BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam upaya pemulihan pasca krisis moneter 1997-1998, telah dilakukan restrukturisasi sistem moneter di Indonesia. Salah satu bentuk nyata dalam restrukturisasi sistem moneter yaitu dengan munculnya Undang-Undang No. 23 tahun 1999, sebagai pengganti dari Undang-Undang No. 13 tahun 1968. Di dalam undang-undang BI yang lama, status dan kedudukan BI lebih menekankan pada posisi bank sentral sebagai pembantu presiden dalam melaksanakan kebijakan moneter yang diarahkan untuk mecapai atau merealisasikan tujuan ganda (multiple objectives) seperti: pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, stabilitas
moneter, keseimbangan neraca pembayaran dan tujuan-tujuan
pembangunan lainnya, sehingga BI tidak memiliki otonomi dalam melaksanakan tugas pokoknya (Bank Indonesia,2014). Disamping itu, kedudukan tersebut membuka peluang adanya intervensi dari pihak luar sehingga dapat menyebabkan kebijakan yang diambil oleh BI menjadi kurang efektif. UU No. 23/1999 yang kemudian diamandemen menjadi UU No.3/2004 Tentang Bank Indonesia diberlakukan, kebijakan moneter di Indonesia diarahkan pada satu tujuan (single target) yaitu mencapai dan memelihara inflasi yang rendah dan stabil. Status dan kedudukan BI dalam struktur kelembagaan kenegaraan Indonesia ditempatkan secara khusus. Dalam pasal 4 ayat 2 UU No.3/2004 dirumuskan bahwa BI adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Selanjutnya, dalam pasal 9 1
dinyatakan bahwa pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI, dan demikian pula, BI wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Dengan adanya independensi dalam melakukan kebijakan, peluang tercapainya tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah akan lebih maksimal. Gambar 1.1 Pergerakan Inflasi dan PDB Indonesia Tahun 1990-2005
Sumber: BPS (2013) Berlakunya undang-undang tersebut, menandakan bahwa BI mulai mengubah kerangka kebijakan moneternya. Sasaran akhir kebijakan moneter BI diarahkan untuk menjaga inflasi, dengan suku bunga sebagai sasaran operasional. Namun, faktanya menunjukkan bahwa tingkat inflasi Indonesia cenderung belum membaik, bahkan pada tahun 2001 tingkat inflasi Indonesia mencapai 12,55% (IMF, 2012).
2
Berdasarkan hal tersebut pada bulan Juli tahun 2005 BI selaku otoritas moneter di Indonesia secara penuh mengadopsi Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka kerja kebijakan moneter yang digunakan untuk mencapai mandat tersebut. Kerangka ITF ini dicirikan dengan penetapan target inflasi yang diumumkan kepada publik dan inflasi merupakan tujuan utama kebijakan moneter. Implementasi ITF di Indonesia menekankan pentingnya pengendalian ekspektasi inflasi agar terjangkar ke target inflasi jangka panjang yang rendah dan stabil (low and stable inflation) sekitar 3% agar kompetitif dengan negara lain. Namun tingkat inflasi aktual yang masih sering melenceng dari target yang disebabkan oleh mengabaikan adanya supply rigidties, kurang tegasnya peran kebijakan nilai tukar sebagai instrumen pengendalian inflasi, derasnya arus modal yang masuk membuat komplikasi kebijakan moneter, dan krisis keuangan di Amerika yang dipicu dari masalah pembiayaan kredit properti (subprime mortgage), maka sejak tahun 2011, BI menggunakan Flexible Inflation Targeting Framework. Laporan perekonomian tahun 2013 yang diterbitkan oleh BI menunjukan dalam perkembangannya pada triwulan IV tahun 2013, berbagai respons bauran kebijakan dapat mengurangi tekanan pada stabilitas makroekonomi. Tekanan inflasi berangsur-angsur dapat dikendalikan sehingga kembali pada pola normalnya sejak September 2013. Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi dari Rp 4,500,-/liter menjadi Rp 6,000,-/liter memang tidak dapat dihindari telah mendorong inflasi keseluruhan tahun 2013 meningkat menjadi 8,4% dari 4,3% pada 2012, atau berada di atas sasaran inflasi yang telah ditetapkan sebesar 4,5±1%. Namun, apabila dibandingkan dengan inflasi di tahun 2005 dan 2008 saat harga BBM bersubsidi dinaikkan, inflasi 2013 masih berada di bawah 10%, lebih 3
rendah dibandingkan dengan inflasi tahun 2005 dan 2008 yang tercatat di atas 10%. Perkembangan positif ini dipengaruhi respons kebijakan Bank Indonesia yang preemptive mengantisipasi kenaikan inflasi sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi dan koordinasi kebijakan yang erat dengan Pemerintah dalam mengendalikan dampak lanjutan (second round effect) kenaikan harga BBM. Gambar 1.2 Pencapaian Sasaran Inflasi
Sumber: Laporan Perekonomian Indonesia (2013) Meskipun berada di atas sasarannya, laju inflasi IHK masih terkendali pada single digit di tahun 2013. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan yang telah ditempuh oleh Bank Indonesia dan Pemerintah untuk meminimalkan dampak lanjutan kenaikan harga kelompok administered prices dan gejolak harga volatile food,
serta
mengarahkan ekspektasi inflasi pada sasarannya. Dalam kenyataannya beberapa bank sentral telah menerapkan inflation targeting yang lebih fleksibel dalam kebijakan moneternya dalam target horizon tertentu. Ini bukti bahwa terdapat kemungkinan mempertimbangkan dampak dari ketidakseimbangan di sektor keuangan terhadap proyeksi inflasi. Kemungkinan
4
terjadinya risiko apabila tidak memperhitungkan dampak imbalance di sektor keuangan ini terhadap inflasi untuk jangka waktu menengah dan panjang, terutama terhadap terjadinya turbulence perekonomian dimasa mendatang, undang‐undang bank sentral di New Zealand secara ekplisit mengatakan bahwa bank sentral dalam menetapkan kebijakan moneter harus mempertimbangkan efesiensi dan kesehatan sistem keuangannya. Dalam ITF memiliki lima pilar, yaitu: (1) Sasaran akhir tetap menjaga stabilitas harga (overriding objective); (2) Kebijakan nilai tukar sebagai instrumen pengendalian inflasi; (3) Penguatan saling keterkaitan antara moneter dan keuangan; (4) Penggunaan bauran kebijakan antara moneter dan makroprudensial; (5) Penguatan komunikasi antar institusi yang berkepentingan. Sebagai sebuah kerangka kebijakan moneter, inflation targeting menjadikan stabilisasi ekonomi menjadi tujuan BI. Dipelopori oleh Selandia Baru pada tahun 1989, beberapa negara lain seperti Inggris, Kanada, Australia, Swedia, Finlandia, Israel, Afrika Selatan, Poladia, Korea Selatan, Ceska dan Spanyol mengikuti langkah negara ini untuk menerapkan ITF (Bernanke & Mishkin, 1997; Dotsey, 2006). Disamping itu, meskipun tidak secara eksplisit menerapkan target inflasi, kerangka kebijakan moneter yang memfokuskan pada sasaran inflasi saat ini juga semakin banyak diadopsi. Tabel 1.1 Emperical Gap, Policy Gap, & Theoritical Gap Empirical Gap
Policy Gap
Theoritical Gap
Tingkat inflasi di Indonesia belum membaik akibat krisis moneter tahun 1998. Pada tahun 2001 tingkat inflasi mencapai 12,55%
UU No. 23/1999 yang kemudian diamandemen menjadi UU No. 3/2004 dalam pasal 4 ayat 2 dirumuskan bahwa BI adalah lembaga negara yang independen.
Dari berberapa studi menunjukkan bahwa penerapan ITF di negara berkembang yang mengadopsinya, tingkat inflasi berada di level yang lebih rendah 5
Mengabaikan adanya supply rigidties, dan derasnya capital inflow yang masuk menyebabkan komplikasi kebijakan moneter.
Penerapan Flexible Inflation Targeting Framework di Indonesia sebagai kerangka kebijakan moneter dimana kerangka ini mepertimbangkan dampak financial imbalances di sektor keuangan.
Komunikasi dengan publik mengenai rencana dan tujuan kebijakan fiskal serta akuntabilitas bank sentral dalam pencapain target inflasi merupakan faktor terpenting
Dari beberapa studi yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa penerapan ITF di negara berkembang yang telah mengadopsinya, tingkat inflasi memperlihatkan level yang lebih rendah, serupa dengan negara maju yang telah terlebih dahulu menerapkan ITF (Fraga, et al., 2003). Hal tersebut didukung juga oleh hasil temuan Lin & Ye (2009) yang melakukan penelitian di 13 negara berkembang (Brazil, Chili, Kolombia, Republik Ceko, Hungaria, Israel, Korea Selatan, Mexico, Peru, Filipina, Polandia, Afrika Selatan dan Thailand). Secara umum, penerapan ITF di negara berkembang memiliki dampak yang besar terhadap penurunan inflasi dan variabilitas inflasi. Neumann & von Hagen (2002) berpendapat bahwa ekspektasi inflasi bisa menjadi hal yang baik untuk perekonomian suatu negara, namun ITF dapat berhasil apabila didasari dengan komunikasi yang baik dengan masyarakat untuk meningkatkan pemahaman tentang niat bank sentral dan untuk menstabilkan ekspektasi inflasi dalam jangka panjang.
1.2. Rumusan Masalah ITF merupakan sebuah kerangka kerja yang digunakan untuk kebijakan moneter oleh Bank Indonesia. Sejak diterapkan pertama kali pada bulan Juli tahun 2005, perubahan yang baru dalam dunia moneter di Indonesia ini masih mengalami berbagai tantangan serta permasalahan. Seperti, tingkat inflasi aktual 6
yang masih sering melenceng dari target. Selain itu, banyak pro dan kontra di antara para ekonom di berbagai negara mengenai efektivitas dari ITF sebagai kerangka kerja kebijakan moneter. Oleh karena itu, penelitian ini akan mencoba menjelaskan lebih lanjut tentang efektivitas penerapan ITF terhadap perekonomian Indonesia dan mengevaluasi hasil penerapan Inflation Targeting yang kurang lebih telah berjalan selama 8 tahun dari 2005-2013 yang mengalami perubahan dari lite inflation targeting framework, full fledge inflation targeting framework, dan flexible inflation targeting framework. Selanjutnya, penelitian ini juga mencoba untuk melihat keberhasilan Indonesia yang telah menerapkan ITF dalam kerangka kerja kebijakan moneter di negaranya.
1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang penulis paparkan sebelumnya, maka terdapat pertanyaan terhadap masalah yang akan diteliti, berupa: 1. Apakah ada hubungan jangka panjang yang terjadi antara pergerakan nilai tukar, tingkat suku bunga BI rate, pertumbuhan uang beredar, pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan kredit perbankan dengan inflasi pasca penerapan ITF? 2. Bagaimana keterkaitan dari pergerakan nilai tukar rupiah, tingkat suku bunga BI rate, pertumbuhan uang beredar, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan kredit perbankan dengan inflasi pasca penerapan ITF? 3. Faktor apakah yang memiliki kontribusi paling besar terhadap inflasi pasca penerapan ITF?
7
1.4. Tujuan Penelitian Bedasarkan pertanyaan penelitian yang telah diuraikan, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui hubungan jangka panjang yang terjadi antara pergerakan nilai tukar rupiah, tingkat suku bunga BI rate, pertumbuhan uang beredar, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan kredit perbankan dengan inflasi pasca penerapan ITF. 2. Menganalisis keterkaitan dari pergerakan nilai tukar rupiah, tingkat suku bunga BI rate, pertumbuhan uang beredar, pertumbuhan kredit perbankan dan inflasi terhadap inflasi pasca penerapan ITF. 3. Menganalisis faktor yang memiliki kontribusi paling besar terhadap inflasi pasca penerapan ITF
1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, antara lain: 1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan serta kemampuan dalam menganalisis dan mengidentifikasi pergerakan nilai tukar rupiah, tingkat suku bunga BI rate, pertumbuhan uang beredar, pertumbuhan kredit perbankan, inflasi, dan perekonomian Indonesia. 2. Menjadi literatur untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang bertemakan ITF. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pertimbangan bagi pemerintah dan BI dalam menetapkan suatu kebijakan.
8
1.6. Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab 1 berisi uraian latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab 2 berisi uraian penelitian-penelitian terlebih dahulu mengenai ITF yang memperkuat penelitian ini, serta metode analisis yang digunakan. Bab 3 berisi pembahasan dari data dan hasil temuan berdasarkan metode yang digunakan. Bab 4 berisi penutup yang mencakup kesimpulan dan saran dari hasil penelitian ini.
9