1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan pada hakikatnya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan wilayah perairan Indonesia, sebagai wilayah kedaulatan nasional untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan keamanan bangsa Indonesia. Laut berperan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan manusia terutama pangan, sumber energi, media penghubung, media kegiatan industri dan pertahanan keamanan. Selain dari pada itu, laut juga merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia dengan potensi yang sangat kaya dan beragam. Selama ini laut dikenal dalam pemanfaatannya di sektor perikanan dan transportasi, tetapi dalam kehidupan masyarakat pesisir tradisional tidak hanya mengenal pemanfaatan terhadap hasil laut, melainkan juga menjalankan suatu ritual yang berhubungan dengan kepercayaan mereka terhadap laut, tempat masyarakat menggantungkan sumber penghidupannya. Masyarakat
menjalankan
sebuah
ritual
kepercayaan
berdasarkan
pengetahuan budaya yang dimiliki atau local wisdom, dimana budaya ini berkembang dari pewarisan budaya yang dianut masyarakat jaman sebelumnya. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat, didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan tingkah laku manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990a : 180). Kreativitas manusia yang didasari oleh daya cipta, rasa, karsa dan budi murni
2
akan melahirkan kebudayaan sebagai nilai-nilai hidup dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai ini dikenal oleh suatu generasi ke generasi yang lain melalui proses belajar, yang berlangsung lewat jalur pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Bagi masyarakat tradisional, nilai-nilai yang diwariskan secara turun-temurun sangat kuat. Ukuran-ukuran yang dipakai adalah nilai yang telah dibina oleh nenek moyang semenjak dahulu. Masyarakat baik yang kompleks maupun yang sederhana, mempunyai sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem. Sistem ini merupakan sebuah pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan yang menjadi pendorong kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya. Nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang mereka angap bernilai, berharga dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakatnya. Sistem nilai budaya dalam tiap kebudayaan, menurut C. Kluckhohn terdiri dari lima dasar masalah dalam kehidupan manusia, diantaranya: 1. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia, dengan orientasi nilai budayanya : hidup itu baik – hidup itu buruk – hidup tergantung dari ikhtiar atau usaha manusia. 2. Masalah mengenai hakikat karya manusia yakni: karya untuk nafkah hidup – karya untuk kehormatan dan kedudukan – karya untuk menambah karya. 3. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu yakni : orentasi ke masa kini – orientasi ke masa lalu – orientasi ke masa depan. 4.
3
Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam yakni : manusia tunduk kepada alam yang dahsyat – manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam – manusia berhasrat menguasai alam. 5. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya yakni : orientasi horizontal – orientasi vertikal – individualisme (Koentjaraningrat, 1990a : 109-194). Kepercayaan masyarakat Jawa, khususnya masyarakat nelayan yang tinggal di pesisir pantai selatan, melakukan ritual kelautan didasari oleh orientasi nilai budaya manusia terhadap alam, yakni manusia berusaha menjaga keselarasan dan keseimbangan alam. Oleh masyarakat nelayan, lingkungan alam tempat mereka melakukan aktivitas kesehariannya yang berkaitan dengan mata pencaharian, dipersonifikasikan sebagai makhluk-makhluk gaib atau dewa-dewa yang menjaga lautan dan dikenal dengan nama penguasa laut. Keberadaan penguasa laut ini dipercaya sebagai pelindung nelayan ketika berada di laut, dan yang memberikan berkah berupa hasil laut yang melimpah. Nelayan dan masyarakat sekitar wilayah pesisir berupaya menjaga hubungan yang selaras dengan penguasa laut, dengan mengadakan suatu ritual kepercayaan yang identik dengan upacara pengorbanan atau larung sesaji. Salah satu bentuk ritual kelautan tersebut adalah ritual petik laut, ritual ini dilaksanakan oleh masyarakat Desa Kedungrejo Kecamatan Muncar Banyuwangi. Ritual yang sama juga dilaksanakan di daerah yang masih termasuk kawasan pantai selatan dengan ciri khas tertentu di tiap-tiap daerah. Ritual petik laut yang dilaksanakan masyarakat Desa Kedungrejo berlangsung setiap satu tahun sekali, yakni pada bulan Muharram atau Suro dalam penanggalan Jawa. Biasanya kegiatan ini digelar pada
4
saat bulan purnama, mengingat pada saat itu terjadi air laut pasang dan nelayan tidak melaut. Ritual petik laut ini secara historis telah ada semenjak Luhpangpang atau sebutan untuk pelabuhan penangkapan ikan yang ada di Desa Kedungrejo, mulai berkembang menjadi pusat penangkapan ikan. Ritual ini juga sudah berlangsung sejak waktu yang cukup lama, sekitar tahun 1901 dan tidak mustahil ritual petik laut ini berasal dari masa Kerajaan Blambangan lama. Ritual petik laut ini pada awalnya bernama Petik Laut Desa Kedungrejo Muncar, karena dilaksanakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab pemerintah Desa Kedungrejo, namun agar menjadi lebih praktis, masyarakat sekitar hanya menyebut dengan istilah petik laut Muncar, tanpa bermaksud untuk merubah atau mengurangi makna daripada ritual petik laut secara keseluruhan (proposal kegiatan petik laut Muncar, 2011). Tahapan dalam prosesi ritual petik laut di Desa Kedungrejo, meliputi beberapa rangkaian acara. Rangkaian acara tersebut antara lain : acara resmi petik laut, acara tradisional petik laut serta acara penunjang petik laut. Acara resmi petik laut merupakan saat peresmian dan pembukaan petik laut, yang dilaksanakan oleh Bupati sebagai perwakilan masyarakat Desa Kedungrejo, sedangkan acara tradisional petik laut, merupakan kumpulan dari acara yang sifatnya agamis diantaranya: pengajian, istighosah, dan tahlil, serta acara yang bersifat adat yakni pembuatan dan pelarungan sesaji. Rangkaian acara tradisional petik laut ini memperlihatkan adanya sinkretisme pada masyarakat Desa Kedungrejo. Masyarakat dengan basic agama Islam tetap melaksanakan bentuk-bentuk ritual,
5
yang pada dasarnya masih merupakan peninggalan leluhur yakni kepercayaan animistik dan Hindhu. Penelitian maupun tulisan mengenai sinkretisme agama dalam masyarakat Islam Jawa, diantaranya oleh Suwardi Endraswara dalam buku yang berjudul “Buku Pinter Budaya Jawa”. Islam Jawa sesungguhnya berunsur pada animisme dari jaman prasejarah sampai sekarang. Jaman tersebut meliputi: jaman Prasejarah, jaman Kerajaan Hindhu-Budha dan jaman Kerajaan Islam. Jaman Prasejarah yaitu ketika masyarakat Jawa tinggal di dalam masyarakat kecil dan kepercayaan animisme, jaman kedua adalah jaman kerajaan Hindhu-Budha, dan jaman ketiga adalah jaman kerajaan Islam. Kerajaan Islam yang di bentuk masih menyimpan banyak tradisi dari kerajaan Hindhu-Budha, sehingga agama di Jawa saat ini berlapiskan tiga, yaitu kepercayaan animisme, agama Hindhu-Budha dan agama Islam (Suwardi Endraswara, 2005:82). Islam Jawa merupakan perpaduan yang khas antara Islam sebagai agama formal dan peninggalan serta praktek kepercayaan animisme dan kepercayaan Hindhu atau disebut juga sebagai Islam Kejawen (Suwardi Endraswara, 2005:83). Islam kejawen menurut Neils Mulder dalam bukunya “Pribadi dan Masyarakat di Jawa” adalah bukan merupakan suatu kategori keagamaan, tetapi menunjuk kepada suatu etika dan gaya hidup yang diilhami oleh cara pemikian Javanism, yakni suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang di anggap sebagai pada hakikatnya Jawa dan mendefinisikannya sebagai suatu kategori khas. Unsur-unsur ini biasanya diperkirakan berasal dari masa Hindhu Budha dalam sejarah Jawa, dan bergabung dalam suatu bentuk filsafat.
6
Terangkum sebagai suatu sistem pemikiran yang berisikan kosmologi, mitologi, dan seperangkat konsepsi yang bersifat mistik (Mulder, 1985 : 16). Masuknya agama Islam tidak membuat kepercayaan dan agama yang berkembang sebelumnya menjadi hilang. Masyarakat islam di Jawa mengenal keberadaan tokoh wali sanga (sembilan wali) sebagai tokoh yang pertama kali menyebarkan agama islam ke Jawa, yang memasukkan ajaran agama islam pada unsur-unsur budaya lokal (Rahimsyah, 1997 : 8-10). Clifford Geertz dalam penelitiannya yang juga mengenai masyarakat Jawa di daerah Mojokuto, mendeferensiasikan masyarakat Islam Jawa (Mojokuto), dalam dalam tiga struktur sosial yaitu santri, priyayi dan abangan. Masyarakat Islam Jawa di Mojokuto dilihat sebagai suatu sistem sosial, dengan kebudayaan Jawanya yang akulturatif dan agamanya yang sinkretis. Uraian mengenai ketiga struktur sosial tersebut yakni, orang abangan ialah orang Islam yang masih menekankan pada aspek-aspek animistik (intinya berpusat di pedesaan), sedangkan santri digambarkan sebagai orang yang melakukan agama Islam secara ortodoks, dan adalah orang-orang yang rajin dengan ritual-ritual agamanya (berpusat ditempat perdagangan atau pasar). Sedangkan Priyayi ialah para bangsawan dan orang-orang terpelajar atau secara umum orang yang di anggap bergaya hidup berbeda dengan orang desa dan lebih menekankan pada aspekaspek kepercayaan Hindhu (berpusat dikantor pemerintahan dan kota). Adanya variasi tiga struktur sosial ini menunjukkan bahwa, dibalik kesan yang didapat dari pernyataan bahwa penduduk di Mojokuto adalah sembilan puluh persen (90%) beragama Islam, sesungguhnya terdapat variasi dari sistem kepercayaan,
7
nilai dan upacara yang berkaitan dengan masing-masing struktur sosial tersebut. (Geertz, 1989 : 165). Penelitian yang dilakukan terkait ritual petik laut Desa Kedungrejo Kecamatan Muncar, yakni penelitian dalam bentuk tesis yang berjudul “Petik Laut Akomodasi Sosial-Ideologi di Kalangan Nelayan Muncar Banyuwangi” oleh Nurainiyah seorang mahasiswa program pasca sarjana UGM tahun 2007. Tesis ini berisikan deskripsi tentang akomodasi dua tradisi yang berbeda secara ideologis dan sosial yang bisa menciptakan toleransi dan kedamaian dalam masyarakat. Masyarakat Muncar yang plural baik etnis, agama, dan budaya mampu menekan konflik dan mengutamakan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Serta tulisan mengenai petik laut yang dimuat dalam Tabloid Blambangan tahun 2005 yang berjudul “Petik Laut Muncar ; Cermin Seni Agraris dan Maritim” oleh Aekanu Hariyono pemerhati budaya Banyuwangi yang juga menjabat sebagai Kasi Adat Bidang Pariwisata Banyuwangi. Masyarakat Desa Kedungrejo melaksanakan ritual petik laut dengan basic culture bahari, yang terpadu dengan kultur agraris atau pertanian, misalnya dalam hal penggunaan sesaji yang berupa hasil-hasil bumi atau palawija, seperi diketahui bahwa palawija merupakan produk hasil pertanian dan perkebunan. Masyarakat Desa Kedugrejo juga telah mengalami dinamika dalam hal sistem mata pencaharian hidup, ditandai dengan berkembangnya beberapa varian mata pencaharian, selain mata pencaharian sebagai nelayan dan petani (Monografi Desa Kedungrejo, 2010). Kondisi ini disebabkan oleh makin berkembangnya pabrik-
8
pabrik pengolahan ikan di Desa Kedungrejo, sehingga menyebabkan banyak terserapnya tenaga kerja di Desa Kedungrejo sebagai buruh pabrik. Masyarakat Desa Kedungrejo tetap melaksanakan ritual petik laut setiap satu tahun sekali, ditengah perkembangan wilayah Desa Kedungrejo dalam segi perekonomian, teknologi maupun dinamika okupasi. Ritual petik laut ini merupakan wujud ungkapan rasa syukur masyarakat Desa Kedungrejo kepada Tuhan dan penghormatan mereka terhadap tradisi leluhur. Berdasarkan pada latar belakang diatas, oleh karena itu penulis melalui penelitian ini mencoba untuk mengungkapkan mengenai keberadaan ritual petik laut pada masyarakat Desa Kedungrejo Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur.
9
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, terdapat beberapa pokok permasalahan yang penting dan menarik untuk dikaji. Masalah tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Mengapa masyarakat Desa Kedungrejo tetap melaksanakan ritual petik laut setiap satu tahun sekali? 2. Bagaimana tahapan dalam prosesi ritual petik laut yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Kedungrejo? 3. Bagaimana fungsi dari ritual petik laut bagi masyarakat Desa Kedungrejo? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui alasan dan faktor yang mendorong masyarakat Desa Kedungrejo tetap melaksanakan ritual petik laut setiap satu tahun sekali. 2. Untuk mengetahui tahapan dalam prosesi ritual petik laut yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Kedungrejo 3. Untuk memahami fungsi dari ritual petik laut bagi masyarakat Desa Kedungrejo
10
1.3.2 Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya Antropologi Agama (Sistem Religi). Selain itu juga diharapkan dapat memberikan motivasi dan informasi kepada peneliti-peneliti lain yang tertarik untuk mengkaji penelitian mengenai prosesi dan fungsi ritual keagamaan dalam masyarakat. 1.3.3 Manfaat Praktis 1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan informasi mengenai ritual petik laut yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Kedungrejo Kecamatan Muncar Banyuwangi 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan informasi yang berkaitan dengan Antropologi Budaya dan Sistem Religi 1.4 Kerangka Teori, Konsep dan Model Penelitian 1.4.1 Kerangka Teori Menurut Kerlinger (1978) Teori adalah seperangkat konstruks (konsep), definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematis melalui spesifikasi hubungan antarvariabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena (Sugiono, 2005:41). Teori yang akan dioprasionalkan sebagai kerangka landasan dalam penelitian ini mengacu pada
11
beberapa teori. Teori ini nantinya akan mampu melingkupi keseluruhan dari permasalahan diatas. Dalam penelitian ini dipergunakan teori Fungsional dari Malinowski sebagai Grand Theori (teori utama / teori besar) dalam melandasi pemecahan permasalahan, didukung dengan teori Asas pemberian (give) dari Marcel Mauss. 1. Teori Fungsional B. Malinowski Bagaimana lembaga masyarakat satu sama lain saling berkaitan dan saling memperkuat, mengambil struktur dan integrasi masyarakat sebagai masalah pokok. Upacara, mitos dan penjabaran simbolis lainnya dilihat sebagai cermin dan dukungan dari organisasi masyarakat. Malinowski
mengembangkan
suatu
kerangka
teori
baru
untuk
menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia yang disebutnya sebagai teori fungsional tentang kebudayaan a fungsional theory of culture. Merujuk pada karangan etnografinya di kepulauan Trobiand mengenai sistem perdagangan yang disebut kula. Sistem kula tidak hanya terdiri dari sistem perdagangan, tetapi banyak unsur-unsur kebudayaan yang terlibat didalamnya, seperti pola pemukiman, sistem teknologi pembuatan perahu, sistem pengetahuan musim dan mata angin, serta pesta dan ritual agama sebelum dan sesudah perjalanan kula. Sehingga seluruh aktivitas kebudayaan masyarakat Trobiand terangkum sebagai satu
sistem
sosial
yang
berintegrasi
secara
fungsional
dan
holistik.
(Koentjaraningrat, 1987, 162-165). Malinowski juga menjelaskan mengenai fungsi unsur-unsur kebudayaan untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup manusia. Inti dari pada teori
12
fungsional Malinowski mengatakan bahwa berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat manusia berfungsi untuk memuaskan suatu rangkaian hasrat naluri manusia (basic human neeed). Tetapi tentu terdapat unsur-unsur kebudayaan yang tidak hanya berfungsi untuk memuaskan satu hasrat naluri saja, melainkan suatu kombinasi lebih dari satu hasrat. Teori fungsional dari Malinowski dalam penulisan ini, dipakai untuk memahami salah satu kebutuhan atau hasrat naluri manusia akan pelaksaan ritual atau upacara agama. Oleh masyarakat pesisir dengan basic culture bahari, pelaksanaan ritual kepercayaan berdasarkan pada upaya untuk membalas berkah dan keselamatan selama beraktivitas di laut. Berkah dan keselamatan yang diterima berhubungan dengan adanya mitos penguasa laut. Mitologi ini yang kemudian menjadi salah satu dasar masyarakat melaksaakan ritual yang dinamakan petik laut. Unsur-unsur kebudayaan dalam ritual petik laut tidak hanya berfungsi untuk memuaskan satu hasrat naluri saja, melainkan suatu kombinasi lebih dari satu hasrat. Masyarakat melaksanakan ritual petik laut sebagai wujud ungkapan syukur kepada Tuhan serta adanya penghormatan masyarakat terhadap tradisi leluhur. Mengingat ritual petik laut ini dilaksanakan secara berulang setiap tahun, maka dengan adanya ritual petik laut dapat menjadi salah satu pranata sosial untuk memantapkan ikatan solidaritas masyarakat. Ritual petik laut juga merupakan salah satu asset daerah yang dapat memberi kontribusi bagi pengembangan kepariwisataan.
Sehingga
dapat
dikatakan
bahwa,
aktivitas
kebudayaan
13
masyarakat yang dilakukan melalui pelaksanaan ritual petik laut, terangkum sebagai satu sistem sosial yang berintegrasi secara fungsional dan holistik. 2. Teori Asas Pemberian (give) Marcel Mauss Merujuk pada karangan Mauss mengenai fungsi dari pranata tukarmenukar hadiah dalam kehidupan masyarakat tradisional yang berjudul Esaai sur le don atau dalam bahasa Inggris di terjemahkan menjadi the gift. Tradisi tukar menukar hadiah ini, memiliki hubungan yang berdasarkan pada kewajiban untuk membalas pemberian dengan nilai yang seimbang. Hal ini merupakan suatu dasar, suatu prinsip yang mengaktifkan kehidupan masyarakat dan oleh Malinowski disebut sebagai principle of resiprocity. (Koentjaraningrat, 1987 : 168). Tukar-menukar hadiah juga meliputi unsur-unsur prestise, status sosial, dan kesejahteraan. Konsep pemberian (give) dari Marcel Mauss biasanya dipergunakan dalam rangka mengembangkan atau memelihara hubungan solidaritas sosial, tetapi Mauss juga menjelaskan konsep mengenai pemberianpemberian kepada sesama manusia dan kepada dewa-dewa. Dewa-dewa dan rohroh dari mereka yang sudah meninggal adalah pemilik sebenarnya dari kekayaan dunia, adalah amat penting untuk melakukan saling tukar-menukar dengan mereka itu dan amatlah berbahaya kalau tidak melakukannya (Mauss, 1992 : 19) Hubungan dari kontrak tukar-menukar ini, tidak hanya menyangkut orangorang yang saling bersaing satu sama lainnya dalam hal kemurahan hati memberikan hadiah, tetapi menyangkut juga masalah alam. Saling tukar-menukar dengan menyebut nama-nama roh yang sudah mati, dewa-dewa, hewan-hewan
14
dan berbagai gejala alam untuk memohon kemurahan hati agar dilimpahkan berkah kepada mereka. Manusia berkata bahwa saling tukar-menukar hadiah membawa kekayaan yang berlimpah ruah, misalnya pada upacara-upacara dan pengaruhnya terhadap mereka yang sudah almarhum, terhadap hewan buruan, ikan dan kerang-kerangan yang dilakukan orang Eskimo. Kaitan hubungan dari kontrak tukar-menukar diantara sesama manusia dengan yang berlaku antara manusia dengan dewa-dewa, menjelaskan suatu aspek menyeluruh dari teori berkorban. Dalam hal ini, saling tukar menukar mencakup bukan hanya manusiamanusia dan benda-benda, tetapi juga makhluk-makhluk suci yang memiliki keterkaitan dengan mereka (Mauss, 1992 :17). Teori asas pemberian atau give dari Marcel Mauss dalam penulisan ini, dipakai untuk memahami ritual bersaji yang disebut oleh masyarakat Desa Kedungrejo sebagai petik laut. Pemberian (give) dipakai untuk memahami tujuan ritual yang pada intinya bermaksud membalas segala berkah yang telah didapatkan oleh para nelayan yang dikonsepsikan sebagai makhluk-makhluk gaib penguasa laut, pada konsep yang lebih universal kewajiban untuk membalas pemberian berkah semacam itu identik dengan upacara pengorbanan. 1.4.2. Konsep Konsep adalah istilah-istilah yang merupakan suatu abstraksi tentang suatu gejala yang dibuat, untuk memperoleh pengertian tentang gejala tersebut
(
Geriya, 1982:10). Memberikan suatu gambaran sekaligus mempertegas pokok pembahasan dari masalah yang diajukan. Menghindari kesalahpahaman mengenai topik kajian dalam penelitian ini, maka akan dijelaskan beberapa konsep yang
15
dianggap relevan dalam penelitian ini. Konsep tersebut di antaranya : konsep ritual, petik laut, masyarakat, dan Kedungrejo. 1. Ritual Sebuah tindakan simbolik dimana lebih mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan dan agama tertentu. Contohnya : ritual Talu yaitu suatu
ritual
yang dipakai untuk menyebut upacara sihir
yang
diselenggarakan oleh suku Arunta, dengan maksud untuk memelihara persediaan berbagai jenis binatang untuk pengembangbiakan. (Suyono, 1985 : 353). 2. Petik Laut Petik laut merupakan sebuah ritual yang bernilai sakral, yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali yakni pada bulan suro. Acara puncaknya adalah melarungkan perahu kecil atau gitik yang berisi sesaji berupa kepala kambing, berbagai macam kue, buah-buahan, pancing emas, dan sepasang ayam hidup. Malam hari sebelum acara puncak petik laut, gitik ditempatkan disalah satu rumah atau surau untuk dilakukan tirakatan. Sebelum perahu dilarung perahu tersebut diarak keliling perkampungan yang disebut sebagai idher bumi. Gitik sesaji dilarung diiringi oleh ratusan perahu nelayan yang telah dihias sebelumnya dengan umbul-umbul dan pernak-pernik yang meriah. Para nelayan saling berebut untuk menyiram perahu mereka dengan air laut dan sisa-sisa sesaji tempat sesaji dilarungkan, mereka percaya bahwa air laut tersebut mengandung berkah dan kekuatan tertentu untuk mereka selama setahun kedepan. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Sembulungan yakni untuk mengunjungi makam dari
16
Sayid Yusuf yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai orang yang pertama kali membuka wilayah tersebut, disinilah kemudian tari gandrung dipentaskan. Ritual petik laut merupakan salah satu wujud ungkapan syukur nelayan akan berkah dan keselamatan yang telah mereka terima selama mereka mencari nafkah di laut. (Kalender Wisata Kabupaten Banyuwangi, 2012). Menurut M. Dwi Cahyono Dalam Artikel “Petik Laut: Ritus Bahari Nelayan Jawa” menjabarkan pengertian dari petik laut adalah sebagai tradisi untuk menghormati alam dan leluhur yang ditunjukkan dengan ritus slametan. Para nelayan pada umumnya menyakini bahwa ada penguasa gaib di laut, yang mesti diberi persembahan agar mereka terhindar dari murka, dan sebaliknya mendapat limpahan berkah. Upaya menghindari kemurkaan penguasa samudera yang berwujud terhindar dari gulungan ombak besar, terjangan angin badai, pemangsaan binatang laut, dan sebagainya adalah hal yang penting. Dasar pemujaan mereka adalah ketakutan akan kekuatan Yang MahaDahsyat. Mereka menyadari bahwa kedahsyatan dan keganasan samudera tak selalu mampu ditaklukkan, sehingga perlu ditempuh upaya lain, yakni dengan cara “menjinakkan” penguasa gaib-nya. Sebagai nelayan, berkah yang berupa melimpahnya ikan tangkapan di laut tentu amat diharapkannya. Mereka merasa tak cukup hanya dengan mengandalkan perangkat canggih penangkap ikan, namun perlu pula menyenangkan hati Pemberi Berkah dengan puja, sesaji ataupun dengan persembahan korban, yang semuanya ini merupakan “suap” terhadapnya.
17
3. Masyarakat Desa Kedungrejo Kesatuan hidup manusia yang berinteraksi antara satu individu dengan yang lain menurut adat-istadat serta sistem norma tertentu, berlangsung secara kontinyu dan mencerminkan adanya kesadaran bahwa mereka memiliki identitas yang sama yang dimiliki oleh semua anggota. (Koentjaraningrat, 1990a : 154). Ikatan yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat yaitu pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu, pola tersebut harus bersifat mantap dan kontinyu serta menjadi adat – istiadat yang khas. Dengan demikian suatu asrama pelajar, akademi kedinasan atau sekolah tidak dapat disebut sebagai masyarakat, karena meskipun kesatuan manusia yang terdiri dari murid, guru, pegawai administrasi serta karyawan tersebut terikat dan diatur tingkah lakunya oleh berbagai norma dan aturan sekolah, namun sistem norma yang berlaku hanya meliputi beberapa sektor kehidupan yang terbatas, sedangkan sebagai kesatuan manusia suatu asrama atau sekolah tersebut hanya bersifat sementara yang berarti tidak ada kontinuitas. Masyarakat Desa Kedungrejo merupakan penduduk dari wilayah Desa Kedungrejo di wilayah Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur. Secara khusus batas administratif Desa Kedungrejo meliputi: sebelah utara berbatasan dengan Desa Tembokrejo, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kedungringin, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali, dan sebelah barat berbatasan dengan desa Blambangan, dengan adanya Selat Bali sebagai batas timur dari wilayah Desa Kedungrejo, menjadikan Desa Kedungrejo sebagai
18
daerah dengan potensi perikanan laut terbesar di Kabupaten Banyuwangi dan Jawa Timur ( Monografi Desa Kedungrejo, 2010) 1.5. Model Permasalahan penelitian akan diungkapkan melalui sebuah model seperti yang tergambar dibawah ini, guna lebih memudahkan dalam memahami permasalahan penelitian Model Penelitian
MITOS
MASYARAKAT
RITUAL PETIK LAUT
SIMBOL
FUNGSI Ket: : memberikan pengaruh : saling mempengaruhi Keterangan Model Masyarakat Desa Kedungrejo memiliki mitologi yang terkait langsung dengan laut sebagai pusat aktivitas sehari-hari atau sebagai sumber penghidupan. Mitologi yang berasal dari tradisi Osing sebagai leluhur dari masyarakat Desa
19
Kedungrejo, terkait keberadaan sosok Ratu Rejo Mino sebagai penguasa laut, terpadu dengan kepercayaan terhadap Nabi Khidir sebagai penjaga kerajaan air dalam tradisi Islam. Penguasa laut ini dipercaya sebagai pelindung nelayan ketika berada di laut dan yang memberikan hasil laut yang melimpah, mitos ini merupakan salah satu dasar dari kepercayaan masyarakat untuk melaksanakan ritual petik laut. Ritual petik laut juga memiliki simbol-simbol bagi masyarakat, diantaranya sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat atas berkah hasil laut yang melimpah, pelestarian dan penghormatan terhadap tradisi leluhur, serta untuk menjaga keseimbangan hubungan manusia dengan alam. Adapun fungsi dari ritual petik laut ini diantaranya : ritual petik laut ini dilaksanakan secara berulang setiap tahun, maka ritual ini dapat menjadi salah satu pranata sosial untuk memantapkan ikatan solidaritas masyarakat. Ritual petik laut dapat dijadikan ruang bertemu, berinteraksi dan perekat hubungan antar sesama dalam menumbuhkan kesadaran kolektif, adanya harapan untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Desa Kedungrejo setelah melaksanakan ritual petik laut, serta merupakan salah satu asset daerah yang seyogyanya membutuhkan perhatian Pemerintah Daerah setempat, karena dapat memberi kontribusi bagi pengembangan kepariwisataan. 1.6 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Pendekatan kualitatif bertujuan menggali dan membangun suatu proposisi atau menjelaskan makna dibalik realita. Peneliti berpijak pada realita atau peristiwa yang berlangsung dilapangan. Apa yang dihadapi dalam penelitian adalah dunia sosial kehidupan
20
sehari-hari. Penelitian berupaya memandang apa yang sedang terjadi dalam dunia tersebut dan melekatkan temuan-temuan yang diperoleh di dalamnya. Data penelitian berdasar atas refleksi peneliti, mengingat keterlibatan peneliti secara langsung dalam fenomena kehidupan sosial masyarakat, namun refleksi diri peneliti tersebut tidak dilandasi dengan subjektivitas peneliti (Bungin, 2008 : 124125). Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Data kualitatif merupakan sumber-sumber dari deksripsi yang sangat luas, serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat. Mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab-akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat, dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat. Data kualitatif lebih condong dapat membimbing peneliti untuk memperoleh penemuan-penemuan yang tak diduga sebelumnya dan untuk membentuk kerangka teoritis baru, data tersebut membantu para peneliti untuk melangkah lebih jauh dari praduga dan kerangka kerja awal (Bungin, 2008 : 127). 1.6.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Kedungrejo Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Lokasi ini dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan melihat potensi dari wilayah Desa kedungrejo. Potensi wilayah Desa Kedungrjo secara umum terbagi menjadi dua, yakni potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan potensi adat budaya. Potensi sumber daya alamnya meliputi potensi kelautan dan perikanan. Data monografi Desa Kedungrejo tahun
21
2010 dijelaskan mengenai keadaan geografis wilayah Desa Kedungrejo, yang secara khusus batas administratif sebelah timur adalah Selat Bali, adanya Selat Bali sebagai batas timur Desa Kedungrejo menjadikan wilayah ini sebagai salah satu daerah dengan potensi perikanan laut terbesar di Banyuwangi dan Jawa Timur (Monografi Desa Kedungrejo, 2010). Potensi adat budaya Desa Kedungrejo, terkait dengan kepercayaan masyarakat sekitar yang masih menjalankan suatu ritual yang berhubungan dengan laut sebagai sumber mata pencaharian. Ritual tersebut dinamakan dengan petik laut dan dilaksanakan masyarakat setiap satu tahun sekali, yakni pada bulan suro dalam penanggalan Jawa. Ritual ini dilaksanakan masyarakat sebagai wujud ungkapan syukur atas berkah hasil laut yang melimpah. Pernasalahan penelitian ini akan lebih difokuskan kepada potensi adat budaya yang ada di Desa Kedungrejo. 1.6.2 Penentuan Informan Menurut J.M Morse (1994) Informan dapat disamakan dengan partisipan penelitian, yaitu subjek penelitian yang mana dari mereka data penelitian dapat diperoleh (Bungin, 2008 : 133) Informan dalam kegiatan ini adalah masyarakat yang tinggal di sekitar Desa Kedungrejo Kecamatan Muncar dan dipilih secara purposive, dengan dasar pertimbangan bahwa mereka memiliki pengetahuan yang cukup mendalam mengenai ritual petik laut. Informan yang dipilih mengacu pada sejumlah kriteria yakni individu yang berasal dari organisasi sosial Desa Kedungrejo pada khususnya dan Kabupaten Banyuwangi pada umumnya, tokoh
22
masyarakat, tokoh nelayan, panitia pelaksana kegiatan petik laut, serta masyarakat yang hadir pada saat puncak acara petik laut. Secara lebih khusus para informan yang dipilih untuk kegiatan penelitian ini adalah sebanyak 22 informan, yang meliputi: Panitia pelaksana dari kegiatan petik laut, tetua adat atau dukun sebagai pemimpin adat ritual petik laut, tokoh masyarakat, tokoh nelayan serta anggota masyarakat yang dianggap cukup mengetahui tentang ritual petik laut, seperti misalnya nelayan maupun pemilik kapal yang turut serta dalam kegiatan petik laut (lampiran hal: 104-113) 1.6.3 Jenis dan Sumber data Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data kualitatif. Sedangkan sumber data terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data lapangan sebagai sumber data primer yakni data-data dari informan yang dipilih secara sengaja (purposive sampling), dimana informan tersebut dianggap memilliki pengetahuan dan pengalaman mengenai objek yang diteliti. Sumber data perpustakaan sebagai sumber data sekunder, yakni data yang diperoleh dari buku-buku teks dan dokumen serta monografi desa yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 1.6.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pegumpulan data yang dipakai adalah : teknik observasi, teknik wawancara, dan pengumpulan data sekunder.
23
1. Teknik Observasi Observasi atau pengamatan merupakan salah satu bentuk pengumpulan data primer. Observasi merupakan suatu cara yang sangat bermanfaat, sistematik dan selektif dalam mengamati dan mendengarkan interaksi atau fenomena yang terjadi. Cara pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian yang pelaksanaannya langsung pada tempat dimana suatu peristiwa, keadaan atau situasi sedang terjadi (Kartiko W.R, 2010 : 236-337). Observasi yang dilakukan yakni dengan melakukan pengamatan lapangan (lokasi penelitian) untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan ritual petik laut Desa Kedungrejo. Pengamatan atau observasi dilapangan dilakukan secara bertahap, yakni pada beberapa bulan sebelum pelaksaan acara puncak petik laut serta pada saat puncak acara petik laut. Satu bulan sebelum acara petik laut, kegiatan bazaar atau pasar malam mulai dibuka. Pasar malam buka pada saat malam hari sekitar pukul 18.00 wib, masyarakat dari luar daerah sudah mulai banyak berdatangan untuk melihat kemeriahan pasar malam. Walaupun acara puncak petik laut masih digelar sekitar satu bulan kemudian, tetapi masyarakat sudah bisa menikmati kegiatan hiburan sebagai rangkaian dari acara petik laut. Pasar malem ini ditutup satu hari sebelum puncak acara petik laut digelar, yang pada malam harinya diadakan pentas seni dan orkes dangdut sebagai tanda penutupan pasar malam. Acara puncak petik laut berlangsung sangat meriah, masyarakat dari berbagai daerah berdatangan untuk melihat secara langsung acara larung sesaji. Selain acara larung sesaji, masih banyak pula acara-acara lain pada saat puncak
24
petik laut, diantaranya : pentas seni, hiburan orkes dangdut, serta penyerahan penghargaan kepada pemenang lomba bahari yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pengamatan terhadap acara puncak petik laut ini juga terangkum dalam dokumentasi foto (hal 62 -80). 2. Teknik Wawancara Teknik wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi dari individu atau masyarakat. Wawancara merupakan setiap interaksi orang-per-orang diantara dua atau lebih individu dengan tujuan yang spesifik dalam pikirannya. Wawancara bertujuan untuk menjaring data yang berhubungan dengan suatu gejala sosial budaya atau sosial ekonomi yang bersifat kompleks. Untuk mendapatkan keterangan atau pandangan lisan dari informan dengan bercakap-cakap berhadapan muka (Kartiko W.R, 2010: 241). Sehubungan dengan metode ini, dipergunakan wawancara secara bebas yakni dengan memberi keleluasaan bagi para informan untuk menjawab pertanyaan dan pandangannya secara bebas. Pedoman wawancara (interview guide) disusun agar wawancara lebih terarah dan memungkinkan peneliti mengajukan pertanyaan secara lebih mendalam (lampiran hal: 108). Pelaksanaan wawancara saat penelitian lapangan dilakukan dalam suasana santai, terlebih dahulu peneliti memperkenalkan diri serta maksud dan tujuan kedatangan peneliti kepada informan. Pembicaraan diawali dengan obrolanobrolan ringan terkait aktivitas informan saat ini, informan dengan kebaikan hatinya juga menyuguhkan aneka hidangan kepada peneliti. Pelaksanaan wawancara pada informan Bapak H. Hasan Zein dan Bapak Sukrano, yang
25
merupakan seorang tokoh masyarakat, peneliti mengajak serta seorang kawan dikarenakan peneliti kurang menguasai bahasa Jawa halus atau kromo inggil. Pengalaman lain saat peneliti akan mengadakan wawancara pada seorang informan, yakni informan menolak untuk diwawancarai pada jadwal yang telah ditentukan sebelumnya, dengan alasan saat itu peneliti datang seorang diri kerumah informan, sehingga informan takut terjadi kesalahpahaman dimata lingkungan sekitarnya. Pengalaman ini merupakan sebuah pelajaran yang berharga bagi peneliti agar lebih berhati-hati dalam melaksanakan pengumpulan data. 3. Studi kepustakaan Teknik pengumpulan data dengan mencari bahan dari berbagai literatur, buku-buku, majalah dan surat kabar yang ada relevansinya dengan pokok permasalahan yang sedang dikaji. Oleh karena itu, metode kepustakaan sangat penting untuk melengkapi data dari lapangan. Melalui studi kepustakaan ini diharapkan dapat ditemukan konsep atau pun teori yang telah dikemukakan oleh peneliti terdahulu. 1.6.5 Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif kualitatif dengan pendekatan holistik terintegrasi. Analisis tersebut memberikan pengertian dan gambaran dari suatu gejala atau keadaan tertentu, dimana komponen serta unsurunsur yang terdapat dalam penelitian, membentuk suatu kesatuan dan memberikan gambaran mengenai keseluruhan objek penelitian.
26
Penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari perilaku masyarakat yang teramati. Data yang dikumpulkan, baik melalui observasi, wawancara, dan studi kepustakaan disusun dan dikelompokkan kedalam kategori - kategori tertentu, dengan mengacu pada pokok bahasan yang telah ditetapkan. Menganalisis data dilakukan sepanjang berlangsungnya penelitian, dimulai dari pengumpulan data, pengorganisasian data menjadi suatu laporan laporan penelitian, kemudian dianalisis sesuai kerangka pemikiran yang dipakai.