BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk sebagai salah satu bagian agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia.1 Pembentukan komisi ini merupakan amanah dari ketentuan Pasal 43 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, komisi ini pun sah didirikan dan memiliki legitimasi untuk menjalankan tugasnya. KPK dibentuk sebagai respon atas tidak efektifnya kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi yang semakin merajalela. Adanya KPK diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good govermance).2 Sejak awal kehadirannya, KPK telah mengundang banyak perhatian publik, banyak kalangan berharap KPK dapat menjadi solusi bagi macetnya pemberantasan korupsi yang terjadi selama ini. Follow up-nya berbagai gebrakan pun dilakukan oleh KPK sebagai upaya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Perlu diketahui, jika ditinjau dari aspek historis pemberantasan korupsi di Indonesia, KPK bukanlah lembaga atau tim pertama yang pernah dibentuk untuk memberantas korupsi di Indonesia. Namun demikian, dalam perjalanannya sejak pendirian lembaga tersebut, keberadaan dan kedudukan KPK dalam struktur negara Indonesia mulai dipertanyakan oleh berbagai
1
Mahmuddin Muslim, Jalan Panjang Menuju KPTPK, Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 33. 2 Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta, 2005, hlm. 88.
pihak.Tugas, wewenang, dan kewajiban yang dilegitimasi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang membuat komisi ini terkesan menyerupai sebuah superbody. Sebagai organ kenegaraan yang namanya tidak tercantum dalam UUD Negara RI Tahun 1945,3 KPK dianggap oleh sebagian pihak sebagai lembaga ekstrakonstitusional.4 Sifat yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dikhawatirkan dapat menjadikan lembaga ini berkuasa secara absolut dalam lingkup kerjanya. Selain itu, kewenangan istimewa berupa penyatuan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu organ juga semakin mengukuhkan argumen bahwa eksistensi KPK cenderung menyeleweng dari prinsip hukum yang berlaku, dan tidak menutup kemungkinan, bertentangan dengan konstitusi.5 Salah satu teknik sederhana untuk melacak dan menelusuri harta kekayaan organisasi kejahatan serta persiapan aktivitas kejahatan mereka adalah dengan menyusup ke dalam organisasi kejahatan atau menggunakan teknik pengintaian (surveillance) dan teknik penyadapan (wiretapping). Kedua teknik tersebut terbukti merupakan teknik yang andal dalam membongkar tuntas organisasi kejahatan sebelum mereka dapat berbuat jahat sehingga potensi jatuhnya korban dapat dicegah lebih awal dan para pelakunya dapat diungkap dan ditangkap. Teknik di atas telah sejak lama, sekitar tahun 1960-an, telah dilakukan oleh
3
UUD Negara RI Tahun 1945 menetapkan delapan organ negara yang mempunyai kedudukan sama/sederajat, yang secara langsung menerima kewenangan konstitusional, yaitu MPR, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Lihat Bab II, Bab III, Bab VII, Bab VIIA, Bab VIIIA, dan Bab IX UUD Negara RI Tahun 1945. 4 Para pemohon pengujian Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD Nazaruddin Sjamsuddin, dkk., dan Capt. Tarcisius Walla, menilai KPK sebagai lembaga ekstrakonstitusional karena telah mengambil alih kewenangan lembaga lain yang diperoleh dari UUD Negara RI Tahun 1945 yang sebetulnya telah terbagi habis dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lihat Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, hal. 33. 5 Ibid.
kepolisian di Amerika Serikat, saat kejahatan terorganisasi merajalela dan kejahatan jalanan begitu maraknya sehingga tidak mudah bagi kepolisian untuk mengungkap.6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 1 ayat (3) dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: “Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku”. Lebih lanjut pada Pasal 6 butir (c) menyebutkan: “melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”. Dan Pasal 12 ayat (1) butir (a) menyebutkan: “ “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :(a) melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”. Penyadapan akhir-akhir ini menjadi pembicaraan di berbagai kalangan, terlebih ketika KPK melakukan kegiatan penyadapan ponsel dan berhasil menangkap beberapa koruptor. Dalam kamus besar bahasa indonesia, penyadapan adalah proses, cara,dan perbuatan untuk mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orang tersebut Berikut cerita penyadapan Mulyana hingga Al Amin Nasution hingga Ayin oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) serta kasus yang terbaru ini yang merupakan titik puncak
6
Romli Atmasasmita, Legalitas Penyadapan, news.okezone.com. April . 24, 2009, 06.00 WIB
keberhasilan KPK dalam menangkap koruptor-koruptor kelas kakap yaitu divonis nya Aulia Pohan dengan tiga mantan Deputi Gubernur BI yang lain, yaitu Maman H. Somantri, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin, membuktikan bahwa tindakan tersebut berkorelasi positif dalam usaha membongkar kasus-kasus korupsi dinegeri ini. Bagi sebagian orang yang terlibat pencurian uang negara, hal ini tentu saja menimbulkan rasa gerah, sehingga mulai membuat skenario fightback melalui kacamata yuridis dengan pura-pura mempertanyakan keabsahan tindakan tersebut dikaitkan dengan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan menyeleweng dari nilai luhur yang terkandung dalam UUD 1945. Tentu kesimpulan yang diamini adalah penyadapan merupakan perbuatan illegal yang melanggar HAM dan bertentangan dengan jaminan akan kebebasan untuk menikmati teknologi serta rasa aman bagi warga negara seperti tercantum dalam UUD 1945. Indonesia telah memiliki perangkat peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai HAM yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimana didalam UU tersebut mengatur mengenai hak sosial dan budaya yang tercantum dalam pasal 13, yaitu hak atas pengembangan dan perolehan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya. Pengaturan mengenai hak sosial dan budaya ini juga terdapat pada UUD 1945 BAB X A tentang hak asasi manusia dalam pasal 28 C dan 28 H. Kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak sosial dan budaya, adanya jaminan terhadap hak sosial dan budaya sebagaimana tercantum dalam berbagai perangkat peraturan perundang-undangan tersebut mengimplikasikan tiga hal seperti berikut :7
7
www.yayasanhak.minihub.org. April . 29, 2009,13.00 WIB
1. Setiap budaya punya hak hidup, berkembang, dan tersebar luas. Budaya apapun dan di manapun tidak bisa dipinggirkan, distigmatisasi, direndahkan atau ditinggikan, apalagi dimusnahkan dengan cara tertentu demi kepentingan dan tujuan tertentu. 2. Setiap orang atau sekelompok orang punya hak menganut atau mengikuti budaya tertentu secara bebas. Tidak boleh ada paksaan kepada seseorang/sekelompok orang orang untuk tidak menganut atau mengikuti budaya yang cocok baginya. 3. Pemerintah wajib menghormati, menjamin, dan melindungi hak hidup, berkembang, dan tersebar luas setiap budaya dan setiap orang/sekelompok orang yang menganut budaya tertentu. Pemerintah dan masyarakat tidak boleh menghalangi,sebaliknya harus mendorong, kehidupan suatu budaya dan seseorang/sekelompok orang untuk menganut budaya tertentu.
Sah-tidak sahnya penyadapan ini sebenarnya sudah tuntas dibahas oleh banyak pihak (termasuk didalamnya para akademisi hukum) hingga uji tuntas di muka persidangan konstitusional yang semuanya berkesimpulan bahwa penyadapan oleh KPK merupakan tindakan yang diperbolehkan, sah dan konstitusional, walaupun membatasi atau terkesan mengenyampingkan HAM, namun penerapannya masih dalam koridor yang tepat.
Ditambahkan lagi dengan adanya ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf b UU Telekomunikasi maka Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK tentang kewenangan KPK melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan adalah pengecualian dari pasal 40 UU Telekomunikasi karena dilakukan untuk keperluan proses peradilan pidana yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.
Saat ini, landasan hukum teknis pelaksaaan penyadapan yang dilakukan oleh KPK masih sebatas
Peraturan
Menteri
Komunikasi
dan
Informatika
Nomor
11/PER/M.
KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (7):
“Penyadapan Informasi adalah mendengarkan, mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dengan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi tanpa sepengetahuan orang yang melakukan pembicaraan atau komunikasi tersebut”. Lebih lanjut Pasal 3: “Penyadapan terhadap informasi secara sah (lawful interception) dilaksanakan dengan tujuan untuk keperluan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap suatu peristiwa tindak pidana”. Berangkat dari uraian ini, peneliti merasa tertarik untuk dapat mengetahui lebih jauh tentang Konstitusionalitas Tindakan Penyadapan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (studi terhadap
Peraturan
Menteri
Komunikasi
dan
Informatika
Nomor
11/PER/M.
KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi)
B. Permasalahan
1. Apakah tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyadapan dapat dibenarkan secara konstitusi? 2. Bagaimana konstitusionalitas tindakan penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (studi terhadap Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11/PER/M. KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi)?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dan memahami tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyadapan dapat dibenarkan secara konstitusi. 2. Mengetahui dan memahami konstitusionalitas tindakan Penyadapan oleh
Komisi
Pemberantasan Korupsi (studi terhadap peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11/PER/M. KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi). D. Tinjauan Pustaka Pembagian kekuasaan dapat dibedakan atas: (1) pembagian kekuasan secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan yang didasarkan pada fungsi maupun mengenai lembaga negara yang melaksanakan fungsi tersebut; dan (2) pembagian kekuasaan negara secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan di antara beberapa tingkatan pemerintah yang akan melahirkan garis hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antara pemerintah
federal dan pemerintah negara bagian.8 Sejalan dengan bangkitnya paham mengenai demokrasi, teori-teori mengenai pemisahan kekuasaan pun berkembang. Teori ini mempunyai tujuan untuk memisahkan secara tegas kekuasaan negara atas beberapa kekuasaan yang masing- masing dipegang oleh lembaga-
8
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. ke-22, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 138.
lembaga tertentu guna mencegah timbulnya monopoli seluruh kekuasaan negara di tangan satu orang yaitu raja seperti terjadi di dalam sistem pemerintahan monarki absolut.9 John Locke adalah sarjana yang pertama kali mengemukakan teori pemisahan kekuasaan yang membagi kekuasaan pada negara menjadi kekuasaan legislatif (kekuasaan membentuk undang-undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan yang menjalankan undang-undang), serta kekuasaan federatif (kekuasaan yang meliputi perang dan damai, membuat perserikatan, dan segala tindakan dengan semua orang serta badan-badan di luar negeri).10 Sejalan dengan Locke, ajaran pemisahan kekuasaan juga disampaikan oleh Montesquieu. Berdasarkan teori Montesquieu, terdapat tiga kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun politik, yaitu fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang kemudian dikenal sebagai trias politica. Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara tersebut dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara, dengan ketentuan satu organ hanya menjalankan satu fungsi dan tidak boleh mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak.11 Konsep Montesquieu saat ini dianggap tidak lagi relevan mengingat ketidakmungkinan mempertahankan prinsip bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara ekslusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Dalam kenyataan sekarang ini, hubungan antar- cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan dan bahkan ketiganya saling sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances.12
9
M. Suradijaya Natasondjana, “Pengisian Jabatan Wakil Presiden alam Teori dan Praktik,” skripsi program sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 1992, hlm. 14. 10 Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1978, hlm. 6. 11 Jimly Asshiddiqie , Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi , Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. vii. 12 Ibid.
Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Didalam literatur Inggris, istilah political institution digunakan untuk menyebut lembaga negara, sedangkan bahasa Belanda mengenal istilah staat organen13 atau staat sorgaan14 untuk mengartikan lembaga negara. Sementara di Indonesia, secara baku digunakan istilah lembaga negara, badan negara, atau organ negara.15 Secara sederhana, istilah lembaga negara atau organ
negara dapat dibedakan dari
perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa dikenal dengan sebutan organisasi non-pemerintah (ornop). Oleh karena itu, lembaga apapun yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut lembaga negara, baik berada dalam ranah eksekutif, legislatif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.16 Dalam kamus besar bahasa indonesia, kata “lembaga” memiliki beberapa arti, salah satu arti yang paling relevan digunakan dalam penelitian ini adalah badan atau organisasi yang tujuannya melakukan suatu usaha. Kamus tersebut juga memberi contoh frase yang menggunakan kata lembaga, yaitu “lembaga pemerintah” yang diartikan sebagai badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif. Apabila kata “pemerintah” diganti dengan kata “negara”, maka frase “lembaga negara” diartikan sebagai badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan negara (khususnya di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif).17 Salah satu konsekuensi dari dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 adalah munculnya beragam penafsiran mengenai istilah “lembaga negara” akibat
13 14
Firmansyah Arifin dkk., op. cit, hlm. 29. Jimly Asshiddiqie , Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi , op. cit, hlm.
31. 15
Firmansyah Arifin Dkk, loc.cit. Jimly Asshiddiqie , Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi , loc. cit. 17 Firmansyah Arifin dkk., op. cit, hlm. 30. 16
kekurangjelasan (multitafsir) UUD Negara RI Tahun 1945 dalam mengatur lembaga negara. Hal ini dapat terlihat dari tiadanya kriteria untuk menentukan apakah suatu lembaga dapat diatur atau tidak dalam konstitusi. Dari berbagai penafsiran yang ada, salah satunya adalah penafsiran yang membagi lembaga negara menjadi lembaga negara utama (state main organ) dan lembaga negara bantu (state auxiliary organ). Lembaga negara utama mengacu kepada paham trias politica yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga poros (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).Dengan menggunakan pola pikir ini, yang dapat dikategorikan
sebagai
lembaga negara utama menurut UUD Negara RI Tahun 1945 adalah MPR, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Dengan demikian, lembaga-lembaga lain yang tidak termasuk kategori tersebut merupakan lembaga negara bantu.18 Langkah pemberantasan korupsi sudah sejak lama dilakukan oleh pemerintah negara ini. Bahkan, sejarah
mencatat bahwa Indonesia adalah negara pertama di Asia
yang
mencanangkan suatu peraturan khusus mengenai pemberantasan korupsi. Penguasa perang pusat kepala staf angkatan darat yang saat itu dijabat Jenderal A.H. Nasution menerbitkan peraturan penguasa perang pusat kepala staf angkatan darat tanggal 16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/C13/1958 untuk memberantas korupsi yang gejalanya mulai tampak pada tahun tersebut.19 Seiring pergantian masa pemerintahan, peraturan mengenai pemberantasan korupsi terus diperbaiki dengan pembentukan undang-undang, mulai dari Undang-Undang Nomor 24 (Prp)
18
ibid, hlm. 36. Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 78. 19
Tahun 1960,20 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, hingga yang terakhir Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Peraturan yang terus dikembangkan tidak lantas menjadikan upaya pemberantasan korupsi semakin mudah dilaksanakan. Justru sebaliknya, bentuk kejahatan ini meluas, tidak hanya dikalangan aparat negara, tetapi juga merambah disektor swasta.Korupsi benar-benar telah mengakar dalam kebiasaan masyarakat. Perbuatan yang dahulu dianggap delik umum pun kini digolongkan sebagai tindak pidana sehingga menjadikan defenisi korupsi meluas. Perbuatan yang dahulu dikategorikan sebagai delik umum dan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti penyuapan misalnya, kini dimasukkan dalam ruang lingkup delik khusus dan diatur dalam peraturan mengenai tindak pidana korupsi. Bahkan Pasal 2 ayat (1)21 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi menyatakan bahwa perbuatan yang secara formil tidak diatur dalam peraturan perundangundangan dapat dipidana apabila dianggap tidak sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.22 Sebagai langkah preventif sekaligus represif dalam memberantas korupsi yang saat ini dianggap extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, pada tahun 2002 didirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang- undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi menyebutkan:
20
Ibid. Sejak 25 Juli 2006, ayat ini telah dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan MK RI Nomor 003/PUU- IV/2006. 22 Nurhasyim Ilyas, “Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Tipikor: Angin Segar bagi Koruptor?,” Jurnal Keadilan (Vol. 4 No. 4 Tahun 2006): 8-9. 21
“komisi pemberantasan korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.23 Kebutuhan akan adanya KPK dilatarbelakangi rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara yang seharusnya mengurusi masalah korupsi. Lembaga peradilan yang diharapkan dapat menegakkan hukum justru dinilai ikut menyuburkan perilaku korupsi. Mafia peradilan atau judicial corruption telah menjadi momok baru bagi dunia peradilan tanah air. Kehadiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan Perundang-Undangan yang disahkan pada tanggal 22 Juni 2004 dan mulai dilaksanakan pada tanggal 1 November 2005 telah memberikan “angin baru dan segar” dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun di daerah, karena dengan kehadirannya telah memberikan landasan yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah, sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu baik mengenai sistem, asas, jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat. E. Metode Penelitian 1.
Obyek Penelitian Konstitusionalitas tindakan penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap
Peraturan
Menteri
Komunikasi
dan
Informatika
(studi Nomor
11/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi) 23
Indonesia (a), Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30, LN No. 137 tahun 2002, TLN No. 4250, ps. 3.
2.
Sumber Data Penelitian ini menggunakan : -
Data sekunder, yaitu berupa data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan terdiri atas: a. Bahan hukum primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan yaitu UUD 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. b. Bahan hukum sekunder, berupa literatur-literatur yang terdiri dari buku-buku, makalah, jurnal,dan searching di Internet.
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka, dimana peneliti mengumpulkan beberapa bahan hukum yang sesuai dengan obyek penelitian. 4. Metode Pendekatan Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis normative dengan menekankan pada aspek-aspek hukum yang normative sebagaimana yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan asas hukum serta teori-teori hukum. 5.
Analisis Data
Analisis data adalah deskriptif, dimana disajikan secara deskripitif dan dianalisis secara kualitatif. Bahan-bahan hukum yang perlu dikumpulkan, kemudian diklasifikasi dan selanjutnya dianalisis untuk mencari kebenarannya. F. Sistematika Penulisan a. Bab I
: Merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori dan metode penelitian.
b. Bab II
: Merupakan bab teori yang membahas tinjauan umum tentang fungsi pemerintahan dan pembentukan peraturan Perundang-Undangan.
c. Bab III : Konstitusionalitas tindakan penyadapan oleh komisi pemberantasan korupsi (studi terhadap peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11/PER/M.
KOMINFO/02/2006
tentang
Teknis
Penyadapan
terhadap
Informasi). Bab ini terdiri atas tiga pembahasan yaitu : 1. Apakah tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyadapan dapat dibenarkan secara Konstitusi? 2. Bagaimana konstitusionalitas tindakan penyadapan oleh komisi pemberantasan korupsi (studi terhadap peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11/PER/M. KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan terhadap Informasi)? 3. Analisis d. Bab IV : Merupakan bab penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran