1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Permasalahan
Sebagai hukum positif, hukum persaingan usaha di Indonesia adalah hukum yang baru ada sejak diundangkannya UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.1 Latar belakang langsung dari penyusunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah akibat dari penandatanganan perjanjian yang dilakukan dana Moneter International (IMF) dengan pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 15 Januari 1998. Dalam perjanjian tersebut, Dana Moneter Internasional menyetujui pemberian bantuan keuangan sebanyak US$ 43 miliar untuk mengatasi krisis moneter yang dialami Indonesia. Dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi sistem ekonomi dan hukum ekonomi tertentu yang salah satunya memerlukan Undang-Undang Anti Monopoli. 2 Oleh IMF, tujuan UU yang mengatur persaingan tersebut adalah untuk menjamin terciptanya persaingan yang fair dan jaminan terhadap konsumen. 3 Tujuan pembentukan Undang-Undang Anti Monopoli adalah :4 1.
Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
1
Syamsul Maarif, 2002. Tantangan Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. (Jurnal Hukum Bisnis, Volume 19, Mei-Juni 2002). Hal. 44. 2
Suyud Margono. 2009. Hukum Anti Monopoli. Sinar Grafika, Jakarta. Hal. 26.
3
Pande Radja Silalahi. Undang-Undang Antimonopoli dan Perdagangan Bebas. (Jurnal Hukum Bisnis, Volume 19, Mei-Juni 2002). Hal. 16. 4
Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999.
2
2.
Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3.
Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4.
Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya tujuan dari Undang-Undang
Anti Monopoli (Undang-Undang persaingan usaha) adalah untuk menciptakan efisiensi pada ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang bebas, dan memberikan sanksi terhadap pelanggarnya. Tidak berlebihan apabila dikatakan tujuan pokok Undang-Undang Anti Monopoli (Undang-Undang persaingan usaha) adalah efisiensi. Ini sejalan dengan dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. bahwa terdapat 2 (dua) efisiensi yang ingin dicapai oleh Undang-Undang Anti Monopoli, yaitu efisiensi bagi produsen dan bagi masyarakat atau productive efficiency dan allocative efficiency. Yang dimaksudkan dengan productive efficiency adalah efisiensi bagi perusahaan dalam menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa. Perusahaan dikatakan efisien apabila dalam menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa perusahaan tersebut dilakukan dengan biaya yang serendah-rendahnya karena dapat menggunakan sumber daya yang sekecil mungkin. Sedangkan yang dimaksud dengan allocative efficiency adalah efisien bagi masyarakat konsumen. Dikatakan masyarakat konsumen efisien apabila para produsen dapat membuat barang-barang yang dibutuhkan oleh konsumen dan menjualnya pada harga yang para konsumen tersebut bersedia untuk membayar harga barang yang dibutuhkan. 5 Syamsul Maarif berpandangan bahwa secara harafiah Undang-Undang Anti Monopoli (Undang-Undang persaingan usaha) pada intinya mengandung 2 (dua) hal yaitu persaingan
5
Hermansyah. 2008. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Kencana, Jakarta. Hal. 14.
3
dan non-persaingan. Yang dimaksud dengan dengan tujuan persaingan di sini adalah tercapainya efisiensi kegiatan usaha. Ini paralel dengan tujuan hukum persaingan di banyak negara yaitu tercapainya efisiensi kegiatan usaha. Tujuan non-persaingan adalah menjaga kepentingan umum. 6 Kepentingan umum dalam Pasal 3 harus dibaca sebagai kepentingan konsumen. Alasannya antara lain adalah bahwa the ultimate beneficiaries persaingan usaha yang sehat adalah konsumen. 7 Persaingan sehat di antara pelaku usaha akan memberikan banyak keuntungan kepada masyarakat sebagai konsumen. Pelaku usaha akan memberikan harga yang kompetitif dengan kualitas terbaik, serta terpacu melakukan inovasi semata-mata hanya untuk memenuhi apa yang diinginkan oleh masyarakat. Berbagai macam cara dan upaya akan dicoba untuk dilakukan oleh pelaku usaha untuk menarik masyarakat sebagai konsumen untuk membeli dan memakai produknya, termasuk memberikan harga yang bersaing dari para kompetitornya. Terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat merupakan refleksi dari kekuatan ekonomi yang dikontrol oleh seorang atau beberapa pelaku usaha tertentu saja. Konsentrasi pemusatan ekonomi yang dikontrol oleh beberapa pelaku usaha atau pelaku usaha yang dominan menyalahgunakan posisi dominannya memberikan pengaruh buruk bagi masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat sebagai konsumen kehilangan kesempatan untuk membeli suatu produk dengan harga bersaing dan terbatasnya akses pilihan untuk mendapatkan barang dengan kualitas terbaik, pasokan menjadi terbatas, serta pilihan yang kurang beraneka ragam. Dengan demikian perlindungan konsumen dan persaingan usaha merupakan 2 (dua) hal yang saling berhubungan dan saling mendukung. Harga murah, kualitas tinggi dan pelayanan yang baik merupakan 3 (tiga) hal yang fundamental bagi konsumen dan persaingan usaha merupakan cara yang terbaik untuk menjaminnya. Oleh karena itu, hukum persaingan harus
6
Loc.Cit. Syamsul Maarif, 2002. Hal. 45.
7
Ibid.
4
sejalan atau mendukung perlindungan konsumen. 8 Tujuan utama Undang-Undang Anti Trust adalah untuk mencegah perusahaan mendapatkan dan menggunakan kekuatan pasar untuk memaksa konsumen membayar lebih mahal untuk produk dan pelayanan yang mereka dapatkan.9 Bagi Indonesia sebagaimana tercermin pada tujuan dari UU No. 5 Tahun 1999 maka tujuan tidak sekedar memberikan kesejahteraan kepada konsumen namun juga memberikan manfaat bagi publik. Dengan adanya kesejahteraan konsumen maka berarti akan berdampak pada terciptanya kesejahteraan rakyat. Pasal 3 itulah yang membedakannya dengan UU Persaingan di negara lain yang tidak sekedar menjamin adanya kesejahteraan konsumen tetapi juga menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 10 Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai landasan kebijakan persaingan diikuti dengan berdirinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) guna memastikan dan melakukan pengawasan terhadap dipatuhinya ketentuan dalam Undang-Undang Anti Monopoli tersebut.11 Kelembagaan KPPU diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2008. KPPU sebagai lembaga pengawasan persaingan usaha merupakan lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain. Tujuan pembentukan KPPU ini adalah untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat demi terwujudnya perekonomian Indonesia yang efisien melalui
8
Andi Fahmi Lubis, Et.Al. 2009. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks. Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Hal. 18. 9
Ibid.
10
Ibid. Hal. 19.
11
Ibid. Hal. 73.
5
penciptaan iklim usaha yang kondusif dan kompetitif, yang menjamin adanya kesempatan berusaha.12 Perlu ditekankan bahwa melalui pengawasan yang dimilikinya, KPPU diharapkan dapat menjaga dan mendorong agar sistem ekonomi pasar lebih efisiensi produksi, konsumsi, dan alokasi, sehingga pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam rangka melaksanakan tugas penegakkan UU Anti Monopoli yang salah satu tujuannya adalah menciptakan efisiensi pada pasar yang berdampak pada terjaganya kepentingan umum, yaitu kepentingan konsumen, maka pada tahun 2007 dalam perkara persaingan usaha yang ditanganinya KPPU telah membuat putusan atas perkara No. 07/KPPU-L/2007, yaitu perkara yang menyangkut kepemilikkan silang yang dilakukan oleh Temasek dan anak perusahaannya di Telkomsel dan Indosat dan penyalahgunaan posisi dominan13. Dalam pertimbangan Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2007 KPPU menemukan bahwa akibat kepemilikan silang yang dilakukan oleh Temasek dan anak perusahaannya di Telkomsel dan Indosat sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 telah mengakibatkan kerugian konsumen minimal sebesar Rp. 14.764.800.000,00 (empat belas trilyun tujuh ratus enam puluh empat miliar delapan ratus juta rupiah) dan maksimal sebesar Rp. 30.808.720.000.000,- (tiga puluh trilyun delapan ratus delapan miliar tujuh ratus dua puluh juta rupiah).14 Dalam pasar yang hanya dikuasai oleh sejumlah pelaku usaha, maka akan terbuka peluang untuk menghindari atau mematikan bekerjanya mekanisme pasar (market mechanism) sehingga harga-harga ditetapkan secara sepihak dan merugikan konsumen. 15 Dalam putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2007 tersebut, KPPU melihat hubungan sebab akibat yang jelas antara kepemilikkan silang Temasek dengan kerugian di industri seluler, terlihat 12
Ibid. Hal. 75.
13
http://www.hukumpedia.com/index.php?title=Kelompok_Usaha_Temasek_Melanggar_UU_No._5/199 9. Diakses pada tanggal 7 Mei 2013. 14
15
Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2007. Hal 687.
Johny Ibrahim. 2007. Hukum dan Persaingan Usaha; Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia. Bayumedia Publising, Malang. Hal. 3.
6
sekali Indosat dicegah untuk bersaing dengan Telkomsel. Kerugian konsumen menurut KPPU disebabkan biaya interkoneksi di industri seluler Indonesia tercatat paling tinggi dibandingkan negara lain seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. KPPU juga mencatat tarif seluler di Indonesia terlalu tinggi apabila dibandingkan dengan daya beli yang rendah dengan rata-rata pendapatan per kapita penduduk Indonesia sebesar Rp. 20.000-Rp. 30.000 per hari. Biaya seluler mencapai 10-5% dari disposable income. Ini membuat industri seluler di Indonesia tidak kompetitif. Telkomsel juga terbukti melakukan price leadership. 16 Berdasarkan temuan KPPU mengenai terjadinya kerugian konsumen dalam putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2007 kemudian timbul serangkaian gugatan perwakilan kelompok (class action) yang menggugat operator selular, yaitu Telkomsel dan Indosat serta Temasek dan para anak perusahaanya yang menuntut ganti kerugian konsumen yang didasarkan pada temuan KPPU dalam perkara No. 07/KPPU-L/2007 tersebut. Berbicara mengenai class action yang dipergunakan para konsumen Telkomsel dan Indosat dalam menuntut kerugian konsumen yang menurut putusan KPPU No. 07/KPPUL/2007 telah terjadi, maka pertama-tama dicoba untuk memahami apa yang dimaksud dengan class action. Class action merupakan prosedur dalam pengajuan gugatan keperdataan yang sudah lama dianut di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, yang kemudian berkembang ke negara-negara lainnya, termasuk Indonesia. Black Law’s Dictionary menyatakan “Class action. A lawsuit in which the court authorize a single person or a small group of people to represent the the interest of a larger group”.17 Oxford Advance Learner’s Dictionary menyatakan “class action : a type of lawsuit that is started by a group of people who have the same problem.”18 Sementara Wikipedia menyatakan “in law, a class
16
http://inet.detik.com/read/2007/11/19/173502/854658/399/-kepemilikan-silang-temasek-rugikankonsumen-triliunan–rupiah. Diakses pada tanggal 7 Mei 2013. 17
Black Law’s Dictionary. Seventh Edition. 2000. Hal. 267.
18
Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Seventh Edition, 2005.
7
action, a class suit, or representative action is a form of lawsuit where a large group of people collectively bring a claim to court and/or in which a class of defendants is being sued.19 Sedangkan di Indonesia, Mas Achmad Santosa menerjemahkan class action sebagai Gugatan Perwakilan dan memberikan pengertian class action sebagai “Prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural terhadap satu atau sejumlah orang (jumlah yang tidak banyak), bertindak sebagai penggugat itu sendiri, dan sekaligus mewakili kepentingan ratusan, ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan orang lainnya yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian.”20 Secara formal, pengertian class action diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (“Perma No. 1/2002”) yang mendefinisikan class action sebagai : 21
“Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.”
Prosedur ini sebagai cara untuk memudahkan pencari keadilan untuk mendapatkan pemulihan hak yang dilanggar melalui jalur keperdataan. Bahwa sangatlah tidak praktis apabila kasus yang menimbulkan kerugian terhadap banyak orang, memiliki fakta atau dasar hukum, serta tergugat yang sama, diajukan secara sendiri-sendiri sehingga menimbulkan ketidakefisienan bagi pihak yang mengalami kerugian, maupun pihak tergugat bahkan bagi
19
http://en.wikipedia.org/wiki/class_action. Diakses pada tanggal 7 Mei 2013.
20
Indro Sugiharto. 2013. Class Action; Konsep dan Strategi Gugatan Kelompok Untuk Membuka Akses Keadilan Bagi Rakyat. Setara Press, Malang. Hal. 6. 21
Pasal 1 huruf a Perma No. 1/2002.
8
pihak pengadilan sendiri. 22 Seperti misalnya dalam sengketa konsumen, biasanya korban bersifat massal. Kalau korbannya hanya beberapa orang saja maka secara tehnis masih memungkinkan untuk mengajukan gugatan perdata yang kita kenal melalui pengadilan negeri setempat. Bagaimana jika korbannya ratusan bahkan ribuan orang. Membuat satu persatu surat gugatan dengan masing-masing secara sendiri-sendiri menuntut ganti kerugian yang jumlahnya ratusan maupun ribuan orang, atau masing-masing memberi kuasa kepada seorang kuasa atau pengacara bukanlah hal yang mudah. Seandainya gugatan ganti rugi dikabulkan dan putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, siap yang berhak menerima ganti kerugian. Apakah hanya korban yang secara formal yang ikut menggugat saja yang akan mendapat ganti kerugian. Bagaimana dengan korban lain yang tidak ikut menggugat, apakah mereka ini untuk mendapatkan ganti kerugian harus mengajukan gugatan baru. Mekanisme seperti ini jelas tidak praktis dan sangat menghabiskan waktu, biaya, dan tenaga. Untuk menyikapi hal tersebutlah maka prosedur class action hadir sebagai terobosan dan pembaharuan hukum. 23 Secara umum ada tiga manfaat yang dapat diperoleh apabila menggunakan prosedur class action, yaitu :24
1.
Proses berperkara menjadi sangat ekonomis (Judicial Economy) Bukan rahasia lagi bagi masyarakat bahwa berperkara di pengadilan akan memakan biaya yang tidak sedikit. Bagi pihak penggugat, dengan melalui mekanisme class action maka biaya perkara dan biaya untuk pengacara menjadi lebih murah
22
Susanti Adi Nugroho. 2002. Praktek Gugatan Perwakilan Kelompok di Indonesia. Mahkamah Agung RI. Hal. 2. 23
24
Ibid.
http.www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Mekanisme_Class_Action.pdf. Emerson Yuntho, S.H., “Class Action Sebuah Pengantar”, Seri Bacaan Kursus Ham Untuk Pengacara X Tahun 2005. Hal. 5. Diakses pada tanggal 7 Mei 2013.
9
dibandingkan dengan dilakukan gugatan secara individu, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan besarnya ganti kerugian yang akan diterima. Tidak sedikit pihak (individu) yang mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan perkaranya, dengan mengajukan gugatan ke pengadilan karena mahalnya biaya perkara dan biaya pengacara. Manfaat secara ekonomis tidak saja dirasakan oleh penggugat namun juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara class action, pihak tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan dari pihak-pihak yang dirugikan. Sedangkan bagi pengadilan sendiri sangatlah tidak ekonomis jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu persatu dan terus menerus serta dalam jumlah yang cukup besar.
2.
Akses terhadap keadilan (Access to Justice) Mengajukan gugatan secara class action akan lebih mudah dibandingkan dengan mengajukan gugatan secara individu-individu. Menggabungkan diri secara bersama-sama akan mengurangi hambatan-hambatan bagi penggugat individual yang umumnya dalam posisi yang lemah, baik dari segi ekonomi maupun dari segi kemampuan (psikologis) dan pengetahuan tentang hukum.
3.
Mendorong bersikap hati-hati (Behaviour Modification) dan merubah sikap pelaku pelanggaran Pengajuan gugatan secara class action dapat “menghukum” pihak yang terbukti bersalah, bertanggung jawab membayar ganti kerugian dengan jumlah yang diperuntukkan untuk seluruh penderita korban (dengan cara yang lebih ringkas) akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Hal ini dapat mendorong setiap
10
pihak atau penanggung jawab usaha (swasta atau pemerintah) untuk bertindak ekstra hati-hati. Selain itu dengan sering diajukannya gugatan secara class action diharapkan merubah sikap pelaku pelanggaran sehingga menumbuhkan sikap jera bagi mereka yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas.
Namun demikian, gugatan class action juga memiliki beberapa kelemahan. Beberapa kelemahan dari prosedur class action yaitu :25
1.
Kesulitan dalam mengelola Semakin banyak jumlah anggota kelompok, semakin sulit mengelola gugatan class action. Kesulitan yang terjadi biasanya pada saat pemberitahuan dan pendistribusian ganti kerugian. Jumlah anggota kelompok yang banyak dan menyebar di beberapa wilayah yang tidak sama akan menyulitkan dalam hal pemberitahuan dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apabila gugatan dimenangkan dan ganti kerugian diberikan, bukan tidak mungkin jumlah ganti kerugian tidak sebanding dengan biaya pendistribusiannya.
2.
Dapat menyebabkan ketidakadilan Ketidak adilan ini terkait dengan masalah penentuan keanggotaan kelompok peserta beserta daya ikatnya dari putusan hakim. Apabila prosedur yang dipilih untuk menentukan keanggotaan kelompok adalah opt in maka tidak adanya pernyataan masuk dari anggota kelompok yang sesungguhnya mempunyai kesamaan kepentingan hanya karena tidak mengetahui adanya pemberitahuan, akan mengakibatkan hilangnya hak mereka untuk menikmati keberhasilan gugatan class action, karena
25
Ibid. Hal. 6.
11
putusan hakim hanya akan mempunyai akibat bagi mereka yang masuk sebagai anggota kelompok. Sedangkan apabila prosedur yang dipilih untuk menentukan keanggotaan adalah dengan prosedur opt out maka tidak ada pernyataan opt out dari orang yang potensial menjadi anggota kelompok, hanya karena mereka tidak tahu adanya pemberitahuan akan mengakibatkan mereka menjadi anggota kelompok dengan segala konsekuensinya. Konsekuensinya adalah mereka akan terikat dengan putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Yang menjadi persoalan adalah apabila gugatan dikalahkan atau digugat balik maka anggota kelompok juga harus menanggung akibatnya.
3.
Dapat menyebabkan kebangkrutan pada tergugat Jumlah
tuntutan ganti kerugian
pada
gugatan
class
action
dapat
mengakibatkan tergugat bangkrut apabila gugatan dikabulkan, dimana tergugat wajib memberikan ganti kerugian atau melakukan tindakan tertentu kepada seluruh anggota kelompok yang jumlahnya sangat banyak.
4.
Publikasi gugatan class action dapat menyudutkan pihak tergugat Pemberitaan media massa dan adanya pemberitahuan gugatan class action di media massa dapat menjadi serangan bagi kedudukan atau kekuasaan pihak tergugat. Biasanya pembaca media kan mempunyai prasangka yang tidak baik. Padahal belum tentu tergugat adalah pihak yang bersalah karena benar tidaknya tergugat masih harus dibuktikan oleh pengadilan.
12
Prosedur class action dengan demikian adalah selaras dengan prinsip penyelenggaraan peradilanyang sederhana, cepat, biaya ringan, dan transparan sehingga akses masyrakat terhadap keadilan semakin dekat. Saat ini serangkaian gugatan perwakilan kelompok (class action) yang didasarkan pada temuan KPPU mengenai terjadinya kerugian konsumen dalam perkara No. 07/KPPU-L/2007 telah berakhir dengan kegagalan di pihak penggugat, yaitu para wakil konsumen. Kegagalan gugatan perwakilan kelompok (class action) yang didasarkan pada putusan KPPU yang berdasarkan kewenangannya yang dimilikinya sebagai lembaga pengawas persaingan usaha yang telah secara tegas menyatakan telah terjadi kerugian konsumen yang artinya efisiensi ekonomi tidak terwujud, terutama efisiensi bagi konsumen, yaitu allocative efficiency, telah menyisakan banyak pertanyaan hukum, yang secara garis besar mempertanyakan seberapa efektifnya suatu putusan KPPU dapat dijadikan sebagai dasar gugatan perwakilan kelompok. Berangkat dari pertanyaan besar tersebut menarik minat penulis untuk membahas permasalahan ini dalam suatu penelitian dengan judul “Putusan KPPU Sebagai Dasar Gugatan Perwakilan kelompok (Class Action) (Studi Kasus Perkara Class Action Yang Berdasarkan Putusan KPPU Dalam Perkara Kepemilikkan Silang Temasek).”
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan pada latar belakang permasalahan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan di dalam penelitian ini adalah mengenai hal-hal sebagai berikut :
1.
Bagaimana kewenangan KPPU dalam menentukan besarnya kerugian konsumen dalam suatu perkara yang diperiksa oleh KPPU?
13
2.
Sejauh mana putusan KPPU efektif sebagai dasar gugatan perwakilan kelompok (class action)?
3.
Apakah ada hambatan yuridis dalam pemeriksaan perkara gugatan perwakilan kelompok (class action) yang didasarkan pada putusan KPPU di Pengadilan?
C.
Keaslian Penelitian
Sepanjang pengetahuan penulis, belum pernah dilakukan penelitian yang secara khusus meneliti mengenai putusan KPPU sebagai dasar gugatan perwakilan kelompok (class action). Berdasarkan penelusuran penulis, di Universitas Gadjah Mada ada beberapa penelitian tesis yang terkait dengan hukum persaingan usaha yaitu :
1.
Penelitian tesis yang dilakukan oleh Elsya Nursukma yang berjudul “Penerapan Hak Membela Diri Bagi Pelaku Usaha Dalam Hukum Acara Persaingan Usaha.”
2.
Penelitian tesis yang dilakukan oleh Adhisti Novia Manalif yang berjudul “Analisis Putusan KPPU No. 25/KPPU-I/2009 Mengenai Fuel Surcharge Dan Ganti Rugi Terhadap Sembilan Maskapai Penerbangan Dalam Perkara Pelanggaran UndangUndang Nomor 5 Tahun 999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.”
3.
Penelitian tesis yang dilakukan oleh Maria Analis Credowati yang berjudul “Kartel Sebagai Perjanjian Yang Dilarang Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.”
14
4.
Penelitian tesis yang dilakukan oleh Wetria Fauzi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Rule of Reason Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.”
Sedangkan penelitian yang terkait dengan class action adalah penelitian tesis yang dilakukan oleh Bobby Rahman Manalu yang berjudul “Problematika Pengajuan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Melalui Mekanisme Perwakilan Kelompok (Class Action) Oleh Konsumen Dalam Pelanggaran Undang-Undang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.” Penelitian tersebut memiliki kesamaan yaitu terkait dengan class action dan hukum persaingan usaha. Namun titik pokok dan penekanan permasalahan antara penelitian yang dilakukan penulis dan penelitian yang dilakukan Bobby Rahman Manalu berbeda karena penelitian yang dilakukan oleh Bobby Rahman Manalu lebih menitikberatkan pada problematika pada hukum acara yang timbul terkait dengan pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum melalui mekanisme perwakilan kelompok (class action), yaitu mengenai kompetensi pengadilan dan prinsip nebis in idem. Sedangkan penelitian yang dilakukan penulis karena mengkombinasikan antara 2 (dua) tema besar, yaitu hukum persaingan usaha dan hukum acara perdata, yaitu maka lebih ditekankan untuk meneliti sejauh mana efektivitas putusan KPPU sebagai dasar gugatan perwakilan kelompok (class action) yang berarti juga meneliti hambatan-hambatan yuridis dalam pemeriksaan perkara gugatan perwakilan kelompok (class action) yang didasarkan pada putusan KPPU di Pengadilan sehingga berbeda dengan penelitian yang pernah ada. Selain itu, data yang dipergunakan adalah putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2007 yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan gugatan-gugatan perkara class action yang relevan yang telah diputus pada saat ini. Dengan demikian oleh karena belum pernah ada penelitian yang meneliti mengenai
15
putusan KPPU sebagai dasar gugatan perwakilan kelompok (class action) maka penulis berpandangan penelitian yang dilakukan oleh penulis ini adalah asli.
D.
Manfaat Penelitian
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikian bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, hukum persaingan usaha dan hukum acara perdata pada khususnya, dan khususnya lagi mengenai class action. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan tambahan materi bagi pembacanya, baik umum, praktisi, dan akademisi, dan pihak-pihak terkait seperti KPPU lainnya dalam mendisain hukum yang harmonis dan sejalan antara hukum persaingan usaha dan hukum acara perdata mengenai class action, sehingga dapat tercipta hukum yang responsif yang mampu merespon kebutuhan dan kepentingan masyarakat pada umumnya, yaitu para konsumen.
E.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan tesis ini, dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.
Tujuan umum penelitian ini adalah memberikan masukan dan sumbangan pikiran di masa yang akan datang dalam rangka penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan persaingan usaha di Indonesia dan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan class action di Indonesia, sehingga dapat terjadi sinkronisasi dan harmonisasi di kedua bidang hukum tersebut.
16
2.
Tujuan khusus dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
a. Untuk mendeskripsikan kewenangan KPPU dalam menentukan besarnya kerugian konsumen dalam suatu perkara yang diperiksa oleh KPPU. b. Untuk mengetahui dan menganalisis sejauh mana putusan KPPU efektif sebagai dasar gugatan perwakilan kelompok (class action). c. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan yuridis dalam pemeriksaan perkara gugatan perwakilan kelompok (class action) yang didasarkan pada putusan KPPU di Pengadilan.