BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat (Sarwono, 2001) Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. (Gunarsa, 2008) Sampai saat ini masalah seksualitas selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah menjadi suatu hal yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk hidup, karena dengan seks makhluk hidup dapat terus bertahan menjaga kelestarian keturunannya. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Padahal pada masa remaja informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau sember-sumber yang tidak jelas. (http://library.upnvj.ac.id 27 Oktober 2014)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pendidikan seks diperlukan untuk menjembatani antara rasa keingintahuan remaja tentang hal itu dan berbagai tawaran informasi yang vulgar, dengan cara pemeberian informasi tentang seksualitas yang benar, jujur, lengkap, yang disesuaikan dengan kematangan usianya. Berbicara tentang pendidikan seks tentunya tidak akan terlepas dengan pemahaman seseorang terhadap apa dan bagaimana pendidikan seks itu sendiri. Perbedaan pemahaman tentang pendidikan seks ini tergantung pada bagaimana sudut pandang yang mereka gunakan dalam memberikan definisi tersebut. Pendidikan seks sebenarnya berarti pendidikan seksualitas, yaitu suatu pendidikan mengenai seksualitas dalam arti luas. Seksualitas meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan seks, yaitu aspek biologis,
orientasi,
nilai
sosiokultur
dan
moral,
serta
perilaku.
(http://regional.kompas.com 29 Oktober 2014) Menurut Kristo (2010), pendidikan seks bukanlah berarti belajar tentang bagaimana berhubungan seksual, seperti yang dianggap banyak orang sehingga bentuk pendidikan ini seolah dilarang karena dianggap bisa berekses buruk pada remaja. Pendidikan seks merupakan sebuah diskusi yang realistis, jujur, dan terbuka bukan merupakan dikte moral belaka. Dalam pendidikan seks diberikan pengetahuan yang faktual, menempatkan seks pada perspektif yang tepat, berhubungan dengan self-esteem (rasa penghargaan terhadap diri), penanaman rasa percaya diri dan difokuskan pada peningkatan kemampuan dalam mengambil keputusan. Pendidikan seks penting bagi remaja agar mereka mendapatkan informasi yang benar dan akurat mengenai masalah seksual dan kesehatan reproduksi. Pendidikan seks untuk remaja bertujuan melindungi remaja dari
http://digilib.mercubuana.ac.id/
berbagai akibat buruk karena persepsi dan perilaku seksual yang keliru. Melalui pendidikan seks remaja diharapkan dapat menempatkan seks pada porsi yang tepat bahkan tidak kebablasan dalam menafsirkan arti seks serta mencoba mengubah anggapan negatif tentang seks. Rendahnya pemahaman tentang pendidikan seks dikarenakan masih banyaknya anggapan keliru mengenai pendidikan seks. Selanjutnya masa remaja adalah masa abu-abu, hitam bukan, putih pun bukan, karena pada masa remaja inilah banyak hal yang samar untuk dimasukkan dalam pemikiran orang dewasa, serta pada masa ini adalah masa tersulit untuk menebak perilaku, kemauan, serta identitas dirinya, karena pada masa ini mereka akan memunculkan identitas mereka masing-masing (Kristo, 2010). Menurut Hurlock (2000), dalam keadaan seperti itu berkembang pula fungsi-fungsi hormonal dalam tubuh remaja. Umumnya proses kematangan fisik lebih cepat terjadi dari pada proses kematangan psikologis. Melihat masa remaja sangat potensial dan dapat berkembang ke arah positif maupun ke arah negatif maka intervensi edukatif dalam bentuk pendidikan, bimbingan maupun pendampingan sangat diperlukan untuk mengarah potensi remaja tersebut agar berkembang dengan baik, ke arah positif dan produktif. Sehubungan dengan ini, masalah seks remaja sesungguhnya merupakan masalah yang sangat penting dan harus segera di antisipasi. Remaja diharapkan memiliki moral dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Jumlah remaja sangat besar merupakan potensi sumber daya manusia yang sangat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
berharga apabila dapat dibina dengan baik. Sebaliknya potensi yang besar tersebut apabila tidak dibina dengan baik, akan menimbulkan berbagai persoalan serius seperti yang terjadi saat ini. Seperti pelecehan dan kekerasan seksual, aborsi, pernikahan di usia muda, PMS (Penyakit Menular Seksual) termasuk HIV/AIDS, hubungan seksual pranikah, KTD (Kehamilan Tidak Dikehendaki) serta permasalahan sosial lainnya yang sangat berpengaruh terhadap kesiapan remaja untuk menyongsong masa depan. (Hurlock, 2000) Menurut survey yang dilakukan Annisa Foundation pada Juli-Desember 2006 tentang perilaku seks pelajar SMP dan SMA (swasta dan negeri) dikawasan Cianjur-Cipanas Jawa Barat yang melibatkan sekitar 412 responden itu, menemukan data bahwa responden yang belum pernah melakukan kegiatan seks berpasangan hanya 18,3 persen. Sementara lebih dari 60 persen telah melakukan kegiatan seks berpasangan. Sedangkan di Jakarta, Rita Damayanti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Depok, Jawa Barat barubaru ini melakukan penelitian terhadap 8.941 pelajar dari 119 SMA dan yang sederajat di Jakarta. Hasilnya, perilaku seks pranikah itu cenderung dilakukan karena pengaruh teman sebaya yang negatif. Apalagi bila remaja itu bertumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang sensitive terhadap remaja. Selain itu, lingkungan negatif juga akan membentuk remaja yang tidak punya proteksi terhadap perilaku orang-orang di sekelilingnya. (http://www.bkbn.go.id/ 29 Oktober 2014) Media informasi yang mutakhir sarat dengan pesan-pesan yang mendorong ibahan seksual (Sexual permissive), perilaku agresif (aggressiveness),
http://digilib.mercubuana.ac.id/
konsumerisme dan sekularisme. Bahkan perkembangan teknologi mengakibatkan semakin terbukanya arus informasi yang mengandung seks di tengah-tengah masyarakat (misalnya banyak film atau talkshow yang berbicara tentang seks di media baik cetak maupun elektronik) serta kemudahan dalam mengaksesnya (seperti melalui website di internet, VCD blue film, handphone dan lain-lain. Seks menjadi bagian yang penting dan selalu diadopsi oleh teknologi baru. (Brooks dalam George, 2004) Akibatnya remaja mendapatkan informasi seksualitas lebih dini dari generasi sebelumnya. Seperti yang diungkapkan oleh psikolog Elizabeth Hurlock (2000): “Anak-anak masa kini tidak luput dari banjir seks di media massa, semua banjir seks di media massa; semua bentuk media massa, misalnya komik, film, televisi, dan surat kabar, menyuguhkan gambar dan informasi tentang seks yang meningkatkan minat anak. Pertunjukan film dan televise yang untuk tujuh belas tahun ke atas atau hanya dibawah bimbingan orang tua makin memperbesar minat anak pada seks” Zelnik dan Kim (dalam Sarwono, 2004) menyatakan bahwa remaja yang telah mendapatkan pendidikan seks tidak cenderung lebih sering melakukan hubungan seks, tetapi mereka yang belum pernah mendapatkan pendidikan seks cenderung lebih banyak mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki. Menurut Sudibyo (2013), yang telah diungkapkan dan melalui hasil survey mengatakan: “Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia dalam SDKI 2012 mengungkap perilaku pacaran yang dinilai mengkhawatirkan. Banyak yang tidak tahu soal kesehatan reproduksi. Nggak tahu, tapi kok ingi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
coba-coba. Hampir 30 persen remaja sudah meraba-raba, dan itu pasti berlanjut. Kualitas pacaran remaja kita mengkhawatirkan". Menurut Sudibyo (2013), disinilah peran orangtua sangat diperlukan. Orangtua harus bersedia sebagai teman diskusi yang komunikatif, informatif dan menyenangkan, orang tua bisa mencegah perilaku seksual yang tidak sehat pada anak-anak remaja. “Jadi, orang tua tidak boleh menjadi figur yang menakutkan sehingga anak-anak sungkan mendiskusikan kesehatan reproduksi”. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja 2012 mengungkap beberapa perilaku berpacaran remaja yang belum menikah, antara lain, sebanyak 29,5 persen remaja pria dan 6,2 persen remaja wanita pernah meraba atau merangsang pasangannya, sebanyak 48,1 persen remaja laki-laki dan 29,3 persen remaja wanita pernah berciuman bibir, sebanyak 79,6 persen remaja pria dan 71,6 persen remaja
wanita
pernah
berpegangan
tangan
dengan
pasangannya.
(http://www.bkkbn.go.id/ 9 September 2014) Sebanyak 62,7 persen remaja SMP tidak perawan dan 21,2 persen remaja mengaku pernah aborsi. Perilaku seks bebas pada remaja tersebar di kota dan desa pada tingkat ekonomi kaya dan miskin. Data tersebut di dapat berdasarkan survei yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) tahun 2008, dari 4.726 responden siswa SMP dan SMA di 17 kota besar. Dari data Komnas PA juga diperoleh hasil, 97 persen remaja pernah menonton film porno serta 93,7 persen pernah melakukan adegan intim bahkan hingga melakukan seks oral. Jika mengacu pada data BKKBN tentang Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun 2002-2003, remaja yang mengaku
http://digilib.mercubuana.ac.id/
memiliki teman yang pernah berhubungan seksual sebelum menikah pada usia 1419 tahun mencapai 34,7 persen untuk perempuan dan 30,9 persen untuk laki-laki. (http://gaulglobal.wordpress.com 09 September 2014). Untuk itu peran sekolah, orangtua, media massa maupun pemerintah adalah memikirkan dan membuat program pendidikan seksual untuk remaja (Moglia dan Knowles, 1997 dalam Dariyo, 2004) Para orangtua mempunyai tanggungjawab yang besar untuk memberikan pendidikan seksual pada anak-anak mereka. Tetapi bagi sebagian orangtua memilih untuk tetap diam dan beranggapan bahwa anak-anak mereka akan memperoleh informasi yang mereka butuhkan lewat sekolah ataupun media. Serta sebagian orangtua yakin bahwa membicarakan masalah seks dengan anakanaknya akan menimbulkan rasa keingintahuan lebih yang mendorong mereka untuk melakukan hubungan seks (http://www.duniapsikologi.com 19 Oktober 2014). Orangtua harus dapat mendidik anaknya agar dapat memberikan penghargaan yang tepat terhadap uang dan pencahariannya, disertai pada pengertian kedudukan ekonomi keluarga secara nyata, bila tahap perkembangan anak telah memungkinkan (Dahlan, 2008). Peran orangtua dan keluargalah yang pertama kali memberikan pendidikan kepada mereka. Dengan begitu orangtua juga harus dapat menjelaskan mengenai pendidikan seks kepada mereka dengan secara terbuka. Untuk menjelaskan pendidikan seks bagi remaja sebaik mengangkat masalah mengenai gambaran biologi mengenai seks dan reproduksi,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
masalah hubungan, seksualitas, cara melindungi diri serta mengenai ancaman penyakit seksual menular. Menurut Sarwono (2005), secara psikologis berdasarkan pendapat para ahli bahwa ada perbedaan perilaku seksual antara remaja pria dan remaja wanita, yaitu laki-laki lebih cenderung daripada wanita untuk menyatakan bahwa mereka sudah berhubungan seks dan sudah aktif berperilaku seksual (Fieldman, Turner&Araujo, 1999: dalam Sarwono, 2005). Remaja putri menghubungkan seks dengan cinta. Alasan mereka untuk berhubungan seks adalah cinta, sementara itu, pada remaja pria kecenderungan ini jauh lebih kecil (Casseli, dalam Sarwono, 2005). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang terdahulu adalah terletak kepada subjek penelitian yang ingin diteliti, jika penelitian terdahulu hanya melihat dari sisi anak remaja saja. Dan penilitian saya dilihat dari seluruh pihak yaitu subjek penelitian yang digunakan adalah keluarga yang terdiri dari ibu dan ayah serta anaknya yang masih remaja serta metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Penelitian ini juga terinspirasi dari pengalam pribadi peneliti sendiri pada saat berada di usia remaja. Alasan lain mengapa penulis memilih keluarga untuk diteliti adalah berdasarkan pengalaman pribadi yang peneliti rasakan sendiri serta berdasarkan fenomena yang terjadi di lingkungan disekitar peneliti. Peneliti kurang mendapatkan pendidikan seks dari kedua orangtua penelitian dikarenakan menurut kedua orangtua peneliti, pendidikan seks merupakan hal yang tabu dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
tidak pantas untuk dibicarakan atau dibahas secara mendalam. Maka dari itu peneliti ingin mengetahui persepsi masing-masing yang dimiliki dari Ibu, Ayah, dalam memandang pendidikan seks serta ingin mengetahui persepsi anaknya dalam memandang pendidikan seks yang diterapkan oleh orangtuanya. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah dirumuskan diatas maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut “Bagaimana gambaran persepsi keluarga dalam memandang pendidikan seks yang diterapkan dalam keluarga?” C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran persepsi keluarga dalam memandang pendidikan seks yang diterapkan dalam keluarga. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini sebagai orangtua tahu bahwa peran orangtua dalam memberikan pendidikan seks kepada anak remaja sangat penting dan diberikan dengan tepat serta bermanfaat sesuai dengan penerapan dan informasi yang akurat agar mereka dapat bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri. 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui gambaran persepsi kelurga dalam memandang pendidikan seks yang di terapakan dalam keluarga agar anak remajanya mengetahui pentignya pendidikan seks, dan cara menyampaikan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
informasi kepada anak mereka tentang pendidikan seks. Dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk membantu para keluarga dalam memandang pendidikan seks yang diterapkan dalam keluarga mengenai pentingnya pendidikan seks bagi anak remajanya. Khususnya dalam membimbing dan memberikan penjelasan mengenai pendidikan seks kepada anak remaja.
http://digilib.mercubuana.ac.id/