BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Ruang adalah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara pada dasarnya kesediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut,dan untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman,nyaman,produktif,
dan
berkelanjutan maka diperlukan kebijakan penataan ruang yang dapat memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negative lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Wilayah adalah sebuah daerah yang dikuasai atau menjadi teritorial dari sebuah kedaulatan. Pada masa lampau, seringkali sebuah wilayah dikelilingi oleh batas-batas kondisi fisik alam, misalnya sungai, gunung, atau laut. Sedangkan setelah masa kolonialisme, batas-batas tersebut dibuat oleh negara yang menduduki daerah tersebut, dan berikutnya dengan adanya negara bangsa, istilah yang lebih umum digunakan adalah batas nasional. 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disusun agar penyelengaraan otonomi daerah lebih menekankan pada prinsipprinsip demokrasi,peran serta masyarakat,pemerataan dan keanekaragaman daerah. Upaya tersebut dilakukan melalui pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Dengan adanya
1
http://id.wikipedia.org/wiki/Wilayah (diakses pada tanggal 23 November 2011 pukul 15.35)
11 Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini membuka peluang dan kesempatan bagi daerah agar lebih berdaya termasuk adanya keberdayaan masyarakat setempat sehingga baik langsung maupun melalui DPRD seluruh aspirasi masyrakat dapat terserap dan tersalurkan dalam penentuan berbagai keputusan pemerintah daerah dan DPRD dalam melaksanakan roda pemerintahan daerah. Dalam kaitan dengan penyelengaraan pembangunan daerah perkotaan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini mengatur juga mengenai masalah kawasan perkotaan baik menyangkut masalah status daerah/kawasan perkotaan, pemerintah,
pengelolaan
kawasan,
pelibatan
swasta
dan
pemberdayaan
masyarakat dalam pembangunan perkotaaan. Hal-hal mengenai pengelolaan Kawasan perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) atau peraturan perunndang-undangan lainnya. Undang- undang tersebut kemudian diperbaharui menjadi Undang-Undang No.32 Tahun 2004. Undang- undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang 22 Tahun 1999 memberi tekanan yang sama terhadap desentralisasi dan otonomi daerah. Bagi pemerintah daerah, menurut Undang-Undang ini memiliki lebih banyak kewenangan dan penyelengaaran pemerintahan di tingkat lokal dan diberikan kewenangan melaksanakan semua tahapan siklus pengelolaan di wilayah kabupaten/kota. Dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 pada bab X bahwa kewenangan pengelolaan kawasan perkotaan menjadi tanggungjawab pemerintah kota (termasuk pemerintah DKI Jakarta) dan pemerintah kabupaten. Dalam
12 Universitas Sumatera Utara
perencanaan
pelaksanaan
pembangunan
dan
pengelolaan
kawasan
perkotaan,pemerintah daerah mengikutsertakan masyarakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat (pasal 99 ayat 6). Sedangkan pengaturan mengenai penatan ruang dan penyediaan fasilitas pelayanan umum di kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dapat dikelola secara bersama oleh daerah terkait (pasal 99 ayat 1 butir c dan ayat 4). Selain pasal 99 masih terdapat pasal-pasal yang sangat berkaitan dengan masalah kerjasama pembangunan perkotaan antara lain pasal 195 dan 196. Kedua pasal ini memberikan ruang kepada daerah untuk mengadakan kerjasama dengan daerah lain serta dengan pihak ketiga dengan pertimbangan efektivitas dan efesiensi pelayanan publik,sinergi dan saling menguntungkan. Bagi kerjasama yang membebani masyarakat dan daerah maka diharuskan mendapat persetujan DPRD. Semua ketentuan tersebut ditetapkan dengan peraturan daerah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. 2 Dengan adanya Undang – Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, setiap provinsi maupun kabupaten/ kota wajib memiliki peraturan daerah mengenai tata ruang. Provinsi diberikan waktu dua tahun untuk menyesuaikan atau menyusun Perda Tata Ruang sesuai aturan dalam Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007. Sementara, kabupaten/kota diberikan waktu tiga tahun. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 diundangkan pada April 2007 dan mulai berlaku saat itu juga. Artinya, pada tahun 2009 semua provinsi sudah harus 2
Soegijoko, Budhy Tjahjati Sugijanto dkk. 2005.Pembangunan Kota Indonesia dalam abad 21:Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan Indonesia. Urban and Regional Institute (URDI) dan Yayasan Sugijanto dan Soegijoko.FE UI.Jakarta.
13 Universitas Sumatera Utara
memiliki perda yang sesuai dengan ketentuan Undang – Undang .Untuk kabupaten/kota, batas waktunya adalah bulan April tahun 2010, tetapi yang terjadi yaitu daerah terkesan lambat dalam pembentukan Peraturan Daerah (perda) mengenai tata ruang. Padahal, perda ini sangat penting untuk mendorong perbaikan pembangunan di daerah. Kendati masih ada provinsi, kabupaten/ kota yang belum memiliki perda mengenai rencana tata ruang wilayah, tidak bisa juga dikatakan bahwa pembangunan di provinsi, kabupaten/ kota itu tidak berjalan dan walaupun banyak daerah yang telah memiliki perda rencana tata ruang wilayah, belum tentu daerah tersebut telah tertata dengan baik sesuai dengan rencana tata ruang yang ada di daerahnya masing-masing, karena masih banyak ditemukan daerah yang demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah, pemerintah daerah tersebut mengeluarkan kebijakan pemanfaatan tata ruang yang tidak konsisten dengan perda tata ruang yang telah disusun. Adanya undang-undang otonomi daerah tersebut hingga sekarang masih banyak ditemukan permasalahan dan kendala pembangunan, terutama dalam kerangka pembangunan wilayah. Beberapa permasalahan dalam pembangunan wilayah antara lain mencakup : (1). Ketidakseimbangan antar kota-kota besar metropolitan dengan kota-kota menengah dengan kota-kota menengah dan kecil, (2) Kesenjangan pembangunan antara desa dan kota,(3) Belum berkembangnya wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh,(4)Banyaknya wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan Proses perencanaan kota menggunakan suatu prosedur tertentu untuk mengumpulkan informasi, membuat rekomendasi dan melakukan tindakan. Proses
14 Universitas Sumatera Utara
tersebut juga menggunakan suatu system analisis yaitu sistem untuk mempelajari situasi dan mencapai kesimpulan yang rasional berkaitan dengan kebutuhan kota,sasaran dan arahan yang terbaik. 3 Dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) pada hakekatnya merupakan suatu paket kebijakan umum pengembangan daerah. Rencana tata ruang merupakan hasil perencanaan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang. Kebijakan yang dirumuskan pada dokumen ini merupakan dasar strategi pembangunan spasial, baik yang berkenaan dengan perencanaan tata ruang yang lebih terperinci (RDTRK, RTBL), maupun rencana kegiatan sektoral seperti kawasan perdagangan, industri, pemukiman, serta fasilitas umum dan sosial. Dalam implementasinya, pemanfaatan ruang dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal, sehingga apabila terjadi suatu penyimpangan atau pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW, maka perlu untuk disempurnakan, baik dalam format evaluasi maupun revisi supaya RTRW tersebut tetap aktual, mampu mengakomodir aktivitas kota dan dapat dipedomani oleh setiap stakeholder dalam pembangunan kota. Dalam operasinalisasinya, rencana tata ruang harus memiliki kekuatan hukum berupa peraturan daerah. 4 Kota Medan dengan jumlah penduduk lebih dari dua juta jiwa, telah ditetapkan didalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sumatera Utara sebagai Pusat
3
Branch. C. Melville. 2005. Perencanaan Kota Komprehensif. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal 107 4
http://www.malangkota.go.id/pdf/Bahan_Web_rtrw.pdf (diakes pada tanggal 3 Desember 2011 pukul 16:05)
15 Universitas Sumatera Utara
Kegiatan Nasional (PKN), adanya fungsi dan peranan tersebut membawa konsekuensi yang cukup besar bagi perkembangan kota dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi permasalahan-permasalahan kota metropolitan pada umumnya
seperti
urbanisasi,kemacetan
dan
kepadatan
penduduk,ketidaknyamanan dan arus komuter. Kota Medan saat ini pantas disebut sebagai unmanaged city. Kota ini, dilihat dari susunan Tata Ruang Kota tidak lagi merupakan kota idaman seperti yang dimaksudkan pada awal pendirian sebuah kota. Dan kota inipun tidak mungkin dapat ditata ulang sebagai sebuah kota harapan. Tata ruang kota Medan telah berantakan dan telah menghilangkan jati dirinya sebagai kota idaman, sebagai suatu pertanda begitu ganasnya kelompok bisnis dan elite kota memanfaatkan bagian bagian kota yang sebenarnya tidak pantas dijadikan kegiatan bisnis. 5 Salah satu yang menjadi kelemahan Kota Medan dalam hal pembangunan infrastruktur, adalah pembangunan sepenuhnya kepada pihak swasta. Sedangkan pihak Pemerintah hanya terlibat mengurus masalah perizinan. Yang idealnya pemerintah harus dapat menyusun rencana dan pelaksanaanya bisa saja diserahkan oleh pihak swasta. Selain itu, masalah pemberian izin untuk mendirikan bangunan. Dinas TRTB dinilai masih diskriminasi. Ini terbukti masih ada kita
5
http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2849:koflik-tataruang-kota-medan&catid=59:opini&Itemid=215 ( diakses pada tanggal 23 November 2011 pukul 15:45)
16 Universitas Sumatera Utara
jumpai di beberapa kawasan Kota Medan yang seharusnya tak layak untuk dapat izin, Namun dalam kenyataanya bangunan tersebut tetap kokoh berdiri. 6 Untuk mengantisipasi permasalahan ini sangat dibutuhkan produk rencana tata
ruang
yang
berkualitas
untuk
menciptakan
kota
Medan
yang
aman,nyaman,produktif dan berkelanjutan serta mempunyai daya saing dan daya tarik sebagai daerah tujuan investasi. Seperti yang kita ketahui bahwa Pemerintah Kota Medan telah memiliki rencana tata ruang wilayah berupa peraturan daerah yakni Peraturan Daerah Kota Medan No.13 Tahun 2011. Dengan adanya Peraturan Daerah ini maka Kota Medan dapat mengarahkan pembangunan di Medan dengan memanfaatkan ruang wilayah secara serasi,seimbang dan berdaya guna, berbudaya dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat,yang berkeadilan dan memelihara ketahanan nasional. Disahkannya Peraturan Daerah tersebut banyak menuai kritik dari berbagai kalangan. Kritikan tersebut mengenai proses pembentukan maupun substansi dari Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011. Adapun beberapa kririkan tersebut yakni sejak diajukan Pemerintah Kota (Pemko) Medan draft Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) pada pertengahan Maret 2011 lalu, DPRD Medan terkesan memburunya untuk cepat disahkan. Tercatat, sejak pengajuan tersebut, Panitia Khusus (Pansus) RTRW yang terbentuk untuk membahasnya hanya melakukan rapat sebanyak 6
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=215887:tata-ruangkota-medan-payah&catid=77:fokusutama&Itemid=131 (diakses pada tanggal 23 November 2011 pukul 15:52)
17 Universitas Sumatera Utara
lima kali. Informasi yang dihimpun MedanBisnis,terungkap saat pembahasan Pansus, rapat-rapat internal dan rapat bersama SKPD terkait tanpa melibatkan publik seperti NGO dan akademisi hanya dilakukan sebanyak lima kali karena beberapa agenda yang dibatalkan dan tertunda. Selain itu, Pansus hanya melakukan konsultasi ke Kementrian PU Jakarta serta Pemerintahan Yogyakarta pada 25 hingga 29 April 2011, hingga melakukan rapat finalisasi pembahasan Ranperda RTRW pada 20 Juni 2011. Catatan wartawan, Pansus hanya melakukan satu kali rapat pada bulan April dan tertunda berulang kali serta dua kali pada bulan Juni 2011 dimana Pansus terkesan mengabaikan beberapa persoalan seperti hutan mangrove di Belawan yang telah berubah menjadi tambak dan tidak ada penegasan dalam Ranperda RTRW. Selain itu adanya kekurangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari 20% yang ditetapkan UU Lingkungan Hidup (dikutip dari Harian Medan Bisnis 23 November 2011). Memperhatikan permasalahan penataan tata ruang wilayah serta adanya kekhawatiran bahwa substansi Peraturan Daerah Kota Medan No.13 Tahun 2011 belumlah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Analisa Proses Perumusan dan Penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan”
I.2. Rumusan Masalah Masalah timbul karena adanya tantangan, adanya kesangsian ataupun kebingungan kita terhadap suatu hal atau fenomena, adanya kemenduaan
18 Universitas Sumatera Utara
arti(ambiguity), adanya halangan dan rintangan, adanya celah (gap) baik antara kegiatan atau antar fenomena, baik yang telah ada ada ataupun yang akan datang. 7 Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana Proses Perumusan dan Penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan ? 2. Apakah isi Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah tersebut telah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ?
I.3 Tujuan Penelitian Di dalam usulan/rancangan penelitian,apapun format penelitian yang digunakan (deskriptif ataukah eksplanasi,studi kasus,survey ataukah eksperimen) juga perlu secara tegas dan jelas merumuskan tujuan penelitian yang hendak dihasilkan. 8 Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat Bagaimana Proses Perumusan dan Penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan dan apakah Kebijakan RTRW tersebut telah mengacu pada peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. I.4. Manfaat Penelitian Penelitian dilakukan untuk memecahkan sebuah masalah atau fenomena sosial yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain,sebuah penelitian harus 7
Moh.nazir, Ph.D .2005. Metode Penelitian hal 111
8
Faisal,Sanapiah. 2007 Format-format Penelitian Sosial. PT .RAJAGRAFINDO PERSADA:Jakarta. hal 100
19 Universitas Sumatera Utara
benar-benar bermanfaat atau memeiliki dampak bagi pihak-pihak yang bersangkutan akhirnya. Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : a. Secara subjektif, untuk mengembangkan pengetahuan, wawasan dan kemampuan berpikir dalam dalam pembuatan karya tulis ilmiah. b. Secara praktis, sebagai masukan/ sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Kota Medan dalam perumusan dan penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan. c. Secara akademis, sebagai bahan masukan ataupun bahan perbandingan bagi orang-orang yang belum mengetahui proses perumusan dan penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan ataupun orang yang ingin mengadakan penelitian di bidang yang sama.
I.5. Kerangka Teori Perkembangan ilmu sosial begitu pesat karena pesatnya perkembangan fenomena manusia yang memunculkan banyak teori-teori sosial. Untuk itu,dalam melaksanakan penelitian ilmiah khususnya dalam ilmu sosial,teori berperan sebagai landasan berpikir untuk mendukung pemecahan masalah dengan jelas dan sistematis.
Kerlinger
menyebutkan
bahwa
teori
adalah
sekumpulan
konstruk(konsep),defenisi,dalil yang saling terkait,yang menghadirkan
suatu
pandangan yang sistematis tentang fenomena dengan menetapkan hubungan
20 Universitas Sumatera Utara
diantara beberapa variabel,dengan maksud menjelaskan dan meramalkan fenomena 9
I.5.1
Kebijakan Publik Setiap
negara
modern
memiliki
konstitusi,peraturan
perundang-
undangan,keputusan kebijakan yang dijadikan sebagai aturan main dalam kehidupan bersama.
I.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik Inti kehidupan bernegara adalah demokrasi yang dilihat dari pembelajaran dan pengalaman selama ini. Suatu negara dikatakan memiliki demokrasi yang baik dilihat dari kebijakan publik yang unggul yang dikembangkan dalam konteks dan proses yang demokrasi. Dan pada hakekatnya, bentuk terluar dari demokrasi dan kebijakan publik tersebut adalah pelayanan publik yang didasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola yang baik atau good governance.10
Demokrasi
Kebijakan Publik
Pelayanan Publik
kehidupan publik
Gambar 1.5.1.1 Kebijakan Publik sebagai Agenda Pasca-demokrasi
9
Rakmat,Jalaluddin. 2004.Metode Penelitian Komunikasi,Dilengkapi Dengan Contoh Analistik Statistik.Rosda: Bandung. Hal 6 10
Nugroho, Riant.2008. Public Policy. PT. Elex Media Komputindo: Jakarta,Hal 9
21 Universitas Sumatera Utara
Didalam penyelenggaraan administrasi publik terdapat proses yang menghasilkan kebijakan publik (public policy) sebagai respon atas masalahmasalah yang dilihat dari perspektif proses politik yang ada (existing political process). Menurut Thomas R.Dye, kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah
untuk
dilakukan
atau
tidak
dilakukan.
Selanjutnya
Dye
mengatakan,apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuan dan kebijakan Negara tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah,bukan semata-mata pernytaan keinginan pemerintah atau pejabatnya. Disamping itu,sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan Negara. Hal ini disebabkan “sesuatu yang tidak dilakukan “ oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besarnya dengan sesuatu yang dilakukan” oleh pemerintah. 11 Kebijakan
publik
berfungsi
untuk
mengatur,mengarahkan
dan
mengembangkan interaksi dalam sebuah komunitas. Secara praktis, kebijakan publik merupakan alat dari suatu komunitas yang melembaga untuk mencapai social benefits about goodness yang pada akhirnya apabila diimplementasikan dengan baik akan menghasilkan kepercayaan sosial baru. Menurut Anderson, kebijakan publik adalah sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah,dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah : 1). Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempuntai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan. 11
Nurcholis,Hanif. 2007.Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. PT.Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. hal 264
22 Universitas Sumatera Utara
2). Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah. 3). Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah. 4). Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu. 5). Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa. 12 Chandler dan Plano berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya–sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Kemudian kebijakan publik akan disebut sebagai suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. 13Sedangkan Menurut Woll kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat,baik secara langsung maupun lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. 14
12
Tangkilisan, Hesel Nogi.2003 Implementasi Kebijakan Publik (Konsep,strategi dan Kasus). Lukman Offset YPAPI: Yogyakarta. hal 2 13
Tangkilisan, Hesel Nogi.2003. Kebijakan Publik Yang Membumi . Lukman Offset YPAPI: Yogyakarta. hal 1 14
Ibid 2003 : 2
23 Universitas Sumatera Utara
1.5.1.2 Kategori Kebijakan Publik Joynt mengatakan bahwa kebijaksanaan itu dapat berarti yang berbedabeda untuk orang-orang yang berbeda. Usaha untuk mengadakan klasifikasi/ tingkat-tingkatan kebijaksanaan itu adalah seperti halnya membagi-bagi tingkatan suhu udara. Menanggapi hal tersebut maka, Simon dalam buku Soenarko kemudian dapat membagi klasifikasi kebijakan itu menjadi 3 macam policy yaitu: 15 a.
Legislative policy, yaitu kebijaksanaan yang dibuat landasan dan pegangan bagi pimpinan (management) dalam melaksanakan tugasnya, atau kebijaksanaan yang banyak mengandung norma-norma yang harus diselenggarakan oleh pimpinan tersebut. Oleh karena itu, kebijaksanaan ini lebih banyak memberikan ketentuan-ketentuan yang mengandung pemberian hak-hak, kewajiban, larangan-larangan dan keharusankeharusan, dan lebih banyak dibuat oleh legislatif.
b.
Management policy, merupakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pimpinan pusat (top-management) atau pejabat-pejabat teras.
c.
Working policy, yaitu kebijaksanaan lainnya yang dibuat untuk pelaksanaan (operation) dilapangan untuk tercapainya tujuan akhir yang tersimpul dari kebijaksanaan itu. Berbeda dengan Simon, Hudson
menyoroti klasifikasi kebijakan
publik dalam pemerintahan. Sehingga kebijakan publik itu dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: 16 15
Soenarko SD, H. 2003. Publik Policy, Pengertian Pokok untuk Memahami dan Menganalisa Kebijakan Publik. Surabaya : Airlangga University Press. Hal 63
24 Universitas Sumatera Utara
a. Over-all Policies, pada umumnya dibuat oleh Badan Legislatif atau presiden dengan berdasarkan UUD (constitution). Oleh karena itu, sifatnya adalah umum dan berlaku untuk seluruh wilayah negara. b. Top management policies (kebijaksanaan pimpinan), yaitu merupakan kebijaksanaan yang biasanya dibuat oleh kepala-kepala jawatan atau dinas-dinas pelaksanaan “over-all policies” dengan menentukan cara-cara, prosedur dan sebagainya yang meliputi soal-soal yang strategis. c. Divisional of bureau policies (kebijaksanaan pelaksanaan), merupakan ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang dibuat pejabat yang langsung bertanggungjawab tentang tercapainya tujuan program di dalam kegiatan operasionalnya.
I.5.1.3 Bentuk dan Tahapan Kebijakan Publik Terdapat tiga kelompok rentetan kebijakan publik yang dirangkum secara sederhana yakni sebagai berikut :
17
1. Kebijakan Publik Makro Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum atau dapat juga dikatakan sebagai kebijakan yang mendasar. Contohnya : 18 (a). Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ; (b) Undang-undang atau
16
Ibid 2003 : 62
17
Nugroho,Riant. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang ( Model-model Perumusan Implementasi dan Evaluasi ). PT.Elex Media Komputindo: Jakarta. hal 31 18
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang pembentukan Peraturan Perundangundangan
25 Universitas Sumatera Utara
Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-undang;
(c)
Peraturan
Pemerintah; (d) Peraturan Presiden; (e) Peraturan Daerah. Dalam pengimplementasiannya,kebijakan publik makro dapat langsung diimplementasikan. 2. Kebijakan Publik Meso Kebijakan publik yang bersifat meso atau yang bersifat menengah atau yang lebih dikenal dengan penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berupa Peraturan Menteri,Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota, Keputusan Bersama atau SKB antar-menteri,Gubernur dan Bupati atau Walikota. 3. Kebijakan Publik Mikro Kebijakan publik yang bersifat mikro,mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan publik yang diatasnya. Bentuk kebijakan ini misalnya peraturan yang dikeluarkan oleh aparat-aparat publik tertentu yang ebrada dibawah Menteri,Gubernur, Bupati dan Walikota. Bentuk kebijakan publik baik kebijakan publik makro,meso dan mikro tersebut dalam proses pembuatannya melibatkan banyak variabel yang harus dikaji secara kompleks dan menyeluruh. Untuk itu terdapat tahapan-tahapan proses penyusunan kebijakan publik yang perlu dikaji. Tahapan- tahapan kebijakan publik tersebut adalah,sebagai berikut: 1
Tahap Penyusunan Agenda Disekitar lingkungan pemerintahan terdapat berbagai persoalan dalam tahap ini para pejabat memilih dan mengangkat masalah yang paling
26 Universitas Sumatera Utara
penting dengan alasan dimasukkan tertentu untuk dimasuki kedalam agenda kebijakan. 2
Tahap Formulasi Kebijakan,masalah yang telah disusun dalam agenda kebijakan didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik.
3
Tahap Adopsi Kebijakan,mwlakukan adopsi salah satu alternatif yang terdapat dalam formulasi kebijakan dengan dukungan dari mayoritas legislatif,konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
4
Tahap Implementasi Kebijakan,keputusan kebijakan yang telah diambil dalam adopsi kebijakan yang memang dapat dianggap sebagai kebijakan yang terbaik dalam pemecahan suatu masalah harus diimplementasikan. Implementasi kebijakan dilakukan oleh badan-badan administrasi Negara maupun agen-agen pemerintahan di tingkat bawah yang memobilisasikan sumber daya finansial atau manusia.
5
Tahap Evaluasi Kebijakan,tahap ini dilakukan untuk melihat sejauh mana sebuah kebijakan mampu memecahkan masalah dengan menggunakan kriteria-kriteria sebagi dasar untuk melihat dampak kebijakan yang telah diimplementasikan
27 Universitas Sumatera Utara
Dalam pandangan Ripley ,tahapan kebijakan publik digambarkan sebagai berikut : 19 Tahapan Kebijakan Publik Penyusunan Agenda
Formulasi dan Legitimasi Kebijakan
Agenda Pemerintah
Hasil
Diikuti kebijakan
Hasil Diperlukan Implementasi kebijakan
Tindakan kebijakan Hasil
Evaluasi thd Mengarah Ke implementas i,kinerja & dampak kebijakan
Kinerja dan dampak kebijakan
Diperlukan
Kebijakan Baru
Gambar 1.5.1.3 Tahapan Kebijakan Publik Sumber :Ripley,1985 :49
19
Subarsono.2005. Analisa Kebijakan Publik ( Konsep,Teori dan Aplikasi ). Pustaka Peajar: Yogyakarta. hal 11
28 Universitas Sumatera Utara
I.5.2
Analisa Kebijakan Publik Setiap kebijakan pasti ingin mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh karena
itu pemerintah,selaku pembuat kebijakan,bagaimanapun juga ingin agar tujuan kebijakannya tercapai,maka ia berkepentingan untuk memperhatikan proses pembuatan kebijakan dan menjaga proses implementasi sebaik mungkin,untuk itulah perlu dilakukan analisis kebijakan.
I.5.2.1 Pengertian Analisa Kebijakan Publik Analisis kebijakan didefinisikan oleh Harold D Lasswell adalah sebagai aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan, analisis kebijakan meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan dan program publik. William N. Dunn mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Menurut Weimer and Vining “The product of policy analysis is advice. Specifically, it is advice that inform some public policy decision”. Jadi analisis kebijakan publik lebih merupakan nasehat atau bahan pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang masalah yang dihadapi, tugas yang mesti dilakukan oleh organisasi publik berkaitan
29 Universitas Sumatera Utara
dengan masalah tersebut, dan juga berbagai alternatif kebijakan yang mungkin bisa diambil dengan berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan. Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan. Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. 20 Analisa kebijakan berhubungan dengan penyelidikan dan deskripsi sebabsebab
dan
konsekuensi-konsekuensi
kebijakan
publik.
Dalam
analisis
kebijakan,kita dapat menganalisis pembentukan,substansi dan dampak dari kebijakan-kebijakan tertentu,seperti siapakah yang diuntungkan dalam kebijakan tata niaga cengkeh atau kebijakan pertanian pangan pada masa Orde Baru,siapasiapa actor yang terlibat dalam perumusan kebijakan tersebut dan apa dampaknya
20
http://massofa.wordpress.com/2008/10/15/pengertian-dan-bentuk-analisis-kebijakan-publik/ (diakses pada tanggal 28 februari 2012 pada pukul 12:53)
30 Universitas Sumatera Utara
bagi petani. Analisis ini dilakukan tanpa mempunyai pretense untuk menyetujui atau menolak kebijakan-kebijakan itu. Disini seorang lebih menempatkan ilmu sebagai sesuatu yang bebas nilai. Ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam analisis kebijakan publik yakni 21 : Pertama, fokus pertamanya adalah mengenai penjelasan kebijakan bukan mengenai anjuran kebijakan yang “pantas”. Kedua, sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan-kebijakan-kebijakan publik diselidiki dengan teliti dan dengan menggunakan metode ilmiah. Ketiga, analisis dilakukan dalam rangka mengembangkan teori-teori umum yang dapat diandalkan tentang kebijakan kebijakan-kebijakan publik dan pembentukannya,sehingga dapat diterapkan terhadap lembaga-lembaga dan bidang-bidang kebiajakn yang berbeda. Dengan demikian analisis kebijakan dapat bersifat ilmiah dan relevan bagi masalah-masalah politik dan sosial sekarang ini.
I.5.2.2
Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan Analisis kebijakan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk utama, yakni:
analisis kebijakan prospektif, restropekitaif, dan terintegratif 22 . a. Analisis Kebijakan Prospektif Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan cenderung
21
Winarno, Budi. 2002. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo. Hal 31-32
22
Dunn, William N.2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta : Gadja Mada University Press hal 117
31 Universitas Sumatera Utara
mengidentifikasi cara beroperasinya para ekonom, analis sistem dan analis operasi dengan kata lain merupakan suatu alat untuk mensintesiskan informasi untuk dipakai dalam merumuskan suatu alternative dan prefensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif atau kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan. b. Analisis Kebijakan Restropektif Analisis kebijakan retrospektif dalam banyak hal sesuai dengan deskripsi penelitian kebijakan yang dikemukakan sebelumnya. Analisis kebijakan restropektif dijelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan, mencakup berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan oleh tiga kelompok analis: 1. Analis yang berorientasi pada disiplin, yang sebagian besar terdiri dari para ilmuwan politik san sosiologi terutama
berusaha untuk
mengembangkan dan menguji teori yang didasarkan pada teori dan menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Kelompok ini jarang berusaha untuk mengidentifikasikan tujuantujuan dan sasaran spesifik dari para pembuat kebijakan dan tidak melakukan usaha apapun untuk membedakan variabel kebijakan yang merupakan hal dapat diubah melalui manipulasi kebijakan, dan variabel situasional yang tidak dapat dimanipulasi. 2. Analis yang berorientasi pada masalah, sebagian besar terdiri dari para ilmuwan ilmu politik dan sosiologi yang berusaha menerangkan sebabsebab dan konsekuensi dari kebijakan. Walaupun demikian, para analis
32 Universitas Sumatera Utara
yang berorientasi pada masalah ini kurang menaruh perhatian pada pengembangan dan pengujian teori-teori yang dianggap penting dalam disiplin ilmu social, tetapi lebih menaruh perhatian pada identifikasi variabel-variabel yang dapat dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah. 3. Analis yang beorientasi pada aplikasi, yaitu kelompok analis yang mencakup ilmuwan politik dan sosiologi, tapi juga orang-orang yang datang dari bidang studi professional pekerjaan social dan administrasi publik dan bidang studi sejenis seperti penelitian evaluasi. Kelompok ini juga berusaha menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakankebijakan dan program publik, tetapi tidak menaruh perhatian terhadap pengembangan dan pengujian teori-teori dasar. Lebih jauh, kelompok ini tidak hanya menaruh perhatian pada variabel-variabel kebijakan, tetapi juga melakukan identifikasi tujuan dan sasaran kebijakan dari pada para pembuat kebijakan dan pelaku kebijakan. c. Analisis Kebijakan yang Terintegrasi Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para prakitaisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengaitkan tahap penyelidikan restropektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus-menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat. Analis yang terintegrasi dengan begitu bersifat terus-menerus,
33 Universitas Sumatera Utara
berulang-ulang, tanpa ujung, paling tidak dalam prinsipnya. Analisis dapat memulai penciptaan dan transformasi informasi pada setiap titik dari lingkaran analisis, baik sebelum dan sesudah aksi. Analisis kebijakan yang terintegrasi mempunyai semua kelebihan yang dimiliki metodologi analisis propektif dan restropektif, tetapi tidak satupun dari keleihan mereka. Analisis yang terintegrasi melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan secara terus-menerus sepanjang wakitau. Tidak demikian halnya dengan analisis prospektif dan restropektif yang menyediakan lebih sedikit informasi.
I.5.2.3 Gaya Analisis Kebijakan Secara garis besar, gaya analisis kebijakan dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: 23 1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif masih dibedakan menjadi 2 bagian yakni (a) analisis isi (content analysis) yang merupakan definisi empiris mengenai isi kebijakan terutama pada maksud, definisi masalah, tujuan dan orientasi sebuah kebijakan; (b) analisis sejarah (historical analysis) yang lebih menekankan aspek
evolusi
isi
kebijakan
dari
awal
pembentukan
hingga
implementasinya bahkan bersifat ekspansif dengan membandingkan beberapa kebijakan secara kronologis-sinkronis. 2. Analisis Proses
23
http://hykurniawan.wordpress.com/2008/09/17/analisis-kebijakan-publik/ (diakses pada tanggal 28 februari 2012 pukul 13:08)
34 Universitas Sumatera Utara
Analisis proses tidak begitu berfokus pada isi kebijakan, namun lebih memfokuskan diri pada proses politik dan interaksi faktor-faktor lingkungan luar yang kompleks dalam membentuk sebuah kebijakan. Proses politik inipun masih didekati dengan dua aras yakni proses interaksi para pemangku kepentingan dan struktur politis negara tempat sebuah kebijakan digodok. 3. Analisis Evaluasi Analisis ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat penilaian. Penilaian yang diberikan bisa didasarkan pada konsistensi logis, efisiensi dan karakteristik etis. Oleh karena itu analisis evaluasi ini masih dibedakan menjadi tiga bagian yakni (a) evaluasi logika, dimana analisis ini melakukan evaluasi atas beberapa dimensi yakni konsistensi internal tujuan kebijakan; konsistensi tujuan dan instrumen kebijakan; dan perbedaan antara konsekuensi yang diharapkan dan yang tidak diharapkan; (b) evaluasi empiris, dimana analisis ini bertujuan untuk mengukur apakah kebijakan publik mampu memecahkan masalah dan menekankan teknikteknik untuk melihat efisiensi dan efektifitas sebuah kebijakan; (c) evaluasi etis yang dalam analisisnya mengacu pada etika, norma dan nilai (value) dimana dalam evaluasi yang lain sangat bersifat bebas nilai.
35 Universitas Sumatera Utara
I.5.2.4 Proses Analisa Kebijakan Publik Proses analisa kebijakan Publik secara umum merupakan suatu proses kerja yang meliputi lima komponen informasi kebijakan yang saling terkait dan dilakukan secara bertahap dengan menggunakan berbagi teknik analisis kebijakan seperti bagan berikut : 24
Masalah Kebijakan
Masalah kebijakan
Perumusan masalah Penyimpulan praktis
Hasil kebijakan
Hasil guna kebijakan
Peliputan
Alternative kebijakan
Rekomendasi Evaluasi
Tindakan Kebijakan
Gambar 1.5.2.4 Proses Analisis Kebijakan Publik 24
Op.cit .2003. hal 7
36 Universitas Sumatera Utara
Bagan dari proses analisa kebijakan tersebut di atas terjadi secara akumulatif antara komponen informasi dan teknik analisis yang digunakan untuk menghasilkan dan memindahkannya.
I.5.2.5 Model – Model dalam Analisa Kebijakan Publik Model itu sendiri sebenarnya merupakan representasi teori yang disederhanakan tentang dunia nyata. Model digunakan sebagai pedoman,yang sangat bermanfaat dalam penelitian terutama penelitian yang bertujuan untuk mengadakan penggalian ataupun penemuan-penemuan baru. Penggunaan model untuk mengkaji kebijakan publik akan sangat besar sekali manfaatnya. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan dalam hal ini yaitu : Pertama,kebijakan publik merupakan hal yang sangat kompleks. Oleh karena itu, sifat model yang menyederhanakan realitas yang kompleks tersebut. Dengan
begitu
akan lebih
mudah untuk
memilah-milah
proses-proses
implementasi kebijakan kedalam elemen-elemen implementasi yang lebih sederhana. Kedua, adanya sifat alamiah manusia yang tidak mampu memahami realitas yang kompleks tanpa menyederhanakannya terlebih dahulu,maka peran model dalam menjelaskan kebiajak akan sangat berguna. Untuk itu Thomas Dye menyarankan beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk melihat kegunaan suatu model dalam mengkaji kebijakan publik. 25 Pertama, apakah model menyusun dan menyederhanakan kehidupan politik sehingga kita dapat memahami hubunganhubungan tersebut dalam dunia nyata dan memikirkannya lebih jelas. Kedua, 25
Winarno, Budi. 2002. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo. Hal 41-42
37 Universitas Sumatera Utara
apakah model mengidentifikasi aspek aspek yang paling penting dari kebijakan pubik. Ketiga, apakah model kongruen (sama dan sebangun) dengan realitas. Keempat, apakah model mengkomunikasikan sesuatu yang bermakna menurut cara yang dapat kita mengerti. Kelima, apakah model mengarahkan penyeidikan dan penelitian kebijakan pubik. Keenam, apakah model menyarankan penjelasan bagi kebijakan publik. Model yang paling baik menurut Lester dan Stewart adalah model elitis dan model pluralis 26. 1) Model Elitis Teori elit mengatakan bahwa semua lembaga politik dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya tidak bisa dielakkan didominasi oleh sekelompok individu yang sangat kuat, mereka memanipulasi instrument-instrumen kekuasaan bagi kepentingan elit. Kebijakan merupak produk elit yang merefleksikan nilai-nilai mereka untuk penguatan kepentingan- kepentingan mereka. Dye dan Zeigler berpendapat bahwa kebijakan publik merupakan preferensi nilai – nilai dari para elit yang berkuasa. Seringkali dikatakan bahwa kebijakan publik merefleksikan tuntutan-tuntutan dari “rakyat” namun apa yang dikatakan itu adalah mitos dan bukan merupakan realitas kehidupan demokrasi. 2) Model Pluralis Berkebalikan dengan model elit yang titik perhatiannya lebih bertumpu pada elit politik,maka model pluralis lebih percaya pada peran subsistem yang berada dalam sistem demokrasi. Pandangan – pandangan pluralis disarikan oleh ilmuwan Robert Dahl dan David Truman. Pandangan pluralis dapat dirangkum 26
Op.cit 2002 : 42-47
38 Universitas Sumatera Utara
sebagai berikut: (a). Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan individu-individu yang lain dalam proses pembuatan keputusan; (b). hubungan-hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung namun hubunganhubungan kekuasaan lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus; (c). tidak ada pembedaan yang tetap antara “elit” dan “massa” ; (d). kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi,kekayaan merupakan asset daam politik tetapi hanya merupakan salah satu dari sekian banyak asset politik yang ada; (e). terdapat banyak pusat kekuasaan di antara komunitas; (f). kompetisi dapat dianggap berada diantara pemimpin.
I.5.3 Formulasi (Perumusan) Kebijakan I.5.3.1 Pengertian Formulasi (Perumusan) Kebijakan Berkaitan dengan policy formulation Woll (1996) berpendapat bahwa formulasi
kebijakan
berarti
pengembangan
sebuah
mekanisme
untuk
menyelesaikan masalah publik,dimana pada tahap ini para analis kebijakan publik mulai menerapkan beberapa teknik untuk menjustifikasikan bahwa sebuah pilihan kebijakan merupakan pilihan yang terbaik dari kebijakan yang lain. Dalam menentukan pilihan kebijakan pada tahap ini dapat menggunakan analisis biaya manfaat dan analisis keputusan,dimana keputusan yang harus diambil pada posisi tidak menentu dengan informasi yang serba terbatas. Pada tahap formulasi kebijakan ini,para analis harus mengidentifikasikan kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui prosedur forecasting untuk memecahkan masalah yang
39 Universitas Sumatera Utara
didalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan yang akan dipilih.
27
Menurut
James
Anderson,formulasi
kebijakan
adalah
bagaimana
mengembangkan pilihan-pilihan atau alternatif - alternatif untuk memecahkan masalah tersebut dan siapa saja kah yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan.Sedangkan menurut Howlet dan M. Ramesh,formulasi kebijakan adalah proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah 28. Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan. Maka dari itu apapun yang terjadi di dalam tahap ini akan sangat menentukan berhasil atau tidaknya kebijakan yang telah dibuat itu di masa yang akan datang. Sehingga setiap para pembuat kebijakan hendaknya lebih berhati-hati lagi dalam melakukan formulasi kebijakan publik. Formulasi kebijakan publik yang baik adalah formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab seringkali pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang baik itu adalah sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal dan normatif namun tidak membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik yang baik itu adalah sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus alternative solusi yang fisibel terhadap realitas tersebut. Kendati pada akhirnya uraian yang dihasilkan itu tidak sepenuhnya presisi dengan ideal normative,itu bukanlah
27
Tangkilisan, Hesel Nogi. 2003 Kebijakan Publik Yang Membumi . Lukman Offset YPAPI: Yogyakarta. hal 8 28
op.cit 2005 : 12-13
40 Universitas Sumatera Utara
masalah asalkan uraian alas kebijakan publik itu presisi dengan realitas masalah kebijakan yang ada di lapangan. 29 Proses pembuatan sebuah kebijakan publik melibatkan berbagai aktivitas yang kompleks. Pemahaman terhadap proses pembuatan kebijakan oleh para ahli dipandang penting dalam upaya melakukan penilaian terhadap sebuah kebijakan publik. Untuk membantu melakukan hal ini, para ahli kemudian mengembangkan sejumlah kerangka untuk memahami proses kebijakan (policy process) atau seringkali disebut juga sebagai siklus kebijakan (policy cycles). Sejumlah ahli yang mengembangkan kerangka pemahaman tersebut diantaranya adalah Dye (2005) dan Anderson (2006). Menurut Dye,bagaimana sebuah kebijakan dibuat dapat diketahui dengan mempertimbangkan sejumlah aktivitas atau proses yang terjadi didalam sistem politik. Terkait hal ini, dalam pandangan, pembuatan kebijakan sebagai sebuah proses akan meliputi sejumlah proses, aktivitas, dan keterlibatan peserta sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 1 berikut. 30
29
Putra,Fadillah. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan pubik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2003.Hal 50 30
Dye, Thomas R, 2005, Understanding Public Policy, Eleventh Edition, New Jersey: Pearson Prentice Hall hal 31-32
41 Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.5.3.1 Pembuatan Kebijakan sebagai sebuah Proses Proses
Aktivitas
Peserta
Identifikasi Masalah
Publikasi masalah sosial;
Media massa; kelompok
mengekspresikan tuntutan
kepentingan; inisiatif
akan tindakan dari
masyarakat; opini publik
pemerintah Penetapan Agenda
Menentukan mengenai
Elit, termasuk presiden
masalah-masalah apa yang
dan kongres; kandidat
akan diputuskan; masalah
untuk jabatan publik
apa yang akan
tertentu; media massa
dibahas/ditangani oleh pemerintah Perumusan Kebijakan
Legitimasi Kebijakan
Pengembangan proposal
Pemikir; Presiden dan
kebijakan untuk
lembaga eksekutif;
menyelesaikan dan
komite kongres;
memperbaiki masalah
kelompok kepentingan
Memilih proposal;
Kelompok kepentingan;
mengembangkan
presiden; kongres;
dukungan untuk proposal
pengadilan
terpilih; menetapkannya menjadi peraturan hukum; 42 Universitas Sumatera Utara
memutuskan konstitusionalnya Implementasi Kebijakan
Mengorganisasikan
Presiden dan staf
departemen dan badan;
kepresidenan;
menyediakan pembiayaan
departemen dan badan
atau jasa pelayanan; menetapkan pajak Evaluasi Kebijakan
Melaporkan output dari
Departemen dan badan;
program pemerintah;
komite pengawasan
mengevaluasi dampak
kongres; media massa;
kebijakan kepada
pemikir
kelompok sasaran dan bukan sasaran; mengusulkan perubahan dan reformasi
I.5.3.2 Kriteria Formulasi (Perumusan) Kebijakan Ada beberapa kriteria formulasi yang menjadi bahan pertimbangan para perumus kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan. Peneliti menggunakan kriteria implementasi yang dikemukakan oleh Van Meter Van Horn. Hal ini untuk dapat mengkaji dengan baik suatu proses implementasi perumusan kebijakan publik . Alasan penulis memilih model ini adalah karena model Van Meter dan Van Horn dapat membantu penulis dalam mendeskripsikan bagaimana proses
43 Universitas Sumatera Utara
implementasi perumusan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan. Van Meter dan Van Horn mengemukakan enam variabel penting yang tercakup dalam suatu proses implementasi, yaitu (1) Standar dan Sasaran Kebijakan Standar dan Sasaran Kebijakan Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi. (2) Sumber Daya Proses Perumusan kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia misalnya dana yang dingunakan untuk mendukung proses perumusan kebijakan. (3) Komunikasi dan Penguatan Aktivitas Didalam proses perumusan suatu kebijakan sangat diperlukan dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu perumusan kebijakan. (4) Karakteristik agen pelaksana Karakteristik Agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua hal tersebut akan mempengaruhi proses perumusan suatu kebijakan. (5) Kondisi sosial, ekonomi dan politik
44 Universitas Sumatera Utara
Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompokkelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi perumusan kebijakan, karakteristik para partisipan yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung perumusan kebijakan. (6) Disposisi implementor Ini mencakup tiga hal, yakni: (a) respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi kemauannya untuk merumuskan kebijakan, (b) kognisi, pemahaman para agen pelaksana terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
I.5.3.3 Aktor-Aktor Formulasi (Perumusan) Kebijakan Pembahasan siapa saja yang terlibat dalam permusan kebijakan dapat dilihat misalnya dalam tulisan James Anderson ,Charles Lindblom dan Lester dan Stewart. Aktor – aktor atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi ke dalam kedua kelompok yakni para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Yang termasuk ke dalam para pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi),presiden (eksekutif),legislatif dan yudikatif. Sedangkan para pemeran serta tidak resmi adalah kemompok-kelompok kepentingan,partai politik dan warganegara individu 1. Para pemeran serta resmi a. Agen-agen pemerintah / badan- badan administrasi
45 Universitas Sumatera Utara
Badan-badan administrasi menjadi sumber utama mengenai usulusul pembuatan undang-undang dalam sistem politik. b. Presiden (eksekutif) Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam komisi-komisi presidensial maupun rapat-rapat kabinet c. Lembaga yudikatif Tinjauan
yudisial
merupakan
kekuasaan
pengadilan
untuk
menentukan apakah tindakan-tindakan yang diambil oleh cabang eksekutif dan legislative sesuai dengan konstitusi atau tidak d. Lembaga legislative Lembaga ini bersama-sama dengan pihak eksekutif memegang peran yang cukup penting di dalam perumusan kebijakan. Suatu undang-undang baru akan sah apabila telah disahkan oleh legislative. 2. Para pemeran serta tidak resmi a. Kelompok Kepentingan Menurut Truman, kelompok kepentingan adalah sebuah kelompok pembagi sikap yang membuat klaim-klaim tertentu atas kelompokkelompok dalam masyarakat dengan tindakan-tindakan tertentu terhadap instansi-instansi pemerintah. Ramlan Surbakti mengatakan bahwa kelompok kepentingan adalah sejumlah orang yang memiliki kesamaan sifat, sikap, kepercayaan dan atau tujuan yang sepakat mengorganisasikan diri untuk melindungi dan mencapai tujuan . Menurut Almond kelompok kepentingan adalah setiap organisasi yang
46 Universitas Sumatera Utara
berusaha mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah tanpa, pada waktu yang sama, berkehendak memperoleh jabatan publik. Menurut Almond, yang menekankan pada aspek struktur dan fungsi komponenkomponen dalam system politik, kelompok kepentingan merupakan salah satu dari struktur yang terdapatd alam system politik, sebagai bagian dari infrastruktur politik. Fungsi utama kelompok kepentingan yaitu melakukan artikulasi politik. Artikulasi politik adalah salah satu fungsi yang dijalankan dalam proses pembuatan kebijakan publik, yang di dalamnya
terdapat kegiatan penggabungan berbagai
kepentingan dan tuntutan masyarakat yang akan diubah menjadi alternatif-alternatif kebijakan. Menurut model proses demokrasi formal dari Dieter Fuchs, fungsi kelompok kepentingan bersama-sama media massa adalah dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik, yaitu dalam hal pengungkapan berbagai tuntutan. b. Partai-partai Politik Partai politik merupakan alat untuk meraih kekuasaan. Ha ini berarti bahwa partai politik pada dasarnya lebih berorientasi pada kekuasaan dibandingkan dengan kebijakan publik. Namun demikian tidak dapat mengabaikan pengaruh mereka dalam proses pembentukan kebijakan. c. Warganegara Individu Menurut Lindblom,keinginan para warga Negara perlu mendapat perhatian oleh para pembentuk kebijakan. Aturan yang dikemukakan
47 Universitas Sumatera Utara
oleh Lindblom ini dinyatakan dalam aphorisme bahwa warganegara mempunyai hak untuk didengar dan para pejabat mempunyai tugas untuk mendengarkannya. Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik yang berasal dari aktor negara maupun aktor non negara atau yang disebut oleh Anderson sebagai pembuat kebijakan resmi (official policy-makers) dan peserta non pemerintahan (nongovernmental participants). Pembuat kebijakan resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Mereka ini menurut Anderson terdiri atas legislatif; eksekutif; badan administratif; serta pengadilan. Legislatif merujuk kepada anggota kongres/dewan yang seringkali dibantu oleh para staffnya. Adapun eksekutif merujuk kepada Presiden dan jajaran kabinetnya. Sementara itu, badan administratif menurut Anderson merujuk kepada lembaga-lembaga pelaksana kebijakan. Dipihak lain menurut Anderson, Pengadilan juga merupakan aktor yang memainkan peran besar dalam perumusan kebijakan melalui kewenangan mereka untuk mereview kebijakan serta penafsiran mereka terhadap undangundang dasar. Dengan kewenangan ini, keputusan pengadilan bisa mempengaruhi isi dan bentuk dari sebuah kebijakan publik. Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini yang disebut oleh Anderson sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental participants) karena penting atau dominannya peran mereka
48 Universitas Sumatera Utara
dalam sejumlah situasi kebijakan tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan
informasi;
memberikan
tekanan;
serta
mencoba
untuk
mempengaruhi. Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah mereka siapkan. Jadi meskipun pada akhirnya kebijakan ditentukan oleh institusi yang berwenang, keputusan diambil setelah melalui proses informal negosiasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan. Dengan demikian keterlibatan aktor lain dalam pemberian ide terhadap proses perumusan kebijakan tetap atau sangat diperlukan. Lembaga/instansi pemerintah banyak terlibat dalam perumusan ataupun pengembangan kebijakan publik. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa kebijakan sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah mengenai masalah tertentu sehingga keterlibatan lembaga itu sebagai aparat pemerintah dalam ikut menentukan kebijakan menjadi semakin terbuka. Dengan pemahaman tersebut, maka lembaga/instansi pemerintah telah menjadi pelaku penting datam proses pembuatan kebijakan. Selain itu, lembaga/instansi pemerintah juga menjadi sumber utama mengenai usul-usul pembuatan kebijakan dalam sistem politik. Lembaga/ instansi tersebut secara khas tidak hanya menyarankan kebijakan, tetapi juga secara aktif melakukan lobi dan menggunakan tekanan-tekanan dalam penetapan kebijakan publik. Di tingkat daerah lembaga legislatif disebut DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota membentuk Peraturan Daerah. Setiap peraturan perundang - undangan yang menyangkut persoalan-persoalan publik harus mendapat persetujuan dari lembaga legislatif. Selain itu, keterlibatan lembaga
49 Universitas Sumatera Utara
legislatif dalam perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, penyelidikan-penyelidikan, dan kontak-kontak yang mereka lakukan dengan pejabat pemerintah, kelompok-kelompok kepentingan, dan lain sebagainya. Keberadaan lembaga legislatif tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Lembaga ini terbentuk melalui permilu yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional. Partai politik yang memenangkan pemilu akan menempatkan para wakil rakyatnya yang selanjutnya akan mengartikulasikan tuntutan-tuntutan masyrakat. Tuntutan-tuntutan itu kemudian dirumuskan dalam bentuk kebijakan yang “seharusnya” dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat. Dengan kata lain, partai politik merupakan perwakiIan dari suara rakyat yang telah memandatkan suaranya melalui proses pemilu untuk duduk di lembaga legislatif dapat memper- juangkan apa yang menjadi aspirasi, tuntutan, dan kepentingan masyarakat. 31 Aktor – aktor yang terlibat dalam formulasi pun memiliki peran yang berbeda dengan evaluasi rancangan kebijakan. Aktor – aktor dalam formulasi adalah individu atau kelompok yang memiliki kepentingan dengan kebijakan yang dibuat
dan
berasal
dari
berbagai
kalangan.
Dalam
formulasi
paling
tidak,stakeholders bisa berasal dari legislative,eksekutif maupun kelompok kepentingan. Ketiganya berada dalam kepentingan yang sama dalam pengambilan
31
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=Aktor+dalam+proses+perumusan+dan+penetapan+k ebijakan/pdf ( diakses 28 februari,pukul 13 :05)
50 Universitas Sumatera Utara
keputusan sedangkan dalam evaluasi rancangan kebijakan,aktor-aktor yang terlibat dalam eksekutif tapi berasal dari tingkat pemerintahan yang berbeda. Di satu pihak berasal dari pemkab/pemkot sebagai pengusul rancangan kebijakan di pihak lain dari pemprov yang bertugas sebagi evaluator.
I.5.4. Adopsi (Penetapan) Kebijakan I.5.4.1 Pengertian Adopsi (Penetapan) Kebijakan Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para stakeholders atau pelaku yang terlibat. Tahap ini dilakukan setelah melalui proses rekomendasi dengan langkah-langkah sebagi berikut (Dunn:1994) : 32 1) Mengidentifikasikan alternative kebijakan (policy alternative) yang dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depanyang diinginkan dan merupakan langkah terbaik dalam upaya mencapai tujuan tertentu bagi masyarakat luas. 2) Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan terpilih untuk menilai aternatif yang akan direkomendasi. 3) Mengevaluasi alternatif – alternatif tersebut dengan menggunakan kriteriakriteria yang relevan agar efek positif alternatif kebijakan tersebut lebih besar dari efek negatif yang akan terjadi.
32
Tangkilisan, Hesel Nogi. 2003.Kebijakan Publik Yang Membumi . Lukman Offset YPAPI: Yogyakarta. hal 9
51 Universitas Sumatera Utara
Menurut James Anderson, penentuan kebijakan (adoption) adalah bagaimana alternatif ditetapkan,persyaratan atau kriteria apa saja yang harus dipenuhi,siapa yang akan melaksanakan kebijakan,bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan kebijakan,dan apa isi dari kebijakan yang ditetapkan. 33
I.5.4.2 Kriteria Adopsi (Penetapan) Kebijakan Sementara itu, menyangkut kriteria yang dapat digunakan untuk mempengaruhi pemilihan terhadap suatu kebijakan tertentu, Anderson 34 mengemukakan enam kriteria yang harus dipertimbangkan dalam memilih kebijakan, yakni: 1. Nilai (values) Nilai menjadi kriteria yang memiliki peranan besar pada saat pengambilan keputusan dilakukan oleh individu karena bersifat sangat pribadi. Nilai berkaitan dengan kesadaran dalam membuat pilihan yang muncuk pada saat individu terlibat dalam pengambilan keputusan. Setiap individu memliki preferensi nilai yang muncul baik secara sadar maupun tidak mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan. 2. Afiliasi Partai Politik ( Political Party Affiliation ) Kesetiaan pada partai merupakan kriteria yang signifikan meskipun sulit memisahkan dari pertimbangan lain seperti pengaruh pemimpin atau komitmen ideologis. Kriteria ini kadang berpengaruh dalam pengambilan 33
op.cit 2005:13
34
Anderson, James E, 1998. Public Policy Making: An Introduction, Boston: Houghton Mifflin Company hal 72-77
52 Universitas Sumatera Utara
keputusan yang memuat isu kebijakan yang diusung partai. Namun dalam beberapa isu kebijakan, seringkali membuat perbedaan dukungan antar partai tidak tampak. 3. Kepentingan konstituen Dukungan suara dari konstituen dalam pemilihan umum sangat penting bagi partai. Konsekuensinya adalah keharusan dari partai untuk memperhatikan kepentingan dari konstituen ( publik ). Proses legislasi untuk pengambilan keputusan tidak hanya dipengaruhi oleh pemerintah tapi juga keinginan dari masyarakat yang diwakili. 4. Opini publik ( Public Opinion ) Suara publik menjadi kriteria penting dalam pembuatan keputusan untuk kebijakan. Suara publik merupakan pencerminan keinginan masyarakat sekaligus pendapat masyarakat tentang tindakan kebijakan yang
dilakukan
pemerintah.
Namun,
kebijakan
juga
terkadang
mengabaikan suara publik dan lebih mementingkan kepentingan elit dalam pemerintahan. 5. Pendapat pejabat/pimpinan ( deference ) Perbedaan pendapat seringkali muncul dalam pengambilan keputusan. Namun berbeda pendapat dengan pimpinan atau pejabat yang berpengaruh seringkali menciptakan keengganan atau rasa sungkan pada diri individu lain. 6. Peraturan Perundang-undangan
53 Universitas Sumatera Utara
Organisasi
seringkali
membuat
peraturan
dan
pedoman
pelaksanaan tugas bagi instansi dari pusat hingga daerah. Interpretasi atas peraturan bersifat kaku dan menjadi hak pemerintah pusat untuk menterjemahkannya. Kondisi ini seringkali menyulitkan karena terdapat keragaman antar daerah. Walaupun demikian daerah harus tetap menjalankan peraturan tersebut karena menjadi rambu – rambu bagi daerah dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Meskipun
mengungkapkan
enam kriteria
tersebut,tetapi
Anderson
memberikan catatan khusus pada nilai (value) sebagai satu kriteria pengambilan keputusan dalam formulasi kebijakan. Pandangan para aktor sangat dipengaruhi oleh nilai – nilai yang dimiliki dalam pengambilan keputusan dan banyak keputusan justru banyak menggunakan pertimbangan nilai dibanding lima kriteria lainnya. Anderson menyebutkan lima kategori nilai yang menjadi pertimbangan para pengambil keputusan yang terdiri dari : a). nilai – nilai politik, b). nilai – nilai organisasi, c). nilai – nilai individu, d). nilai – nilai kebijakan, e). nilai-niai ideologis 35
I.5.4.3 Gaya Adopsi (Penetapan) Kebijakan Adapun gaya dalam penetapan kebijakan publik menurut Anderson dapat dibedakan dalam tiga bentuk adalah 36 : 1. Pola kerjasama (bargaining) 35
Ibid 1998 : 14-15
36
Madani,Muhlis. 2011. Dimensi Interaksi Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik.Yogyakarta:Graha Ilmu hal 37-38
54 Universitas Sumatera Utara
Anderson menegaskan bahwa proses bargaining dapat terjadi dalam tiga bentuknya yaitu negoisasi (negoisasion), saling memberi dan menerima (take and give) dan kompromi (compromise). Sesungguhnya penjelasan bargaining berakar pada istilah bahwa jika mendapat dua atau lebih aktor atau kelompok aktor yang yang masing-masing memiliki kewenangan dan posisi tertentu tetapi dapat melakukan penyesuaian (sharing) yang diharapkan dapat terbangun dalam sistem pembahasannya. Dengan demikian negoisasi menjadi langkah awal untuk membentuk opini dan mengarahkan aktor untuk melakukan langkah negoisasi. Setelah proses negoisasi antar aktor terjadi dalam posisi yang berbeda diantara aktor,maka prinsip saling member dan menerima kemudian mewarnai proses pengambilan kebijakan yang dibahas dalam forum aktor yang terlibat. Pada akhirnya para aktor itu akan berujung pada proses kompromistik dimana masingmasing aktor saling melakukan penyesuaian dengan konsep atau ide akan yang lainnya sehingga dapat diputuskan kebijakannya. Hal ini dalam pandangan Anderson dianggap sebagai bentuk bargaining dengan cara yang eksplisit. 2. Persuasive (persuasion) Persuasif (persuasion) merujuk pada istilah adanya polarisasi kelompok aktor untuk meyakinkan (convince) kelompok aktor lain yang turut bermain untuk menentukan kebijakan publik. Akumulasi proses keyakinan kelompok aktor tersebut dapat mengukur keyakinan dan nilai serta usulan yang ditawarkan oleh kelompok yang lain. Pola ini dalam pandangan Anderson (1984) banyak terjadi pada tipe kebijakan yang relatif membutuhkan waktu yang lama untuk mengubah keyakinan aktor yang saling bertentangan antara satu dan yang lainnya. adanya
55 Universitas Sumatera Utara
bentuk complain dari komunitas masyarakat tertentu dapat mendekati pola penyesuaian yang dianggap sebagai jalur intervensi persuasi. Pola ini relatif dapat ditemukan dalam berbagai bentuk penyusunan kebijakan, misalnya pada perumusan kebijakan
APBD dimana antara aktor saling meyakinkan
agar
pertimbangan dan nilainya dapat diterima oleh kelompok aktor lainnya. 3. Pengarahan (commanding) Proses pengambilan kebijakan publik dengan menempatkan adanya pola hirarki yang berlaku antara aktor satu dengan aktor yang lain disebut sebagai pengarahan (commanding). Pola hubungan dan interaksi antara aktor pada model ini
adalah
berkaitan
dengan
pola
perumusan
kebijakan
yang
sangat
struktural,dimana satu kelompok aktor menjadi superordinat dan kelompok yang lain tentu saja menjadi subordinat. Tipe pengambilan kebijakan APBD menempatkan posisi ini mirip dengan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga perumus keuangan daerah dalam bentuk kebijakan APBD.
I.5.5 Gambaran Umum Peraturan Perundang-undangan Indonesia Secara
umum,peraturan
perundang-undangan
fungsinya
adalah
“mengatur” sesuatu substansi untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam masyarakat. Artinya, peraturan perundang-undanganadalah sebagai instrument kebijakan (beleids instrument) apapun bentuknya,apakah bentuknya penetapan, pengesahan, pencabutan, maupun perubahan. 37:
37
http://rudini76ban.wordpress.com/2009/03/21/fungsi-peraturan-perundang-undangan/ (diakses pada tanggal 3 Desember 2012 pukul 16:22)
56 Universitas Sumatera Utara
Jenis jenis Peraturan Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia (dengan penyesuaian penyebutan berdasarkan Undang-Undang No.10 tahun 2004) adalah sebagai berikut 38: A. Peraturan Perundang-Undangan di Tingkat Pusat (1). Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; (2). Peraturan Pemerintah; (3). Peraturan Presiden; (4). Peraturan Menter;i (5). Peraturan Kepala Lemabaga Pemerintah Non Departemen; (6). Peraturan Direktur Jendral Departemen; dan (7). Peraturan Badan Hukum Negara B. Peraturan Perundang-Undangan di Tingkat Daerah (1). Peraturan Daerah Provinsi; (2). Peraturan/Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Provinsi;
(3).
Peraturan
Daerah
Kabupaten
Kota;
(4).
Peraturan/Keputusan Bupati/Walikota Kepala Daerah Kabupaten/Kota
38
Indrarti,Maria Farida. 2011. Ilmu Perundang-undangan ( Jenis,Fungsi dan Materi Muatan). Penerbit Kanisius: Yogyakarta. Hal 184-185
57 Universitas Sumatera Utara
TATA SUSUNAN NORMA HUKUM REPUBLIK INDONESIA
Pembukaan UUD 1945 Batang Tubuh UUD 1945 Ketetapan MPR Konvensi Ketatanegaraan Peraturan
Undang-Undang/PERPU
Perundang-
Peraturan pemerintah
Undangan
Peraturan Presiden Peraturan Menteri Peraturan Ka. LPND Peraturan Dirjen Dept Peraturan Bd. Negara Peraturan Daerah Prov Peraturan Gubernur PeraturanKab/Kota Peraturan Bupati/ Walikota
Gambar : 1.5 Tata Susunan Norma Hukum Di Indonesia
58 Universitas Sumatera Utara
I.5.5.1 Undang - Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Sesuai dengan landasan konstitusional Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa
ruang wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Undang – undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang tata ruang mengamanatkan bahwa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas : a). keterpaduan; b). keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; c). keberlanjutan; d).
keberdayagunaan dan
keberhasilgunaan; e). keterbukaan ; f). kebersamaan dan kemitraan; g). pelindungan kepentingan umum; h). kepastian hukum dan keadilan; dan i). akuntabilitas. 39 Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a). terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b). terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan 39
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
59 Universitas Sumatera Utara
dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c). terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Hal ini tertuang di dalam Undang – undang Nomor 26 Tahun 2007.
I.5.5.2 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dari Undang – undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari pasal 5 ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan pasal 20 ayat (6) Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang yakni Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah ini disebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang selanjutnya disebut RTRWN adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara. Penataan ruang wilayah nasional bertujuan untuk mewujudkan: a). ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan; b). keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; c). keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; d). keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; e). keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang
60 Universitas Sumatera Utara
wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dalam rangka pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negative terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang; f). pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat; g). keseimbangan dan keserasian perkembangan antarwilayah; h). keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsektor; dan i). pertahanan dan keamanan negara yang dinamis serta integrasi nasional. 40 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) menjadi pedoman untuk : a). penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional; b). penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional; c). pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional; d). pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor; e). penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; f). penataan ruang kawasan strategis nasional; dan g). penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
I.5.5.3 Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Dalam hal ini yang akan dibahas adalah Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan. Peraturan Daerah ini merupakan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dari Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan
40
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
61 Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Dengan berlakunya Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka strategi dan arahan kebijakan struktur dan pola ruang wilayah nasional perlu dijabarkan kedalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan dan untuk melaksanakan ketentuan pasal 78 ayat (4) huruf c Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 20112031. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW )Kota Medan disusun sebagai alat operasionalisasi pelaksanaan pembangunan di Wilayah Kota Medan. Penataan ruang wilayah Kota Medan bertujuan untuk: a). mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan serta mempunyai daya saing dan daya tarik sebagai daerah tujuan investasi; dan b). memanfaatkan ruang daratan, lautan dan udara untuk aktifitas pembangunan kota berbasis ekonomi di sektor perdagangan dan jasa, pariwisata serta industry yang berwawasan lingkungan.
I.5.6 Rencana Tata Ruang Tata Wilayah Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang Pengaturan penataan ruang adalah
62 Universitas Sumatera Utara
upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam penataan ruang Perencanaan tata ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/ atau aspek fungsional. Rencana Tata Ruang wilayah nasional (RTRWN) adalah strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah Negara untuk periode 20 tahun. 41 RTRW Kota Medan disusun sebagai alat operasionalisasi pelaksanaan pembangunan di wilayah Kota Medan.
I.5.6.1 Fungsi dan Manfaat RTRW Kota I.5.6.1.1 Fungsi RTRW Kota Fungsi RTRW kota adalah sebagai: 1. Acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah
Daerah
(RPJMD).
2.
Acuan
dalam
pemanfaatan
ruang/pengembangan wilayah kota 3. Acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam wilayah kota 4. Acuan lokasi investasi dalam wilayah kota yang dilakukan pemerintah, masyarakat, dan swasta 5. Pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang di wilayah kota 6. Dasar pengendalian pemanfaatan ruang dalam penataan/pengembangan wilayah kota yang meliputi
41
Undang-undang Republik Indonesia 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
63 Universitas Sumatera Utara
penetapan peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi; dan 7. Acuan dalam administrasi pertanahan.
I.5.6.1.2 Manfaat RTRW Kota Manfaat RTRW kota adalah untuk: 1. Mewujudkan keterpaduan pembangunan dalam wilayah kota 2. Mewujudkan keserasian pembangunan wilayah kota dengan wilayah sekitarnya; dan 3. Menjamin terwujudnya tata ruang wilayah kota yang berkualitas.
I.5.6.2 Muatan Materi Perda RTRW Kota Medan Adapun muatan materi Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan adalah : a). tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah Kota Medan; b). rencana struktur ruang wilayah kota Medan yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana kawasan; c). rencana pola ruang wilayah kota Medan yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya; d). penetapan kawasan strategis kota; e). arahan pemanfaatan ruang wilayah Kota Medan yang terdiri dari indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan f). ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kota Medan yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
64 Universitas Sumatera Utara
I.5.7 Peraturan Daerah Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota) 42 Peraturan Daerah terdiri atas 43 (a). Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur (b) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota
I.5.7.1 Pembentukan Peraturan Daerah I.5.7.1.1 Prinsip Pembentukan Peraturan Daerah Setelah UU No 22 tahun 1999 diganti dengan UU No.32 tahun 2004 prinsip-prinsip pembentukan peraturan daerah ditentukan sebagai berikut 44: a. Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. b. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas pembantuan dan merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memerhatikan ciri khas masing-masing daerah c. Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/ atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi d. Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan 42
op.cit 2011:Hal 184-185
43
Undang –Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pemebentukan Peraturan PerundangUndangan 44
Ni’Matul Huda, SH.,M Hum .2005 Otonomi daerah .Pustaka Pelajar.Yogyakarta.hal 23
65 Universitas Sumatera Utara
e. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan ranperda f. Perda dapat memuat ketentuan beban biaya paksaan penegakan hukum, atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyakbanyaknya rp.50.000.000,-(lima puluh) juta rupiah g. Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah ditetapkan untuk melaksanakan Perda h. Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah i. Perda dapat menunjuk pejabat tertentu sebagai pejabat-penyidik pelanggaran perda j. Pengundangan perda dalam lembaran daerah dan peraturan daerah dalam berita daerah.
Apabila
dalam
satu
masa
sidang
DPRD
dan
Gubernur
atau
Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang sama,maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD sedangkan rancangan yang disampaikan Gubernur atau Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
I.5.7.1.2 Materi Muatan Peraturan Daerah Di dalam Ketetapan MPR RI No.III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ,Peraturan Daerah secara resmi menjadi sumber hukum dan masuk ke dalam tata urutan peraturan perundangundangan. Ketetapan MPR tersebut menegaskan bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khusus di daerah yang bersangkutan. Setelah dikeluarkan Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan ,yang menggantikan Ketetapan MPR No.III/MPR/2000,ditegaskan dalam pasal 12,bahwa materi muatan Perda adalalah seluruh materi muatan dalam
66 Universitas Sumatera Utara
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam UndangUndang dan Peraturan Daerah. 45 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah diperbaharui menjadi Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimana Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.
I.5.7.2 Wewenang Dan Pembentukan Peraturan Daerah Dalam penjelasan umum Undang-undang No.32 tahun 2004 disebutkan bahwa kewenangan yang ada pada kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah mengandung pengertian bahwa pembentukan peraturan daerah dapat dilakukan bersama-sama. Adapun Prakarsa Pembentukan Peraturan Daerah adalah sebagai berikut 45
46
:
Ibid 2005 : 236
46
H Abdul Latief. 2005.Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah..hal 60-68
67 Universitas Sumatera Utara
A. Prakarsa Kepala Daerah Di dalam Pasal 140 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 menyebutkan, ayat 1 rancangan perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau bupati/ walikota dan pasal 141 ayat 1 rancangan perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi, dengan mekanisme sebagai berikut: 1. Konsep rancangan peraturan daerah disusun oleh dinas/ biro/ unit kerja yang berkaitan dengan materi muatan yang akan diatur. Sebelum penyusunan
dilakukan,
dinas,
biro,
unit
kerja
bersangkutan
memberitahukan kepada biro hukum atau bagian hukum. Penyusunan konsep oleh dinas/ biro/ unit kerja tidak berarti selalu oleh satu dinas/ biro/unit. Penyusunan itu dapat juga dilakukan bersam-sama dinas, biro, unit kerja lain. Penyusunan bersama ini harus dimungkinkan karena ada kemungkinan (bahkan hampir selalu) materi muatan suatu peraturan daerah berkaitan dengan tugas berbagai dinas, biro dan sebagainya.; 2. Konsep yang telah disusun dinas, biro, unit kerja tersebut disampaikan kepada biro hukum atau bagian hukum untuk pemeriksaan teknis seperti kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan lain, kesesuaian dengan kebijaksanaan umum pemerintahan (pusat atau daerah bersangkutan) dan kebakuan format sesuai dengan pedoman yang berlaku; 3. Biro hukum atau bagian hukum akan mengundang dinas, biro, unit kerja yang akan menyusun konsep dan unit-unit kerja lain untuk ikut menyempurnakan konsep tersebut. Apabila sejak penyusunan konsep,
68 Universitas Sumatera Utara
unit-unit kerja lain diikutsertakan, maka pembahasan bersama akan dipermudah bahkan mungkin ditiadakan. Dengan mengikutsertakan berbagai unit dalam penysusunan konsep, maka pembahasan bersama atas konsep mungkin hanya diperlukan apabila biro hukum atau bagian hukum setelah melakukan pemeriksaan menemukan hal-hal yang memerlukan perubahan-perubahan (terutama perubahan substansi atau materi); 4. Biro hukum atau bagian hukum menyusun penyempurnaan(konsep final) untuk diteruskan kepada kepala daerah mengadakan mengadakan pemeriksaan (dibantu sekwilda); 5. Konsep rancangan peraturan daerah yang telah disetujui kepala daerah berubah menjadi rancangan peraturan daerah; 6. Rancangan peraturan daerah disampaikan kepala daerah kepada ketua dewan
perwakilan
rakyat
daerah
disertai
nota
pengantar
untuk
memperoleh persetujuan dewan
B. Prakarsa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tata cara penyusunan rancangan peraturan daerah oleh dewan perwakilan rakyat daerah diatur dalam peraturan daerah dalam tata tertib dewan. Karena itu, ada kemungkinan perbedaan antara peraturan daerah yang satu dengan daerah yang lain. Meskipun demikian kemungkinan, kemungkinan perbedaan tersebut kecil sekali, karena peraturan daerah disusun berdasarkan PP No. 25 tahun 2004 tentang pedoman penyusunan tatib DPRD yang menggantikan surat keputusan Menteri Dalam Negeri No 4/ I/ 25-138 tahun 1978. Tata cara penyusunan
69 Universitas Sumatera Utara
rancangan peraturan daerah menuntut peraturan tata tertib dewan perwakilan rakyat daerah: 1. Usul prakarsa dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya lima orang anggota yang tidak hanya terdiri dari satu fraksi; 2. Usul prakarsa dalam bentuk rancangan peraturan
daerah tersebut
disampaikan kepada pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah.Pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah membawa rancangan peraturan daerah tersebut ke dalam sidang paripurna dewan perwakilan rakyat daerah setelah mendapat pertimbangan panitia musyawarah. Para pengusul diberi kesempatan untuk memberi penjelasan; 3. Pembahasan usul prakarsa dalam sidang-sidang dewan perwakilan rakyat daerah dilakukan oleh anggota dan kepala daerah; 4. Tingkat-tingkat
pembicaraan
dilakukan
sesuai
dengan
tata
cara
pembahasan rancangan peraturan daerah atas prakarsa kepala daerah
I.6 Definisi Konsep Defenisi konsep diperlukan peneliti dalam melakukan penelitian yakni dengan penggunaan istilah yang khusus untuk menggambarkan sebuah fenomena yang hendak diteliti secara tepat. 47 Definisi konsep dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut : 1. Kebijakan Publik
47
Singarimbun, Masri. 2006.Metode Penelitian Survay .LP3ES: Jakarta . Hal 33
70 Universitas Sumatera Utara
Kebijakan publik adalah sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah Kebijakan publik berfungsi untuk mengatur,mengarahkan dan mengembangkan interaksi dalam sebuah komunitas. Kebijakan Publik yang dimaksud akan dipakai dalam penelitian ini ialah Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. 2. Analisa Kebijakan Publik Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalahmasalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasiinformasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumenargumen
tentang
berbagai
alternatif
kebijakan,
sebagai
bahan
pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan 3. Formulasi kebijakan Formulasi kebijakan adalah bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan atau alternatif - alternatif untuk memecahkan masalah tersebut dan siapa saja kah yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan. Formulasi kebijakan rencana tata ruang wilayah diawali dengan adanya Naskah Akademik Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2030 yang selanjutnya diproses untuk menyusun sebuah Rancangan Peraturan Daerah yakni Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan.
71 Universitas Sumatera Utara
Sedangkan indikator yang dapat digunakan dalam menganalisis proses Formulasi suatu kebijakan, yaitu : (1) Standar dan Sasaran Kebijakan, (2) Sumber Daya, (3) Komunikasi, (4) Karateristik Agen Pelaksana (5) Kondisi sosial Ekonomi dan Politik (6) Disposisi Implementor. Namun tidak menutup kemungkinan adanya indikator-indikator lain yang ditemukan di lapangan. 4. Adopsi Kebijakan Adopsi kebijakan adalah bagaimana alternatif ditetapkan,persyaratan atau kriteria apa saja yang harus dipenuhi,siapa yang akan melaksanakan kebijakan,bagaimana
proses
atau
strategi
untuk
melaksanakan
kebijakan,dan apa isi dari kebijakan yang ditetapkan. Adopsi kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah dimulai dari adanya pembahasan tentang Rancangan Perda RTRW sampai pada penetapatan Rancangan Perda RTRW tersebut menjadi Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan No. 13 Tahun 2011. Dan indikator yang dapat digunakan dalam menganalisis proses Adopsi suatu kebijakan, yaitu: (1) Nilai, (2) Afiliasi Partai Politik , (3) Kepentingan Konstituen, (4) Opini Publik (5) Pendapat Pejabat/Pimipinan (6) Peraturan Perundang-undangan. Namun tidak menutup kemungkinan adanya indikator-indikator lain yang ditemukan di lapangan. 5. Rencana Tata Ruang Wilayah Rencana Tata Ruang wilayah nasional (RTRWN) adalah strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah Negara untuk periode 20 tahun.
72 Universitas Sumatera Utara
I.7 Sistematika Penulisan BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep, dan sistematika penulisan.
BAB II
: METODE PENELITIAN Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
BAB III
: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan data tentang gambaran umum karakteristik lokasi penelitian yang relevan dengan topik penelitian.
BAB IV
: PENYAJIAN DATA Bab ini menyajikan data yang diperoleh selama penelitian dilapangan dan dokumentasi yang akan dianalisis.
BAB V
: ANALISA DATA Bab ini berisikan tentang kajian dan analisis data yang diperoleh pada saat penelitian dilapangan dan memberikan interpretasi terhadap masalah yang diteliti.
BAB VI
: PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dan saran atas penelitian yang dilakukan.
73 Universitas Sumatera Utara