannya yang berjudul “Diskursus Corporate Social Resposibility: Pengetahuan dan Kekuasaan” memakai pendekatan kritis untuk membongkar realitas terbentuknya diskursus CSR dengan menggunakan gagasan Michel Foucault. Menurutnya, efek dari kehadiran diskursus dan kekuasaan tersebut melahirkan dan membutuhkan subjek yang memiliki keahlian dan teknik khusus di bidang CSR serta memunculkan counter-discourse yang dilancarkan oleh subjek yang merasa didominasi oleh diskursus tersebut. Kedua penelitian yang disebutkan di atas membicarakan diskursus dengan berangkat dari realitas yang sedang terjadi pada disiplin ilmu tertentu. Sementara, penelitian ini ingin membicarakan diskursus dengan berpijak pada praktik keseharian yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat yaitu kegiatan arisan. Dengan kata lain penelitian ini mencoba mengurai diskursus arisan. Harapannya penelitian ini dapat melengkapi kajian mengenai arisan sehingga lebih komprehensif. Lokasi penelitian ditentukan di sebuah desa bernama Hargomulyo yang jauh dari riuh-sesak Kota Yogyakarta. Desa Hargomulyo yang terletak di Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul terdiri dari 14 dusun. Di setiap dusun masing-masing memiliki kelompok arisan sendiri. Setiap dusun terdiri dari beberapa Rukun Tetangga (RT). 14
Milda Longgeita Pinem. 2014. Diskursus Corporate Social Responsibility: Pengetahuan dan Kekuasaan. Yogyakarta: Azzagrafika. (akan terbit).
16
Beberapa RT yang ada di masing-masing dusun pun punya kelompok arisan sendiri di luar kelompok arisan dusun. Selain itu, terdapat pula kelompok arisan tingkat desa. Kelompok arisan ini diikuti oleh semua ibu-ibu anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) perwakilan tiap dusun. Fakta-fakta ini semakin menunjukkan bahwa memang arisan sudah menjadi bagian yang lekat dengan kehidupan warga Desa Hargomulyo. Konsep arisan sudah diterima oleh masyarakat sehingga tak ada lagi yang mempersoalkan mekanismenya baik sebagai institusi ekonomi non-formal, maupun sebagai wadah silaturahmi warga. Dapat juga dikatakan bahwa penelitian ini menjelaskan bagaimana arisan telah diamini oleh sebagian besar masyarakat, melekat dengan kehidupan masyarakat, dan akhirnya tak ada lagi yang mempersoalkan „kebenaran‟ dari arisan itu sendiri. Arisan telah menjadi sebuah diskursus. Pemaparan diskursus arisan diharapkan membuat masyarakat bisa memahami bahwa apa yang sedang dialami dan dilalui tidak semata-mata steril dari dimensi politis, sekalipun itu terkait dengan pengetahuan yang diklaim sebagai kebenaran.15 3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti ingin melihat proses terjadinya diskursus arisan di Desa Hargomulyo. Maka rumusan masalahnya adalah: Bagaimana diskursus arisan yang terjadi dan apa dampaknya bagi proses pemberdayaan masyarakat di Desa Hargomulyo Kecamatan Gedangsari Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta? 15
Longgeita, Milda. 2014. Diskursus Corporate Social Responsibility: Pengetahuan dan Kekuasaan. Hal. 14.
17
4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu tujuan operasional dan tujuan substansial. Suatu penelitian pada dasarnya ditujukan untuk memecahkan masalah. Tujuan penelitian diperlukan agar penelitian mempunyai arah yang jelas dan sistematis. a. Tujuan operasional penelitian ini yaitu: Penelitian ini dilakukan untuk menyusun skripsi sebagai syarat memperoleh gelar sarjana dari jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Penelitian ini bisa memberi kontribusi bagi perkembangan ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, terutama pemahaman mengenai arisan sebagai institusi sosial dan kaitannya terhadap pembangunan masyarakat. b. Perihal tujuan substansialnya yakni: Guna menjelaskan diskursus arisan yang terjadi dan dampaknya bagi proses pemberdayaan masyarakat di Desa Hargomulyo, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. 5. Manfaat Penelitian 1. Menambah referensi tentang diskursus arisan 2. Menjadi bahan acuan dalam penelitian lebih lanjut tentang arisan 3. Sebagai referensi tambahan perbendaharaan khazanah dunia pustaka dan keilmuan sosial
18
6. Kerangka Teori a. Pengantar Kerangka teori dalam penelitian ini menggunakan paradigma postmodernisme. Nilai yang kiranya penting dari postmodernisme adalah gagasan-gagasan dasar seperti filsafat, rasionalitas dan epistemologi dipertanyakan kembali secara sangat radikal.16 Postmodernisme lahir sebagai bentuk kritik terhadap dunia modern. Modernisme di bidang filsafat ditandai dengan munculnya gerakan pencerahan (Enlightenment/Aufklarung) dan mengabadikan dirinya hingga abad ke-20 ini melalui dominasi sains dan kapitalisme.17 Gambaran dunia modern beserta tatanan sosial yang dihasilkannya ternyata telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk bagi kehidupan manusia dan alam. Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek-objek, spiritual-material, manusia-dunia, dan sebagainya telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Hal ini telah mengakibatkan krisis ekologi. Kedua, pandangan modern yang bersifat objetivistis dan positivistis akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin. Akibat dari hal ini, masyarakat cenderung menjadi tidak manusiawi. Ketiga, dalam modernisme ilmu-ilmu positif-empiris mau tidak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini adalah nilai-nilai 16 17
Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 17. Ibid., hal. 29.
19
moral dan religius kehilangan wibawanya. Akibatnya timbullah disorientasi moral-religius, yang pada gilirannya mengakibatkan meningkat-nya kekerasan, keterasingan, depresi mental, dan sejenisnya. Keempat adalah materialisme. Bila kenyataan mendasar tak lagi ditemukan dalam religi, maka materilah yang dianggap sebagai kenyataan mendasar. Materialisme ontologis ini didampingi pula oleh materialisme praktis, yaitu bahwa hidup pun menjadi keinginan yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material, dan aturan-main yang utama adalah survival of the fittest, atau dalam skala lebih besar: persaingan dalam pasar bebas. Etika persaingan dalam mengontrol sumber-sumber material inilah yang merupakan pola perilaku dominan individu, bangsa dan perusahaan-perusahaan modern. Kelima adalah militerisme. Oleh sebab norma-norma religius dan moral tak lagi berdaya bagi perilaku manusia, maka norma umum objektif pun cenderung hilang juga. akibatnya, kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Ungkapan paling gamblang dari hal ini adalah militerisme dengan persenjataan nuklirnya. Meskipun demikian, perlu juga dicatat bahwa religi pun bisa sama koersifnya manakala dihayati secara fundamentalistis, oleh sebab
di
sana
Tuhan
biasanya
dilihat
sebagai
kekuasaan
yang
menghancurkan pihak musuh. Jadi, bila religi dihayati secara demikian, memang ia justru menjadi alat legitimasi militerisme.
20
Keenam adalah bangkitnya kembali tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi logis dari hukum survival of the fittest dan penggunaan kekuasaan yang koersif. Segala konsekuensi negatif itu akhirnya telah memicu berbagai gerakan postmodern yang hendak merevisi paradigma modern. Postmodernisme adalah istilah yang sangat kontroversial. Di satu pihak istilah ini kerap digunakan dengan cara sinis dan berolok-olok. Postmodernisme dianggap sebagai sekadar model intelektual yang dangkal dan kosong atau sekadar refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan-perubahan sosial yang kini sedang berlangsung. Di pihak lain, istilah ini kenyataannya telah memikat minat masyarakat luas karena memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan beberapa krisis dan perubahan sosio-kultural fundamental yang kini sedang kita alami.18 Boleh jadi salah satu penyebab pandangan negatif terhadap postmodernisme adalah kecenderungan umum yang mengidentikkan postmodernisme itu hanya dengan kelompok post-strukturalis yang umumnya kaum Neo-Nietzschean saja. Akibatnya kaum postmodernisme jadi identik dengan kaum dekonstruksionis belaka, yang kerjanya hanya membongkar-bongkar segala tatanan lantas menihilkan segala hal.
18
Ibid., hal. 15.
21
Istilah postmodern muncul untuk pertama kalinya di wilayah seni.19 Menurut Hassan dan Jencks istilah itu pertama-tama dipakai oleh Federico de Onis pada tahun 1930-an dalam karyanya, Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoaamericana, untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme. Kemudian di bidang historiografi oleh Toynbee dalam A Study of History (1947). Di sini istilah postmodern merupakan kategori yang menjelaskan siklus sejarah baru yang dimulai sejak tahun 1875 dengan berakhirnya dominasi barat, surutnya individualisme, kapitalisme dan kristianitas, serta kebangkitan kekuatan budaya non-barat. Sugiharto
dalam
bukunya
yang
berjudul
Postmodernisme
mendefinisikan istilah tersebut sebagai segala pemikiran yang berupaya membuat kritik imanen atas pola berpikir modern. Kritik imanen merupakan kritik yang tetap mempertahankan ideal-ideal modernisme tertentu sambil mencoba pula mengatasi konsekuensi buruk dari modernisme itu. Ritzer dalam Teori Sosial Postmodern (2003) mengungkapkan bahwa ide postmodern meliputi suatu epos (masa) historis baru, produk kultural baru, dan tipe teorisasi baru mengenai dunia sosial. Teori sosial postmodern sendiri merujuk pada bagian yang terakhir disebutkan barusan. Bagi saya sendiri, postmodernisme merupakan gerakan baru yang lahir sebagai sebuah kritik karena konsekuensi-konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh modernisme.
19
Ibid., hal. 24.
22
Terdapat tiga jenis posisi yang digunakan oleh teoretisi sosial postmodern.20
Pertama,
teoretisi
sosial
postmodern
ekstrem
yang
menganggap terdapat perbedaan radikal antara masyarakat modern dan postmodern. Kedua, posisi moderat yang memandang postmodern sebagai kelanjutan modern. Ketiga, seseorang yang memandang teori sosial postmodern dan modern sebagai cara alternatif untuk melihat dunia sosial. Teoretisi sosial postmodern memiliki beberapa kecenderungan yang membedakannya dengan teori sosial modern. Pertama, postmodernis cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas. Kedua, teoretisi sosial postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas dan sebagainya. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembar-gemborkan fenomena besar pramodern seperti intuisi, emosi, perasaan, pengalaman personal, kekerasan, metafisika, kosmologi, mitos, tradisi, sentimen keagamaan, kebiasaan, dan pengalaman mistis. Keempat, pemikir postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis: fiksi dan teori; image dan realitas. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar. Tujuan pengarang postmodern seringkali mengejutkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. 20
Ritzer, George. Teori Sosial Postmodern. Terj. Taufik, Muhammad. 2003. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hal. 17.
23
Michel Foucault merupakan salah satu postmodernis yang sangat berpengaruh dalam teorisasi postmodern. Dalam awal karyanya, Foucault mengupas apa yang disebutnya sebagai Arkeologi Ilmu Pengetahuan. Akan tetapi, dia tidak hanya mengembangkan pemikirannya pada pendekatan arkeologis tetapi juga menelurkan suatu dasar kajian pergeseran dramatik ke arah Genealogi Kekuasaan. Selain itu Foucault juga mengupas tentang Seksualitas. Penting
untuk
dijelaskan
hubungan
antara
arkeologi
dan
genealoginya. Dua proses tersebut tidak terbedakan satu sama lain dalam kajiannya karena saling melengkapi. Arkeologi memfokuskan pada kondisi historis yang ada (yang kenyataannya sangat panjang), sementara itu genealogi lebih mempermasalahkan tentang proses historis. Lebih tepatnya, “genealogi menawarkan pada kita sebuah hubungan proses jaringan diskursus, sebaliknya pendekatan arkeologi memberikan pada kita sebuah jepretan, dan irisan melalui mata rantai diskursif.”21 Meskipun arkeologi dan genealogi bernilai penegasan, namun Foucault tetap memfokuskan pada diskursus; pokok bahasan yang menjadi perhatian dalam seluruh kajiannya adalah formasi diskursif. Gagasan-gagasan Foucault mengenai pemahaman arkeologi ilmu pengetahuan diterapkan dalam studinya tentang sejumlah ilmu-ilmu manusia—biologi, ekonomi dan bahasa. Kemudian kajian Foucault bergeser dari suatu analisis arkeologi ilmu pengetahuan pada kritik kekuasaan. Di
21
Bevis, Cohen dan Kendall dalam Ritzer. Ibid., hal. 67.
24
sini, Foucault tidak hanya meminati formasi ilmu pengetahuan tetapi juga peran yang dimainkan kekuasaan dalam formasi tersebut. Mayoritas bagian ini dicurahkan dalam tiga studi kasus arkeologi ilmu pengetahuan dan genealogi kekuasaan: penyebaran dan penyingkiran orang gila oleh si waras (terutama di bagian psikiatri); kelahiran klinik medis dan juga pemfokusan pada (dan kontrol atas) tubuh manusia melalui autopsi; dan berakhirnya penyiksaan tahanan serta lahirnya sistem kontrol karseral dan prinsip panoptik. Lingkaran keseluruhan kajian ini merupakan ketertarikan Foucault dalam peran yang dimainkan dalam rangka perkembangan kelahiran ilmuilmu manusia dan kekuasaan yang digunakan atas manusia. Kerangka teori dari penelitian ini menggunakan pandanganpandangan Foucault tentang diskursus: relasi kuasa dan pengetahuan serta subjek-subjek yang ada dalam diskursus tersebut. b. Diskursus Bagi Foucault, seorang pemikir terkemuka aliran postmodernisme, praktik dan proses diskursus merupakan syarat utama terbentuknya sistem pengetahuan (bodies of knowledge).22 Foucault melakukan pergeseran makna atas konsep diskursus yang semula melulu tentang linguistik, kini mengarahkannya menjadi lebih dekat pada konsep disiplin (the concept of discipline). Proses diskursus melahirkan ide dan konsep yang menjadi tonggak dari ilmu pengetahuan. Konsep dan ide awal yang bermula dari praktik diskursif ini berkembang sedemikian rupa menjadi konsep disiplin. 22
McHoul, Alec dan Wendy Grace. 1993. A Foucault Primer: Discourse, Power and The Subject. Melbourne: Melbourne University Press. Hal. 26.
25
Disiplin di sini dimaknai menjadi dua hal: sebagai disiplin ilmu (bodies of knowledge) dan sebagai praktik pendisiplinan (bentuk kontrol dan pertanggungjawaban sosial). Ide diskursus Foucault menunjukkan relasi antara kedua bentuk disiplin tersebut. Disiplin itu dimaknai sebagai kekuasaan dan pengetahuan yang saling berkaitan dan tidak terpisahkan. Diskursus mengonstruksi wacana sosial, mewakili cara dan pola pikir tertentu, dan bersifat tidak permanen. Realitas dalam konteks ini dipandang sebagai sebuah hasil konstruksi, tapi juga bukan dimaknai dalam rangka mengingkari eksistensi sebuah realitas. Menurut Foucault bahwa apa yang signifikan dari sebuah realitas (objek) dan bagaimana masyarakat menafsirkannya dibentuk oleh struktur diskursif itu sendiri. Misalnya, gempa bumi dulu dipandang sebagai bentuk kemurkaan dari yang Maha Kuasa. Tapi sekarang, bagi para ilmuwan—juga diamini oleh sebagian besar orang—gempa bumi dianggap sebagai sebuah fenomena alam. Wacana atau diskursus merupakan sesuatu yang memproduksi gagasan, konsep atau praktik. Persoalan utama dari diskursus ini berpusat pada pertanyaan: siapa yang memproduksi wacana dan apa efek yang muncul dari produksi wacana tersebut. Diskursus
mengetengahkan
relasi
antara
kekuasaan
dan
pengetahuan. Teori yang dikembangkan oleh Foucault ini mengeksplorasi dan membedah diskursus yang didasarkan pada pengetahuan melalui kekuasaan dan praktik sosial. Karakteristik kekuasaan institusi merupakan rezim kebenaran yang selalu melibatkan relasi kekuasaan dan pengetahuan.
26
Teori diskursus Foucault menyatakan bahwa kekuasaan terdistribusi dalam relasi-relasi sosial dan tidak dapat direduksi ke dalam bentuk-bentuk terpusat. Di sini diskursus membangun, mendefinisikan, dan memproduksi objek pengetahuan yang dapat dimengerti, kemudian di sisi yang lain mengenyampingkan cara penalaran lain karena (dianggap) tidak masuk akal.23 Foucault mengartikan diskursus sebagai praktik sosial, yang berperan dalam mengontrol, menormalkan dan mendisiplinkan individu dalam rangkaian hubungan dengan kekuatan sosial yang ada pada masyarakat. Konsep diskursus Foucault memfokuskan perhatian pada konsepsi dan praktik yang menyatu dalam pembentukan diskursus. Foucault memandang bahwa diskursus merupakan sebuah proses awal dalam membentuk dan mengarahkan dunia. Diskursus erat kaitannya dengan kuasa. Dalam diskursus, kuasa diproduksi, direproduksi dan memproduksi kuasa lainnya. Kuasa ini menurut Foucault sebenarnya terwujud dalam berbagai bentuk. Kuasa terdiri dari sebuah ide, perilaku, tindakan atau aksi, kepercayaan, kepemilikan, identitas-simbol, relasi dan praktik yang mengonstruksi subjek dan dunia di mana praktik diskursus itu dilangsungkan.
23
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCEQFjAA&url =http%3A%2F%2Fwww.pps.unud.ac.id%2Fdisertasi%2Fpdf_thesis%2Funud-16-1341990478bab%2520ii_deaertasi_.pdf&ei=pnGVU7G3FoKgugTajoLoBw&usg=AFQjCNEiR9LrxmRCWqaWsY5e0i6j7ZjHQ&sig2=eQbt7G2YbXLFr3EuHM88kg&bvm=bv.68445247,d.c2E diakses Senin, 9 Juni 2014 pukul 15.54 wib.
27
Berbeda dengan para pemikir sebelumnya, Foucault mendefinisikan kebenaran sebagai suatu hal yang tidak akan pernah selesai. Ia hadir sebagai hasil konstruksi dan rekonstruksi dalam proses diskursus. c. Relasi Kuasa, Pengetahuan dan Subjek Foucault melihat kuasa bukanlah sebagai milik melainkan strategi. Hal ini berseberangan dengan pendapat kaum Marxis. Kuasa bagi Marxis adalah kuasa yang negatif dan destruktif, dimiliki secara eksklusif oleh negara atau penguasa untuk melancarkan dominasi secara agresif dan represif terhadap rakyat kelas bawah. Bagi Foucault, kuasa tidak bersifat destruktif melainkan produktif; kuasa menyusun diskursus, pengetahuan, benda-benda dan subjektivitas.24 “Apa yang membuat kekuasaan tetap langgeng, apa yang membuatnya bisa diterima, adalah kenyataan bahwa kekuasaan tidak hanya memberi kita kekuasaan untuk berkata tidak, namun kekuasaan melewati dan menghasilkan sesuatu, menimbulkan kesenangan, membentuk pengetahuan, memproduksi wacana (diskursus). Kekuasaan perlu dianggap sebagai jaringan produktif yang melewati lembaga sosial secara keseluruhan, lebih dari sebagai sesuatu yang bersifat negatif yang fungsinya untuk melakukan penindasan.”25 Kuasa tidak dapat dialokasikan tetapi terdapat di mana-mana. Foucault dalam Haryatmoko26 mengatakan: “Secara umum harus diakui bahwa kekuasaan lebih beroperasi daripada dimiliki. Kekuasaan tidak merupakan hak istimewa yang didapat atau dipertahankan kelas dominan, tetapi akibat dari keseluruhan posisi strategisnya, akibat yang menunjukkan posisi mereka yang didominasi.” 24
Jorgensen, Marianne W. dan Phillips, Louise J. Terj. Suyitno, dkk. 2007. Analisis Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 25. 25 Ibid. 26 Haryatmoko. Kekuasaan Melahirkan Anti-kekuasaan. Basis. Nomor 01-02, Tahun Ke-51 (Januari-Februari, 2002), hal. 8-21.
28
Kuasa juga tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa bekerja bahkan pada level institusi terkecil sekalipun: pada keluarga, hubungan suami-istri, antar-sahabat, dan sebagainya. Dialogdialog (praktik diskursif) yang terjadi di antara dua orang sahabat, anak dan orang tuanya, sepasang kekasih sekalipun, sebenarnya juga mengandung dan atau memproduksi kekuasaan. Akan tetapi, kuasa yang dimaksudkan Foucault tidak bisa dilihat secara sederhana dari satu peristiwa saja, melainkan melalui jalinan berbagai peristiwa yang saling berkaitan. Foucault beranggapan bahwa kuasa tidak dapat dialokasikan di satu tempat, ia tersebar dimana-mana, ia mendapatkan wujudnya dalam relasi antarsubjek. Ide bahwa kuasa harus berbentuk negara ataupun organisasi itu sudah usang. Kuasa masuk dan mempengaruhi hampir setiap sendi dan aspek kehidupan manusia modern. Kuasa bekerja lewat regulasi dan normalisasi. Melalui normalisasi dan regulasi masyarakat digerakkan. Contohnya, aturan yang menabukan wanita untuk berbicara mengenai seks. Ini adalah contoh nyata mengenai salah satu bentuk kuasa yang bekerja dalam masyarakat. Efeknya dapat dilihat dari eksklusi terhadap wanita yang berbicara seks secara gamblang, biasanya mereka akan dicap sebagai bukan wanita “baik-baik”. Inilah yang dimaksud Foucault dengan normalisasi. Kekuasaan tidak pernah lepas dari pengetahuan. Untuk itu, Foucault mengatakan bahwa kekuasaaan menghasilkan pengetahuan. Inilah yang
29
dimaksud Foucault bahwa kekuasaan tidak represif, melainkan produktif. Kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak membentuk hubungan kekuasaan. Haryatmoko27 menuliskan hal yang menarik dalam ulasannya: “Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subjek tanpa memberi kesan bahwa ia datang dari subjek tertentu, karena kriteria keilmiahan seakan-akan mandiri terhadap subjek. Padahal klaim ini merupakan bagian dari strategi kekuasaan.” Ketika berbicara kaitan antara kekuasaan dan pengetahuan, secara tidak langsung bersentuhan dengan kodrat manusia untuk selalu mencari dan mengetahui. Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui diskursus, kehendak untuk
mengetahui
terumus
dalam
pengetahuan.
Pengetahuan
itu
membutuhkan bahasa sebagai sarana penyampaiannya. Bahasa menjadi alat untuk mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan, karena kuasa mendapatkan “kebenaran” dalam pernyataan-pernyataan ilmiah. Contoh dari apa yang dimaksud Foucault dengan hubungan kuasapengetahuan dapat dilihat dari analisisnya mengenai sejarah kegilaan. Jika seorang tenaga medis berhasil mengisolasi kegilaan, bukan berarti ia memahami kegilaan, tetapi dia memiliki kekuasaan atas “orang gila”.
27
Ibid.
30
Foucault dengan cara itu ingin menunjukkan ilusi kenaifan ilmu-ilmu tersebut. Kuasa menemukan bentuknya dalam pengetahuan. Berbeda dengan analisis Marxis yang masih menyisakan kebenaran dalam pengetahuan, Foucault melangkah lebih jauh dari itu. Baginya setiap pengetahuan pasti mengandung kuasa
dan
setiap
kekuasaan
produktif
menghasilkan
pengetahuan. Artinya tidak ada kebenaran, bahkan dalam ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah sekalipun. Geografi, ekonomi, biologi, dan banyak disiplin ilmu modern lainnya, tidak lebih dari perwujudan kuasa yang fungsinya membentuk subjek. Klaim ilmiah yang selama ini menjadi pembenaran akan sifat pengetahuan yang netral, bagi Foucault adalah strategi kuasa. Foucault menyatakan bahwa pengetahuan adalah politik. Ilmu-ilmu manusia adalah perwujudan kehendak untuk berkuasa, klaim ilmiah dan kebenaran tidak lain merupakan strategi kuasa. Objektivitas dan netralitas adalah cara lain untuk memaksakan kehendak akan kekuasaan. Sasaran dari kuasa adalah tubuh dan kepatuhan. Instrumennya adalah metode pendisiplinan, baik dari disiplin ilmu, maupun disiplin sebagai kontrol sosial berupa aturan, sistem norma dan regulasi. Efek dari metode disiplin membuat subjek selalu merasa diawasi, meski pengawasan tidak dilakukan secara terus-menerus. Kepatuhan didapat dengan cara yang efisien dan murah. Subjek dengan otomatis menjadi pengawas bagi dirinya sendiri. Metode pendisiplinan seperti ini terwujud dalam berbagai bentuk.
31
Contohnya seorang anak yang sedari dini sudah ditanamkan pengetahuan akan dosa, akan tetap terus beribadah, kendati tidak ada orang tua yang biasa menyuruhnya beribadah. Disiplin adalah teknologi kuasa yang dimaksudkan untuk membentuk subjek. Dalam berbagai bentuk strateginya kuasa berhasil mendapatkan kepatuhan dari subjek. Subjek dalam pandangan Foucault sebenarnya tidak memiliki fungsi yang cukup jelas dalam proses diskursus. Subjek diproduksi oleh diskursus sebagai efek dari praktik dan formasi diskursus itu sendiri. Diskursus yang menciptakan posisi subjek. Konsekuensi dari pengertian kuasa yang dibangun Foucault, dimana kuasa tidak bisa dimiliki, artinya cair atau tersebar, melahirkan konsepsi resistensi. Setiap subjek bisa membentuk wacana baru, dan menelurkan kebenaran baru. Bukan dalam bentuk prokontra, protagonis-antagonis, tapi masih dalam kerangka melestarikan kuasa yang terselip dalam sebuah ide kebenaran.
32