BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Definisi Middle Income Trap (MIT) dan Penyebabnya Untuk menentukan definisi Jebakan Zona Pendapatan Menengah atau Middle Income Trap (MIT), terlebih dulu kita perlu mengetahui klasifikasi pendapatan. Menurut Bank Dunia (2013), pendapatan per kapita negara-negara di dunia diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori (lihat Tabel 1.1), yaitu: • Negara berpendapatan rendah (Low Income Economics): yaitu negara dengan Gross Nasional Income (GNI) perkapita sebesar $1.045 atau kurang • Negara berpendapatan menengah (Middle Income Economics): yaitu negara dengan GNI perkapita sebesar lebih dari $1.045 namun kurang dari $12.745. Karena
adanya
rank
yang
tinggi
kemudian
Bank
Dunia
kembali
mengklasifikasikan negara berpendapatan menengah ini kedalam dua bagian: a) Negara berpendapatan menengah ke bawah (Lower Middle income economics) yaitu negara dengan GNI perkpita antara $1.046 sampai dengan $4.125, b) Negara berpendapatan menengah keatas (Upper Middle Income Economics) yaitu negara dengan GNI perkapita antara $4.126 sampai $12.745. • Negara berpendapatan tinggi (Hight Income Economics): yaitu negara yang memiliki GNI perkapita lebih dari $12.745, negara ini juga disebut dengan negara maju.
Tabel 1.1. Kategori Pendapatan Menurut Bank Dunia No
Kataegori
Negara berpendapatan rendah Negara Negara berpendapatan berpendapatan menengah ke bawah 2 menengah Negara berpendapatan menengah keatas 3 Negara berpendapatan tinggi Sumber: Diolah dari Bank Dunia (2013) 1
GNI Perkapita ($1.045 atau kurang) ($1.046 sampai dengan $4.125) ($4.126 sampai dengan $12.745) (lebih dari $12.745)
Asian Development Bank (2012) juga membuat klasifikasi sendiri mengenai pendapatan negara berdasarkan PDB per kapita purchasing power parity (ppp). Sama dengan Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) membagi empat kategori, yaitu: (1) Negara berpendapatan rendah dengan pendapatan kurang dari $2.000 (ppp); (2) Negara berpendapatan ke bawah dengan pendapatan antara $2.000 sampai $7.500 (ppp); (3) Negara berpendapatan ke atas dengan pendapatan per kapita antara $7.250 sampai $11.750 (ppp); (4) Negara berpendapatan tinggi dengan pendapatan per kapita lebih dari $11.750 (ppp). Dari klasifikasi di atas, secara sederhana perangkap zona negara berpenghasilan menengah atau Middle income trap (MIT) adalah suatu konsep yang merujuk kepada negara-negara yang mencapai status pendapatan menengah atau middle income countries (MICs) dan mengalami kegagalan dalam mencapai tahapan zona pendapatan tinggi atau hight income countries (HICs). Hal ini dikarenakan tajamnya penurunan pertumbuhan atau terjadinya stagnasi pada pertumbuhan yang cukup lama (Wu, 2013). Diskusi pertama tentang MIT dicetuskan oleh Gill et al. (2007) melalui laporan “An East Asian Renaissance:
Ideas for Economic Growth.” Laporan ini menyatakan bahwa banyak negara di Amerika Latin yang mengalami pertumbuhan yang pesat karena kandungan kekayaan alam, kemudian mengalami stagnasi pertumbuhan yang cukup lama. Gill et al. melakukan penelitian pada empat negara Asia (Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina), dan menyaranakan agar negara-negara tersebut meningkatkan sturuktur ekonominya. Sejak itu, MIT semakin banyak dibahas dan dipelajari pada kajian-kajian ekonomi. Kerentanan terjadinya MIT pada negara berpendapatan menengah membuat banyak diskusi yang membahas tentang hal ini. Banyak peneliti yang kemudian memberikan pengertian tentang konsep MIT. Meskipun demikian, sampai saat ini definisi tentang MIT masih belum memiliki pengertian tetap karena masih banyak perbincangan dan perdebatan. Seperti yang dijelaskan oleh Xon et. al. (2013) Bahwa masih belum ada teori yang mendefinisikan MIT dengan tepat dan rinci, serta masih tidak adanya pendekatan khusus untuk mengidentifikasi apakah sebuah negara mengalami MIT atau tidak. Penelitianpenelitian sebelumnya terutama dilakukan berdasarakan pendekatan teoritis, namun akhir-akhir ini ada bebera peneliti telah mencoba untuk memeriksa MIT dengan menggunakan studi empiris seperti analisis indeks Catch-up dan analisis kesenjangan. Ada beberapa peneliti yang mencoba memberikan gambaran yang jelas mengenai MIT. Woo (2012) mengenalkan konsep Catch up index (CUI) yang menggunakan ukuran rasio pendapatan per kapita suatu negara dibandingkan dengan pendapatan per kapita Amerika Serikat. Menurut Woo, sebuah negara
akan terperangkap dalam zona MIT apabila CUI-nya menetap pada level 20-50% selama periode 1960-2006. Mengikuti definisi yang telah diterangkan olehnya, dia menemukan beberapa negara yang terperangkap dalam zona MIT diantaranya di negara bagian Amerika Latin (Argentina, Brazil, Chili, Meksiko, dan Venezuela) dan negara di kawasan Asia (Malaysia dan Thailand). Felipe et al. (2012) mengedintifikasi tahun ambang batas (threshold number of years) dengan memilih 28 negara zona pendapatan menengah ke bawah (lower middle income) dan 14 negara zona pendapatan menengah ke atas (upper middle income). Negara yang melewati ambang batas dari tahun yang telah ditentukan bisa diklasifikasikan sebagai MIT. Menurut Felipe et al., diantara sampel yang digunakannya (34 lower MICs dan 14 upper MICs) pada tahun 2010, terdapat 35 negara yang terjebak dalam zona MIT (30 lower MICs dan 5 upper MICs). Robertson et al. (2013) menerangkan sebuah uji coba untuk melihat eksistensi MIT dengan menggunkan data Penn World Tables (PWT). Seperti yang diterangkan dalam Tabel 1.2,
Robertson dan Ye memiliki klasifikasi MICs
sendiri, yaitu pada tahun 2010 negara yang tergolong dalam zona MICs ialah yang memiliki pendapatan per kapita sama dengan 8-36 persen pendapatan per kapita Amerika Serikat. Dalam penelitiannya, mereka menemukan bahwa dari 46 negara MICS yang mereka teliti, sedikit sekali negara yang akan terjebak dalam zona MIT.
Tabel 1.2. Klasifikasi Negara Pendapatan Menengah atau Middle Income Countries (MICs) Menengah ke Menengah ke Keterangan bawah atas World Bank $1.026-4.035 $4.036-12.475 US$/current prices Felipe et al. $2.000-7.250 $7.251-11.750 ppp$/1990 prices Woo PDB per kapita = 20-55% dari PDB per ppp$/1990 prices kapita Amerika Serikat Robertson dan Ye PDB per kapita = 8-36% dari PDB per ppp$/2005 prices kapita Amerika Serikat Sumber: Wu (2013) yang dikomlikasikan dari Felipe et al. (2012); Robertson dan Ye (2013); Woo (2012); dan World Bank (2013) Sumber
Setelah mengalami pertumbuhan yang pesat dan mencapai level negara pendapatan menengah biasanya negara-negara yang tidak mampu berkompetisi akan mengalami penurunan pertumbuhan (growth slowdown). Istilah growth slowdown ini diperkenalkan oleh Eichergreen et al. (2013). Menurut Xon et al. (2013), alasan negara yang mengalami perlambatan pertumbuhan ialah negara tersebut tidak mampu berkompetisi dengan negara yang memiliki upah yang rendah lainnya (low wage countries) dan kalah bersaing dengan negara maju yang memilki kecakapan (skill) dan pengembalian modal yang lebih baik. Selain alasan di atas, Eichengreen et al. (2013) juga menjelaskan bahwa growth slowdown memiliki korelasi dengan pertumbuhan yang tinggi pada periode sebelumnya, dengan struktur demografi yang tidak menguntungkan (tingkat rasio ketergantugan usia tua dan muda yang tinggi), rasio investasi yang tinggi (pertumbuhan didorong oleh pembentukan modal secara terus menerus yang akhirnya mengakibatkan ketidakstabilan), dan dengan nilai tukar yang
kurang berharga (sebagai akibat kurangnya insentif terhadap nilai tukar untuk meningkatkan penggunaan teknologi dari tenaga kerja yang tidak terampil, rendahnya nilai tambah sektor dan kemudian sulit untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi). Berdasarkan hasil analisis IMF dalam peneltian Aiyar (2013) terhadap negara-negara berkembang Asia pada tahun 2013, Malaysia, Filipina, dan China harus mewaspadai perlambatan pertumbuhan (growth slowdown). Dari hasil empiris tersebut IMF menyimpulkan bahwa peran istitusi dari segi peran hukum yang kuat dan sedikit peran pemerintah dalam peraturan memiliki pengaruh terhadap perekonomian sebuah negara. Hasil analisa IMF juga mencakup China, India, Indonesia, dan Vietnam. Dimana variabel yang lebih diwaspadai dari empat negara tersebut dari perlambatan pertumbuhan (growth slowdown) adalah dari segi transportasi dan infrastruktur. Transportasi dan Infrastruktur yang baik dapat meningkatkan kegiatan perekonomian sebuah negara karena dengan konektivitas yang baik dan infrastruktur yang memadai akan memperlancar kegiatan produktivitas sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, jika dilihat secara keseluruhan, Thailand dan Filipina lebih terintegrasi dengan baik melalui beberapa variabel penentu pendapatan perkapita yang dianalisis oleh IMF (Lubis, 2014). Dari berbagai penyebab adanya MIT yang beragam, tentunya ada satu pandangan yang konsisten dalam menjelaskan hal ini. Sebagai negara berkembang yang memiliki pertumbuhan yang pesat sehingga mencapai level MICs, upah di negara tersebut akan naik, ekspor manufaktur akan bersaing ketat dengan negara
lain yang memiliki upah lebih besar. Kemudian, negara tersebut dihadapakan pada persaingan dengan negara maju yang lebih mampu memproduksi produk dengan nilai lebih tinggi. Tatangannya ialah negara berpendapatan menengah harus mampu merubah haluan dari pertumbuhan berbasis sumber daya alam dengan tenaga kerja murah ke pertumbuhan yang berbasis produktivitas tinggi (Wilson, 2014)
1.1.2. Kerentanan Negara Berpendapatan Menengah Terhadap MIT Wu (2013) melakukan obeservasi menggunakan data Penn World Table dari 109 negara tahun 1961-2010. Dari penelitian Wu tersebut ditemukan bahwa dari total 61 MICs pada tahun 1961 terdapat 37 negara yang masih stagnan pada level tersebut atau terjebak dalam zona MIT dan 24 negara lainnya sukses menembus zona negara berpenghasilan tinggi hinnga tahun 2010. Artinya lebih dari 60 persen MICs yang masih terperangkap zona berpendapatan dalam kurun waktu 50 tahun. Kasus lainnya ialah tiga negara (Iran, Meksiko, dan Gabon) yang awalnya menembus negara berpenghasilan tinggi kembali lagi menjadi negara berpenghasilan menengah (lihat Tabel 1.3). Menurut Wu, kriteria penetapan MIT tergantung pada waktu yang digunkan dalam melihat batas akhir penelitian. Wu mencontohkan jika rentang waktu yang digunakan selama 50 tahun (1961-2010) maka akan terdapat 37 negara yang masuk zona MIT. Hal ini tentunya berbeda jika rentang waktu yang digunakan hanya selama 20 tahun. Selama kurun waktu tersebut, negara yang masuk dalam zona MIT berjumlah 47 negara dari total 61 MICs. Istilah waktu rentang ini dikenal dengan nama time horizon.
Tabel 1.3. Perubahan Jumlah Negara Pendapatan Menengah, 1961-2010
Tahun 1961 1971 1981 1991 2001 2010 Sumber: Wu (2013)
Jumlah Negara yang berstatus MICs
Jumlah Neagara yang Menembus HICs
61 51 47 45 44 37
10 5 3 1 8
Jumlah Negara yang Kembali Lagi Menjadi MICs
1 (Iran) 1 (Meksiko) 1 (Gabon)
Bank Dunia (2012) mengungkapkan bahwa dari total 101 negara pendapatan menengah pada tahun 1960, hanya terdapat 13 negara yang lolos menjadi negara pendapatan tinggi pada 2008. Sedangkan 88 negara lainnya masih berusaha keluar dari perangkap ini. Contoh negara yang berhasil bertransisi tersebut adalah negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Adapun negara yang terjebak dalam status MIEs sebagian besar adalah negara-negara Amerika Latin. Selain itu, ADB (2012) juga menyatakan bahwa pada tahun 2010 hanya terdapat 17 negara yang lolos dari jebakan MIT dan 35 lainnya masih terperangkap, bahkan 30 diantaranya tak bergerak dari zona pendapatan menengah ke bawah (lower middle income). Dari beberapa keterangan di atas tentunya kemungkinan terbesar yang dialami negara pendapatan menengah ialah terjebak dalam MIT. Namun, jika negara-negara tersebut berkomitmen dalam melakukan transformasi, tidak disangsikan bahwa mereka bisa lolos dari jebakan. Transformasi yang bisa
dilakukan ialah: (1) transformasi dari diversifikasi industri ke spesialisasi industri; (2) transformasi dari pertumbuhan berbasis faktor produksi ke pertumbuhan berbasis
peningkatan
produktivitas;
(3)
transformasi
dalam
pengalihan
kelembagaan yang besifat sentralistik ke kelembagaan yang bersifat desentralistik (Kharas dan Kohli, 2011).
1.1.3. ASEAN dan Jebakan Zona Pendapatan Menengah (MIT) Menurut Fang (2012), Asia Tenggara adalah salah-satu wilayah yang paling cepat berkembang di dunia setelah Perang Dunia II, perkembangan ekonomi telah sangat luar biasa, akan tetapi masih belum seragam di seluruh negara pada kawasan ini. Beberapa negara telah mencapai level pendapatan tinggi dalam waktu yang singkat. Sejauh ini hanya Jepang, Makau, Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong yang telah berhasil melewati perangkap negara berpenghasilan menengah dan berubah menjadi negara dengan ekonomi yang tinggi. Rata-rata negara-negara tersebut tumbuh menjadi negara maju pada akhir 80-an dan awal 90-an (Carnovale, 2012). Dari kriteria Bank Dunia tentang klasifikasi pendapatan negara, pada tahun 2014 terdapat enam negara ASEAN yang masuk dalam kategori pendapatan menengah. Malaysia dan Thailand sudah mencapai pendapatan menengah ke atas masing-masing dengan PDB per kapita $1830 dan $5561. Sedangkan Indonesia, Vietnam, dan Filipina berada pada zona pendapatan menengah ke bawah. Negara yang terakhir adalah Laos yang baru masuk dalam zona negara MICs (lihat Tabel 1.1).
Gambar 1.1. PDB Per Kapita 5 Negara ASEAN, 1960-2014 (PPP 2005 $)
Sumber: Diolah dari Bank Dunia (2015)
Xon et al. (2013) menyatakan bahwa Indonesia sudah 7 tahun berada di zona pendapatan menengah ke bawah dan masih memiliki waktu 18 tahun dari 2011 (25 tahun ambang batas) untuk menghindar dari MIT. Hal ini bisa tercapai dengan syarat pertumbuhan GNI perkapita harus berada dikisaran 8,4 persen setiap tahun. Xon et al. juga mengestimasi bahwa Indonesia akan mencapai zona negara berpendapatan tinggi kurang lebih 11 tahun dari 2011, melihat rata-rata pertumbuhan tahun 2002 sampai 2011 yang mencapai 14,94 persen. Untuk Filipina masih selamat dari MIT, namun waktu yang tersisa hanya 9 tahun dari 2011 dengan pertumbuhan wajib 21,20 persen setiap tahun. Thailand yang sudah mencapai zona pendapatan menengah ke atas hanya memiliki waktu 2 tahun untuk menyelamatkan diri dari MIT dengan 67,62 persen pertumbuhan yang harus
dicapai setiap tahun. Untuk Vietnam tidak termasuk negara yang diteliti, Sedangkan Malaysia sudah digolongkan negara yang mengalami MIT, karena Malaysia sudah 34 tahun berada pada zona pendapatan menengah (25 tahun ambang waktu). Untuk negara-negara lain, selengkapnya perhatikan Tabel 1.4.
Tabel 1.4. Negara Pendapatan Menengah Yang Terjebak MIT dan Tidak pada 2011 Negara
GNI per kapita tahun 2011 $
Jangka waktu berada di MI sampai 2011
Jangka waktu sebelum jatuh ke MIT
Rata-rata pertumbuh an % (20022011)
Estimasi Jangka waktu mencapai HI
16 22 24 18 9 2 MIT MIT
Rata-rata pertumbuhan yang dibutuhkan agar terhindar dari MIT, % 5,96 10,42 10,56 8,36 21,20 67,62 MIT MIT
Cina India Pakistan Indonesia Filipina Thailand Malaysia Turki
4940 1410 1120 2940 2210 4440 8770 10410
9 3 1 7 16 23 34 36
15,97 11,20 8,47 14,94 7,54 8,59 9,16 11,04
7 21 30 11 24 13 5 2
Argentina
9740
47
MIT
MIT
3,32
8
Brazil
10720
36
MIT
MIT
11,81
2
Sumber: Diolah dari Xon et al. (2013)
Risiko terjebak dalam MIT menjadi masalah yang harus dihadapi Indonsia. Indonesia memerlukan langkah terobosan agar mencapai titik aman dan masuk dalam HICs pada tahun 2030. Tahun 2030 ini merupakan akhir dari bonus demografi yang dimiliki Indonesia (Kemenkeu, 2013). Seperti yang terlihat pada Gambar 1.2, Indonesia masih harus merayap jauh agar bisa terselamatkan dari
perangkap negara berpendapatan menengah (MIT). Indonesia harus mampu menyelesaikan tantangan baik tantangan eksternal maupun internal. Tangtangan eksternal berupa ketidakpastian kinerja dan pertumbuhan ekonomi global dan mitra dagang utama, risiko gejolak arus likuiditas global, dan risiko gejolak harga komoditas global termasuk harga minyak dunia. Sedangkan untuk tantangan internal, Indonesia harus mampu mampu memperkuat daya tahan perekonomian domestik, memperbaiki produktivitas dan daya saing, memperbaiki kinerja fiskal dan APBN, serta harus mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan kesenjangan. Dengan kesiapan dari berbagai kalangan baik pemerintah maupun swasta, Indonesia diharapkan mampu memantapkan langkah menjadi negara maju (Kemenkeu, 2013).
Gambar 1.2. Pendapatan per Kapita Indonesia dan Tantangan Melewati MIT (ppp 2005 $)
Sumber: Bank Dunia (2013), Kemenkeu (2013)
Senada dengan Kemenkeu, Bank Dunia (2014) menyarakan bahwa agar Indonesia dapat mencapai status berpenghasilan tinggi pada tahun 2030 (12.000 dolar AS), maka Indonesia harus mencatat pertumbuhan sebesar 9 persen per tahun pada 16 tahun berikutnya. Bila tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi ini tidak tercapai, maka pertumbuhan setidaknya di atas “kecenderungan” pertumbuhan yang ada sekarang, yaitu pada level 5-6 persen. Hal ini dibutuhkan agar negara ini terhindar dari perangkap pendapatan menengah. Pendapatan per kapita di Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan Hong Kong semuanya telah berada di atas 12.000 dolar AS ketika populasi negara-negara itu mulai menua (lihat Gambar 1.3). Bagi Indonesia, akan dibutuhkan pertumbuhan yang sangat cepat untuk mencapai hal itu. Untungnya, Indonesia memiliki kemampuan untuk melakukannya, namun dibutuhkan implementasi berbagai reformasi yang serius. Kemenkeu (2013) dalam diskusi yang bertemakan “Mencegah Middle Income Trap dengan Memanfaatkan SDA yang Lebih Strategis” menyatakan bahwa Indonesia harus memetik pelajaran dari Korea Selatan agar mampu bertransformasi dalam menghadapi MIT. Transformasi yang harus dilakukan ialah transformasi ekonomi dan transformasi ketenagakerjaan. Transformasi ini memiliki arti bahwa harus ada peralihan dari upah rendah dan ekonomi berbasis tenaga kerja menuju produktivitas tinggi, basis pelayanan, dan ekonomi yang berbasis inovasi (low wage, labor-intensive economy to high-prodctivity, servicebase, and innovative-based economy).
Gambar 1.3. Pendapatan Per Kapita yang dicapai Ketika Deviden Demografis Berakhir, dibandingkan Indonesia (2030)
Sumber; Bank Dunia (2014)
Kemenkeu (2013) juga menyebutkan bahwa terdapat beberapa negara yang mampu bertransformasi menjadi negara maju, diantaranya Korea Selatan yang hanya membutuhkan waktu tujuh tahun untuk menyelaraskan diri dengan negara-negara maju lainnya (lihat Tabel 1.5). Selain Korea Selatan, Hongkong terlebih dahulu menjadi negara yang mampu mencapai HICs diikuti Singapura dan Taiwan pada tahu 80-an sampai awal 90-an. Empat negara ini kemudian mendapat julukan macan Asia (Carnovale, 2012).
Tabel 1.5. Negara Non-Eropa Yang Sukses Mencapai Pendapatan Tinggi atau High Income Countries (HIC) Tahun Jangka waktu mencapai Tahun Mencapai Negara Kawasan berada di Upper HICs Upper MICs MICs Hongkong Asia 1976 1983 7 Jepang Asia 1968 1977 9 Korea Asia 1988 1995 7 Selatan Singapura Asia 1978 1988 10 China Asia 1986 1993 7 Taiwan Chili Amerika Latin 1992 2005 13 Argentina Amerika Latin 1970 2010 40 St. Kitts & Amerika Latin 1980 2008 28 Navis Arab Saudi Timur Tengah 1971 1980 9 Israel Timur Tengah 1969 1986 17 Mauritius Afrika 1991 2003 12 Sumber: Kemenkeu (2013); Xon et al. (2013)
Seperti yang dilaporkan oleh Kemenkeu (2013), rata-rata Pertumbuhan PDB Per kapita 1980-2012 (USD PPP 2005) sebesar 3,7 persen atau 5,4 persen untuk PDB riil. Dengan asumsi rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 1,3 persen, untuk mencapai pendapatan tinggi seiring berakhirnya bonus demografi pada tahun 2030, maka pertumbuhan PDB per kapita harus mencapai 5,7 persen setiap tahun atau PDB riil tumbuh antara 6,9 persen sampai 7,0 persen (lihat Tabel 1.6 dan Gambar 1.4).
Gambar 1.4. Proyeksi PDB Per Kapita Indonesia (PPP, 2005 USD)
Sumber: Kemenkeu (2013)
Tabel 1.6. PDB per Kapita, Pertumbuhan PDB per Kapita, Pertumbuhan PDB Riil, dan Pertumbuhan Populasi Indonesia, 2012 dan Sasaran 2031
Sumber: Kemenkeu (2013)
Pencapaian
yang
diharapkan
tersebut
membutuhkan
transformasi
struktural yang mampu mendorong peningktan pertumbuhan. Transformasi tersebut ialah peningkatan produktivitas, transformasi ekonomi dan tekhnologi, penyelesaian masalah ketimpangan (inequality). Terkait produktivitas, Indonesia
masih jauh di bawah China dan sedikit di bawah Vietnam (lihat Gambar 1.5). Namun, Indonesia masih lebih baik dari negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Thailand, begitu pula dengan Filipina (OECD, 2013).
Gambar 1.5. Produktivitas Tenaga Kerja 5 Negara ASEAN dan China (Index 2000=100)
Sumber: OECD (2013) dengan database Asian Productivity Organization (APO)
Menurut Bank Dunia (2014), Indonesia sebenarnya cukup beruntung karena memiliki pilihan dalam pembiayaan reformasi tanpa mengganggu prospek fiskal jangka panjang. Kesulitannya terletak dalam pelaksanaan reformasi, khususnya
dalam memasuki kerangka kerja institusi
yang rumit dan
terdesentralisasi. Namun Indonesia harus berupaya sekeras-kerasnya agar terhindar dari MIT.
Dalam dekade mendatang, ada empat hal utama, dalam dan luar negeri, yang dapat dijadikan tumpuan harapan bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Keempat hal ini ditengarai dapat—dengan dukungan rangkaian kebijakan yang baik, menjadi faktor pendorong pertumbuhan yang kuat, atau bisa disebut sebagai faktor penarik dalam membentuk masa depan perekonomian. Faktor-faktor itu ialah kondisi demografis, perkembangan urbanisasi, harga komoditas, dan perkembangan di Tiongok. Namun, sementara faktor-faktor yang berpotensi menguntungkan tersebut tidak akan membuahkan hasil tanpa disertai dengan reformasi, Indonesia tetap menghadapi dua risiko: risiko perlambatan pada pertumbuhan jangka panjang dan risiko pertumbuhan yang tidak cukup inklusif (Bank Dunia, 2014). Perlambatan pertumbuhan terjadi terutama di negara berpenghasilan menengah (IMF, 2013). Sebagai contoh (Gambar 1.6), Brasil tumbuh secara pesat pada tahun 1960an dan 1970an. Lalu sejak tahun 1981, ketika PDB per kapitanya mencapai 3.939 dolar AS (sedikit di atas PDB per kapita Indonesia saat ini), Brasil mulai mencatat perlambatan pertumbuhan relatif yang berkepanjangan, hingga tahun 2004.1 Pengalaman serupa juga terjadi di Meksiko, yang mencatat perlambatan pertumbuhan berkepanjangan selama lebih dari 20 tahun setelah tahun 1981 ketika PDB per kapitanya berjumlah 6.965 dolar AS. Afrika Selatan pun mencatat tren serupa (World Bank, 2014). Risiko ini harus diperhatikan secara serius oleh Indonesia agar tidak terjebak dalam MIT.
Gambar 1.6. Brasil, Meksiko, dan Afrika Selatan mencatat perlambatan yang relatif panjang
Sumber: Bank Dunia (2014)
Risiko kedua yaitu pertumbuhan yang tidak cukup inklusif. Meskipun Indonesia mampu menghindari perlambatan pertumbuhan yang berkepanjangan, pertumbuhan mungkin tidak inklusif, yaitu manfaat dan kesempatan yang tersedia tidak terdistribusi secara merata pada seluruh penduduk. Dari tahun 1999 hingga 2012, tingkat kemiskinan telah berkurang separuhnya: dari 24 persen menjadi 12 persen. Namun pada tahun 2012, sekitar 65 juta jiwa masih hidup di antara garis kemiskinan nasional dan tingkat 50 persen di atas garis itu. Seperti terlihat pada Gambar 1.7, selama periode tahun 2003-10, pertumbuhan riil konsumsi per kapita bagi 40 persen kelompok rumah tangga paling miskin hanya 1,3 persen per tahun, dibanding 3,5 persen bagi 40 persen kelompok rumah tangga berikutnya, dan 5,9 persen bagi 20 persen bagi kelompok rumah tangga di paling atas (World Bank, 2014)
Gambar 1.7. Kelompok rumah tangga yang lebih miskin mencatat pertumbuhan konsumsi riil yang lebih rendah dibanding rata-rata seluruh kelompok rumah tangga selama tahun 2003-10
Sumber: Susenas dan perhitungan Bank Dunia. Catatan: Growth Incidence Curve (GIC) menunjukkan laju pertumbuhan konsumsi tahunan antara dua periode untuk setiap persentil dalam distribusi. Dengan demikian, GIC menunjukkan bagaimana rata-rata pertumbuhan konsumsi didistribusikan lintas seluruh distribusi rumah tangga. Lihat laporan Bank Dunia (yang akan datang) tentang Inequality of Income and Consumption in Indonesia.
Dengan demikian, agar PDB per kapita Indonesia dapat menyusul negaranegara berpenghasilan tinggi secara cepat, pemacuan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja menjadi sangat penting. Selain mendorong perekonomian menuju situasi yang dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi, strategi pertumbuhan yang didorong oleh produktivitas juga penting bagi Indonesia untuk meminimalisir kerentanan dan meningkatkan daya saing sektor swastanya. Tentunya, tekanan politis untuk meningkatkan upah tampaknya tidak akan melemah di Indonesia. Dalam konteks ini, satu-satunya jalan untuk mengakomodir peningkatan upah tanpa mengganggu daya saing adalah dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja (Bank Dunia, 2015).
1.2. RUMUSAN MASALAH Beberapa tahun terakhir, pembahasan mengenai perangkap zona pendapatan menengah atau Middle Income Trap (MIT) sering didiskusikan. Hal ini terkait dengan dampak negatif yang akan dirasakan suatu negara bila tidak mampu
keluar
dari
jebakan
tersebut.
Dampak
negatif
ini
meliputi
ketidakmampuan negara tersebut dalam melakukan transformasi baik dalam meningkatkan produktivitas, inovasi, tekhnologi, mengatasi kesejahteraan dan kesenjangan sosial, maupun persaingan dalam ekonomi global. Sedangkan negara yang mampu lolos dari MIT, tentunya memiliki basis ekonomi yang kuat sehingga mampu menyelaraskan kekuatannya dengan negara-negara maju atau negara zona pendapatan tinggi. Karena masih belum adanya penjelasan dan metode yang memaparkan MIT dengan tepat dan jelas, tentunya sangat sulit dalam menentukan apakah suatu negara terjebak dalam MIT atau tidak. Namun, belakangan ini banyak peneliti yang sudah menggunakan penjelasan dan metode penelitian yang cukup baik dalam menentukan MIT. Hal ini mempermudah pengambil kebijakan (policy maker) dalam mengemplementasikan kebijakan yang efektif agar negaranya terhindar dari MIT. Meskipun penjelasan MIT masih belum menemukan kesepakatan bersama, akan tetapi peneliti-peneliti sebelumnya banyak membahas tentang arti MIT, kenapa suatu negara bisa lolos atau terjebak dalam MIT, dan beberapa masukan dan arahan kebijakan yang bisa diterapkan dalam meghindari perangkap ini. Kajian-kajian tersebut banyak membantu dalam penyelesaian penelitian ini.
Meskipun demikian, penjelasan tentang MIT tergantung bagaimana seseorang menguji performa pertumbuhan ekonomi di setiap negara (Xon et al., 2013). Selanjutnya, dalam penelitian ini akan difokuskan membahas mengenai pengertian MIT, apakah MIT benar-benar ada, dan bagaimana cara mnegetahui serta menghindarinya. Penelitian ini akan terkonsentrasi pada pertanyaan-pertanyaan tentang: 1. Apakah setiap performa pertumbuhan ekonomi suatu negara mampu catch-up dengan ekonomi Amerika yang merupakan economic leader? 2. Negara mana saja yang mengalami MIT dan negara mana saja yang mampu keluar dari jebakan MIT? 3. Negara mana saja yang harus melakukan antisipasi agar terhindar dari MIT dan berapa besar pertumbuhan ekonomi yang harus dicapai agar terbebas dari MIT? 4. 5 negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam) apakah termasuk dalam kategori MIT? Bagaimana performa negara-negara tersebut? 5. Faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan ke lima negara tersebut agar terhindar dari MIT?
1.3. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan latar belakang dan permasalahan pokok yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengamati performa pertumbuhan ekonomi suatu negara relatif terhadap pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang merupakan economic leader. 2. Mengidentifikasi negara apa saja yang berada dalam perangkap zona pendapatan menengah atau middle income trap (MIT). 3. Menghitung threshold number of years atau berapa lama suatu negara dapat bertahan dari MIT, dan berapa besar pertumbuhan yang dibutuhkan suatu negara agar bisa terhindar dari MIT. 4. Menghitung performa pertumbuhan 5 negara ASEAN, apakah negara tersebut akan terperangkap atau tidak . 5. Mencoba melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap performa pertumbuhan ekonomi lima negara ASEAN tersebut agar terhindar dari MIT.
1.4. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dan manfaat: 1. Sebagai bahan informasi dan referensi dalam bidang ilmu ekonomi pembangunan. 2. Sebagai bahan pertimbangan untuk pemerintah pusat dan daerah dalam mengambil keputusan kebijakan pembangunan.
1.5. SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian ini terdiri dari enam bagian, dengan susunan atau sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan menjelaskan latar belakang permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II SURVEI LITERATUR Survei literatur menjelaskan teori yang mendasari penelitian ini, dilengkapi dengan studi empiris yang menjelaskan hasil temuan penelitian sebelumnya. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan metodologi penelitian yang akan digunakan dalam penelitian. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab IV menjelaskan hasil temuan penelitian. Hasil temuan penelitian adalah jawaban atas seluruh pertanyaan penelitian yang telah disebutkan di Bab I. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang disarikan dari hasil penelitian. BAB VI DAFTAR PUSTAKA Bab ini berisi daftar pustaka yang menjadi referensi bagi penulis.