BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam
menjalankan
pemerintahan
dan
pembangunan,
pemerintah
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut dikumpulkan dari
segenap
potensi sumber daya yang dimiliki suatu negara, baik berupa hasil kekayaan alam maupun iuran dari masyarakat. Salah satu bentuk iuran masyarakat adalah pajak. Sebagai salah satu unsur penerimaan negara, pajak memiliki peran yang sangat besar dan semakin diandalkan untuk kepentingan pembangunan dan pengeluaran pemerintahan. Untuk
mewujudkan
perekonomian yang
mandiri,
pemerintah
mulai
mengurangi pembiayaan yang berasal dari luar negeri dan mengoptimalkan pembiayaan dari sektor pajak. Menurut UU No.28 Tahun 2007 pasal 1 ayat 1 tentang Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang- undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara sebesar-besarnya b a g i kemakmuran rakyat. Dalam APBN-P 2014, pemerintah menetapkan target sebesar Rp 1.246,1 triliun. Namun, sampai akhir tahun 2014 hanya mencapai Rp 1.143,3 triliun atau 91,75 persen dari target tersebut. Hampir semua jenis penerimaan perpajakan lebih rendah dari tergetnya. Hal ini terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan
1
2
ekonomi pada sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan. Menkeu menjelaskan penyumbang terbesar shortfall adalah pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 70,9 triliun, dengan hanya membukukan penerimaan Rp 404,7 triliun atau 85,1 persen dari target Rp 475,6 triliun. Kemudian diikuti oleh pajak penghasilan (PPh) non-migas yang meleset sebesar Rp 55,9 triliun, dengan pencapaian sebesar Rp 460,1 triliun atau 94,7 persen dari target Rp 486 triliun. Sementara itu, realisasi penerimaan negara yang dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) pada 2014 sebesar Rp 161,63 triliun atau 93,04 persen dari target APBNP Rp 173,73 triliun.Secara kumulatif, realisasi pendapatan negara sebesar Rp 1.537,2 triliun atau 94 persen dari target APBNP 2014 yang sebesar Rp 1.635,4 triliun. Sementara anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk belanja negara mencapai Rp 1.764,6 triliun atau 94 persen dari pagu Rp 1.876,9 triliun.(Adhi Wicaksono, 2013) Dalam APBN-P 2015, pemerintahan memasang target tinggi dalam penerimaan pajak. Pemerintah memasang target penerimaan pajak sebesar Rp1.440 triliun atau meningkat 20% dari APBN-P 2014. Sedangkan tax ratio ditargetkan mencapai 13,69%. Untuk mengejar target tersebut pemerintah harus menemukan target pajak potensial lain, salah satunya adalah pajak Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Potensi tersebut ditunjukkan dominasi sektor UMKM dalam perekonomian nasional. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM 2012, jumlah UMKM saat ini mencapai 99% dari jumlah unit usaha di Indonesia. Selain itu, UMKM juga menyumbang 55,68% PDB di Indonesia. Dengan kondisi seperti itu potensi pajak sektor UMKM mencapai Rp30 triliun. Namun sangat disayangkan penyerapan dari Juli 2013 sampai 2014 hanya menyerap sekitar Rp2 triliun atau hanya 7% dari total
3
potensi pajak. Sebuah kerugian besar bagi penerimaan negara. Dalam harian Kompas, Fany Inasius Dosen di Fakultas Ekonomi dan Komunikasi Universitas Bina Nusantara Jakarta menuliskan Peranan usaha mikro, kecil, dan menengah terhadap perekonomian Indonesia belakangan jadi menarik dan ramai diperbincangkan mengingat jumlah lapangan kerja yang besar di sektor ini. Selain itu, tentu saja karena kontribusi yang besar terhadap produk domestik bruto. Sebagaimana usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di banyak negara, UMKM Indonesia juga memainkan peranan signifikan bagi perekonomian nasional. Di Indonesia, jumlah UMKM mencapai 56 juta unit dan menyumbang sekitar 60 persen dari total GDP dan menampung 97 persen dari total tenaga kerja pada tahun 2012. Meski UMKM berperan dominan terhadap perekonomian nasional, apabila dikaitkan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan, terlihat bahwa kepatuhan pajak UMKM masih belum memadai. Meski jumlah UMKM di atas 50 juta unit, jumlah pembayar pajak ”orang pribadi” yang memiliki NPWP masih sekitar 20 juta. Berdasarkan data diatas masih terdapat setengah dari jumlah UMKM yang masih belum melaporkan dan melakukan setoran kas Negara, oleh karena itu sangat disayangkan jika tetap dibiarkan akan mengakibatkan kerugian yang cukup besar dalam hal pemenuhan penerimaan Negara dalam sektor pajak. Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah agar dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang masih rendah. Salah satunya dengan menerapkan self assessment system. Pengertian Self Assessment System adalah metode yang diterapkan untuk memberi tanggung jawab penuh kepada wajib pajak yang mana untuk memenuhi kewajiban membayar pajak semua prosedur dan tahapannya
4
dilakukan sendiri oleh pihak yang wajib membayar pajak tersebut. Dalam metode ini, pihak yang wajib membayar pajak diberikan wewenang untuk menghitung dan melaporkan seberapa besar beban pajak yang harus dibayar untuk setiap tahunnya, hal ini sudah ditentukan dalam Undang-Undang Perpajakan yang berlaku dan setiap wajib pajak harus mematuhi UU tersebut. Berlakunya sistem self assessment system di Indonesia menunjang besarnya peranan wajib pajak dalam menentukan besarnya penerimaan negara dari sektor pajak yang didukung oleh kepatuhan pajak (tax cimpliance). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepatuhan wajib pajak merupakan pelaksanaan atas kewajiban untuk menyetor dan melaporkan pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perpajakan. Kepatuhan yang diharapkan dengan sistem self assessment system adalah kepatuhan sukarela (valuntary compliance). Untuk meningkatkan kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak, diperlukan keadilan dan keterbukaan dalam menerapkan peraturan perpajakan, kesederhanaan peraturan dan prosedur perpajakan serta pelayanan yang baik dan cepat dari petugas Fiskus pajak. (Dwi Sudaryati,2012). Terkait dengan peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah PP no 46 mengenai tarif Pajak Penghasilan atas usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu dengan sasaran pelaku UMKM, system self assessment sangat berpengaruh kepada Wajib pajak UMKM untuk mempertanggung jawabkan prosedur dan besarnya kewajiban yang harus mereka setorkan ke kas Negara. Wajib pajak di haruskan melakukan penyesuaian perhitungan tarif dan penyesuaian terhadap aturan yang baru sesuai prosedur PP no 46. Namun hal ini, justru semakin menambah kebingungan dari wajib pajak UMKM dalam hal kewajiban perpajakannya. Berdasarkan fenomena ini,
5
sangat mungkin terdapat pengaruh dari wajib pajak UMKM dalam hal kepatuhan kewajiban perpajakannya dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak. Direktorat Jenderal Pajak melakukan perubahan peraturan pajak dalam upaya menambah setoran pajak dalam negeri. Seperti yang disebutkan dalam paragraf sebelumnya peraturan baru yang berkaitan dalam penelitian ini adalah PP No.46 Tahun 2013 mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Sasaran dalam PP No.46 Tahun 2013 adalah Wajib Pajak UKM (Usaha Kecil Menengah). Tarif pajak UMKM yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 merupakan tarif pajak penyerdehanaan berupa tarif pajak final 1%, sedangkan tarif sebelumnya yang diatur dalam undang-undang No.36 Tahun 2008 (UU PPh) pasal 31 E yang menyatakan bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 milyar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (2) UU PPh yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 milyar. Penyederhanaan tarif pajak 1% ada yang menganggap bahwa tarif pajak tersebut lebih tinggi dari pada tarif pajak sebelumnya, karena tarif
pajak yang sekarang 1% dari omzet tanpa melihat apakah pemilik
UMKM mengalami kerugian atau laba dan tidak dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak. Sehingga tarif pajak berpangaruh terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM. (Heny Wachidatul Yusro, 2014). Sanksi pajak berdasarkan pasal 7 UU KUP No. 28 Tahun 2007 dikenakan apabila wajib pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tepat waktu
6
sesuai dengan jangka waktu penyampaian SPT atau batas waktu perpanjangan surat pemberitahuan dimana jangka waktu tersebut adalah sesuai dengan pasal 3 ayat 3 dan pasal 3 ayat 4 UU KUP No. 28 Tahun 2007. Sedangkan sanksi perpajakan menurut Mardiasmo dalam Fermatasari (2013) adalah jaminan bahwa ketentuan peraturan
perundang-undangan
perpajakan
(norma
perpajakan)
akan
dituruti/ditaati/dipatuhi. Dari penjelasan diatas maka dapat dipahami bahwa sanksi perpajakan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak ketika WPOP tidak menyampaikan SPT tepat waktu. Menurut Muliari dalam Gustina (2014) indikator sanksi perpajakan adalah sanksi pidana, sanksi administrasi, pengenaan sanksi yang cukup berat, sanksi pajak dikenakan kepada pelanggar tanpa toleransi, dan pengenaan sanksi atas pelanggaran pajak dapat dinegosiasikan. Selama ini ada anggapan dalam masyarakat bahwa sanksi perpajakan akan dikenakan hanya bila tidak membayar pajak. Padahal, kenyataannya banyak hal yang membuat wajib pajak atau masyarakat terkena sanksi perpajakan, baik itu berupa sanksi administrasi (bunga, denda, dan kenaikan) maupun sanksi pidana. Berbagai kasus yang menyeret aparatur pajak beberapa tahun terakhir ini menimbulkan sikap skeptisisme wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan mereka. Ini dikarenakan timbul prasangka buruk oleh wajib pajak terhadap para petugas pajak, mereka tidak ingin pajak yang mereka bayar menjadi konsumsi pribadi para aparatur pajak. Berdasarkan data Ditjen Pajak, pada 2008 ditemukan tiga kasus faktur pajak fiktif dengan potensi kerugian negara Rp 35 miliar, tahun 2009 terdapat 21 kasus
7
dengan kerugian Rp 257 miliar, tahun 2010 terdapat 21 kasus dengan kerugian Rp 497 miliar. Berikutnya tahun 2011 ditemukan 23 kasus dengan kerugian Rp 194 miliar, 2012 terdapat 12 kasus dengan kerugian 326 miliar serta pada tahun 2013 ditemukan 20 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp 239 miliar.
Table 1.1
Tahun
Jumlah kasus
Jumlah kerugian pajak (dlm milyar)
2008
3
35
2009
21
257
2010
21
497
2011
23
194
2012
12
326
2013
20
239
Sumber : Data Dirjen Pajak
Berdasakam data table diatas dapat dilihat bahwa kasus pajak yang terjadi di Indonesia berpotensi merugikan Negara mencapai 1,5 Triliun. Meningkatnya kasus pajak yang terjadi tersebut menunjukan bahwa sanksi pajak yang ada saat ini belum cukup membuat jera para pelaku pelanggar pajak, bahkan tercatat pada tahun 2014 Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan telah menyerahkan berkas penyidikan yang dinyatakan oleh Kejaksaan (P-21) sebanyak 42 berkas dengan jumlah kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp 266,9 miliar. ketegasan sanksi pajak sangat diperlukan untuk membuat jera pelaku kriminal dalam hal perpajakan, banyaknya kasus yang terjadi mempunyai pengaruh besar terhadap kepatuhan wajib
8
pajak. Oleh karena itu Sanksi diperlukan untuk memberikan pelajaran bagi pelanggar pajak, sehingga, diharapkan peraturan perpajakan dipatuhi oleh para wajib pajak (susmiatun, 2014). Berdasarkan
uraian
diatas, maka
penulis
tertarik
untuk
melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai kepatuhan wajib pajak. Adapun judul dari penelitian ini
adalah
“PENGARUH
PENERAPAN
SELF
ASSESMENT
SYSTEM,
PERUBAHAN TARIF PAJAK, DAN KETEGASAN SANKSI PERPAJAKAN TERHADAP KEPATUHAN
WAJIB PAJAK PELAKU UMKM SESUDAH
PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NO.46 TAHUN 2013 (Survei pada Wajib Pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tangerang Timur)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Apakah penerapan self assessment system berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak pelaku UMKM di KPP Pratama Tangerang Timur? 2. Apakah perubahan tarif pajak berpengaruh terhadap tingkat
kepatuhan wajib
pajak pelaku UMKM di KPP Pratama Tangerang Timur? 3. Apakah ketegasan sanksi perpajakan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak pelaku UMKM di KPP Pratama Tangerang Timur?
9
C. Tujuan dan Konstribusi Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk menganalisis pengaruh penerapan self assessment system terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak pelaku UMKM di KPP Pratama Tangerang Timur. b. Untuk menganalisis pengaruh perubahan tarif pajak terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak pelaku UMKM di KPP Pratama Tangerang Timur. c. Untuk menganalisis pengaruh ketegasan sanksi perpajakan terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak pelaku UMKM di KPP Pratama Tangerang Timur. 2. Kontribusi Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang diuraikan diatas penelitian ini memiliki konstribusi untuk berbagai pihak antara lain sebagai berikut: a. Kontribusi Praktik Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, wawasan serta pengetahuan mengenai aspek-aspek perpajakan khususnya pada pajak penghasilan wajib pajak UMKM, sehingga dapat diterapkan pada praktik nyata dan dapat memperbaiki praktik yang telah ada dengan lebih baik lagi pada lingkungan Direktorat Jendral Pajak (DJP) yang ada di daerah KPP Pratama Pajak Tangerang Timur. b. Konstribusi Kebijakan Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan konstribusi kepada Direktorat Jendral Pajak (DJP) dalam memberikan Kebijakan mengenai
10
aspek-aspek perpajakan Khususnya mengenai Pengaruh Penerapan self assessment system, Perubahan tarif pajak dan ketegasan sanksi perpajakan terhadap tingkat
kepatuhan wajib
pajak UMKM
sehingga
dapat
meningkatkan penerimaan pajak penghasilan dalam upaya pencapaian target penerimaan pajak negara tahun 2015.