BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, tentunya negara membutuhkan asupan dana yang sangat besar. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya untuk merinci sumber penerimaan dan pengeluaran tahun berikutnya. APBN ini dibuat oleh presiden kemudian diajukan kepada DPR untuk selanjutnya disahkan. Perlu kita ketahui, sumber dana APBN sebagian besar berasal dari penerimaan pajak. Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 2012, total pendapatan negara mencapai Rp 1.311,4 triliun. Dari total pendapatan negara tersebut, Rp 1.032,6 triliun berasal dari penerimaan pajak. Hal ini berarti hampir 79% pendapatan negara berasal dari pajak yang disetorkan rakyat kepada pemerintah. Sebagian besar penerimaan negara berasal dari pajak, maka peranan pajak dalam pembangunan di Indonesia tidak diragukan lagi. Pemerintah Indonesia tidak henti-hentinya merumuskan, memperbaharui, serta merevisi peraturan-peraturan
perpajakan
untuk
mendukung
agar
tercapainya
peningkatan penerimaan pajak. Dari sejak Indonesia merdeka dan terbebas
1
dari penjajahan, pemerintah telah melakukan beberapa reformasi perpajakan sebagai upaya untuk meningkatkan realisasi penerimaan pajak. Perubahan kebijakan tersebut tertuang dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, dimaksudkan untuk mengatur sistem perpajakan secara menyeluruh yang sejalan dengan perkembangan perekonomian saat ini dan dimasa yang akan datang. Secara menyeluruh, pajak dapat dikatakan sebagai unsur terpenting dalam pembiayaan operasional negara. Penerimaan pajak ditujukan untuk meratakan kesejahteraan rakyat, mendukung pembangunan ekonomi negara, dan membiayai pengeluaran umum negara, serta memperkecil gap yang terbentuk antara masyarakat golongan ekonomi bawah dan masyarakat golongan ekonomi atas (kaum elite). Oleh karena itu, sektor perpajakan Indonesia sangat erat kaitannya dengan makroekonomi, baik itu yang berskala nasional maupun regional (daerah). Amanah Undang-undang agar pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang telah dilaksanakan oleh masing-masing pemerintah daerah. Wujudnya adalah melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diberlakukan mulai Januari 2001 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah hanya terdiri dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, tidak ada lagi daerah kotamadya. Kemudian UU tersebut direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Eksekutif) dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat
2
Daerah (Legislatif). Dengan diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004 maka prinsip otonomi mempunyai tujuan jelas yaitu memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pada daerah tersebut. Tingkat kesejahteraan tersebut dapat dilihat dengan menggunakan indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Semakin tinggi PDRB daerah, maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan pada daerah itu, begitu pula sebaliknya (Herman, 2010). Kebijakan ini merupakan suatu bentuk tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah daerah untuk mengatur penerimaan pajaknya sendiri. Karena pada saat mulai diterapkannya undang-undang tersebut, pemerintah daerah mempunyai wewenang lebih besar untuk mengelola sumber daya yang dimiliki oleh daerahnya secara efektif dan efisien. Dengan adanya pelimpahan wewenang tersebut, pemerintah daerah berusaha membuat kebijakankebijakan untuk mencapai target yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat kepada masing-masing pemerintah daerah. Upaya-upaya nyata yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat ini dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak dapat kita lihat pada kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Upaya-upaya tersebut seperti perubahan undang-undang, perubahan tarif pajak, perubahan cara pemungutan pajak, menambah objek pajak, serta secara aktif melakukan ekstensifikasi wajib pajak (menambah jumlah wajib pajak). Namun, seperti yang kita ketahui, ruang lingkup pajak tidak hanya berkisar antara objek pajak,
3
tarif pajak, dan wajib pajak. Perpajakan di Indonesia seperti sekarang ini, sangat dipengaruhi oleh faktor makroekonomi. Contoh nyata adanya pengaruh faktor makroekonomi terhadap pajak tercermin pada saat berubahnya nilai PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) di tahun 2013 ini. PTKP yang sebelumnya berjumlah Rp 15.840.000 per orang pribadi naik menjadi Rp 24.300.000 per orang pribadi. Perubahan ini diterapkan guna mengimbangi tingkat inflasi yang kian meningkat. Pemerintah menyadari bahwa PTKP yang terdahulu sudah tidak relevan lagi untuk tetap diterapkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan harga kebutuhan pokok yang terus menerus melonjak di pasaran sehingga jumlah PTKP terdahulu dirasa tidak cukup untuk menutupi biaya kebutuhan sehari-hari. Contoh lainnya adalah saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997 silam. Dampak dari krisis tersebut terlihat pada sektor swasta seperti pasar modal dan pada sektor publik (pemerintah). Berbagai dampak negatif seperti bertambahnya pengangguran dan peningkatan kemiskinan bermunculan. Pengaruh negatif krisis moneter juga terjadi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang pada gilirannya berdampak pula pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sektor pendapatan sangat labil atau faktor ketidakpastian akan penerimaan dari Pemerintah Pusat menjadi lebih tinggi. Kondisi tersebut lebih memprihatinkan pada daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah. PAD yang rendah berarti ketergantungan kepada Pemerintah Pusat lebih tinggi (Rohman, 2012).
4
Pajak dan retribusi daerah yang menjadi komponen utama dari PAD juga terpengaruh akibat adanya krisis ekonomi. Menurunnya aktivitas ekonomi
masyarakat
akibat
terganggunya penerimaan
adanya
masyarakat
krisis yang
ekonomi
menyebabkan
kemudian
mempengaruhi
pendapatan daerah dan mengakibatkan pendapatan daerah menjadi lebih rendah dan tidak menentu. Dengan keadaan pemerintah yang mengalami tekanan keuangan mengakibatkan penyusunan APBD menjadi tidak pasti sehingga menyebabkan kemungkinan adanya pergeseran pada komponenkomponen pendapatan dan belanja daerah. Tekanan keuangan (fiscal stress) berakibat pada tidak stabilnya kesiapan pemerintah kabupaten dan kota terutama pada segi keuangannya. Menurut Rohman (2012), kinerja keuangan merupakan salah satu tolak ukur dan kesiapan suatu daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Indikator makroekonomi lainnya yang juga mempengaruhi pendapatan daerah adalah struktur kependudukan (Widyanti, 2007). Kepadatan penduduk merupakan suatu implikasi yang penting pada desentralisasi fiskal. Menurut Tiebout (dalam Herman, 2010), pada sistem yang terdesentralisasi, pemerintah daerah
memiliki
banyak
informasi untuk
membedakan
kepentingan
penduduknya sehingga bisa memperoleh lebih banyak sumber daya dari perekonomian. Makroekonomi
yang
baik
akan dapat
meningkatkan kualitas
perekonomian negara secara keseluruhan. Kualitas perekonomian yang semakin membaik tersebut tentunya akan berdampak pada peningkatan
5
kesejahteraan masayarakat, yang berujung pada meningkatnya kemampuan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya terhadap negara. Dalam era desentralisasi fiskal diharapkan terjadinya peningkatan pelayanan di berbagai sektor, terutama sektor publik. Peningkatan layanan publik ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di daerah. Harapan ini tentu saja dapat terwujud apabila ada upaya pemerintah dengan memberikan berbagai fasilitas untuk investasi. Konsekuensinya, pemerintah perlu memberikan alokasi belanja yang lebih besar untuk tujuan ini. Menurut Darwanto dan Yulia (dalam Herman, 2011), pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dapat dilakukan pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Pergeseran ini ditujukan untuk peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik, karena aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal di satu sisi memberikan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan daerah, tetapi di sisi lain memunculkan persoalan baru, dikarenakan tingkat kesiapan fiskal daerah yang berbeda-beda (Adi, 2006). Salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas fiskal adalah dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Daerah yang tidak mampu
6
mengoptimalkan PAD, akan mengharapkan intervensi dari Pemerintah Pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU). Pemerintah, baik pusat maupun daerah sangat membutuhkan penerimaan guna membiayai pembangunan. Penerimaan dapat bersumber dari pengelolaan sumber daya alam maupun pajak. Sumber daya alam yang dikelola mempunyai keterbatasan, sedangkan pajak dapat dikembangkan dan dikelola sepanjang pemerintahan berjalan (Herman, 2011). Otonomi daerah seperti yang telah diuraikan secara singkat sebelumnya, memberikan tanggung jawab penuh kepada pemerintah daerah untuk mengelola sendiri perekonomian daerahnya. Sistem otonomi daerah ini pun menuntut setiap daerah untuk meningkatkan kemandiriannya dan mengurangi ketergantungannya terhadap alokasi dana dari pemerintah pusat. Pemerintah Daerah diharapkan dapat membiayai sebagian dari pengeluaran pembangunan tersebut melalui sumber-sumber yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Kuncoro, 2004). Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah salah satu penerimaan daerah yang mencerminkan tingkat kemandirian daerah. Semakin besar PAD maka menunjukkan daerah itu mampu melaksanakan desentralisasi fiskal dan ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat berkurang. PAD diartikan sebagai penerimaan dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri, yang dipungut berdasarkan Undang-undang yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi topik penting untuk didalami dalam menghadapi tantangan otonomi daerah sekarang ini. Agar pemerintah dapat mengurangi ketergantungan atas kucuran dana pemerintah pusat, tentunya tiap daerah harus mengoptimalisasikan penerimaan daerahnya
7
sendiri, yakni Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena itu, penelitian ini dirasakan sangat tepat untuk dilakukan sekarang ini, khususnya dalam rangka untuk mengoptimalisasikan penerimaan pajak daerah di era otonomi daerah yang sudah diberlakukan di Indonesia ini. Melalui penelitian ini dan guna membuktikan kebenaran ilmiah dari penelitian-penelitian sebelumnya yang sejenis, diharapkan kita dapat menemukan titik temu antara makroekonomi dengan penerimaan pajak daerah. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini mengambil judul “Pengaruh Produk Domestik Regional Bruto, Kepadatan Penduduk, Belanja Modal, dan Belanja Pegawai terhadap Pendapatan Asli Daerah”. Topik yang diangkat dalam penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nurlis, Iskandar, dan Herman pada tahun 2010. Variabel-variabel penelitian dan beberapa hal lain yang diteliti tidak semuanya sama dengan penelitian sebelumnya. Adapun perbedaan antara penelitian saat ini dengan sebelumnya antara lain: 1. Terdapat tambahan variabel independen pada penelitian ini, yaitu belanja pegawai. 2. Rentang
waktu
penelitian
ini
berbeda
dengan
penelitian
sebelumnya. Penelitian sebelumnya menggunakan data-data pada periode 2007, sedangkan penelitian ini menggunakan data-data pada periode 2010. 3. Objek penelitian berbeda dengan penelitian sebelumnya. Objek penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Indonesia,
8
sedangkan objek penelitian sebelumnya adalah seluruh provinsi di Indonesia.
1.2 Batasan Masalah Untuk mengarahkan penelitian agar lebih fokus serta sistematis, maka penelitian ini dibatasi dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Batasan Aspek Aspek yang diteliti dalam penelitian ini terbatas, yakni mencakup Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), kepadatan penduduk, belanja modal, belanja pegawai, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 2. Batasan Lokasi Batasan lokasi penelitian adalah Indonesia. 3. Batasan Waktu Data-data yang dikumpulkan untuk mendukung penelitian ini dibatasi periode waktunya, yakni menggunakan data untuk tahun 2010.
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang melatarbelakangi penelitian ini, maka dirumuskan berbagai permasalahan sebagai berikut:
9
1. Apakah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)? 2. Apakah kepadatan penduduk mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)? 3. Apakah belanja modal mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)? 4. Apakah belanja pegawai mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)? 5. Apakah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), kepadatan penduduk, belanja modal, dan belanja pegawai secara simultan mempunyai pengaruh signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)?
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisa pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta mendapatkan bukti nyata atas pengaruh tersebut. 2. Menganalisa pengaruh kepadatan penduduk terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta mendapatkan bukti nyata atas pengaruh tersebut.
10
3. Menganalisa pengaruh belanja modal terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta mendapatkan bukti nyata atas pengaruh tersebut. 4. Menganalisa pengaruh belanja pegawai terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta mendapatkan bukti nyata atas pengaruh tersebut. 5. Menganalisa pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), kepadatan penduduk, belanja modal, dan belanja pegawai secara simultan
terhadap
Pendapatan
Asli
Daerah
(PAD)
serta
mendapatkan bukti nyata atas pengaruh tersebut.
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi instansi terkait Sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 2. Bagi kepustakaan Memberikan
sumbangan
ilmiah
terhadap
perkembangan
perpajakan dan akuntansi sektor publik. 3. Bagi peneliti lainnya
11
Sebagai bahan referensi dalam melakukan penelitian sejenis, khususnya yang berkaitan dengan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
1.6 Sistematika Penulisan Proposal BAB I
PENDAHULUAN Pada Bab I ini akan diuraikan mengenai latar belakang penelitian, batasan masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, serta manfaat penelitian ini.
BAB II TELAAH LITERATUR Pada Bab II ini akan dijelaskan teori-teori serta literatur yang melandasi dan mendukung jalannya penelitian. Topik-topik yang akan dibahas dalam Bab II ini yaitu, definisi dan pengertian dasar mengenai pajak, fungsi dan sistem pemungutan pajak, pajak menurut
golongan,
sifat,
dan
pemungutannya,
asas-asas
pemungutan pajak, pajak pusat dan pajak daerah, makroekonomi, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD), Pendapatan Asli daerah (PAD), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), kepadatan penduduk, belanja modal, dan belanja pegawai. Pada bab ini juga akan diuraikan secara singkat mengenai beberapa penelitian terdahulu yang mendukung jalannya penelitian ini serta hipotesis-hipotesis sebagai jawaban sementara atas rumusan masalah penelitian ini.
12
BAB III METODE PENELITIAN Pada Bab III ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian, populasi
dan
sampel
penelitian,
definisi
operasional
dan
pengukuran variabel penelitian, metode pengumpulan data yang berisi sumber-sumber untuk memperoleh data, serta metode analisis data yang berisi uji-uji yang harus dilakukan terhadap data yang terkumpul. BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang deskripsi penelitian berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, pengujian, dan analisis hipotesis, serta pembahasan hasil penelitian. BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi tentang kesimpulan, keterbatasan, dan saran yang didasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan.
13