BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam tata kelola organisasi, kearsipan merupakan salah satu unsur penunjang atau fasilitatif. Kearsipan, sebagai unsur yang menunjang kegiatan-kegiatan substansial suatu organisasi, merupakan hal-hal yang berkenaan dengan arsip (ANRI, 2010). Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan pasal 1 ayat (1), arsip adalah: rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Menurut definisi tersebut, arsip dikelola karena menjadi suatu bukti atau rekaman kegiatan dari organisasi maupun individu dalam pelaksanaan fungsifungsi substansinya. Barthos (1989: 2) menyebutkan bahwa arsip merupakan dokumen otentik dan akurat tentang segala hal dari suatu organisasi. Oleh karena itu, diperlukan penanganan atau pengelolaan khusus agar informasi yang terekam dalam arsip tidak rusak atau disalahgunakan. Adapun pihak yang dikenai kewajiban mengelola arsip adalah organisasi kearsipan. Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan pasal 16 ayat (1), organisasi kearsipan terdiri dari unit kearsipan pada pencipta arsip dan lembaga kearsipan. Sedangkan pihak yang dikenai tanggung jawab dalam penyelenggaraan kearsipan, sebagaimana yang tersurat dalam definisi arsip adalah lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga
1
pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan. Perguruan tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan yang dikenai tanggung jawab dalam penyelenggaraan kearsipan. Konsep arsip perguruan tinggi sebetulnya telah ada sejak tahun 2002, yaitu ketika Arsip Nasional Republik Indonesia (selanjutnya disebut ANRI) melakukan kerja sama dengan 7 (tujuh) perguruan tinggi negeri, termasuk Universitas Gadjah Mada (selanjutnya disebut UGM) untuk melakukan pilot project pengelolaan arsip di perguruan tinggi (Handayani, 2008). Apabila melihat pada periode pencanangan kerja sama tersebut, dapat dikatakan bahwa arsip perguruan tinggi merupakan suatu hal yang relatif baru (Utomo, 2009: 247). Hal ini juga dapat dilihat pada waktu pendirian Unit Arsip Universitas Gadjah Mada (selanjutnya disebut Unit Arsip UGM) pada tahun 2004 melalui kesepakatan antara ANRI dengan UGM. Pendirian Unit Arsip UGM tersebut merupakan langkah nyata dari pilot project program pengelolaan arsip perguruan tinggi tersebut. Upaya nyata tersebut juga selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Gadjah Mada pasal 10 ayat (5) bahwa otonomi pengelolaan UGM dilaksanakan berdasarkan prinsip, yaitu akuntabilitas, transparan, nirlaba, penjaminan mutu dan efektivitas dan efisiensi. Arsip, dalam hal tersebut, berperan dalam mewujudkan prinsip akuntabilitas dan transparan melalui penyediaan data informasi yang otentik dan akurat tentang penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi. Selain itu, pengukuhan Universitas Gadjah Mada sebagai World Class Research University juga semakin mempertegas tuntutan peran arsip perguruan tinggi untuk ikut serta dalam mempertahankan predikat tersebut.
2
Namun demikian, penyelenggaraan kearsipan di lingkungan perguruan tinggi masih terkendala berbagai masalah. Salah satunya adalah masih adanya gap pemahaman terkait pemanfaatan arsip sebagai sumber informasi dalam penelitian. Menurut Warsito Utomo (2009: 249), selama ini kegiatan penelitian di universitas/perguruan tinggi selalu dikaitkan dengan perpustakaan sebagai bahan acuan, terutama untuk pembuatan teorisasi dan tinjauan pustaka. Tetapi sangat jarang penggunaan arsip untuk bahan-bahan penelitian, terutama yang berkaitan dengan arsip statis. Hal inilah yang seharusnya diperhatikan oleh Unit Arsip UGM untuk meminimalisasi gap pemanfaatan arsip tersebut. Upaya yang dapat dilakukan, salah satunya adalah pemasaran koleksi dan layanan arsip secara masif. Peran serta Unit Arsip UGM juga diperlukan dalam pendidikan karakter sivitas akademika, yaitu dengan pembentukan karakter ke-gadjah mada-an. Bagi sebagian besar masyarakat, terutama warga Yogyakarta, UGM dinilai telah kehilangan ruhnya sebagai kampus kerakyatan. Makna kampus kerakyatan, menurut Muslichah (dalam Effendhie dan Zaenudin, 2013: 230), berakar dari semangat masyarakat Yogyakarta mengelola UGM agar sivitas akademika dapat mengabdikan dirinya kepada masyarakat, melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan berbagai penelitian yang manfaatnya dapat dirasakan oleh publik. Dalam hal tersebut, Unit Arsip UGM berperan dalam pembentukan karakter melalui pembelajaran sejarah dengan media arsip tentang berbagai pengabdian masyarakat yang telah dilakukan UGM. Sivitas akademika diharapkan dapat meneladani karakter tokoh-tokoh UGM, seperti Prof. Sardjito, Prof. Notonagoro, dan Koesnadi Hardjasoemantri, yang telah memberikan sumbangsih nyata bagi masyarakat pada
3
masanya. Dengan demikian, peran Unit Arsip UGM tidak hanya bersifat sebagai unit penunjang manajerial UGM, tetapi juga pendukung UGM sebagai World Class Research University yang memiliki karakter ke-gadjah mada-an mengakar kuat, menjulang tinggi. Dalam perkembangannya, peng kelolaan arsip di tingkat perguruan tinggi kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan pasal 27 ayat (2) bahwa perguruan tinggi negeri wajib membentuk arsip perguruan tinggi. Arsip perguruan tinggi memiliki kewajiban dalam pengelolaan arsip statis yang diterima dari satuan kerja di lingkungan perguruan tinggi maupun sivitas akademika. Menurut Barthos (1989: 4), arsip statis adalah arsip yang tidak digunakan secara langsung untuk perencanaan, pelaksanaan, penyelenggaraan kehidupan kebangsaan pada umumnya, maupun penyelenggaraan administrasi sehari-hari dan disimpan di lembaga kearsipan di pusat (ANRI), lembaga kearsipan provinsi, lembaga kearsipan kota/kabupaten, atau lembaga kearsipan perguruan tinggi. Meskipun tidak digunakan secara langsung dalam kegiatan administrasi sehari-hari, arsip statis tetap memiliki nilai guna bagi masyarakat, yaitu nilai guna kebuktian (evidential) dan nilai guna informational. Kedua nilai guna tersebut merupakan bukti otentik mengenai proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga memungkinkan setiap generasi melakukan penilaian objektif atas jati diri bangsanya (Muslichah dalam Effendhi dan Zaenudin, 2013: 227). Dalam konteks UGM, nilai guna yang ada dalam arsip statis mewujud dalam beberapa jenis arsip akademik yang dikelola oleh Unit Arsip UGM, antara lain arsip hasil penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi), arsip pidato pengukuhan guru
4
besar, arsip SK pendirian fakultas-fakultas, arsip pengabdian masyarakat, dan sebagainya (Effendhie, 2010). Dampak yang terjadi apabila arsip-arsip tersebut hilang antara lain: hilangnya memori organisasi dan bukti kesejarahan, hilangnya kekayaan intelektual, hilangnya hak, dan timbulnya kerugian material dan immaterial (Zaenudin, 2013: 259). Kasus penjualan tanah UGM yang sempat mencuat beberapa waktu lalu dapat memperlihatkan peran penting arsip (www.harianjogja.com diakses tanggal 4 Februari 2015). Dalam kasus tersebut, arsip menjadi salah satu syarat kelengkapan administrasi persidangan antara pihak UGM dengan PT GCA. Dalam hal ini, dokumen akta tanah kemudian melindungi UGM dari kehilangan hak material berupa tanah. Selain itu, kasus plagiarism yang menjerat Anggito Abimanyu juga tidak akan mudah diselesaikan apabila UGM tidak mampu melacak keberadaan arsip hasil penelitian yang telah dilakukan Anggito. Selama masa 11 tahun sejak diresmikannya, Unit Arsip UGM telah menorehkan prestasi yang membawa nama baik UGM di bidang kearsipan. Pada tahun 2015 misalnya, Unit Arsip UGM telah diakui secara nasional sebagai lembaga kearsipan terbaik di tingkat perguruan tinggi. Arsip Nasional Republik Indonesia (selanjutnya disebut ANRI), bahkan memberikan predikat A (sangat baik) kepada Unit Arsip UGM dalam rapat pleno akreditasi lembaga kearsipan. Para arsiparis di Unit Arsip UGM juga dinilai memiliki prestasi membanggakan diantaranya sebagai arsiparis teladan tingkat nasional sejak tahun 2009 hingga 2014. Prestasi-prestasi tersebut tentunya dapat ditinjau dari bagaimana Unit Arsip UGM mengimplementasikan
5
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dalam hal pengelolaan arsip, terutama arsip statis. Pengelolaan arsip statis tidak hanya pada pengelolaan teknik fisik arsip, seperti perawatan dan pemeliharaan. Menurut Ricks (1995: 65), pengelolaan arsip statis meliputi
kegiatan
acquisition
and
records
appraisal,
description,
restorative/curative conservation, information services, dan sources publication. Penelitian ini difokuskan pada kegiatan layanan atau dalam istilah Ricks dalam pengelolaan arsip statis disebut information services. Hal ini selaras dengan visi Unit Arsip UGM, yaitu menjadi pusat pengembangan dan layanan informasi kearsipan dalam menunjang universitas riset kelas dunia dan bertata kelola baik. Layanan informasi kearsipan merupakan pemberian layanan berupa layanan informasi dari media arsip sesuai dengan keperluan publik sesuai dengan aturan pokok dan tata cara kearsipan yang telah ditetapkan (Hadiwijaya, 2000: 24). Menurut Schellenberg (1998) dan McClaussand (2000), layanan kearsipan memuat 2 (dua) hal penting, yaitu reference service (layanan referensi) dan access (akses). Layanan di Unit Arsip UGM dibagi dalam 2 (dua) kategori, yaitu layanan arsip (meliputi konsultasi sumber arsip, penelusuran arsip, akses, peminjaman, dan penggandaan) dan layanan jasa kearsipan (meliputi konsultasi, magang, pendampingan, praktikum, narasumber, dan diklat). Penulis lebih memfokuskan analisis penelitian pada layanan arsip sebab kegiatan-kegiatan dalam layanan arsip merupakan cermin dari definisi information service (Ricks) dan reference service (McClaussand). Tujuan penyelenggaraan layanan arsip adalah penyediaan informasi terkait UGM yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan kepada publik,
6
baik di lingkungan UGM maupun di luar UGM. Kegiatan layanan arsip turut menyumbang Unit Arsip UGM dalam meraih akreditasi A, dengan nilai layanan 100%. Menurut penuturan arsiparis Unit Arsip UGM: “Layanan arsip di tempat kami dikatakan merupakan layanan arsip yang memiliki prosedur paling mudah dan murah jika dibandingkan dengan layanan arsip di lembaga kearsipan lainnya. Kami juga jarang menerima keluhan dari pengguna terkait dengan kualitas layanan arsip yang kami selenggarakan. Soal waktu telusur arsip juga kami terhitung cepat karena kami dibantu aplikasi SiKS begitu.” (Wawancara dengan N2, tanggal 24 September 2015 di Unit Arsip UGM). Meski demikian, Unit Arsip UGM mengalami berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan layanan arsipnya. Penulis mengkategorikan permasalahan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu permasalahan eksternal layanan arsip dan permasalahan internal layanan arsip. Permasalahan eskternal layanan arsip dimaknai sebagai permasalahan yang timbul atau berasal dari luar Unit Arsip UGM, misalnya dari aspek pengguna arsip. Permasalahan internal layanan arsip, sebaliknya, dimaknai sebagai permasalahan yang timbul atau berasal dari luar Unit Arsip UGM, misalnya dari aspek tata kelembagaan. Permasalahan eskternal yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan layanan arsip adalah pengguna arsip. Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis di lingkungan Perpustakaan Pusat UGM, tidak banyak mahasiswa UGM yang mengetahui eksistensi Unit Arsip UGM dan arsip-arsip yang dikelolanya. Hal ini tentu dapat berdampak pada operasionalisasi layanan arsip di Unit Arsip UGM. Beberapa mahasiswa yang berhasil diwawancara secara singkat oleh penulis menjelaskan bahwa mereka, pada umumnya, mengetahui Unit Arsip UGM dari display yang memamerkan beberapa khasanah arsip yang dikelola Unit Arsip UGM dan video yang ditayangkan di
7
beberapa media televisi di depan ruang sirkulasi Unit Perpustakaan UGM. Tingkat popularitas yang rendah dari Unit Arsip UGM juga berdampak pada jumlah pengguna yang mengakses arsip di Unit Arsip UGM yang hanya mencapai angka tertinggi 30 orang dalam satu bulan (Kurniatun, 2013). Upaya dalam meningkatkan jumlah pengguna telah dilakukan Unit Arsip UGM melalui berbagai inovasi program publik, salah satunya adalah pengadaan Diorama Tridharma Universitas Gadjah Mada yang ditampilkan di depan kantor Unit Arsip UGM, penyelenggaraan pameran-pameran arsip, beberapa display khasanah arsip yang diletakkan di lantai satu Gedung Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, dan beberapa simbol yang mengarahkan keberadaan Unit Arsip UGM yang dipasang di beberapa lokasi strategis, seperti lift. Namun demikian,
upaya tersebut dinilai belum
memaksimalkan popularitas Unit Arsip UGM, terutama di kalangan sivitas akademika UGM. Adapun permasalahan internal layanan arsip, yaitu terkait kondisi sarana layanan arsip (termasuk gedung Unit Arsip UGM) dan sumber daya. Permasalahan internal tersebut pada akhirnya juga berdampak pada permasalahan eksternal, yaitu layanan arsip kepada publik menjadi terganggu. Berkaitan dengan permasalahan sumber daya untuk meningkatkan jumlah publikasi fisik, terdapat kendala pada keterbatasan anggaran, terutama sivitas akademika Universitas Gadjah Mada. Namun demikian, permasalahan tersebut seharusnya dapat ditemukan jalan keluarnya melalui teknologi informasi. Namun demikian, pemanfaatan teknologi informasi, baik portal resmi maupun social media menurut observasi penulis, masih belum dimasifkan sehingga tingkat popularitas Unit Arsip UGM cenderung rendah, bahkan di lingkungan internal Universitas Gadjah Mada.
8
Padahal tren sosial menunjukkan bahwa publikasi suatu organisasi lebih cepat sampai ke publik apabila menggunakan teknologi informasi, terutama teknologi social media. Selain itu, dalam hal kondisi sarana layanan arsip, menurut hasil wawancara dengan Kepala Unit Arsip UGM pada tanggal 10 November 2015 disebutkan pula bahwa kurang lengkapnya sarana dan prasarana penggandaan arsip-arsip tertentu juga mengakibatkan tidak maksimalnya layanan arsip yang diberikan kepada pengguna. “Jadi terkait dengan layanan kami ya, kendala yang kami hadapi itu pertama gedung ini sendiri belum memenuhi standar secara sempurna, sarana penggandaan juga belum lengkap, SDMnya ya terutama bisa dikatakan minim jumlahnya, apalagi dari segi kualitas, mereka ini belum disertifikasi kompetensinya.” (Wawancara dengan N3, tanggal 10 November 2015, di Unit Arsip UGM) Kebutuhan untuk pemenuhan sarana penggandaan arsip menjadi penting untuk dipenuhi sebab apabila arsip digandakan di luar institusi resmi, resiko terkait dengan hak cipta menjadi rentan. Arsip dapat saja diduplikasi melebihi permintaan resmi Unit Arsip UGM. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, selain prasyarat keberadaan sarana yang memadai, prasyarat lainnya yang berpengaruh terhadap keberhasilan layanan arsip adalah sumber daya manusia, dalam hal ini arsiparis sebagai petugas layanan. Minimnya jumlah arsiparis Unit Arsip UGM menjadi permasalahan utama yang dihadapi dalam rangka perbaikan mutu layanan arsip. Arsiparis, dalam hal ini tidak hanya mengolah arsip di depo, tetapi juga memberikan pelayanan kepada pengguna, serta melaksanakan pembinaan arsip. Minimnya jumlah arsiparis berdampak pada waktu layanan yang lebih lama dari yang distandarkan. Menurut Kabid Database Unit Arsip UGM:
9
“Jadi arsiparis di sini mengalami duplikasi tugas, artinya beban tugasnya itu melebihi dari kompetensi standar atau normatif dalam permenpan jabfung arsiparis. Jadi yang secara ‘baju’ masih menduduki posisi arsiparis terampil, dalam realitanya ia justru menggarap hampir semua tugas dari posisi arsiparis ahli. Tetapi, apa-apa yang mereka lakukan itu justru tidak dapat dimasukkan dalam SKP. Memang menambah kualitas personal mereka, tapi secara waktu dan beban kerja itu tidak efektif.” (Wawancara dengan N1, tanggal 17 November 2015 di Unit Arsip UGM) Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa makna duplikasi tugas adalah selain arsiparis harus melaksanakan butir-butir kegiatan kerja sebagaimana kompetensi jenjang keahliannya, arsiparis juga membantu pimpinan unit dalam hal tata organisasi, seperti kesekretariatan dan kehumasan agar operasionalisasi lembaga tetap berjalan. Tugas-tugas tambahan tersebut sayangnya tidak dapat meningkatkan nilai dari SKP, namun hanya berdampak pada waktu kerja yang semakin berkurang untuk menunaikan tugas-tugasnya sebagai arsiparis, termasuk tugas pelayanan. Hal ini karena kompetensi utama berdasarkan fungsi lembaga kearsipan dominan pada pengelolaan arsip statis. Duplikasi tugas yang bersifat administratif seharusnya ditumpukan kepada pegawai tata usaha atau nonarsiparis. Meskipun kedua istilah tersebut saling beririsan, namun tidak dapat digabung. Istilah tata usaha hanya terbatas pada tata persuratan dan kesekretariatan pimpinan, sedangkan ruang lingkup kompetensi arsip dinamis lebih luas lagi (untuk kegiatan dan rincian kompetensi dapat dilihat pada lampiran 3). Dengan demikian, tugas-tugas administratif tersebut tidak dapat digunakan untuk meningkatkan gaji atau tunjangan arsiparis. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan prinsip pengelolaan aparatur sipil negara berdasarkan sistem merit. Menurut Taufiq (dalam Aryanto dkk., 2014: 141), prinsip merit adalah kebijakan dan manajemen ASN (Aparatur Sipil Negara) yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja
10
secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Hasil observasi penulis juga menunjukkan bahwa dampak dari duplikasi tugas tersebut adalah layanan arsip menjadi tidak maksimal ketika terjadi penumpukan tugas kepada arsiparis, misalnya ketika penulis melakukan penelusuran arsip SK Pendirian Unit Arsip UGM dan saat itu juga Unit Arsip UGM tengah melayani kunjungan dari instansi di luar UGM. Kebutuhan penulis terkait penelusuran SK Pendirian Unit Arsip UGM menjadi diabaikan karena arsiparis fokus pada kunjungan instansi. Upaya yang dilakukan pimpinan untuk mengantisipasi minimnya arsiparis dengan penjagaan mutu layanan arsip adalah melalui piket bergilir pada jam-jam istirahat dan mengusahakan agar arsiparis tidak banyak tugas keluar Unit Arsip UGM. “Ya jadi karena arsiparisnya kurang itu kami berlakukan piket bergilir. Kalau jam istirahat, gantian istirahatnya. Antisipasi barangkali ada pengguna yang datang pada jam istirahat. Selain itu, saya juga memperhatikan porsi arsiparis untuk pembinaan di luar Arsip UGM. Jadi memang sebaiknya, arsiparis kami ini tidak keluar, cukup yang butuh pembinaan saja datang ke sini (Unit Arsip UGM). Tapi intinya saya tidak menghalangi, hanya saja usahakan tidak terlalu sering begitu.” (Wawancara dengan N3, tanggal 12 November 2015 di Unit Arsip UGM) Persoalan sumber daya manusia, utamanya dalam lingkup birokrasi menjadi perhatian utama paska penetapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Paradigma inti yang diubah dengan penetapan undangundang tersebut adalah memperlakukan sumber daya aparatur berdasarkan kompetensi yang dimiliki. Apabila selama ini jabatan fungsional arsiparis hanya diisi oleh pegawai-pegawai yang “asal tebang pilih”, maka diharapkan melalui Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN) akan
11
diperoleh arsiparis yang berkompeten dalam bidang kearsipan sehingga mampu meningkatkan kinerja organisasi, terutama dalam hal layanan arsip. Selain itu, keberadaan UU ASN juga menjadi acuan pimpinan organisasi dalam memberikan tugas-tugas agar menyesuaikan dengan kompetensi yang dimiliki sehingga diharapkan tidak terjadi penumpukan tugas tetapi tidak memberikan nilai tambah bagi fungsi-fungsi utama organisasi. Selain permasalahan dalam hal kuantitas, pemberian motivasi dari pimpinan kepada arsiparis yang berprestasi masih terlihat kurang. Hal ini dapat diperhatikan pada pemberian izin cuti dengan alasan kepentingan pribadi kepada arsiparis yang berhasil menjuarai kompetisi karya tulis. Apabila permasalahan tersebut tidak diperhatikan oleh pihak pimpinan, maka motivasi berprestasi dari arsiparis dapat menurun drastis. Hal tersebut tentu akan berdampak negatif pula terhadap penyelenggaraan layanan arsip di Unit Arsip UGM karena minimnya inovasi layanan sebagai akibat menurunnya motivasi dan produktivitas kerja arsiparis. Layanan arsip merupakan salah satu fungsi utama dari Unit Arsip UGM sebagaimana tersurat dalam visi organisasi. Hal ini karena layanan arsip merupakan kegiatan vital dalam manajemen kearsipan (Schellenberg, 1979). Kegiatan layanan dapat memperlihatkan kebermanfaatan dari arsip-arsip yang dikelola oleh organisasi kearsipan. Oleh karena itu, apabila dalam proses layanan tidak memenuhi persyaratan dan standar minimal, maka kebermanfaatan arsip tidak akan sampai kepada pengguna. Standar yang dimaksud termasuk dalam hal ini adalah kualitas atau kompetensi dari arsiparis untuk melayani pengguna. Layanan arsip akan menjadi layanan prima apabila aspek arsiparis sebagai reader assistant juga
12
diperhatikan. Dalam hal itulah fungsi pengembangan melalui pelatihan dan pendidikan mengambil peran vital, yaitu agar arsiparis mampu menjadi reader assistant yang kompeten dan profesional. Permasalahan pelik muncul ketika dalam uji kompetensi arsiparis yang diselenggarakan oleh ANRI selaku Pembina kearsipan nasional, unsur layanan memiliki porsi penilaian lebih kecil dari unsur pengolahan fisik arsip. Menurut arsiparis di Unit Arsip UGM: “Kami di sini memang sudah memiliki kompetensi dan pengakuan melalui sertifikasi kompetensi sebagai arsiparis ahli. Namun demikian, komponen untuk kegiatan layanan arsip tidak banyak diperhatikan dalam uji kompetensi lalu. Jadi meskipun secara akreditasi, komponen layanan kami dinilai 100% baik, kami ragu apakah pengguna juga merasa layanan kami sudah memuaskan 100%.” (Wawancara dengan N2, tanggal 17 November 2015 di Unit Arsip UGM) Berdasarkan hasil wawancara dan telaah dokumen Permenpan Nomor 48 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Arsiparis, komponen tugas layanan arsip memiliki porsi lebih sedikit dibandingkan komponen tugas pengolahan fisik arsip. Padahal jika mengacu pada teori-teori layanan kearsipan secara internasional, kompetensi arsiparis dalam melayani pengguna memiliki porsi yang sama besarnya dengan pengolahan fisik arsipnya. Selain itu, faktor pemahaman pimpinan terhadap layanan arsip yang prima pun masih sebatas normatif prosedural, artinya layanan prima ditekankan pada kecepatan, ketepatan, dan kemudahan dalam temu balik. Apabila demikian, maka fungsi arsiparis dapat digantikan dengan mesin atau teknologi lain yang memiliki presisi kecepatan di atas kecepatan rata-rata manusia. Arsiparis menjadi tereduksi maknanya dalam layanan arsip apabila hanya dipahami sebagai petugas yang cepat, tepat, dan mudah dalam menelusuri arsip. Padahal tuntutan dalam layanan arsip adalah tidak hanya cepat, tepat, dan mudah, tetapi juga
13
bagaimana arsiparis mampu menjadi mitra yang tepat bagi pengguna sehingga pengguna dapat memaksimalkan penggunaan arsip (Schellenberg, 1979: 251). Dengan demikian, beberapa permasalahan mendasar terkait layanan arsip yang diselenggarakan Unit Arsip UGM dapat digambarkan dalam tabel berikut: Tabel 1. Permasalahan Penyelenggaraan Layanan Arsip di Unit Arsip UGM No. Permasalahan Eksternal Permasalahan Internal 1. Tingkat popularitas Unit Arsip Jumlah publikasi fisik masih UGM rendah di lingkungan sivitas rendah akademika UGM 2. Rendahnya pemanfaatan teknologi informasi sebagai alternatif publikasi 3. Sarana yang belum memenuhi standard secara kuantitas maupun kualitas (gedung dan alat penggandaan arsip) 4. Minimnya jumlah arsiparis 5. Duplikasi tugas 6. Pemahaman pimpinan terkait layanan arsip masih sebatas normatif prosedural Arsiparis belum diberikan pelatihan secara kontinue terkait manajemen pelayanan publik Sumber: Olah data hasil observasi dan hasil wawancara Permasalahan tersebut dapat berdampak signifikan terhadap kinerja layanan arsip di Unit Arsip UGM. Menurut Chaizi (dalam Mahmudi, 2008: 37), kinerja adalah tingkat pencapaian hasil dari suatu organisasi setelah melakukan reformasi administrasi yang diukur berdasarkan dimensi produktivitas, responsivitas, responsibilitas dan akuntabilitas. Prawirosentono (1992: 2) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak
14
melanggar hukum, dan sesuai dengan moral etika. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kinerja layanan arsip Unit Arsip UGM adalah upaya dan hasil pencapaian Unit Arsip UGM dalam penyelenggaraan layanan arsip berdasarkan dimensi-dimensi tertentu dan dalam periode waktu tertentu. Unit Arsip UGM, dengan mengemban peran yang signifikan dalam membawa nama besar UGM, perlu diketahui tingkat kinerjanya. Hal ini karena informasi mengenai kinerja tentu sangat berguna untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan dan memuaskan pengguna jasa (Dwiyanto dkk., 2006: 47). Adanya informasi mengenai kinerja, bagi internal Unit Arsip UGM dapat membantu memperbaiki berbagai permasalahan dalam hal layanan arsip. Namun demikian, permasalahan berikutnya adalah ketiadaan laporan kinerja Unit Arsip UGM secara lengkap. Laporan kinerja Unit Arsip UGM yang disimpan hanya satu buah laporan kinerja sederhana, yaitu pada tahun 2010. Hal ini tentu belum dapat menjadi acuan lengkap untuk menggambarkan kinerja layanan arsip di Unit Arsip UGM secara komprehensif. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk melihat kinerja layanan arsip dan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara cermat dan menyeluruh. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan kondisi yang dijelaskan dalam latar belakang masalah, penulis merumuskan pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagaimana kinerja layanan arsip yang dilaksanakan oleh Unit Arsip Universitas Gadjah Mada?
15
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kinerja layanan arsip di Unit Arsip Universitas Gadjah Mada? 1.3 Tujuan Penelitian Dengan melihat latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penulisan ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui kinerja Unit Arsip Universitas Gadjah Mada 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja di Unit Arsip Universitas Gadjah Mada. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang analisis kinerja unit kearsipan di lingkungan perguruan tinggi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian serupa. 2. Manfaat secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk penyelenggaraan manajemen kinerja di lingkungan perguruan tinggi.
16