BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam lingkup global, setiap tahun pada bulan April diselenggarakan sebuah kampanye global bertajuk "Education for All" atau "Pendidikan untuk Semua". Kampanye "Education for All" berawal dari sebuah deklarasi yang bernama Deklarasi Pendidikan untuk Semua (World Declaration on Education for All) yang dibuat dalam sebuah pertemuan yang membahas masalah pendidikan dunia di kota Jomtien, Thailand tahun 1990. Pertemuan ini memvisikan sebuah kondisi pembelajaran di mana setiap orang akan memiliki akses dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dalam berbagai bentuk, serta memungkinkan terbukanya peran penuh masyarakat dalam pendidikan. Pendidikan untuk Semua memperkenalkan literasi dan persamaan pendidikan dalam semua bidang kehidupan yang menekankan pada persamaan gender. Pada tahun 2000 di Dakar, dalam suatu pertemuan Forum Pendidikan Dunia, dibentuklah sebuah pedoman Kerangka Aksi yang diharapkan dapat membantu setiap negara anggota Forum dalam mencapai tujuan untuk menciptakan kondisi yang tepat yang mendorong tercapainya "Pendidikan untuk Semua" di setiap negara anggota. Konferensi Dakar menyepakati bahwa Pendidikan untuk Semua akan dicapai pada 2015 melalui pencapaian 6 tujuan pendidikan, yaitu: 1) memperluas pendidikan untuk anak usia dini; 2) menuntaskan
wajib
belajar
untuk
semua;
3)
mengembangkan
proses
1
pembelajaran/keahlian untuk orang muda dan dewasa; 4) meningkatnya 50% orang dewasa yang tanggap literasi; 5) meningkatkan mutu pendidikan; 6) menghapuskan kesenjangan gender (UNESCO, 2009). Berdasarkan deklarasi Dakar tersebut diketahui bahwa salah satu tujuan pendidikan yang ingin dicapai yaitu dalam meningkatkan literasi. UNESCO (2009) menyatakan bahwa saat ini sekitar 776 juta orang dewasa dari 16% populasi orang dewasa dunia berada dalam tingkat literasi yang rendah. Jutaan anak lulus dari sekolah tanpa memperoleh dasar literasi dan kemampuan dalam matematika. Menurut PISA-OECD (Programe for Internasional Student Assessment-Organisation for Economic Cooperation and Development) tahun 2006, yang merupakan suatu bentuk studi lintas negara yang memonitor hasil sistem dari sudut capaian belajar peserta didik, diketahui bahwa kemampuan literasi peserta didik di Indonesia dalam hal literasi sains yang diukur berdasarkan PISA Nasional 2006 masih berada pada tingkatan rendah, yakni 29% untuk konten, 34% untuk proses, dan 32% untuk konteks, sebanding dengan tingkat literasi pada PISA Internasional. Dari hasil temuan tersebut, terutama untuk aspek konteks aplikasi sains terbukti bahwa banyak peserta didik di Indonesia tidak mampu mengaitkan pengetahuan sains yang dipelajarinya dengan fenomenafenomena yang terjadi di sekitar mereka, karena mereka tidak memperoleh pengalaman untuk mengkaitkannya Studi PISA Nasional 2006 juga menyimpulkan bahwa peningkatan kinerja anak-anak Indonesia dalam PISA tidak akan terwujud sebelum terjadi perubahan signifikan dalam praktek pembelajaran IPA di sekolah. Rendahnya tingkat literasi
2
sains anak-anak Indonesia seperti terungkap oleh PISA Nasional 2006 dan PISA Internasional sebelumnya perlu dipandang sebagai masalah serius (Firman, 2007). Proses pembelajaran sains yang terjadi di Indonesia saat ini masih menitik beratkan pada aspek hapalan mengenai materi (konten), tanpa diikuti pemahaman yang bisa digunakan siswa dalam kehidupan nyata mereka. Depdiknas (2008) menyatakan bahwa pembelajaran sains hendaknya lebih menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah serta diarahkan untuk “mencari tahu” dan “berbuat” sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. UNESCO (1996) merumuskan empat pilar pendidikan universal, yaitu: 1) learning to know, bahwa belajar pada dasarnya tidak hanya berorientasi pada produk atau hasil belajar, tetapi juga harus pada proses belajar, di mana belajar dapat terjadi di setiap ruang dan waktu sehingga muncul masyarakat belajar atau learning society; 2) learning to do, bahwa belajar bukan hanya sekedar mendengar dan melihat dengan tujuan akumulasi pengetahuan tetapi mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari dan lebih peka terhadap lingkungan; 3) learning to be, bahwa belajar adalah membentuk manusia yang "menjadi dirinya sendiri" yakni sadar akan tanggung jawabnya sebagai manusia dan sebagai khalifah dan sadar akan segala kelebihan dan kekurangannya; 4) learning to live together, adalah belajar untuk bekerja sama, bahwa manusia dalam era tuntutan kebutuhan global baik secara individu atau kelompok tak mungkin bisa hidup sendiri dan mengasingkan diri dari kelompoknya.
3
Literasi sains menekankan pada kemampuan siswa dalam mengkaji fenomena alam yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan fenomena alam cocok digunakan dalam pembelajaran sains dan sesuai dengan empat pilar pendidikan universal. Menurut Darliana (2007), pendekatan fenomena alam mengandung cara berpikir dan berbuat dalam IPA yang mengacu pada komponenkomponen alam yang dipelajari dalam IPA, serta dapat digunakan untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam memahami konsep-konsep IPA, menyelesaikan masalah, pembelajaran dengan praktikum IPA, pembelajaran IPA di lingkungan, dan pengkajian teknologi di masyarakat. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk menilai literasi sains baik terhadap guru maupun siswa. Shwartz, et. al., (2005) melakukan penelitian melalui kegiatan workshop untuk melatih keterlibatan guru SMA dalam mendefinisikan arti literasi kimia. Hasil dari penelitiannya adalah guru menjadi lebih fokus terhadap pengetahuan kimia. Guru menganggap literasi kimia sangat penting karena di dalamnya terkandung berbagai dimensi seperti gagasan kimia (konten), konteks, keterampilan belajar, dan aspek afektif, sehingga guru merasa literasi kimia perlu diperkenalkan terhadap siswa. Pada tahun 2006, Shwartz, et. al., melakukan penelitian sejenis terhadap siswa SMA untuk menilai perkembangan literasi kimia siswa pada pelajaran kimia dasar dan kimia lanjutan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada umumnya literasi sains yang dimasukkan ke dalam pembelajaran hanya berkontribusi terhadap tingkatan nominal literasi yaitu dalam hal mengetahui konsep kimia serta berkontribusi terhadap tingkatan fungsional literasi yaitu
4
dalam hal menjelaskan konsep kimia, namun tidak cukup berkontribusi terhadap tingkatan konseptual literasi yaitu dalam hal menjelaskan fenomena secara kimia, dan tidak cukup berkontribusi terhadap multidimensi literasi yaitu dalam hal membaca dan memahami artikel pendek. Hal ini tidak sejalan dengan hakekat pembelajaran literasi sains yang mana lebih menekankan pada kemampuan siswa dalam mengkaji fenomena alam yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pengalaman yang siswa punya, sehingga siswa akan dapat mengkaitkan antara pengetahuan sains yang dipelajarinya dengan fenomenafenomena yang terjadi di sekitar mereka karena mereka mempunyai pengalaman untuk mengkaitkannya. Kegiatan ini dapat melatih keterampilan proses sains, keterampilan berpikir serta sikap ilmiah siswa. Umumnya literasi sains yang dimasukkan di dalam pembelajaran digunakan hanya sebatas untuk melihat bagaimana kemampuan siswa dalam menguasai konsep sains, tetapi kurang menekankan pada aspek keterampilan proses sains, keterampilan berpikir serta sikap ilmiah siswa. Oleh karena itu, untuk mencapai tingkat literasi sains siswa secara baik dan seimbang pada keempat aspek literasi sains pada materi pembelajaran tertentu perlu dilakukan penelitian terhadap model pembelajaran yang secara formal memberikan peluang terbaik dalam pencapaiannya. Kegiatan laboratorium merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan seluruh aktivitas dan intelektualitas siswa, melatih siswa agar terampil dan terbiasa menggunakan seluruh indera serta berfikir logis. Dengan demikian keterampilan proses sains, keterampilan berpikir serta sikap ilmiah siswa dapat
5
dilatihkan dan dikembangkan. Kegiatan laboratorium dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan pengalaman langsung dalam memecahkan masalah yang diangkat dari fenomena alam yang diamati atau teori yang mereka pelajari secara inkuiri. National Research Council (2005) menyatakan bahwa kegiatan laboratorium dapat meningkatkan literasi sains karena
memiliki
tujuan
meningkatkan
penguasaan
terhadap
materi,
mengembangkan penjelasan secara ilmiah, memahami hal yang lebih kompleks, mengembangkan keterampilan ilmiah, memahami ilmu pengetahuan alam, meningkatkan ketertarikan terhadap sains dan pembelajaran sains, serta meningkatkan kemampuan bekerja sama. Beberapa model pembelajaran sains modern yang bersifat kontekstual menggunakan pemecahan masalah sebagai basis dari aktivitas pembelajaran secara keseluruhan. Penyajian masalah kontekstual di awal pembelajaran akan memberikan beberapa keuntungan, antara lain dapat memberikan gambaran kepada siswa tentang kegunaan dari konsep-konsep yang akan dipelajari, pebelajar akan termotivasi mengikuti pembelajaran karena untuk dapat menyelesaikan masalah harus menguasai konsep dengan baik. Karena pada dasarnya kegiatan laboratorium merupakan bagian dari pembelajaran sains, tampaknya pemecahan masalah juga cocok sekali digunakan sebagai basis dari suatu kegiatan laboratorium. Program pemecahan masalah harus dikembangkan untuk situasi yang lebih bersifat riil atau alamiah, dengan tema permasalahan yang diambil dari kejadian sehari-hari yang dekat dengan kehidupan siswa
6
Dalam pembelajaran kimia di SMA banyak pokok bahasan yang dapat diajarkan melalui kegiatan laboratorium, diantaranya materi pokok asam basa, larutan elektrolit dan non elektrolit, larutan penyangga, hidrolisis garam serta kelarutan dan hasil kali kelarutan. Materi pokok yang dipilih dalam penelitian ini adalah kelarutan dan hasil kali kelarutan. Kelarutan menyangkut banyak aspek di dalam kehidupan dan banyak digunakan dalam berbagai bidang keilmuan diantaranya dalam kimia lingkungan dan kimia makanan. Materi ini dapat dilakukan dengan menggunakan eksperimen yang sederhana, tidak menggunakan alat yang rumit sehingga semua sekolah dapat melakukannya. Materi kelarutan dan hasil kali kelarutan merupakan materi yang cukup fundamental dan sebagai dasar untuk mempelajari materi lain. Selain itu materi ini dapat menimbulkan banyak fenomena-fenomena yang dapat memberikan pengalaman langsung kepada siswa, sehingga keterampilan proses sains, keterampilan berpikir serta sikap ilmiah siswa dapat meningkat. Materi ini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, sebagai contoh yaitu penggunaan air sebagai sumber kehidupan. Kajian terhadap fenomena alam merupakan pendekatan yang ditekankan dalam literasi sains, sehingga pada kesempatan ini dilakukan penelitian mengenai kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah pada materi pokok kelarutan dan hasil kali kelarutan untuk meningkatkan literasi sains siswa.
7
1.2 Masalah Dari uraian latar belakang sebelumnya diketahui bahwa pencapaian literasi siswa dalam belajar kimia belum dapat dicapai pada semua tingkatan literasi. Kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan dapat memberikan peluang untuk mengatasi kondisi tersebut, sehingga merasa perlu melakukan kajian yang lebih mendalam mengenai keterkaitan antara kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah dengan peningkatan literasi sains siswa. Oleh karena itu masalah yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah pada materi pokok kelarutan dan hasil kali kelarutan untuk meningkatkan literasi sains siswa?”. Berdasarkan
rumusan
masalah
tersebut
perlu
diketahui
aspek
keterlaksanaan kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah, aspek ketercapaian literasi sains siswa, dan aspek pandangan siswa dan guru terhadap kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah. Terkait dengan hal tersebut, ada tiga pertanyaan yang dikembangkan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimanakah keterlaksanaan kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah yang dikembangkan pada materi pokok kelarutan dan hasil kali kelarutan? 2. Bagaimanakah pengaruh kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah terhadap peningkatan literasi sains siswa dalam aspek konten, proses, konteks aplikasi sains dan sikap sains pada materi pokok kelarutan dan hasil kali kelarutan?
8
3. Bagaimanakah tanggapan siswa dan guru terhadap kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah yang dikembangkan pada materi pokok kelarutan dan hasil kali kelarutan?
1.3 Pembatasan Masalah Untuk lebih memfokuskan arah dan jalannya penelitian, maka masalah penelitian dibatasi sebagai berikut: 1. Keterlaksanaan kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah hanya dibatasi pada tahapan pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi (science and technology literacy, STL) yang meliputi tahap kontak, tahap kuriositi, tahap elaborasi, tahap pengambilan keputusan, tahap nexus, dan tahap penilaian (Nentwig, et. al., 2002 dan Holbrook, 2005). Tahap elaborasi dilaksanakan
menggunakan
beberapa
tahapan
pembelajaran
berbasis
pemecahan masalah yang dikembangkan oleh Gallet (1998) yaitu merumuskan masalah, menganalisis masalah oleh kelompok, mengajukan informasi teoritis dan teknis, eksperimen, pengumpulan data dalam rangka memecahkan masalah, diskusi tentang laporan kelompok, kesimpulan umum hasil eksperimen, dan peninjauan ulang pemecahan masalah. 2. Peningkatan literasi sains dalam aspek konten hanya dibatasi pada konsep kelarutan, tetapan dan hasil kali kelarutan (Ksp), serta pengendapan. 3. Peningkatan literasi sains dalam aspek proses sains hanya dibatasi pada kemampuan siswa dalam mengidentifikasi kata-kata kunci untuk memperoleh informasi ilmiah, mengaplikasikan pengetahuan sains dalam situasi yang
9
diberikan, mendeskripsikan atau menafsirkan fenomena dan memprediksi perubahan, mengidentifikasi deskripsi, eksplanasi, dan prediksi yang sesuai, serta menafsirkan bukti ilmiah dan menarik kesimpulan. 4. Peningkatan literasi sains dalam aspek konteks aplikasi sains hanya dibatasi pada kemampuan siswa untuk memahami artikel pendek pada konteks air untuk minum, industri penyamakan kulit, dan terbentuknya stalagtit dan stalagmit dalam gua kapur. 5. Peningkatan literasi sains dalam aspek sikap sains hanya dibatasi pada menunjukkan rasa bertanggung jawab secara personal untuk memelihara lingkungan, serta menunjukkan kemauan untuk mengambil sikap menjaga sumber alam. 6. Tanggapan siswa dan guru terhadap kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah hanya dibatasi pada bagaimana persepsi (untuk siswa) dan bagaimana persepsi serta justifikasi (untuk guru).
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan penelitian, secara umum tujuan penelitian ini adalah : 1. Memperoleh informasi tentang keterlaksanaan kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah di kelas pada materi pokok kelarutan dan hasil kali kelarutan.
10
2. Memperoleh informasi tentang pengaruh kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah terhadap peningkatan literasi sains siswa pada materi pokok kelarutan dan hasil kali kelarutan. 3. Memperoleh informasi tentang pendapat siswa dan guru tentang kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah yang telah dikembangkan pada materi pokok kelarutan dan hasil kali kelarutan.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan, diantaranya sebagai berikut: 1. Bagi guru: 1) memberikan informasi dan wawasan tentang kegiatan laboratorium berbasis pemecahan masalah dalam meningkatkan literasi sains siswa,
2)
memberikan
informasi
mengenai
keterlaksanaan
kegiatan
laboratorium berbasis pemecahan masalah. 2. Bagi sekolah: sebagai bahan pertimbangan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. 3. Bagi pembuat kebijakan: hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk meninjau kembali proses pembelajaran sains yang selama ini berlaku agar dapat meningkatkan literasi sains siswa. 4. Bagi penelitian lain: sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian serupa pada pokok bahasan yang lain.
11
1.6 Definisi Operasional Agar tidak terjadi kesalahan penafsiran terhadap istilah-istilah yang akan di bahas pada penelitian ini, berikut ini di sajikan definisi tentang istilah yang di gunakan yaitu: 1. Laboratorium adalah tempat belajar mengajar melalui metode praktikum yang dapat menghasilkan pengalaman belajar dimana siswa berinteraksi dengan berbagai alat dan bahan untuk mengobservasi gejala-gejala yang dapat diamati secara langsung dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari jadi suatu laboratorium sekolah mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan mutu serta sistem pengajaran Ilmu Pengetahuan Alam (Arifin, 2003). 2. Kegiatan laboratorium adalah kegiatan pembelajaran di dalam laboratorium yang dapat memantapkan pemahaman pebelajar akan materi ajar yang telah diperolehnya dengan melakukan berbagai jenis percobaan atau praktikum. Merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat kognitif dengan tujuan untuk memperoleh keterampilan/kinerja dan menetapkan pengetahuan dan keterampilan tersebut pada situasi baru/lain, serta memperoleh sikap ilmiah (Irwandi, 2009). 3. Pemecahan masalah adalah aktivitas mental yang menuntut berbagai keterampilan dan tindakan kognitif yang kompleks, melibatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi melalui berbagai aktivitas di dalam kegiatan eksperimen yaitu: 1) merumuskan masalah utama; 2) mendefinisikan masalah; 3) menganalisis masalah oleh kelompok; 4) menyajikan informasi teoritis dan
12
teknis; 5) menelaah parameter yang dibutuhkan untuk menjawab masalah; 6) mengelaborasi alternative; 7) memilih prosedur yang akan ditempuh; 8) memilih eksperimen yang akan digunakan dalam memecahkan masalah; 9) uji pendahuluan eksperimen oleh kelompok 10) memvalidasi eksperimen oleh kelompok; 11) penilaian prosedur terbaik; 12) pengumpulan data dalam rangka memecahkan masalah; 13) pelaporan data tiap kelompok; 14) diskusi tentang laporan kelompok; 15) kesimpulan umum hasil eksperimen; 16) peninjauan ulang pemecahan masalah (Gallet, C., 1998). 4. Literasi
sains
adalah
kemampuan
menggunakan
pengetahuan
sains,
mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (PISA, 2006). 5. Konten sains adalah salah satu dimensi dari literasi sains merujuk kepada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (PISA, 2006). 6. Proses sains adalah salah satu dimensi dari literasi sains, yang mengandung pengertian proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Merupakan metoda pemecahan masalah untuk mengembangkan keahlian siswa dalam memecahkan masalah. (PISA, 2006).
13
7. Konteks aplikasi sains merupakan salah satu dimensi dari literasi sains dengan pengertian situasi yang ada hubungannya dengan penerapan sains dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi lahan bagi aplikasi proses dan pemahaman konsep sains (PISA, 2006). 8. Sikap terhadap sains adalah sikap ilmiah yang mencakup inkuri sains, kepercayaan diri sebagai seseorang yang belajar sains, tertarik terhadap sains, dan bertanggung jawab terhadap sumber daya dan lingkungan (PISA, 2006).
14