BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kemiskinan merupakan penyebab utama timbulnya kerawanan pangan dan kelaparan, dalam artian masyarakat tidak mampu membeli dan memenuhi kebutuhan dasar yakni makanan bergizi (Whitney, 1996 dalam Gerau, 2004). KTT Pangan Dunia pada tahun 1996, para pemimpin dunia membuat rencana untuk mengurangi jumlah mayarakat kelaparan hingga 400 juta jiwa. Para pemimpin dunia mencoba mengambil tindakan yang akan menjamin hak asasi setiap manusia dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Pada KKT Pangan Dunia tahun 1999 pun disimpulkan bahwa pengurangan sebagian besar jumlah orang yang kelaparan dirasa perlu dipraktikkan secara konkret di tingkat lokal, regional maupun nasional (fao.org). Padi adalah tanaman pangan terbesar kedua yang tumbuh di dunia dengan produksi 745.710 ribu ton, setelah jagung yang memiliki produksi sebesar 1.016.740 ribu ton (FAO, 2015). Sejarah menunjukkan bahwa budidaya tanaman padi bermula pada zaman perunggu. Beras yang dihasilkan dari tanaman padi telah lama menjadi sumber makanan utama (Ahm, 2005). Hal ini juga diperteges degan pernyataan Fererro (2006) bahwasanya setengah dari populasi dunia dan bahkan hampir seluruh penduduk Asia Tenggara memiliki ketergantungan terhadap beras. Pertanian, terutama pada
1
budidaya tanaman padi pun merupakan sumber mata pencaharian utama sebagian besar penduduk Asia (Roy et al., 2015). Tanaman padi menjadi komoditas terbesar di Indonesia pada tahun 1928, khususnya di Jawa dan Madura, dengan luasan panen sebesar 3.051 ha, lebih tinggi dari jagung dengan luasan panen sebesar 498 ha (Scheltema 1986, dalam Sajogyo, 1986). Sampai pada 1980-an, sektor pertanian berperan sangat vital dalam ekonomi Indonesia karena memiliki fungsi sebagai basis atau landasan pembangunan ekonomi (Arifin, 2005). Indonesia sebagai negara agraris merupakan negara yang memiliki produksi beras terbesar bersama dengan China dan India yang memiliki produksi lebih dari 70.000 ribu ton (Ahm, 2005). Pada tahun 2015, produksi beras Indonesia mencapai 75.398 ribu ton, meningkat 6,42 persen dibandingkan tahun sebelumnya (BPS, 2015). Sebagai negara dengan produksi beras yang tinggi semestinya Indonesia mampu mencapai swasembada pangan. Swasembada pangan ialah kemampuan suatu wilayah untuk mencapai kebutuhan pangan bagi penduduknya tanpa perdagangan dengan wilayah lain. Swasembada pangan, khususnya beras akan tercapai apabila jumlah ketersediaan lebih tinggi dari kebutuhan (Muta’ali, 2015). Timmer (2000 dalam Aswatini dkk., 2004), menyatakan bahwa selama tiga dasawarsa yang lalu, ketahanan pangan pada tingkat nasional secara praktis didefinisikan pada ketersediaan beras dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau. Beras bukan hanya sebagai makanan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia, tetapi juga masih menjadi porsi terbesar dari pengeluaran rumah
2
tangga, khususnya di kalangan rumah tangga miskin. Dalam arti lain, swasembada beras digunakan sebagai alat utama untuk memberikan jaminan bahwa beras tersedia dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau, bahkan oleh penduduk miskin (Aswatini dkk., 2004). Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki fungsi sebagai daerah penyangga pangan nasional dan diutamakan untuk terus dipacu (BPS, 2014). Provinsi Jawa Tengah yang memiliki lahan sawah terluas (952.525 ha) setelah Provinsi Jawa Timur (1.102.863 ha) memiliki rata-rata produksi beras 9 hingga 10 juta ton per tahun. Salah satu faktor tingginya produksi beras ialah produktivitas lahan, di samping luas lahan atau luas tanam padi. Pada tahun 2010, produktivitas lahan padi di Provinsi Jawa Tengah mencapai 56,13 kuintal/ha, meningkat 0,85 persen dari tahun sebelumnya (BPS, 2011). Meskipun demikian, faktor-faktor
yang
mempengaruhi produksi padi tidak selalu miningkat. Pada tahun 2014, luas panen padi menurun 2,41 persen sehingga produksi padi mengalami penurunan 6,73 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya (BPS, 2015). Tekanan lahan pertanian produktif khususnya sawah semakin tinggi, terutama di Jawa dan Bali (Asdak, 2014). Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 juga dijelaskan bahwa tengah terjadi konversi lahan sawah yang tinggi, serta rendahnya peningkatan produktivitas hasil pertanian. Sementara itu, meningkatnya jumlah penduduk yang pesat semestinya membutuhkan pangan yang semankin banyak, namun ternyata kemampuan penyediaan pangan semakin terbatas.
3
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2005 dijadikan rujukan untuk membuat kebijakan di tingkat daerah. Provinsi Jawa Tengah memiliki arah pembangunan jangka panjang hingga tahun 2025 yang terdapat pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 3 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan
Jangka
Panjang
Daerah
Tahun
2005-2025.
Arahan
pembangunan jangka panjang pada poin kedua yakni “Mewujudkan Perekonomian Daerah yang Berbasis pada Potensi Unggulan Daerah dengan Dukungan Rekayasa Teknologi dan Berorientasi pada Ekonomi Kerakyatan”. Provinsi Jawa Tengah saat ini memiliki visi “Menuju Jawa Tengah Sejahtera dan Berdikari” (Jatengprov.go.id). Visi ini berkesinambungan dengan arahan pembangunan jangka panjang pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 3 Tahun 2008. Dengan terwujudnya perekonomian daerah yang berbasis pada potensi unggulan daerah berorientasi pada ekonomi kerakyatan, akan sampai pada Provinsi Jawa Tengah yang berdikari. Swasembada beras memiliki konsep yang sama dengan ekonomi kerakyatan. Apabila mampu berswasembada beras, maka dapat diartikan bahwa suatu daerah mampu tercukupi kebutuhan pangan beras dari produksi daerah itu sendiri, tidak bergantung pada daerah lain. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi yang dijadikan sebagai lumbung padi di Indonesia memiliki potensi besar di samping adanya tekanan terhadap lahan pertanian produktif, khususnya sawah. Apabila Provinsi Jawa Tengah mampu berswasembada beras hingga tahun 2025, maka misi serta rencana jangka
4
panjang dapat tercapai. Di smaping itu,
pembangunan pertanian
berkelanjutan juga harus memperhatikan off-farm (penyimpanan, distribusi, pengolahan, dan pemasaran) secara terkoordinasi dalam suatu sistem yang terintegrasi (Usman dkk., 2005). Pada kajian spasial, analisis yang dapat dilakukan ialah pada distribusi dan pemasarannya.
1.2
Rumusan Masalah Swasembada pangan beras secara konsep memperhatikan supply dan demand. Ketersediaan beras dengan memperhatikan luas lahan yang ditanami padi, produktivitas lahan, luas panen padi, serta angka konversi padi menjadi beras untuk konsumsi dapat dikatakan sebagai supply. Sementara itu, kebutuhan konsumsi pangan khususnya beras di Jawa Tengah dapat dikatakan sebagai demand. Kebutuhan pangan beras ini memperhatikan jumlah penduduk serta standar kebutuhan beras per kapita. Menelaah kondisi fisiografis Provinsi Jawa Tengah serta aksesibilitas dari satu kabupaten/kota ke daerah lain yang beragam, secara umum Provinsi Jawa Tengah dapat dibagi menjadi tiga wilayah: wilayah utara yang berbatasan langsung dengan pesisir dan Laut Jawa serta dilalui Jalur Pantura, wilayah tengah yang memiliki karakteristik fisik berbukit-bukit, dan wilayah selatan yang tengah dikembangkan Jalur Lintas Selatan dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Terdapat pula beberapa kota di Provinsi Jawa Tengah (Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Magelang, dan Kota Salatiga) yang memiliki karakteristik perkotaan
5
dengan luasan lahan pertanian yang sempit. Keenam kota ini merupakan daerah yang tidak mampu menyediakan kebutuhan beras secara mandiri sehingga perlu dilakukan peninjauan aliran pemenuhan berasnya dari aspek jarak dan aksesibilitas. Secara teknis, untuk melihat kondisi swasembada pangan beras serta proyeksinya hingga tahun 2025 di Provinsi Jawa Tengah, diperlukan pengkajian secara time series mengenai supply dan demand pangan beras, setidaknya dalam rentang waktu sepuluh tahun. Berdasarkan permasalahan tersebut, berikut beberapa poin yang menjadi pertanyaan dari penelitian: 1. Apakah Provinsi Jawa Tengah mampu berswasembada beras dalam sepuluh tahun terakhir (2005 – 2014) dengan memperhatikan supply dan demand? 2. Seperti apa distribusi/ aliran pemenuhan kebutuhan beras terutama untuk daerah di Provinsi Jawa Tengah yang tidak mampu swasembada beras? 3. Bagaimana prediksi kondisi swasembada beras Provinsi Jawa Tengah tahun 2025 merujuk pada rencana jangka panjang daerah?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian mengenai Analisis Swasembada Beras di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 – 2014 ini memiliki beberapa tujuan: 1. Mengidentifikasi kondisi swasembada beras di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2005 – 2014 dengan memperhatikan supply dan demand.
6
2. Menganalisis distribusi dan aliran pemenuhan kebutuhan beras pada daerah di Provinsi Jawa Tengah yang tidak mampu berswasembada beras. 3. Memprediksikan kondisi swasembada beras Provinsi Jawa Tengah tahun 2025 merujuk pada rencana jangka panjang daerah.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian mengenai analisis swasembada beras di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 – 2014 diharapkan dapat berguna bagi masyarakat, ilmu pengetahuan serta dalam praktis pembangunan. Berikut manfaat dari penelitian ini: 1. Pengetahuan bagi masyarkat umum mengenai kondisi pemenuhan beras di Provinsi Jawa Tengah. 2. Pengembangan ilmu di bidang pangan dengan mengaitkan keilmuan geografi. 3. Pengambilan keputusan bagi pemerintah dalam penentuan daerah-daerah yang menjadi penyokong untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional.
1.5
Tinjauan Pustaka 1.5.1
Studi Geografi Geografi merupakan
ilmu
yang memperlajari hubungan
mengenai gejala muka bumi dan peristiwa yang terjadi di muka bumi baik fisik maupun yang menyangkut makhluk hidup beserta permasalahannya (Bintarto, 1984). Sementara itu, menurut Hagett
7
(1975 dalam Marhadi, 2014), terdapat tiga macam pendekatan geografi. Tiga pendekatan tersebut antaralain: a. Pendekatan keruangan (spatial approach) Pendekatan ini menekankan pada eksistensi atau ketersediaan ruang. Analisis keruangan mempelajari perbedaan lokasi mengenai suatu objek atau beberapa objek. b. Pendekatan ekologi (ecology approach) Pendekatan ekologi menekankan keterkaitan antara fenomena geosfer tertentu dengan lingkungan. Pendekatan ekologi dikaitkan dengan phenomenal environment yang meliputi natural phenomena serta physical relics of human action, serta behavioural environment yang meliputi perkembangan ide-ide dan nilai geografis serta kesadaran akan lingkungan. c. Pendekatan kompleks wilayah (region complex approach) Pendekatan kompleks wilayah merupakan kombinasi antara analisis keruangan dan analisis ekologi. Pada analisis ini, diasumsikan bahwa interaksi antar wilayah berkembang karena pada hakikatnya suatu wilayah berbeda dengan wilayah yang lain. Dengan kata lain, terdapat permintaan dan penawaran antar wilayah tersebut sehingga terjadi interaksi.
8
1.5.2
Pembangunan Pertanian Pembangunan pertanian dalam kajian geografi memperhatikan aspek-aspek fisik serta manusia untuk menunjang pembangunan pertanian. Pertanian diartikan sebagai campur tangannya manusia dalam perkembangan tumbuh-tumbuhan supaya dapat lebih memenuhi kebutuhannya (Hadisapoetro, 1975). Dalam pembangunan pertanian, dilakukan penambahan modal dan skill manusia untuk memperbesar campur tangan terhadap tumbuh-tumbuhan, dengan memperhatikan kondisi
lingkungan.
Pembangunan
pertanian
memiliki
tujuan
peningkatan produksi pertanian untuk tiap-tiap konsumen sehingga mempertinggi pendapatan dan produktivitas usaha tani. Terdapat istilah “LIMA I” dalam strategi pembangunan pertanian, antaralain: 1. Inovasi, sistem penelitian, pengembangan dan penyuluhan pertanian (swasta dan pemerintah) yang menghasilkan dan menyebarluaskan teknologi baru untuk peningkatan produktivitas; 2. Infrastruktur, sistem infrastruktur pedesaan yang memadai, khususnya jalan, transportasi dan irigasi; 3. Input, sistem pengadaan dan distribusi pelayanan pertanian yang efisien, terutama input modern, pengolahan bahan baku, air irigasi, dan kredit; 4. Institusi, sistem kelembagaan pasar yang efisien dan membawa petani dalam memperoleh akses memadahi terhadap pasar domestik dan pasar dunia, serta sistem kelembagaan non-pasar yang mampu
9
memberikan pelayanan pokok, terutama yang tidak dapat dilakukan oleh sektor swasta; 5. Insentif, sistem insentif dan kebijakan makro, perdagangan dan sektoral lain yang tidak mengganggu sektor pertanian. Revolusi hijau di Indonesia dimulai pada tahun 1968 sebagai strategi pembangunan pertanian (Hagul, 1985). Pada dekade 1980-an, sektor pertanian berperan sangat vital dalam ekonomi Indonesia karena berfungsi sebagai basis atau landasan pembangunan ekonomi. Sektor ini mampu memasok pangan sehingga Indonesia menjadi negara produsen padi dan mampu berswasembada padi sejak tahun 1984 (Soekartawi, 1995). Upaya swasembada padi merupakan kerja keras selama lima belas tahun yang melibatkan pemerintah (dalam hal dana, dukungan kelembagaan, perencanaan, dan infrastruktur), dukungan jutaan petani, pemasok, dan pendidik (Sastrosoenarto, 2006). Awal 1990-an, seiring dengan menurunnya pangsa pertanian dalam struktur perekonomian atau Produk Domestik Bruto (PDB), pembangunan ekonomi dan kebijakan politik mulai meminggirkan sektor pertanian. Menurut Arifin (2005), pada saat itu fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan pada sektor industri dan jasa, bahkan basis teknologi tinggi dan intensif kapital. Padahal, konferensi International Labor Organization (ILO) di Geneva Tahun 1976 menghasilkan konsep bahwa salah satu kebutuhan dasar manusia ialah pangan, di samping sadang, papan, pendidikan, dan kesehatan,
10
dan pelayanan negara (public services) (Tjokrowinoto, 1985). Untuk itu, sejatinya diperlukan upaya untuk mencapai pembangunan pertanian secara berkelanjutan. Pertanian yang berkelanjutan pada dasarnya merupakan salah satu penjabaran yang lebih spesifik dari konsep pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan
pertanian
berkelanjutan
berbasis
agroekologi diarahkan pada usaha mempertahankan dan memperbaiki produksi dengan bertumpu pada pilar ekonomi, penggunaan teknologi, lingkungan dan sosial (Susanto, 2001 dalam Sutanto, 2006). Kemudian melalui pengembangan agribisnis, tidak hanya pada on-farm (produksi dan pengumpulan) pembangunan pertanian berkelanjutan juga harus memperhatikan off-farm (penyimpanan, distribusi, pengolahan, dan pemasaran) secara terkoordinasi dalam suatu sistem yang terintegrasi (Usman dkk., 2005). Pada kajian spasial, analisis yang dapat dilakukan ialah distribusi dan pemasarannya.
1.5.3
Ketahanan Pangan Beras Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produksi pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air baik yang diolah maupun tidak yang dikonsumsi manusia. Konsep ketahanan pangan secara luas di tingkat internasional adalah suatu kondisi ketika semua rumah tangga pada setiap saat memiliki akses (baik fisik maupun ekonomi untuk
11
memperoleh pangan yang cukup, aman dan sehat bagi seluruh anggota rumah tangga (FAO, 1996 dalam Aswatini dkk., 2004). Ketahanan Pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 adalah kondisi terpenuhinya pangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan. Terdapat tiga komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, antara lain: a. Kecukupan ketesediaan pangan, b. Tercukupinya kebutuhan konsumsi, dan c. Distribusi pangan yang merata. Sejarah mencatat bahwa politik beras di Hindia-Belanda sudah ada sejak jaman ketika ada VOC. Pada rentang tahun 1650-1790, VOC seringkali mendorong ekspor beras dan tetapi terkadang juga melarangnya, tergantung dari kondisi panen (Fries, 1986 dalam Sajogyo, 1986). Timmer (2000 dalam Aswatini dkk., 2004), menyatakan bahwa selama tiga dasawarsa yang lalu, ketahanan pangan pada tingkat nasional secara praktis didefinisikan pada ketersediaan beras dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau. Beras bukan hanya sebagai makanan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia, tetapi juga masih menjadi porsi terbesar dari pengeluaran rumah tangga, khususnya di kalangan rumah tangga miskin (Aswatini
12
dkk., 2004). Terkait dengan ini, maka swasembada beras digunakan sebagai alat utama untuk memberikan jaminan bahwa beras tersedia dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau, bahkan oleh penduduk miskin. Swasembada pangan beras yaitu kemampuan suatu daerah untuk mencapai kebutuhan beras bagi penduduknya tanpa perdagangan dengan wilayah lain. Swasembada beras akan tercapai apabila jumlah ketersediaan melebihi kebutuhan. Sementara itu, daya dukung pangan beras adalah keseimbangan antara ketersediaan beras dan kebutuhan beras (Muta’ali, 2015). Fundamental pentingnya beras yakni penduduk global yang terus tumbuh sehingga harus memproduksi semakin banyak pangan untuk menyediakan makanan (Zeigler, 2005 dalam Sutanto, 2006). Pada tahun 2025 akan semakin banyak dibutuhkan beras karena jumlah penduduk yang terus meningat.
1.5.4
Wilayah dan Distribusi Pertanian Region atau wilayah merupakan kesatuan dasar studi geografi. Region didefinisikan sebagai suatu wilayah yang mempunyai kesatuan karakteristik tertentu (Marhadi, 2014). Beberapa wilayah dikenali dengan karakteristik fisik, meliputi bentuk lahan, iklim, tanah, vegetasi alam, misalnya puncak serta lembah. Beberapa wilayah juga dapat dikenali dengan karakteristik kemanusiaan. Karakteristik ini meliputi ekonomi, sosial, politik dan budaya. Dalam studi geografi, penentuan
13
region atau wilayah didasarkan pada jenis karakteristik kesatuan wilayahnya. kemungkinan
Ukuran adanya
wilayah
yang
besar
potensi
yang
besar,
akan baik
memberikan dalam
hal
keanekaragaman sumber daya alam maupun meskipun penduduknya (Suharyono, 2005). Wilayah dapat dikelompokkan ke dalam satu kesatuan untuk membedakan dengan kesatuan lain dalam kepentingan perencanaan. Pembagian atau pengelompokan wiayah tergantung pada tujuan. Terdapat beberapa cara pewilayahan yang menyatukan beberapa wilayah kecil dalam kesatuan, antara lain (Tarigan, 2003): 1.
Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan Contoh: provinsi, kabupaten, kecamatan, desa dan dusun.
2.
Berdasarkan kesamaan kondisi fisik, sosial maupun budaya Contoh: pegunungan, pantai barat, pantai timur, desa pedalaman, pertanian, industri, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dll
3.
Berdasarkan ruang lingkup pengaruh ekonomi dengan menetapkan pusat pertumbuhan terlebih dulu, kemudian ditetetapkan batasbatas pengaruh dari setiap pusat pertumbuhan. Contoh: Kota Yogyakarta dengan wilayah-wilayah di sekitarnya
4.
Berdasarkan wilayah perencanaan/program. Dalam hal ini batasbatas wilayah ditetapkan dari lingkup program yang dijalankan dengan melihat tujuan perencanaan. Contoh: DAS Progo, DAS Bengawan Solo, dll
14
Karateristik wilayah pada komoditi pertanian adalah diproduksi secara terpencar-pencar. Efisiensi produksi, efisiensi distribusi, dan kombinasi produk optimum merupakan tiga kriteria umum efisiensi ekonomi (Quilkey, 1968 dalam Sudiyono, 2004). Pada sektor pertanian, distribusi berarti pemindahan hasil produksi pertanian ke sentra konsumsi. Distribusi komoditas pertanian dari daerah sentra produksi ke daerah sentra konsumsi membutuhkan biaya transfer yang terdiri dari biaya terminal dan biaya transportasi. Biaya transportasi merupakan fungsi dari jarak asal komoditi pertanian ke sentra konsumsi. Semakin jauh jaraknya maka biaya transportasi akan semakin tinggi. Menurut konsep pembangunan ekonomi kerakyatan menurut Krisnamurthi (2004 dalam Husodo dkk., 2004), pertumbuhan ekonomi seharusnya diperoleh dengan menggunakan sumberdaya lokal dan dikelola oleh rakyat secara individu maupun melalui organisasi seperti koperasi. Dengan menggunakan konsep ekonomi kerakyatan, distribusi komoditas pertanian yang dilakukan akan meminimalisir biaya transportasi.
1.6
Penelitian Sebelumnya Penelitian ini mengkaji mengenai swasembada beras di Provinsi Jawa Tengah. Sebelum penelitian ini dilakukan, setidaknya lima enam penelitian yang hampir sama dan digunakan sebagai acauan untuk dilakukannya
15
penelitian ini. Kelima penelitian tersebut dilakukan oleh Muhtarom (2015), Sriutomo (2015), Susanto (2015), Prasetiyani (2013), dan Arijal (2013). Muhtarom (2015) mengkaji mengenai pusat pertumbuhan wilayah terhadap konvervasi lahan pertanian dan swasembada pangan beras di Kabupaten Pringsewu. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa 59 desa mengalami kekurangan pangan, sementara 42 desa mengalami surplus pangan beras. Kesamaan dari penelitian yang dilakukan Muhtarom (2015) dengan penelitian yang dilakukan ialah dikajianya kondisi swasembada beras menggunakan metode analisis deskriptif. Penelitian mengenai swasembada beras juga pernah dilakukan di Kabupaten Grobogan oleh Sriutomo (2015). Sriutomo dengan tujuan ketiga dalam penelitiannya, yakni menghitung jumlah penduduk maksimal yang mampu dipenuhi pangannya oleh lahan sawah abadi dan memprediksikan tahun maksimal untuk swasembada pangan. Hal ini sama dengan tujuan pertama yang disusun dalam penelitian, yakni identifikasi kondisi swasembada beras di Provinsi Jawa Tengah. Sriutomo (2015) pun melakukan proyeksi swasembada pangan secara spesifik, yakni khusus mengenai beras. Susanto (2015) mengkaji mengenai ketahanan pangan rumah tangga pertanian
di
Kabupaten
Sleman.
Penelitian
ini
memiliki
tujuan
menggambarkan strategi dan pemenuhan kebutuhan pangan oleh rumah tangga. Susanto (2015) melakukan penelitian menggunakan kuesioner kepada responden di beberapa desa di Kabupaten Sleman. Berbeda dengan Susanto (2015) yang melakukan penelitian dengan unit analisis berupa rumah
16
tangga, penelitian mengenai analisis swasembada beras di Provinsi Jawa Tengah ini memiliki unit analisis wilayah, yakni tiap kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Prasetiyani (2015) mengkaji mengenai strategi ketahanan pangan, hampir sama seperti Susanto (2015) meskipun unit analisisnya berbeda. Penelitian mengenai strategi ketahanan pangan Indonesia di masa mendatang ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang disusun, yakni data yang digunakan untuk analisis berupa data sekunder. Proyeksi juga dilakukan pada penelitian Prasetiyani (2015).
Apabila penelitian mengenai
kajian
swasembada beras di Provinsi Jawa Tengah menggunakan proyeksi metode aritmetik saja, Prasetiyani (2015) menggunakan proyeksi metode aritmetik dan eksponensial. Ketersediaan beras dan akses pangan dalam kajian ketahanan pangan di Kabupaten Gunungkidul ialah penelitian yang dilakukan oleh Arijal (2013). Hal yang cukup menarik yakni tujuan ketiga dari penelitian ini: mengetahui pola keruangan ketahanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul. Hampir sama dengan penelitian di Provinsi Jawa Tengah yang dilakukan oleh penyusun, tujuan kedua dari kajian swasembada beras di Jawa Tengah ialah menganalisis distribusi pemenuhan kebutuhan beras secara keruangan. Kelima penelitian terdahulu yang sudah ada menjadi materi pertimbangan untuk
melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Swasembada Beras di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 – 2014”.
17
Lanjutan Tabel 1.1 Matriks Penelitian Sebelumnya No 1
Peneliti Muhtarom. 2015.
Judul Penelitian Pengaruh Pusat Pertumbuhan Wilayah terhadap Konservasi Lahan Pertanian dan Swasembada Pangan Beras di Kabupaten Pringsewu
Tujuan 1) mengidentifikasi struktur pusat pertumbuhan di Kabupaten Pringsewu; 2) menganalisis pengeruh pusat pertumbuhan terhadap konversi lahan; 3) menganalisis pengaruh konversi lahan terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Pringsewu
Metode Dilakukan analisis deskriptif kuantitatif dengan unit penelitian adalah desa di seluruh Kabupaten Pringsewu. Sumber data berupa data sekunder. Metode pengambilan data ialah dokumentasi, sedangkan teknik analisis data menggunakan skoring, klasifikasi dan analisis skalogram. Uji korelasi spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antarvariabel penelitian.
2
Sriutomo, Ulilul Rohman Pudji. 2015.
Daya Dukung Pertanian Tanaman terrhadap Kebutuhan Pangan Penduduk di Kabupaten Grobogan Provinsi Jawa Tengah
1) menghitung dan menganalisis sebaran spasial nilai daya dukung masing-masing komoditas petanian tanaman pangan; 2) menghitung lahan pertanian yang dibutuhkan dan memetakan lahan yang berpeluang dijadikan petanian sawah abadi; 3) menghitung jumlah penduduk maksimal yang mampu dipenuhi pangannya oleh lahan
Metode kuantitatif dan kualitatif digunakan. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Grobogan, data primer diperoleh dari indepth inteview dengan Dinas Petanian Kabupaten Grobogan. Data diolah menggunakan perhitungan daya dukung sumber daya alam, perhitungan jumlah penduduk optimum yang mampu ditampung kebutuhan pangannya, perhitungan LQ, dan digitasi peta. Hasil pengolahan data kemudian dianalisis secara deskriptif kuantitatif.
Hasil Penelitian Distribusi desa pusat pertumbuhan dan hinterland-nya yaitu 4 desa teridentifikasi sebagai pusat pertumbuhan hirarki I) dann 24 desa sebagai hinterland-nya (hirarki II). Pinggiran pusat pertumbuhan menjadi wilayah dengan tingkat konversi tinggi. Hal ini disebabkan oleh perkembangan lahan terbangun yang terus meningkat. Laju konversi yang terjadi berpengaruh terhadap luas tanam, luas panen dan produksi padi sawah di Kabupaten Pringsewu, sehingga secara langsung terdampak pada swasembada pangan beras terjadi di Kecamaan Gading Rejo, Pringsewu, Ambarawa, Adi Luwih, dan Pagalaran. Sedangkan surplus ketersediaan pangan beras teradi di Kecamatan Sukoharjo, Pardasuka dan Banyumas. Dari jumlah keseluruhan di Kabupaten Pringsewu terdapat 59 desa mengalami kurang pangan dan 42 desa mengalami surplus pangan beras. Komoditas tanaman pangan di Kabupaten Grobogan yang memiliki nilai daya dukung lebih dari 1 adalah tanaman padi sawah dan jagung. Komoditas lain seperti ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang hijau, dan kacang tanah memiliki daya dukung kurang dari 1. Kebutuhan lahan minimal sawah yang dibutuhan Kabupaten Grobogan untu dapat berswasembada beras yakni seluas 49.772,46 hektar dengan lahan yang berpotensi dijadikan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) di Kabupaten Grobogan seluas 61.499,16 hektar. Jumlah penduduk maksimal yang mampu dipenuhi kebutuhan pangannya oleh sawah abadi sejumlah 1.634.268 jiwa dan Kabupaten Grobogan mempu melakukan swasembada beras sampa dengan tahun 2035. Komoditas yang berpotensi dijadikan tanaman pangan unggulan yakni jagung, kedelai dan kacang hijau.
18
Lanjutan Tabel 1.1 Matriks Penelitian Sebelumnya No
Peneliti
Judul Penelitian
3
Susanto, Ari. 2015.
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pertanian Kabupaten Sleman
Tujuan sawah abadi dan memprediksikan tahun maksimal untuk swasembada pangan; 4) mengidentifikasi komoditas tanaman pangan unggulan. 1) menukur tingkat ketahanan pangan pada rumah tangga pertanian; 2) menggambarkan strategi dan pemenuhan kebutuhan pangan oleh rumah tangga pertanian di Kabupaten Sleman
Metode
Hasil Penelitian
Analisis data menggunaan tabulasi silang, analisis Chi Squere dan Korelasi Spearman Rnak. Sampel wilayah penelitian menggunakan teknik pemilihan Sampel Gugus Bertahap berdasarkan fisiografi wilayah. Lokasi penelitian dan sampel rumah tangga pertanian masingmasing berada di: wilayah hamparan, Desa Selomartani ; lereng Merapi, Desa Wukirsari; dan Prambanan, Desa Sambirejo. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner.
Ketahanan pangan rumah tangga pertanian lebih tinggi di wilayah hamparan dibanding dengan wilayah lereng Merapi dan Prambanan. Berdasarkan uji Chi Squere, perbedaan tersebut tidak bergantung pada kondisi fisiografis wilayah. Saat persediaan pagnan rumah tangga pertanian di tiap wilayah tidak cukup, maka mereka akan mengimpor pangan sehingga pangan tetap stabil. Indikator ketersediaan dan stabilitas pangan memiliki hubungan negatif. Jika persediaan pangan dalam kondisi cukup dan stabil, maka tingkat ketahanan pangan akan semakin rendah. Kualitas pangan berhubungan positif yang cukup kuat dengan tingkat ketahanan pangan. Artinya pada rumah tangga pertanian finansial terbatas, meraka akan mengurangi konsumsi pangan dengan kualitas baik. Rumah tangga pertanian di tiap wilayah akan keluar dari kondisi sulit pangan dengan strategi yang sama. Dalam penyediaan pangan yaitu membeli, meminjam bahan pangan dari tetangga dan di wilayah lereng, menambah bahan pangan pokok dengan pangan alternatif (umbi-umbian). Saat mengakses pangan, rumah tangga pertanian memiliki strategi yaitu meningkatkan penghasilan dari pekerjaan sektor non pertanian, memilih bahan pangan murah, membatasi balanja, dan di wilayah lereng Prambanan memanfaatkan lahan pekarangan sebagai kebun pangan alternatif. Strategi dalam menyerap pangan saat kondisi sulit pangan yaitu dengan memprioritaskan bahan pangan bergizi
19
Lanjutan Tabel 1.1 Matriks Penelitian Sebelumnya No
Peneliti
Judul Penelitian
Tujuan
Metode
4
Prasetiyani, Ikha. 2013.
Strategi Ketahanan Pangan Indonesia di Masa Mendatang
1) mengidentifikasi dinamika penduduk, kebutuhan, ketersediaan dan ketercukupan pangan tahun 1980 – 2010; 2) mengidentifikasi proyeksi dinamika penduduk, kebutuhan, ketersediaan dan ketercukupan pangan tahun 2015 – 2040; 3) membuat grand strategi terkait kondisi ketahanan pangan Indonesia di masa mendatang.
Metode yang digunakan yakni statistik deskriptif menggunakan data sekunder dan perhitungan proyeksi eksponensial dan aritmetik.
5
Arijal, Wawan. 2013.
Ketersediaan Beras dan Akses Pangan dalam Kajian Ketahanan Pangan di Kabupaten Gunungkidul
1) mengetahui ketersediaan beras sebagai sumber kalori penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul; 2) mengetahui akses pangan penduduk menurut ecamatan di Kabupaeten Gunungkidul; 3)
Metode yang digunakan yakni analisis dari data sekunder dengan sumber data Gunungkidul dalam Angka tahun 2012 dan Profil Rumah Tangga Ssasaran Pengentasan Kesmiskinan Yogyakarta tahun 2012. Pengolahan data dilakukan menggunakan metode FSVA dengan menghkhususkan ketersediaan beras untuk mewakili dimensi ketersediaan
Hasil Penelitian untuk anak, membatasi porsi makan, dan memilih bahan pangan tidak pada kualitas terbaik. Kebutuhan pangan Indonesia dari tahun 1980 – 2040 terus meningkat sesuai dengan meningkatnya jumlah penduduk. Sebagian besar kebutuhan dan ketersediaan pagnan Indonesia didominasi oleh Provinsi-provinsi di Pulau Jawa, dan Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah yang tetap pada kategori tinggi untuk semua komoditas pangan, baik kebutuhan maupun ketersediaan. Wilayah denga kategori kebutuhan dan ketersediaan pangan yang rendah sebagian besar berada di Provinsi Indonesia Bagian Timur seperti Provinsi Maluku dan Papua Barat, baik dari tahun 1980 hingga 2040. Secara umum, Indonesia mengalami kecukupan makanan, namun secara wilayah tidak. DKI Jakarta merupakan wiayah yang mengalami ketidakcukupan pangan hampir setiap tahun dari 1980 hingga 2040. Mulai 2030 dan 2040 semakin banyak wilayah yang mengalami ketidakcukupan seperti DKI Jakarta, yakni Provinsi Kepulauan Riau dan Sulawesi Barat. Grand strategi ketahanan pagnan disusun untuk mengatasi permasalahan ini, baik berdasarkan analisis SWOT maupun lokalisasi. Terdapat 5 kecamatan dengan ketersediaan beras kaegori sanga tahan, yakni Kecamatan Semin, Ngawen, Gedangsari, Patuk dan Ponjong, 4 kecamatan kategori cukup tahan dan 1 kecamatan dengan kategori rentan yaitu Kecamatan Wonosari. Terdapat 3 kecamatan dengan akses pagnan kategori cukup tahan, takni Kecamatan Wonosari, Semanu dan Rongkop, 12 kecamatan agak rentan dan 3 kecamatan kategori rentan yakni Gedangsari, Ngawen dan Saptosari. Hasil analisis komposit ketahanan pangan menunjukkan 4 kecamatan di Kabupaten Gunungkidul termasuk kategori cukup tahan pangan yaitu Patuk, Semin, Ponjong da Rongkop, 1 kecamatan kategori rentan pangan yaitu
20
Lanjutan Tabel 1.1 Matriks Penelitian Sebelumnya No
Peneliti
Judul Penelitian
6
Rahmatullah, Fikri Intizhar. 2015
Analisis Swasembada Beras di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 – 2014
Tujuan mengetahui pola keruangan ketahanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul
Metode pangan. Analisis dilakukan secara deksriptif.
1. Mengidentifikasi kondisi swasembada beras di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2005 – 2014 dengan memperhatikan supply dan demand. 2. Menganalisis distribusi dan aliran pemenuhan kebutuhan beras pada daerah di Provinsi Jawa Tengah yang tidak mampu berswasembada beras. 3. Memprediksikan kondisi swasembada beras Provinsi Jawa Tengah tahun 2025 merujuk pada rencana jangka panjang daerah.
Metode yang digunakan yakni analisis deskriptif dengan data utama berupa data sekunder bersumber dari Provinsi Jawa Tengah dalam Angka dan Indikator Utama Sosil, Politik dan Keamanan Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 – 2014. Analisis deskriptif dilengkapi dengan hasil in-depth interview terhadap perwakilan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Holtikultura dan Badan Ketahana Pangan Provinsi Jawa Tengah.
Hasil Penelitian Wonosari sedangkan 13 kecamatan lain termasuk kategori agak rentan pangan. Pola kerungann ketahanan pangan kecamatan kategori cukup tahan mengelompok di bagian timur, kategori agak rentan pangan menyebar hampir di seluruh wilayah dan kecamatan kategori rentan pangan berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Gunungkidul. Terbentuknya pola keruangan tersebut dipengaruhi oleh kondisi fisik fisiografis dan karakteristik sosial ekonomi penduduk. Penelitian ini menghasilkan temuan: (1) Pada tingkat provinsi, seluruh kabupaten di Jawa Tengah mampu berswasembada beras, sementara enam kota lainnya tidak mampu. (2) Daerah yang tidak berswasembada beras, kebutuhannya dipenuhi dari daerah terdekat yang surplus beras dan dihubungkan dengan jalan arteri dan kolektor. (3) Pada tahun 2025, Provinsi Jawa Tengah mampu berswasembada beras, meskipun kecenderungannya menurun.
21
1.7
Kerangka Pemikiran Konsep
geografi
secara
luas
menjadi
acuan
dalam
proses
pembangunan, termasuk pada pembangunan pertanian yang melibatkan unsur manusia dan lingkungan. Pembangunan pertanian sebagai upaya pencapaian ketahanan pangan suatu daerah menjadi penting karena pangan merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi manusia, termasuk seluruh penduduk yang bertempat tinggal di Provinsi Jawa Tengah. Menelaah berbagai pernyataan para ahli bahwa swasembada pangan secara praktis dapat dicapai dengan ketercukupan beras, masing-masing kabupaten/kota serta wilayah (wilayah utara, wilayah tengah, dan wilayah selatan) di Provinsi Jawa Tengah perlu dikaji kondisi swasembada berasnya. Swasembada beras tercapai apabila ketersediaan (supply) lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan (demand) beras. Ketika lahan yang ditanami padi dikalikan dengan produktivitas lahan kemudian dikonversikan angkanya ke dalam beras, didapatkan ketersediaan beras potensial. Namun pada praktiknya, terdapat lahan yang ditanami padi namun tidak dapat dipanen, misalnya akibat banjir sehingga gagal panen. Ketersediaan beras secara aktual dapat dicari dari luas panen padi dikalikan dengan produktivitas kemudian dikonversikan angkanya ke dalam beras. Kebutuhan (demand) masyarakat yang berbeda-beda setiap tahunnya serta perbedaan jumlah penduduk di tiaptiap daerah membuat analisis swasembada beras cukup kompleks. Terlebih ketika membahas mengenai proyeksi dan aliran pemenuhan beras di Provinsi Jawa Tengah. Berikut kerangka pemikiran penelitian ini:
22
Provinsi Jawa Tengah - Wilayah Utara - Wilayah Tengah - Wilayah Selatan
Studi Geografi
Pembangunan Pertanian
Ketahanan Pangan
Gandum
Sagu
Jagung
Ubi Kayu
Beras
Kebutuhan
Ketersediaan
- Luas tanam padi - Produktivitas - Konversi padi ke beras
- Luas panen padi - Konversi padi ke beras
Produksi Potensial
Produksi Aktual
- Jumlah penduduk - Kebutuhan beras per kapita
Distribusi/ Aliran Pemenuhan Beras
Swasembada Beras
Tahun 2005 - 2014
Ubi Jalar
proyeksi
Tahun 2025
Keterangan: Fokus Penelitian
saling mempengaruhi
Bukan Fokus sumber: konstruksi penulis, 2015 Gambar 1.1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
23