1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau
beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu hidup di dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.1 Mengenai tugas negara dibagi menjadi tiga kelompok. 2 Pertama, negara harus memberikan perlindungan kepada penduduk dalam wilayah tertentu. Kedua, negara mendukung
atau
langsung
menyediakan
berbagai
pelayanan
kehidupan
masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Ketiga, negara menjadi wasit yang tidak memihak antara pihak-pihak yang berkonflik dalam masyarakat serta menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam hubungan kemasyarakatan. Tugas negara menurut faham modern sekarang ini (dalam suatu Negara Kesejahteraan atau Social Service State), adalah menyelenggarakan kepentingan umum untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya berdasarkan keadilan dalam suatu Negara Hukum.3 Dalam mencapai tujuan dari negara dan menjalankan negara, dilaksanakan oleh pemerintah. Mengenai pemerintah, terdapat dua pengertian, yaitu pemerintah dalam arti luas dan pemerintah dalam arti sempit. Moh Mahfud MD, 2000, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi Revisi), Penerbit Renaka Cipta, Jakarta, h. 64. 2 Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan, PT. Gramedia Widiarsana Indonesia, Jakarta, h.1. 3 Amrah Muslimin, 1985, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, h. 110. 1
2
Pemerintah dalam arti luas (regering) adalah pelaksanaan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi wewenang mencapai tujuan negara.4 Sedangkan, pemerintah dalam arti sempit (bestuur) mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan.5 Mengenai pembagian pengertian dari pemerintah ini, juga terdapat dalam buku SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, namun terdapat sedikit perbedaan rumusan mengenai arti pemerintah dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Pengertian pemerintah dalam arti sempit adalah organ/alat perlengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan atau melaksanakan undang-undang. Dalam pengertian ini pemerintah hanya berfungsi sebagai badan Eksekutif (Bestuur). Pemerintah dalam arti luas adalah semua badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan di dalam negara baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif dan yudikatif.6 Dari uraian mengenai pengertian pemerintah di atas, maka dalam tulisan ini yang dimaksud pemerintah adalah pemerintah dalam arti sempit. Dalam
lingkup
Hukum
Administrasi
terdapat
azas-azas
umum
pemerintahan yang baik yang apabila diterapkan dalam segala aspek kegiatan pemerintahan, maka apa yang menjadi krisis di negara ini kemungkinan tidak akan terjadi. Azas-azas umum pemerintahan yang baik ini secara historis berasal dari negeri Belanda. Di Indonesia sendiri, azas-azas umum pemerintahan yang baik diperkenalkan oleh Kuntjoro Purbopranoto. Disamping azas-azas umum Kuntjoro Purbopranoto, 1981, Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia, Binacipta, Bandung, (selajutnya disingkat Kuntjoro Purbopranoto I), h. 1. 5 Ibid. 6 SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 8. 4
3
pemerintahan yang baik, wacana yang gencar digaungkan adalah good governance, yang diharapkan dapat merubah apa yang terjadi di kalangan aparatur pemerintah. Mengenai pengertian good governance, terdapat beberapa istilah, yaitu : Pertama, Panitia Seminar Hukum Nasional ke VII menggunakan istilah “Sistem
Permainan
Layak”.7
Kedua,
Soewoto
Mulyosudarmo,
yang
mengistilahkan good governance sebagai pemerintahan yang baik dengan argumentasi bahwa di dalam peraturan perundang-undangan yang ada dalam hal ini Undang–Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No, 9 Tahun 2004, dan terakhir dengan Undang–Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UndangUndang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang merupakan salah satu topik yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini. Dari peristilahan tersebut dalam tulisan ini mengikuti pendapat dari Soewoto Mulyosudarmo, yang mengistilahkan good governance sebagai pemerintahan yang baik. Dengan pemerintahan yang baik diharapkan tercapai perbaikan di segala bidang, terutama dalam bidang pemerintahan. Pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya harus bertindak secara tepat dan cermat. Pemerintah juga harus berhati-hati dalam mengeluarkan keputusan atau dalam membuat peraturan. Karena Indonesia merupakan negara hukum, sudah semestinya setiap langkah dan/atau tindakan yang diambil pemerintah berdasarkan atas hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan wewenang. I Gusti Ngurah Wairocana, 2005, “Good Governance” (Kepemerintahan Yang Baik) Dan Implementasinya Di Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Di Bali”, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, h. 4. 7
4
Pemerintah dalam menjalankan pemerintahan mempergunakan alat hukum dalam hal ini salah satunya adalah keputusan tata usaha negara. Dalam proses pembentukan dan pelaksanaan dari keputusan itu pemerintah harus benar-benar hati-hati dalam bertindak, karena apabila terjadi kesalahan yang merugikan masyarakat, maka dapat timbul tanggung gugat pemerintah. Ini adalah suatu upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah. Salah satu tindakan pemerintah dapat berupa keputusan tata usaha negara. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, definisi mengenai Keputusan Tata Usaha Negara dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 3 yang menetapkan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dalam pembentukan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) pemerintah harus memperhatikan syarat–syarat pembentukan suatu keputusan agar keputusan itu lahir menjadi suatu keputusan yang sah, akan tetapi tentu saja kemungkinan dapat terjadi suatu kekurangan yuridis dalam proses pembentukannya. Kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak organ administrasi negara
5
dapat timbul karena adanya kehilafan (dwaling), paksaan (dwang) atau penipuan (bedrog).8 Pemerintah termasuk juga pemerintah daerah dalam menyiasati kekurangan tersebut tidak jarang pada bagian akhir keputusannya menyertakan suatu
perisai
pengaman
dalam
bentuk
veiligheidsclausule
atau
intrekkingsvoorbehoud yang antara lain berbunyi “Apabila di kemudian hari ternyata ada kekeliruan dalam keputusan ini, akan diadakan berbaikan sebagaimana mestinya”.9 Kekeliruan (dwaling) sebenarnya dikembangkan dalam lapangan hukum perdata. Utrecht10 menganalogikan pengertian kekeliruan yang ada dalam hukum perdata menjadi : 1) Kekeliruan yang sungguh-sungguh yang kemudian dibagi lagi menjadi : a) salah kira mengenai pokok maksud pembuat (selfstadigheid der zaak); b) salah kira mengenai kedudukan atau kecakapan atau kepandaian seseorang (salah kira mengenai orang); c) salah kira mengenai hak orang lain (dwaling in een subyectiefrecht); d) salah kira mengenai hukum (dwaling in een objectiefrecht); e) salah kira mengenai kekuasaan sendiri (dwaling in eigen bevoegheid); 2) salah kira yang tidak sungguh-sungguh. Oleh Utrecht, mengenai klausul pengaman ini dikatakan bahwa “adanya klausul pengaman
atau
veiligheidsclausule
yang
juga
dikenal
dengan
intrekkingsvoorbehoud biasanya ada dalam keputusan-keputusan pengangkatan pejabat dan pegawai, yang berbunyi : .....dengan ketentuan, barang sesuatunya
Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling), Djumali, Surabaya, (selajutnya disingkat Philipus M. Hadjon I), h. 17. 9 Ibid. 10 Utrecht,1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan Keempat, Universitas Padjajaran, Bandung, h. 90-92. 8
6
akan diubah dan diperhitungkan lagi, jika kemudian terdapat kekeliruan dalam penetapan ini”.11 Suatu KTUN, tentu harus sesuai dengan apa yang menjadi aturan dasarnya. Karenanya, pemerintah dalam pembentukan suatu KTUN, harus memperhatikan peraturan yang menjadi dasar hukumnya. Namun, dengan adanya klausul pengaman ini, memberikan kesan bahwa apabila terjadi kekeliruan dalam pembuatan suatu KTUN, maka KTUN tersebut dapat ditinjau kembali , dan apabila tidak terdapat klausul pengaman, KTUN tersebut tidak dapat ditinjau kembali.12 Permasalahan yang terjadi adalah, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2005 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Propinsi dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 2005 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota, tidak ditentukan kewajiban mengatur adanya klausul pengaman dalam suatu KTUN. Namun dalam praktek di lapangan, dalam Keputusan Kepala Daerah khususnya di Bali, baik Pemerintah Provinsi, maupun Kabupaten/Kota, masih terdapat atau dapat dijumpai adanya klausul pengaman pada keputusan yang ditetapkan. Sebagai contoh hal ini dapat ditemukan dalam Keputusan Gubernur Bali Nomor 1099/04-I/HK/2008 tentang Peresmian Pemberhentian Anggota dan Peresmian Pengangkatan Anggota Antar Waktu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten
Jembrana,
Keputusan
Walikota
Denpasar
Nomor
821.2/1499/BKD, dan dalam surat ijin Nomor 503-18/095/IMB/KPT/2009 tentang Ijin Mendirikan Bangun-Bangunan. Hal di atas dapat diinterpreetasikan 11 12
Ibid, h. 120. Philipus M. Hadjon I, Op. Cit., h. 18
7
keberadaan klausul pengaman pada keputusan tidak dilandasi dengan dasar hukumnya. Dengan kata lain terjadi kekosongan norma terkait dengan permasalahan keberadaan klausul pengaman tersebut. Sehubungan dengan hal itu maka persoalan eksistensi klausul pengaman menjadi menarik diteliti. Dengan membatasi penelitian ini di lingkungan Pemerintahan Provinsi Bali, maka adapun judul penelitian ini adalah Eksistensi Klausul Pengaman Dalam Keputusan Gubernur Bali Yang Berkarakter Keputusan Tata Usaha Negara.
1.2
Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang yang telah teruraikan di atas, adapun pokok
masalah yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi pada 2 (dua) hal. Kedua permasalahan yang dimaksudkan adalah: a. Apakah klausul pengaman yang ditetapkan pada Keputusan Gubernur Bali
yang berkarakter KTUN memiliki fungsi yuridis formal ? b. Apakah dengan adanya klausul pengaman, suatu Keputusan Gubernur Bali
yang berkarakter KTUN dapat digugat ke lembaga Peradilan Tata Usaha Negara ?
1.3 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami mengenai eksistensi dari klausul pengaman dalam Keputusan Gubernur Bali yang
8
berkarakter KTUN. Dengan kata lain, penelitian ini bertujuan mengkaji eksistensi kalusul pengaman dalam Keputusan Gubernur Bali yang berkarakter KTUN menjadi jelas. b. Tujuan Khusus Sesuai dengan permasalahan yang dikaji, maka tujuan khusus dari penelitian ini, adalah : 1. Mengetahui dan menganalisis dari eksistensi klausul pengaman dalam Keputusan Gubernur Bali yang berkarakter KTUN apakah memiliki makna yuridis. 2. Mengetahui dan menganalisis keberadaan Keputusan Gubernur Bali yang memuat klausul pengaman, dalam kerangka kompetensi absolut atau obyek sengketa Tata Usaha Negara di lembaga Peradilan Tata Usaha Negara.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, sebagai berikut : 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pengembangan
keilmuan
ilmu
hukum dalam
bidang
Hukum
Administrasi, Peradilan Tata Usaha Negara dan pengembangan bacaan bagi pendidikan hukum, terutama bagi hukum pemerintahan, khususnya dalam bidang KTUN.
9
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi beberapa pihak, yaitu bagi peneliti dan Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Bali terkait dengan substansi dan teknik pembuatan KTUN. 1.5
Landasan Teoritis Landasan teoritis akan memuat teori, konsep, serta asas-asas, yang
digunakan untuk menganalisis permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Adapun landasan teoritis yang dimaksudkan berhubungan dengan eksistensi klausul pengaman dalam Keputusan Gubernur Bali yang berkarakter KTUN, yaitu teori negara hukum, konsep tindak pemerintahan, konsep keputusan tata usaha negara, asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan konsep kepastian hukum. 2.1 Teori Negara Hukum Sebelum menguraikan mengenai Teori Negara Hukum, maka akan diuraikan mengenai pengertian negara menurut para sarjana. Mengenai pengertian negara, terdapat beberapa pengertian yang diberikan oleh para sarjana sebagaimana dikutip oleh Max Boli Sabon, dkk sebagai berikut:13 1. Aristoteles Negara (polis) adalah persekutuan dari keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya. 2. Jean Bodin Suatu persekutuan keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat. 3. Hugo Grotius Negara adalah suatu persekutuan yang sempurna dari orang-orang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum. Max Boli Sabon, dkk, 1992, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 25. 13
10
4. Bluntschi Negara adalah diri rakyat yang disusun dalam suatu organisasi politik di suatu daerah tertentu. 5. Hans Kelsen Negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa. 6. Woodrow Wilson Negara adalah rakyat yang terorganisir untuk hukum dalam wilayah tertentu. 7. Diponolo Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat yang dengan tata pemerintahan melaksanakan tata tertib atau suatu umat di suatu daerah tertentu. Bagaimana bentuk dan coraknya, negara selalu merupakan organisasi kekuasaan. Organisasi kekuasaan ini selalu mempunyai tata pemerintahan. Dan tata pemerintahan ini selalu melaksanakan tata tertib atas suatu umat di daerah tertentu. Pendapat tentang negara juga dapat dijumpai pada tulisan Miriam Budiardjo yang mengutip beberapa pemikiran sarjana, seperti :14 1. Rogel H. Soltau, mengemukakan
negara adalah alat (agency) atau
wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalanpersoalan bersama atas nama masyarakat. 2. Harold J. Laski, mengemukakan negara adalah suatu masyarakat yang
diintergrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya
keinginan-keinginan
mereka
bersama.
Masyarakat
merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat. 14
39-40.
Miriam Budiardjo, 1977, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, h.
11
3. Max Weber, mengemukakan
negara adalah suatu asosiasi yang
mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah. 4. Robert M. MacIver, berpendapat bahwa negara adalah asosiasi yang
menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa. Selain para sarjana seperti yang dikutip oleh Max Boli Sabon dkk dan Miriam Budiardjo, Wirjono Projodikoro juga memberikan pengertian mengenai negara. 15 Negara menurut beliau diartikan sebagai suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah (teritoir) tertentu dengan mengakui adanya suatu Pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi. Dari pengertian-pengertian tentang negara tersebut, dapat disimak bahwa pengertian negara menurut Diponolo yang memberikan uraian yang sederhana, jelas, dan terperinci. Menurut beliau, negara selalu merupakan organisasi kekuasaan, mempunyai tata pemerintahan, dan tata pemerintahan yang ada selalu melaksanakan tata tertib atas suatu umat di daerah tertentu. Mengenai istilah negara hukum, sering disamakan dengan konsep rechtsstaat dan negara hukum adalah terjemahan dari rechtsstaat.16 Negara hukum Wirjono Projodikoro, 1974, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, h. 2. 16 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, 15
12
ialah negara dimana pemerintah dan semua pejabat-pejabat hukum mulai dari Presiden, hakim, jaksa, anggota-anggota legislatif, semuanya dalam menjalankan tugasnya di dalam dan di luar jam kantornya taat kepada hukum. Taat kepada hukum berarti menjunjung tinggi hukum, dalam mengambil keputusan-keputusan jabatan menurut hati nuraninya, sesuai dengan hukum.17 Negara hukum ialah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh Undang-Undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemberi suara rakyat.18 Setelah menguraikan mengenai pengertian negara, mengenai makna negara hukum sendiri, dalam konsep Eropa Kontinental dinamakan rechtsstaat, sedangkan dalam konsep Anglo Saxon dinamakan Rule Of Law. Penegasan Negara Indonesia sebagai negara hukum telah dinormativisasi pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ke-4 yang menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat)”. Dengan penegasan itu, maka mekanisme kehidupan perorangan, masyarakat, dan negara diatur oleh hukum (tertulis maupun tidak tertulis). Artinya baik anggota masyarakat maupun pemerintah wajib mematuhi hukum tersebut19. Adapun negara hukum yang dianut oleh Negara Indonesia tidaklah dalam artian formal namun negara hukum dalam artian material yang juga diistilahkan dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau “negara kemakmuruan.” Dalam negara kesejahteraan, negara tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi dituntut untuk turut serta Surabaya, (Selanjutnya disingkat dengan Philipus M. Hadjon II), h. 66. 17 O. Notohamidjojo, 1970, Makna Negara H ukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, h. 36. 18 Sudargo Gautama, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, h. 13. 19 Baharudin Lopa; 1987, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, hlm.101
13
aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat. Kewajiban ini merupakan amanat pendiri negara (the founding fathers) Indonesia, seperti dikemukakan pada alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Secara historis, sejarah mengenai negara hukum dapat disimak pada uraian singkat dalam buku Ridwan HR yang berjudul Hukum Administrasi Negara.
20
Secara embrionik dikemukakan bahwa gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu, pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum, kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi, ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-paksaan yang dilaksanakan pemerintahan despotik. Unsur-unsur Negara Hukum menurut Freidrich Julius Stahl yang diilhami oleh Immanuel Kant adalah : 1. Berdasarkan dan menegakkan hak-hak asasi manusia 2. Untuk dapat melindungi hak asasi dengan baik maka penyelenggaraan
negara harus berdasarkan trias politica 3. Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 2-3. 20
14
4. Apabila pemerintahan yang berdasarkan Undang-Undang masih dirasa
melanggar hak asasi maka harus diadili dengan peradilan administrasi.21 Teori Negara Hukum ini dipergunakan untuk melihat keterkaitan antara keputusan yang dibuat oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara kepada seseorang atau badan hukum perdata. Dengan adanya unsur peradilan administrasi negara, maka apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mengeluarkan suatu KTUN yang merugikan atau melanggar hak asasi seseorang, badan hukum perdata, maka dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Adapun syarat dari rechtsstaat adalah22 : 1. Asas Legalitas Setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan (wetleijke grondslag). Dengan landasan ini, Undang-Undang dalam arti formal dan UUD merupakan tumpuan dasar tindakan pemerintahan. Dalam hubungan ini, pembentukan undangundang merupakan bagian penting negara hukum. 2. Pembagian kekuasaan, mengandung makna kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. 3. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undangundang. 4. Pengawasan pengadilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindak pemerintahan (rechtmatigheids toetsing). Bila mengkaji Negara Indonesia, maka Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, unsur-unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila23, yaitu : 1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga
negara; 2. Adanya pembagian kekuasaan;
Astim Riyanto, 2006, Teori Konstitusi, Penerbit Yapemdo, Bandung, h. 274. Ibid., h. 275-276 23 Ibid., h. 277. 21 22
15
3. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis; 4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sedang khusus untuk Mahkamah Agung harus juga merdeka dari pengaruhpengaruh lainnya. Bilamana Sri Soemantri Martosoewignjo, memberikan ciri negara hukum yang berdasarkan Pancasia, maka Philipus M Hadjon lebih tegas lagi dengan memberikan ciri negara hukum Pancasila, bukan lagi negara hukum yang berdasarkan atas Pancasila. Ciri negara hukum Pancasila menurut Philipus M Hadjon adalah sebagai berikut: a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaankekuasaan negara; c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban24 Apabila diperbandingkan antara pendapat kedua guru besar tersebut, seakan terdapat perbedaan yang signifikan, akan tetapi bila disimak secara saksama, maka terlihat jelas bahwa Sri Soemantri melihat negara hukum Pancasila dari sudut yuridis formal yang diatur di dalam Undang–Undang Dasar 1945, sedangkan Philipus M Hadjon, mengkaji negara hukum Pancasila dari sisi jiwa atau roh negara hukum Pancasila. Dengan istilah lain, Philipus M Hadjon mengkaji negara hukum Pancasila dari aspek material atau isi dari apa yang dicirikan oleh Sri Soemantri.
Philipus M Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia. PT.Bina Ilmu,Surabaya, h.90 24
16
Berdasarkan uraian di atas dapat disimak bahwa apa yang menjadi unsur dari rechtsstaat memiliki kesamaan dengan apa yang menjadi unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Namun demikian, menurut Bagir Manan adapun unsur-unsur terpenting dari negara hukum, dikemukakan terdiri dari:25 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya. Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang secara khusus menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka. Ada pemencaran kekuasaan negara atau pemerintah (spreiding van de staatsmacht). Ada jaminan terhadap hak asasi manusia. Ada jaminan persamaan dimuka hukum dan jaminan perlindungan hukum. Ada asas legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus didasarkan atas hukum (undang-undang).
Dari uraian di atas dapat disimak bahwa adanya unsur asas legalitas dalam unsur rechtsstaat mengamanatkan agar setiap tindakan pemerintah harus berdasar atas hukum. Dengan kata lain, dalam unsur negara hukum Pancasila, asas legalitas menjadi hal yang penting terutama kaitannya dengan keberadaan klausul pengaman dalam suatu KTUN. Pemerintah dalam melaksanakan kewenangannya yang dituangkan melalui KTUN, pertama-tama harus memiliki legalitas sehingga perbuatan atau tindakan pemerintah tidak melanggar hak asasi manusia dan/atau tidak
menyebabkan
seseorang atau sekelompok
orang tidak mendapat
perlindungan hukum.
2.2 Konsep Tindak Pemerintahan
Bagir Manan; 1994, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.35 25
17
Dalam meyelenggarakan tugas pemerintahan, maka pemerintah melakukan tindakan-tindakan pemerintahan. Para sarjana mempergunakan istilah yang berbeda-beda mengenai tindakan pemerintahan (bestuurshandeling). Pertama Philipus M. Hadjon26 dan Kuntjoro Purbopranoto menggunakan istilah “tindak pemerintahan”.27 Kedua, Utrecht menyebutnya dengan “perbuatan administrasi negara”28.
Ketiga,
pemerintah”.29
Van
Keempat,
Vollenhoven Baschan
menggunakan
Mustafa
istilah
menyebutnya
“tindakan
dengan
istilah
“perbuatan administrasi negara”.30 Dalam tulisan ini, yang diikuti adalah pendapat dari Philipus M. Hadjon dan Kuntjoro Purbopranoto, yaitu tindak pemerintahan. Karena
istilah
tindak
pemerintahan
paling
tepat
untuk
dipergunakan
menterjemahkan istilah “bestuurshandeling”. Bestuur berarti pemerintahan dan handeling berarti tindak, yang menurut Philipus M. Hadjon berarti tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh administrasi negara dalam melaksanakan tugas pemerintahan.31 Sehingga bila dibandingkan dengan istilah-istilah lain, istilah ini paling lengkap dan paling tepat, karena mencakup seluruh tindakan pemerintah yang dilaksanakan oleh administrasi negara. Berdasarkan atas itulah dalam tulisan ini mempergunakan istilah tindak pemerintahan.
Philipus M. Hadjon I, h. 1. Kuntjoro Purbopranoto, 1978, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Cetakan Kedua, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Kuntjoro Purbopranoto II), h. 42. 28 E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan Keempat, Universitas Padjajaran, Bandung, , h. 62. 29 Van Vollenhoven dalam SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Op. Cit., h. 70. 30 Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 80. 31 Philipus M Hadjon I, Loc.Cit. 26 27
18
Tindak pemerintahan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu Pertama, tindak pemerintahan yang berdasarkan hukum (rechtshandelingen) dan Kedua, tindak pemerintahan yang berdasarkan fakta (vetlijke handeling).32 Menurut C.J.N. Versteden, tindakan nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat-akibat hukum.33 Sedangkan mengenai pengertian tindakan hukum, menurut H.J. Romeijn tindakan hukum administrasi merupakan suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi dalam keadaan khusus yang dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum dalam bidang administrasi.34 Menurut J.B.J.M. ten Berge, tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban.35 Tindakan hukum inilah yang penting bagi hukum administrasi. Tindak pemerintahan yang berdasarkan hukum kemudian dibedakan menjadi tindakan hukum publik dan tindakan hukum privat.
Tindakan yang
berdasarkan hukum publik kemudian dibagi lagi menjadi tindakan sepihak (eenzijdig) dan berbagai pihak (meerzijdige).36 Tindakan hukum sepihak dibagi lagi menjadi interne beschikking (keputusan yang dibuat untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan dalam (lingkungan) alat Negara yang membuatnya) dan externe beschikking (keputusan yang dibuat untuk menyelenggarakan hubunganhubungan antara dua atau lebih alat Negara). Keputusan Tata Usaha Negara Kuntjoro Purbopranoto II, Op.Cit., h. 44. Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 113. 34 Ibid., h. 116. 35 Ibid., h. 113. 36 Philipus M. Hadjon I, Op. Cit., h. 3. 32 33
19
merupakan contoh dari tindakan hukum sepihak yang merupakan externe beschikking.37 Tindakan nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat-akibat hukum.38 Keputusan merupakan salah satu bentuk tindak pemerintahan bersegi satu. 2.3 Konsep Keputusan Tata Usaha Negara Keputusan pemerintah (beschikking) mempunyai banyak pengertian. Pengertian menurut beberapa sarjana antara lain : Menurut Prins, beschikking adalah suatu tindakan hukum sepihak di bidang pemerintahan yang dilakukan oleh alat penguasa berdasarkan kewenangan khusus. 2. Menurut E. Utrecht, beschikking adalah perbuatan hukum publik yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan yang berdasarkan atas suatu kekuasaan istimewa.39 1.
Dari pengertian di atas, dapat ditarik beberapa unsur yang ditemukan dalam konsep keputusan, yaitu : 1. Adanya perbuatan hukum 2. Bersifat sebelah pihak 3. Dalam lapangan pemerintahan 4. Berdasarkan kekuasaan yang istimewa.40 Keputusan berkaitan erat dengan wewenang. Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum
Utrecht, Op.Cit., h. 70. Ridwan HR, Loc.Cit. 39 Kuntjoro Purbopranoto II, Op.Cit., h. 46. 40 Bachsan Mustafa, Op.Cit., h. 86.
37 38
20
administrasi.41Wewenang dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.42 Philipus M Hadjon membagi cara memperoleh wewenang atas dua cara, yaitu pertama atribusi, kedua delegasi dan kadang-kadang juga mandat.43 Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Sehingga tampak jelas bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undang (utamanya UUD 1945), dengan kata lain dengan atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan itu tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan (pejabat Tata Usaha Negara) kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris). Suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain : a) Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; b) Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; Philipus M Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuurbevoegdheid)” Pro Justitia Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, h. 90. 42 Indroharto, Op.Cit., h. 68. 43 Philipus M Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuurbevoegdheid)”, Op.Cit., h. 91. 41
21
c) Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; d)Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; e) Peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.44 Mandat
diartikan
suatu
pelimpahan
wewenang
kepada
bawahan.
Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a/n pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat. 45 Tanggung jawab tidak berpindah ke mandataris, melainkan tanggung jawab tetap berada di tangan pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dari kata a/n (atas nama), dengan demikian semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat. Sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang terdiri atas sekurangkurangnya tiga komponen, yaitu : pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum.
46
Uraian dari masing-masing komponen tersebut adalah Komponen
pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponen konformitas hukum mengandung makna adanya standart wewenang, yaitu standart umum (semua jenis wewenang) dan standart khusus (untuk jenis wewenang tertentu).47 Mengenai pengertian KTUN dapat dijumpai pada Pasal 1 angka 3 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang Ibid., h 94. Ibid., h. 95. 46 Ibid., h. 90. 47 Ibid. 44 45
22
menentukan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 2 UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menentukan bahwa : Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undangundang ini : a.
b. c. d.
e.
f.
g.
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Dalam menyusun keputusan, secara teoritis Pemerintah terikat kepada tiga asas hukum, yakni : Asas yuridikitas (rechtmatigheid), artinya, keputusan pemerintahan maupun administratif tidak boleh melanggar hukum (onrechmatige overheidsdaad); 2. Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan harus diambil berdasarkan ketentuan undang-undang; 1.
23
Asas diskresi (discretie, freies Ermessen), artinya, pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada peraturannya” dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas tersebut di atas. Ada dua macam diskresi yaitu “diskresi bebas” bilamana Undang-undang hanya menentukan batas-batasnya, dan “diskresi terikat” bilamana UndangUndang menetapkan beberapa alternatif untuk dipilih salah satu yang oleh pejabat Administrasi dianggap paling dekat.48 3.
Sehubungan dengan hal itu, Pemerintah Daerah didalam menjalankan wewenang
mengurus
urusan
pemerintahannya
yang
secara
normatif
dituangkan melalui penetapan berbagai produk hukum yang bersifat penetapan, menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan, yakni : a.
memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis (rechtmatige)
b.
tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaatasasan hierarkhi peraturan perundang-undangan;
c.
tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga masyarakat;
d.
diterapkan
dalam
rangka
mendukung
(memperlancar)
upaya
mewujudkan atau merealisasi kesejahteraan umum.49 2.4 Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
Dalam
lingkup
Hukum
Administrasi
terdapat
asas-asas
umum
pemerintahan yang baik yang apabila diterapkan dalam segala aspek kegiatan pemerintahan, apa yang menjadi krisis di negara ini tidak akan terjadi. Asas-asas umum pemerintahan yang baik ini sebenarnya berasal dari negeri Belanda. Di Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 95. 49 Sjachran Basah, 1986, “Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara”, Alumni, Bandung, h. 4. 48
24
Indonesia sendiri, asas-asas umum pemerintahan yang baik diperkenalkan oleh Kuntjoro
Purbopranoto.
Asas-asas
umum
pemerintahan
yang
baik
ini
dikategorikan dalam 13 (tiga belas) asas, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
azas kepastian hukum (principle of legal security), azas keseimbangan (principle of proportionality), azas kesamaan (dalam mengambil keputusan pangreh)-principle of equality, azas bertindak cermat (principle of carefulness), azas mitovasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation), azas jangan mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of competence), azas permainan layak (principle of fair play), azas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness), azas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation), azas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing consequences of an annulled decision), azas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life), azas kebijaksanaan (sapientia), azas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).50
2.5 Kepastian Hukum
Sebelum membahas mengenai kepastian hukum, perlu untuk mengetahui mengenai pengertian hukum. Banyak
sarjana mengungkapkan mengenai
pengertian hukum. Beberapa pengertian hukum menurut para sarjana adalah51 : E. Utrecht, dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia mengemukakan hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan Kuntjoro Purbopranoto II, Op. Cit., h. 29-30. Yulies Tiena Masriani, 2008, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 6-7. 50 51
25
dari pemerintah masyarakat itu. Immanuel Kant, dalam bukunya Inleiding tot de Rechtswetsnschap mengartikan hukum sebagai keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan. Sedangkan J. Van Apeldoorn, dalam bukunya Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht mengemukakan bahwa tidak mungkin memberikan definisi kepada hukum karena begitu luas yang diaturnya. Hanya pada tujuan hukum mengatur pergaulan hidup secara damai. Dari uraian para sarjana mengenai pengertian hukum, maka dapat disimak bahwa hukum adalah suatu aturan atau norma yang mengatur tingkah laku masyarakat dalam pergaulan hidup. Mengenai tujuan hukum sendiri, menurut Apeldoorn, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai. 52 Mengenai tujuan hukum, terdapat beberapa teori53, yaitu : 1. Teori Etis, yang
berpendapat bahwa tujuan hukum semata-mata untuk
mewujudkan keadilan. Mengenai keadilan, Aristoteles mengajarkan dua macam keadilan, yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa peseorangan.
52
L. J. Van Apeldoorn, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,
h. 10. Dudu Duswara Machmudin, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung, h. 24-28. 53
26
2. Teori Utilitas, menurut Bentham bahwa hukum bertujuan untuk
mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah The greatest happiness for the greatest number artinya, kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak. Ajaran Bentham disebut juga sebagai eudaemonisme atau utilitarisme. 3. Teori Pengayoman, mengemukakan
tujuan hukum adalah untuk
mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan
sebagai
upaya
untuk
menciptakan
suatu
kondisi
kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak. Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah : a. b. c. d.
Mewujudkan ketertiban dan keteraturan; Mewujudkan kedamaian sejati; Mewujudkan keadilan; Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Dalam pada itu, mengenai daya
ikat hukum dalam masyarakat,
berdasarkan pendapat Gustav Radbruch yang mengembangkan pemikirang Geldingstheorie mengemukakan bahwa berlakunya hukum secara sempurna harus memenuhi tiga nilai dasar, meliputi54 : I Dewa Gede Atmadja, 1993, “Manfaat Filsafat Hukum dalam Studi Ilmu Hukum”, dalam Kerta Patrika, No. 62-63 Tahun XIX Maret-Juni, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 68. Lihat juga Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 19, yang mengemukakan bahwa nilai dasar hukum menurut Radbruch yaitu keadilan, kegunaan (Zweckmaszigkeit) dan kepastian hukum. 54
27
1. Juridical doctrine, nilai kepastian hukum, dimana kekuatan
mengikatnya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi. 2. Sociological doctrine, nilai sosiologis, artinya aturan hukum mengikat karena diakui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan) atau dapat dipaksakan sekalipun masyarakat menolaknya (teori paksaan). 3. Philosophical doctrine, nilai filosofis, artinya aturan hukum mengikat karena sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang tertinggi. Dengan demikian, maka agar hukum dapat berlaku dengan sempurna, harus memenuhi tiga nilai dasar tersebut. Adanya unsur kepastian hukum, hal ini erat kaitannya dalam hal membahas adanya suatu klausul pengaman dalam KTUN. Dengan kata lain, adanya unsur kepastian hukum dalam suatu KTUN akan dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat maupun aparat pemerintah, mengingat kepastian hukum itu sendiri adalah alat atau syarat untuk memberikan jaminan perlindungan bagi yang berhak (termasuk terkait dengan lahirnya suatu KTUN). 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Soerjono Soekanto, seperti yang dikutip oleh Bambang Sunggono berpendapat bahwa penelitian hukum dapat dibagi dalam : 1. Penelitian Normatif yang terdiri dari : e. Penelitian terhadap asas-asas hukum; f. Penelitian terhadap sistematika hukum; g. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum; h. Penelitian sejarah hukum; dan i. Penelitian perbandingan hukum. 2. Penelitian Hukum Sosiologis atau empiris, yang terdiri dari : a. Penelitian terhadap identifikasi;
28
b. Penelitian terhadap efektivitas hukum.55
Penelitian ini ternasuk dalam jenis penelitian hukum normatif, karena penelitian ini berangkat dari adanya kekosongan norma terkait dengan keberadaan klausul pengaman dalam keputusan pemerintah daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2005 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Propinsi tidak menentukan adanya klausul pengaman dalam suatu keputusan,
namun, dalam prakteknya masih terdapat keputusan yang berisi
kalusul pengaman. 1.6.2. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan undang-undang
(statute
approach),
pendekatan
kasus
(case
approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).56 Pendekatan perundang-undangan merupakan cara pendekatan dengan melihat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Penelitian untuk praktik hukum tidak dapat melepaskan diri dari pendekatan perundang-undangan. Pendekatan kasus digunakan apabila dalam membahas permasalahan menggunakan contoh kasus untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang dibahas. Pendekatan historis dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu. Pendekatan ini sangat membantu peneliti untuk Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 42-43. 56 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 93. 55
29
memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu.57 Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum.58 Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada, dikarenakan belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi.59 Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan undang-undang dalam hal melihat apa yang menjadi dasar hukum dari adanya klausul pengaman dan pendekatan konsep untuk menjelaskan konsep-konsep dari suatu KTUN.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka.60 Sementara itu, dalam penelitian hukum mengadakan perbedaan mengenai sumber hukumnya, yakni : a. Bahan hukum primer (primary sources or authorities), seperti undang-
undang dan putusan pengadilan, dan
Ibid., h. 126. Ibid., h. 132. 59 Ibid., h. 137. 60 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, h. 14. 57 58
30
b. Bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities), misalnya
makalah dan buku-buku yang ditulis oleh para ahli, karangan berbagai panitia pembentukan hukum (law reform organization), dan lain-lain.61 Selain bahan hukum primer dan sekunder, oleh Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji mengemukakan bahan hukum ketiga, yaitu bahan hukum tertier. Bahan Hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.62 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku, seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah dalam bentuk literaturliteratur Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, serta bahan-bahan lain yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. 1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum C.F.G. Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, h. 134. 62 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op. Cit., h. 15. 61
31
Bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu (card system).63 Dalam pengumpulan bahan hukum tersebut, kartu-kartu disusun berdasarkan topik, bukan berdasarkan nama pengarang. Hal ini dilakukan agar memudahkan dalam hal penguraian, menganalisa dan membuat kesimpulan dari konsep-konsep yang ada. 1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah dikumpulkan dan disitematisir kemudian dianalisis. Analisis dilakukan dalam rangka untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan menggambarkan apa yang menjadi masalah (deskripsi), menjelaskan masalah (eksplanasi), mengkaji permasalahan dari bahan-bahan hukum yang terkait (evaluasi) dan memberikan argumentasi dari hasil evaluasi tersebut, sehingga didapat kesimpulan mengenai persoalan eksistensi klausul pengaman dalam Keputusan Gubernur Bali yang berkarakter Keputusan Tata Usaha Negara.
Winarno Surakhmad, 1972, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode & Teknik, Tarsito, Bandung, h. 257. 63
32
BAB II KLAUSUL PENGAMAN DALAM PRODUK HUKUM DAERAH
2.1
Bentuk Produk Hukum Daerah
2.1.1 Pemerintah Daerah Bentuk negara menentukan atau menggambarkan pembagian kekuasaan dalam negara. Secara vertikal, yaitu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sedangkan secara horisontal adalah pembagian kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudisial.64 Indonesia merupakan negara kesatuan, yang menurut C. F Strong, negara kesatuan adalah negara yang diorganisir di bawah satu pemerintahan pusat.65 Dalam rangka untuk melakukan pemerataan pembangunan, pemerintah pusat memberikan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menetukan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten yang diatur dengan undang-undang”. Otonomi daerah diadakan bukan hanya untuk menjamin efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, namun juga merupakan cara untuk memelihara negara kesatuan.66 Otonomi berarti “pemerintahan sendiri” (Auto = sendiri, nomes
Andi Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta, h. 23. 65 C. F Strong, 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Penerjemah SPA Teamwork, Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Bandung, h. 87. 66 Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Hukum UII, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Bagir Manan I), h. 3. 64
33
= pemerintahan).67 Pada masa revolusi Perancis, dirumuskan suatu gemeente (Daerah kota otonom), sebagai suatu persekutuan penduduk yang disatukan oleh hubungan setempat atau sedaerah.68 Otonomi daerah sendiri berarti hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.69
C.
Van
Vollenhoven mengemukakan pendapat yang berlandaskan pada ajaran catur praja mengenai otonomi yang mencakup aktivitas sebagai berikut :70 1. Membentuk perundangan sendiri (zelfwetgeving) 2. Melaksanakan sendiri (zelfuitvoering) 3. Melakukan peradilan sendiri (zelfrechtspraak) 4. Melakukan tugas kepolisian sendiri (zelf-politie).
Visi otonomi daerah itu menurut Syaukani71 dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama: Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya. Di bidang politik karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, itu adalah sebuah proses untuk membuka peluang bagi lahirnya kepala daerah yang dipilih secara demokratis, dengan demikian akan tercipta suatu pemerintahan yang responsif, karena kepala daerah lahir dari masyarakat dimana dia dipilih sehingga mengetahui secara jelas keadaan, dan kebutuhan masyarakatnya. Kondisi ini akan menciptakan demokratisasi pemerintahan yang Amrah Muslimin, 1982, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, (Selannjutnya disebut Amrah Muslimin II), h. 6. 68 J. Wajong, 1975, Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Djambatan, Jakarta, h. 8. 69 SH. Sarundajang, 1999, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 27. 70 Amrah Muslimin II, loc. cit. 71 Syaukani H.R 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, h. 173-175 67
34
juga berarti transparansi kebijakan. Artinya setiap kebijakan yang akan diambil harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu,apa tujuannya, berapa biaya yang harus dipikul, siapa yang diuntungkan, apa resiko yang harus dipikul dan siapa yang harus bertanggungjawab jika kebijakan itu gagal. Dengan demikian otonomi daerah juga berarti memberikan kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah , membangun sistem dan karier politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajeman yang efektif . Di bidang ekonomi, dalam konteks ini akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha dan membangun berbagai infra struktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian , otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. Di bidang sosial budaya dapat mendorong melihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan disekitarnya Ditinjau dari aspek normatif, maka dasar hukum otonomi daerah adalah pada Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan: “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya diperjelas dalam ketentuan pada Ayat (5) nya yang menetukan: “ Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan urusan
35
Pemerintah Pusat. Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang pertama setelah era reformasi adalah Undang-Undang No.22 Tahun 1999 LNRI Tahun 1999 Nomor 60 , TLN RI Nomor 3839 yang kemudian diganti dengan UndangUndang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah LNRI Tahun 2004 Nomor 125, TLN-RI Nomor 4437. Dari kedua undang-undang tersebut terlihat perkembangan asas otonomi yang diberikan kepada pemerintah daerah. Di dalam Undang–Undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan otonomi yang diberikan kepada daerah adalah otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. Luas diartikan sebagai pemberian keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenagan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditentukan dengan peraturan pemerintah. Nyata diartikan sebagai keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Bertanggungjawab diartikan sebagai perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ada perubahan prinsip otonomi bila dibandingkan dengan prinsip otonomi yang dianut oleh UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999. Bila di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 prinsip otonominya adalah luas, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor
36
32 Tahun 2004 adalah seluas-luasnya yang diartikan daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah diatur di dalam Pasal 10 ayat (3) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu: (a) Politik Luar Negeri, (b) pertahanan, (c) keamanan, (d) yustisi, (e) moneter dan fiskal nasional (f) agama. Ini berarti di luar urusan pemerintahan ini adalah kewenangan pemerintah daerah, berbeda dengan prinsip otonomi luas yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang masih memberikan kewenangan lain kepada pemerintah pusat di luar kewenangan yang telah ditentukan di dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menentukan: Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Ini berarti pemerintah bilamana menganggap perlu masih bisa menentukan kewenangan dalam bidangbidang tertentu yang menurut pertimbangan pemerintah menjadi kewenangan pemerintah. Konsruksi norma seperti ini tidak memberikan kepastian hukum kewenangan pemerintah daerah, namun demikian bila dikaji, pemberian otonomi pada prinsipnya adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kpada daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah seperti apa yang dinyatakan oleh Laode Ida bahwa ada dua alasan paradigma hukum lahirnya otonomi daerah yaitu: (1) Paradigma pertama merupakan penolakan atau perlawanan terhadap
37
paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik yang sarat dengan muatan ketergantungan (depedency) eksploitasi sumber daya lokal oleh pemerintah pusat; (2) Paradigma kedua
bahwa struktur pemerintahan yang sentralistik kurang
memberi keleluasaan untuk mengekspresikan hakekat mendasar dari demokrasi itu sendiri, dan otonomi daerah merupakan wujud dari kesadaran lokal untuk mewujudkan local community power sekaligus mengefektifkan pelayanan dan pembangunan pada masyarakat lokal.72 Dalam pada itu, antara otonomi dan desentralisasi tidak terpisahkan dan kadang rancu dalam penggunaannya. Dalam praktik, desentralisasi dan otonomi bersifat tumpang tindih.73 Otonomi merupakan salah satu bentuk dari desentralisasi. Desentralisasi pada negara kesatuan, berwujud dalam bentuk satuan-satuan pemerintahan lebih rendah (teritorial atau fungsional) yang berhak mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintah sebagai urusan rumah tangganya.74 Dalam pengertian umum, desentralisasi adalah setiap bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisasi jabatan atau pejabat.75 Dengan adanya desentralisasi maka lahirlah otonomi daerah, seperti apa yang dinyatakan oleh Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, bahwa “Penyebutan asas desentralisasi bagi pemerintahan yang otonom adalah hal yang berlebihan.Tidak ada otonomi
Laode Ida, Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal &Clean Government, Pusat Studi Pengembangan Kawasan (PPSK), Jakarta h.2 73 Riant Nugroho D, 2000, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Resolusi, Kajian dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta, h. 41. 74 Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, (selanjutnya disingkat Bagir Manan II), h. 16. 75 Bagir Manan I, op. cit., h. 10. 72
38
tanpa desentralisasi76 Dengan otonomi daerah maka sebagian kewenangan pusat dilimpahkan ke daerah. Dengan demikian adanya otonomi sebagai output dari desentralisasi memberikan sejumlah manfaat bagi masyarakat di daerah. Shabbir Cheema and Rondinelli dalam Syaukani HR77 menyampaikan paling tidak ada empat belas (14) alasan yang merupakan rasionalitas dari desentralisasi, yaitu: 1. Desentralisasi dapat merupakan cara yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan
karena
perencenaan
yang
sentralistik
dengan
jalan
mendelegasikan sejumlah kewenangan terutama dalam perencanaan pembangunan kepada pejabat di daerah yang berhadapan langsung dengan masalah yang dihadapi masyarakat. 2. Desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi yang rumit dan prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat 3. Dengan desentralisasi maka tingkat pemahaman serta sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat daerah akan meningkat, sehingga akan dapat dirumuskan kebijakan yang lebih realistik dari pemerintah 4. Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya “penetrasi” yang lebih baik
dari pemerintah bagi daerah-daerah yang terpencil, karena sering terjadi pemahaman masyarakat daerah terhadap rencana pemerintah kurang sehingga dukungan terhadap program pemerintah sangat kurang
Ibid, h.102 Syaukani HR, 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar,Jogjakarta, h.32-35 76 77
39
5. Desentralisasi dapat merepresentasikan kepentingan yang lebih luas dari berbagai kelompok kepentingan, sehingga terjadi kesamaan persepsi dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah 6. Desentralisasi dapat meningkatkan peluang bagi masyarakat di daerah untuk meningkatkan kapasitas tekis dan managerial. 7. Desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat, karena tidak perlu lagi menjalankan tugas rutin yang telah diserahkan kepada pejabat di daerah, sehingga dapat secara efektif untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan. 8. Desentralisasi juga dapat menyediakan sturktur dimana berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasi secara efektif bersama dengan pejabat daerah dan sejumlah NGOs di berbagai daerah 9. Struktur
pemerintahan
yang
didesentralisasikan
diperlukan
guna
melembagkan partisipasi masyarakat dalam perencanan dan implementasi program 10. Desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas berbagai aktivitas yang dilakukan oleh elit lokal yang sering kali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan. 11. Desentralisasi dapat menghantarkan kepada administrasi pemerintahan yang mudah disesuaikan , inovatif, dan kreatif. 12. Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen dapat memungkinkan
pemimpin di daerah menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif di
40
tengah-tengah
masyarakat,
mengintegrasikan
daerah-daerah
yang
terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik dari pada yang dilakukan oleh pejabat di pusat. 13. Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di daerah. 14. Desentralisasi dapat meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena tidak lagi menjadi urusan pemerintah pusat. Banyak sarjana yang menyatakan pendapat segi positif dari adanya desentralisasi atau otonomi, namun secara umum argumentasi yang sering dikemukakan mengapa memilih desentralisasi dari pada sentralisasi , karena desentralisasi dapat mendorong
kondisi-kondisi
sebagai
berikut:
1).Efisiensi
dan
efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan; 2). Pendidikan politik; 3). Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan; 4).Stabilitas politik; 5) Kesetaraan politik; 6). Akuntabilitas publik78 Pemerintah adalah orang, badan, atau aparat yang mengeluarkan atau memberi perintah.79 Mengenai istilah pemerintah sendiri dalam bahas Inggris disebut dengan government, dalam bahas Perancis gouvernment yang keduanya berasal dari bahasa Latin gubernaculum yang berarti kemudi.80 Namun dalam Ibid, h.20-30 Taliziduhu Ndraha, 1988, MetodologiPemerintahan Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, h. 22. 80 W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 23. 78 79
41
negara hukum modern, istilah pemerintah sering dipadankan dengan istilah bahasa Belanda bestuur. A.Hamid.S Atamimi
81
dalam disertasinya yang berjudul “Peranan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara” memberikan beberapa pengertian pemerintah dari pendapat para pakar dan pendapatnya menjadi 4 (empat) katagori pengertian pemerintah yaitu: Pertama, yang mengartikan kata pemerintah
sama dengan eksekutif, hal
ini didasarkan pada UUD 1945 yang membagi batang tubuhnya membagi kelengkapan negara menjadi tiga yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, merkipun tidak menekankan pada emisahannya; Kedua, yang mengartikan kata pemerintah adalah lebih luas daripada eksekutif, pendapat ini juga berlandaskan atas pelaksanaan pemerintahan yang diatur dalam UUD 1945, dimana pemerintah tidak hanya menyelenggarakan fungsi eksekutif saja, melainkan juga melaksanakan fungsi legislatif dan bahkan juga yudikatif . Dengan kata lain pemerintah melaksanakan tugas-tugas yang lebih luas dari sekedar melaksanakan undang-undang sebagaimana tugas eksekutif melainkan juga melaksanakan tugas-tugas lain selain tugas melaksanakan undangundang misalnya dengan membuat keputusan yang bersifat pengaturan82 Ketiga pendapat yang menyatakan Pemerintahan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas diartikan meliputi seluruh fungsi atau kegiatan kenegaraan dalam hal ini meliputi seluruh fungsi atau kegiatan lembaga-lembaga A.Hamid.S.Atamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara(disertasi),Fakultas Pascasrajana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, h.112 -115 82 Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi, Op.Cit. h.4 81
42
negara yang ada di dalam UUD 1945 (MPR, DPR,Presiden, Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung, dan Badan Pemeriksaan Keuangan).Dalam arti sempit pemerintah diartikan sebagai Presiden saja. Lembaga negara dalam Undang–Undang Dasar 1945 pasca reformasi,(selanjutnya di tulis UUDNRI Tahun 1945) mengalami perkembangan, baik dari sudut kedudukan maupun jumlah dari lembaga negara yang ada. Dari sudut kedudukan, di dalam UUDNRI Tahun 1945 tidak dikenal lagi perbedaan kedudukan antar lembaga negara yang ada. Bila didalam UUD 1945 MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) menduduki posisi sebagai lembaga tertinggi negara, setelah amandemen posisi itu tidak ada lagi, dalam arti bahwa kedudukan MPR sama sejajar dengan lembaga negara yang lain. Dari sudut jumlah, lembaga negara dalam UUDNRI Tahun 1945 mengalami penambahan yang cukup signifikan bila sebelum amandemen lembaga negara hanya berjumlah 6 (enam) yaitu: Presiden; MPR,DPR;BPK;DPA,dan MA, maka setelah amandemen lembaga negara berdasarkan atas UUDNRI Tahun 2010 berjumlah 15 (lima belas) lembaga negara yaitu: a)
MPR
(Majelis
Permusyawaratan Rakyat); b) DPR (Dewan Perwakilan Rakyat); c). DPD (Dewan Perwakilan Daerah); d). Presiden dan Wakil Presiden; e) Kementerian Negara; f) MA (Mahkamah Agung); g).Mahkamah Konstitusi; h). BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan); i) Komisi Yudisial; j).Pemerintah Daerah; k).Komisi Pemilihan Umum; l). Bank Sentral; m). Tentata Nasional Indonesia; n). Kepolisian Negara Republik Indonesia; o). Dewan Pertimbangan Presiden83.Pembagian yang dilakukan oleh Jimly Assihiddiqie tersebut di atas didasarkan atas difinisi lembaga Jimly Asshiddiqie,2005, Lembaga Negara dan sengketaKewenanganAntarlembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerjasama dengan: Makamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta,h.72 - 85 83
43
negara yang diberikan oleh Moh Kusnardi dan Bintan Saragih dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Negara” halaman 241, yang menyatakan bahwa lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi 84
negara
. Keempat adalah pendapat pribadi A.Hamid.S Atamimi yang
mengartikan pemerintah adalah “kekuasaan yang memerintah suatu negara atau daerah negara; atau kekuasaan yang tertinggi yang memerintah suatu negara, sedangkan yang diartikan dengan kata pemerintahan adalah “perbuatan”atau cara, atau hal urusan memerintah”85 Pemerintahan pada hakekatnya dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ryaas Rasyid dalam bukunya “Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan“, mengemukakan bahwa secara umum tugas-tugas pokok pemerintahan mencakup tujuh bidang pelayanan, yaitu sebagai berikut:86 1. Menjamin keamanan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar dan menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari dalam negara sendiri; 2. Memelihara ketertiban di antara warga masyarakat dan menjamin
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat berlangsung secara damai; 3. Menjamin diterapkannya perlakuan adil terhadap setiap warga masyarakat; 4. Melakukan pekerjaan optimal yang tidak dapat dilakukan oleh pihak swasta atau akan lebih baik bila dilakukan oleh pemerintah; Ibid, h,30 A.Hamid.S.Atamimi, Peranan.. Op.Cit.h. 115 86 Muhammad Ryaas Rasyid, 2002, Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, PT Mutiara Sumber Widya, Jakarta, h. 14-16. 84 85
44
5. Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial;
6. Menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas; 7. Menerapkan kebijakan untuk pemeliharaan sumber daya alam. Pada beberapa literature mengenai Hukum Pemerintahan, otonomi daerah sangat erat kaitannya dengan desentralisasi. Secara etimologis perkataan otonomi berasal dari bahasa latin, yaitu autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti aturan. Dari pemahaman ini beberapa penulis seperti Abdurrahman, Danurejo maupun RDH. Koesoemahatmadja memberi arti otonomi sebagai pengundangan sendiri (zelfwetgeving) atau pemerintahan sendiri (zelfbestuurs).87 Dalam perkembangan sejarah di
Indonesia, otonomi selain mengandung arti
perundangan (regeling) dapat juga mengandung arti pemerintahan (bestuur). Otonomi yang diberikan kepada daerah otonom yang bersifat luas, nyata dan bertanggung jawab harus dilaksanakan secara menyeluruh dan seimbang, sehingga tidak ada salah satu yang diutamakan atau mengesampingkan yang lainnya. Apabila tidak dilaksanakan secara menyeluruh dan seimbang, maka tidak menutupi kemungkinan bahwa pemberdayaan daerah akan gagal. Untuk itu perlu diperhatikan fungsi dasar otonomi yaitu bahwa otonomi yang luas itu tidak sekedar melahirkan hak yang luas tapi juga kewajiban yang luas, tidak sekedar wewenang tetapi juga tanggung jawab. Jadi pada dasarnya urusan pemerintahan otonomi adalah bersifat pelayanan,88 karena itu sebenar-benarnya otonomi itu, pertama-tama merupakan beban dan tanggung jawab, bukan sekedar dasar unjuk kekuasaan, tetapi jika disertai dengan berbagai kelengkapan yang cukup dan baik, Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Media Sarana Press, Jakarta, h.9 88 Bagir Manan, 2001, Op.Cit, h. 247 87
45
beban dan tanggung jawab ini akan menjadi suatu nikmat bagi pemerintah daerah dan masyarakat. Mengenai tujuan dari pembentukan pemerintah daerah dapat dilihat dari aspek pembagian tugas, fungsi dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah dibentuk untuk mencegah menumpuknya kekuasaan pada pemerintah pusat yang dapat menumbuhkan kediktatoran. Di lain pihak, adanya pemerintahan daerah juga sebagai suatu upaya mencapai sistem penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien, serta mewujudkan sistem pemerintahan demokratis, yakni pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan merupakan bagian dari pemerintah pusat, yang memperoleh kewenangannya melalui peraturan perundangan yang berlaku. Tanpa dasar wewenang tersebut aparat pemerintah di daerah tidak dapat melakukan tindakan hukum. Wewenang ini sangatlah diperlukan Pemerintah, mengingat Pemerintah adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi negara. Pemerintah untuk dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan lancar perlu disertakan wewenang. Selanjutnya adanya pengaturan pemberian wewenang tersebut akan memberikan keabsahan bagi tindakan yang dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah di tingkat daerah berkenaan dengan wewenang yang dijalankannya. Dengan demikian, penentuan wewenang pada dasarnya merupakan inti dari hukum atau peraturan perundangan di bidang pemerintahan dan kenegaraan.
46
Jika dicermati konsep otonomi daerah,
wewenang pemerintah daerah
yang berupa wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri adalah merupakan wewenang delegasi, dalam hal ini
Philipus M. Hadjon
89
menyatakan otonomi daerah pada dasarnya adalah wewenang delegasi. Secara teoritis dalam penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dikenal beberapa sistem rumah tangga daerah. Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut, daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan atau yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah. Berdasarkan pengertian tersebut, Bagir Manan90 menyebutkan ada tiga sistem rumah tangga daerah yaitu sistem rumah tangga formal, sistem rumah tangga materiil dan sistem rumah tangga nyata atau riil. Dalam sistem rumah tangga formal pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pusat dan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu tidak ditetapkan secara rinci. Berbeda dengan Sistem rumah tangga materiil, dalam sistem rumah tangga ini terdapat pembagian wewenang tugas dan tanggung jawab antara pusat dan daerah. Urusan pemerintahan yang termasuk ke dalam urusan rumah tangga daerah ditetapkan dengan pasti. Sistem rumah tangga nyata (riil), dalam sistem rumah tangga ini isi rumah tangga daerah didasarkan kepada keadaan-keadaan dan faktor-faktor yang nyata. Selanjutnya 89 90
Philipus M. Hadjon, 1994, Loc.Cit Bagir Manan, 2001, Op.Cit, h. 25
47
menurut Bagir Manan, menyatakan sistem rumah tangga riil merupakan sistem yang memberikan jalan tengah atas kelemahan atau kesulitan yang terdapat dalam sistem sumah tangga materiil dan sistem rumah tangga formal, karena sistem rumah tangga riil ini mempunyai ciri-ciri yang spesifik, seperti berikut: 1) Adanya urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu daerah otonom, memberi kepastian mengenai urusan rumah tangga daerah. Hal semacam ini tidak mungkin terjadi pada sistem rumah tangga formal. 2) Di samping urusan rumah tangga yang ditetapkan secara materiil, daerahdaerah dalam sistem rumah tangga nyata dapat mengatur dan mengurus pada semua urusan pemerintahan yang menurut pertimbangan adalah penting bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus oleh Pusat atau Daerah yang lebih tinggi. 3) Otonomi dalam rumah tangga riil didasarkan pada faktor-faktor nyata suatu daerah. Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan rumah tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing. Secara normatif pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang antara lain menentukan pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya “kecuali” urusan pemerintahan yang ditentukan menjadi urusan pemerintah yaitu: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yuridis, moneter dan fiskal nasional dan agama. Dengan konstruksi pembagian kewenangan diatas, berarti kewenangan pemerintah daerah sangat luas, yang meliputi semua kewenangan diluar
48
kewenangan yang menjadi urusan pemerintah. Tetapi hal ini kontradiktif dengan ketentuan Pasal 10 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang menentukan: Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah “di luar” urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah dapat: a. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan. b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah. c. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu pemerintah daerah berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18. Pemerintah pusat menyerahkan sebagian urusan kepada pemerintah daerah (otonomi).91 Adapun yang menjadi wewenang dari Kepala Daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah : a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b. Mengajukan rancangan Perda; c. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama; e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; Suriansyah Murhani, 2008, Aspek Hukum Pengawasan Pemerintah Daerah, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, h. 1. 91
49
Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. f.
Dari ketentuan pasal tersebut, Kepala daerah bertugas untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan daerah sebagai daerah otonom. Urusan-urusan yang harus dilaksanakan oleh pemerintahan daerah teridiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan yang berskala provinsi diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaat, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman umum; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya potensial; g. penanganan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan di bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan mengengah termasuk lintas kabupaten/kota j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten;
50
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan Urusan Pilihan diatur di dalam ketentuan Pasal 13 Ayat (2) yang menentukan bahwa: Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi , kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan daerah inilah kepala daerah melakukan tindak pemerintahan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, dan juga berdasarkan atas peraturan dan keputusan yang dibuatnya
sendiri dalam bentuk Keputusan Kepala Daerah, Gubernur untuk
daerah provinsi Bupati/Walikota untuk pemerintah kabupaten/kota. Mengenai wewenang yang dimiliki oleh masing-masing daerah diatur di dalam Peraturan Pemerintah
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah diatur dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (4) yang terdiri atas 31 (tiga puluh satu ) bidang urusan pemerintahan meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum; d. perumahan; e. penataan ruang; f. perecanaan pembangunan;
51
g. perhubungan; h. lingkungan hidup; i. pertanahan; j. kependudukan dan catatan sipil; k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera; m. sosial; n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; o. koperasi dan usaha kecil dan menengah; p. penanaman modal; q. kebudayaan dan pariwisata; r. kepemudaan dan olah raga ; s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; t. otonomi daerah, pemerintahan umum,administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian; u. pemberdayaan masyarakat dan desa; v. statistik; w. kearsipan; x. perpustakaan; y. komunikasi dan informatika; z. pertanian dan ketahanan pangan aa. kehutanan; bb. energi dsn sumber daya mineral; cc. kelautan dan perikananan; dd. perdagangan; dan
52
ee. perindustraian. Menyimak dari jumlah urusan pemerintahan daerah tersebut maka urusan pemerintahan yang ditangani oleh pemerintah daerah sangatlah luas. 2.1.2
Peraturan Perundang-undangan Dalam kaitannya dengan istilah peraturan perundang-undangan, Philipus
M Hadjon92 secara kritis mempertanyakan, apakah UUD 1945 dan Tap MPR termasuk dalam pengertian peraturan perudang-undangan ? oleh karenanya untuk menghindari
perdebatan
istilah
tersebut,
dipergunakan
istilah
aturan
hukum.Aturan hukum itu sendiri diartikan sebagai menunjuk pada pengertian semua bentuk hukum tertulis yang maknanya dapat dilihat dari dua segi yaitu: dari segi bentuk adalah peraturan tertulis dan dari segi substansi mengikat umum/keluar. Konsep normatif pengertian peraturan perundang-undangan diatur di dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan yang menentukan ”Peraturan perundang–undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.” Bila dibandingkan antara konsep aturan hukum yang disampaikan oleh Philipus M Hadjon dengan konsep peraturan perundang–undangan yang diatur di dalam Pasal 1 angka 2 dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tersebut di atas, ada kesamaan dan perbedaan di dalamnya. Persamaannya adalah bentuknya tertulis dan mengikat Philipus M Hadjon, Pokok- Pokok Pikiran tentang Jenjang/ Tingkatan Aturan Hukum (tertulis)(the hierarchy of written rules) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2002, h.2 92
53
secara umum, sedangkan perbedaannya terletak pada aspek pembentuknya. Philipus M Hadjon tidak secara spesifik menentukan bandan pembentuk , sedangkan di dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang–Undang No. 10 Tahun 2004 jelas ditentukan yang dibentuk oleh lembaga negara. Persoalan masih juga timbul apakah produk hukum semua lembaga negara dapat dikatagorikan sebagai peraturan perundang–undangan, dan apakah semua lembaga negara dapat membentuk peraturan perundang-undangan? Pertanyaan ini tidak terjawab dalam penjelasan Undang–Undang No. 10 Tahun 2004, karena penjelasanya menyebutkan cukup jelas. Sementara itu, norma adalah kaidah atau patokan atau aturan, yaitu suatu ukuran yang harus dipenuhi atau ditaati oleh seseorang atau setiap orang baik dalam hhubungan antar sesamanya maupun dengan lingkungannya.93 Hukum mengatur pembentukannya sendiri, karena norma hukum yang satu menetukan cara untuk membuat norma hukum lainnya. 94 Hukum Indonesia banyak dipengaruhi oleh hukum pada masa kolonila Belanda. Hingga kini juga masih terdapat beberapa peraturan yang berasal dari zaman Hindia Belanda, baik yang masih berlaku maupun dijadikan pedoman. Mengenai peraturan yang terdapat pada zaman Hindia-Belanda menurut jenisnya dapat dibedakan menjadi dua klasifikasi, yaitu :95 1. Algemene Verordeningen (peraturan-peraturan umum)
Jazim Hamidi dkk, 2008, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 1. 94 Hans Kelsen, 2007, General Theory of Law and State, Teori Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif, Empirik, Alih Bahasa H. Somardi, BEE Media Indonesia, h. 155. 95 Soehino, 1984, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 13-15. 93
54
Umum yang dimaksud bukan mengenai sifat dari peraturannya, namun menunjukkan bahwa kekuasaan dari pejabat yang berwenang untuk membuat peraturan tersebut bersifat umum. 2. Locale Verordeningen (peraturan-peraturan lokal) Peraturan-peraturan lokal ini dibuat oleh pejabat atau alat perlengkapan negara yang wewenangnya atau kekuasaannya bersifat lokal. Mengenai peraturan perundang-undangan, oleh Bagir Manan dalam buku Yuliandri yang berjudul Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perturan perundangundangan adalah “setiap putusan tertulis yang dibuat dan ditetapkan serta dikeluarkan
oleh
lembaga
dan/atau
pejabat
negara
yang
mempunyai
(menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.”96 Bila mendasarkan pada pendapat dari Hans Kelsen, mengenai norma hukum, Hans Kelsen berpendapat bahwa : norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dana berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm).97 Teori jenjang norma yang dikemukakan oleh Hans Kelsen ini diilhami oleh pendapat dari Adolf Merkl, yang kemdian kembali dikembangkan oleh murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Hans Nawiasky berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 38. 97 Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, h. 41. 96
55
itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara terdiri atas empat kelompok besar, yaitu98 : Kelompok I Kelompok II
: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara) Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang “formal”) Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana & Aturan otonom). Berkaitan dengan Teori jenjang norma yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky, dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan juga ditentukan mengenai jenis dan hieararki peraturan perundangundangan dalam Pasal 7 ayat (1), yaitu : “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. “ Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan juga telah ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menentukan : Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi: a. Kejelasan tujuan; b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan; 98
Ibid., h. 41, 44-45.
56
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan g. Keterbukaan. JJH. Bruggink
99
memakai istilah kaidah hukum untuk norma. Menurut
Bruggink kaidah hukum menjadi 3 macam yaitu: (1) kaidah hukum sebagai kaidah prilaku; (2) kaidah hukum sebagai meta kaidah; dan (3) kaidah hukum sebagai meta kaidah. Kaidah hukum sebagai kaidah prilaku diartikan sebagai kaidah yang berkaitan dengan perilaku seseorang. Kaidah jenis ini dibagi atas 4 (empat) macam yaitu: (1) Perintah (geboed) yaitu suatu perintah untuk melakukan sesuatu; (2) larangan (verboed), adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu; (3) pembebasan (vrijstelling, dispensasi) ini adalah pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan; (4) izin (toestemming, permisi) ini adalah pembolehan khusus untuk melakuka sesuatu yang secara umum dilarang100 Kaidah hukum sebagai meta kaidah diartikan sebagai kaidah yang menentukan sesuatu yang berkaitan dengan kaidah perilaku itu sendiri. Dengan mengutip pendapat Hart, JJH.Bruggink membagi meta kaidah atas: (1) kaidah pengakuan yaitu suatu kaidah yang menetapkan kaidah perilaku mana yang dalam suatu masyarakat hukum tertentu harus dipatuhi, diberikan contoh Pasal 22 AB (Algemene Bepalingen) yang mengatur larangan asas retroactive yaitu suatu undang-undang hanya mengikat untuk peristiwa-peristiwa yang akan datang dan tidak mempunyai daya berlaku surut. (2) Kaidah perubahan yaitu kaidah yang menentukan bagaimana suatu kaidah perilaku dapat diubah, untuk kaidah ini JJH.Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 99 - 108 100 ibid 99
57
diberikan contoh Pasal 5 AB yang menentukan bahwa suatu undang-undang hanya dengan undang–undang yang berikutnya dapat kehilangan kekuatan berlakunya seluruhnya atau sebagian. (3) Kaidah kewenangan adalah kaidah yang menetapkan tentang siapa dan prosedur yang bagaimana kaidah perilaku ditetapkan, dan bagaimana kaidah perilaku diterapkan bilamana ternyata terdapat ketidakjelasan. Untuk kadah ini diberikan contoh Pasal 112 Ayat (1) UUD Belanda tentang kekuasaan kehakiman yang ditugasi untuk mengadili perselisihan tentang hak-hak keperdataan dan tentang gugatan- gugatan101. Jenis terakhir adalah kaidah mandiri dan kaidah tidak mandiri. Disadari oleh Bruggink, pembagian ini hanya berada dalam tataran normatif, tergantung pada faham hukum seorang akhli memandangnya, sehingga pembedaan ini tidak terlalu penting. Kaidah hukum mandiri dicontohkan pada kaidah perintah dan larangan, sedangkan kaidah yang melaksanakan kaidah itu adalah kaidah tidak mandiri, seperti izin, dispensasi.102 2.1.3
Produk Hukum Daerah Mengenai produk hukum daerah, ditentukan dalam Peraturan Menteri
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 15 Tahun
2006
tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah. Dalam Pasal 2 Permendagri No. 15 Tahun 2006 jenis produk hukum daerah terdiri atas : a. Peraturan Daerah; b. Peraturan Kepala Daerah; c. Peraturan Bersama Kepala Daerah; 101 102
Ibid, h 103-104 Ibid.h.106
58
d. Keputusan Kepala Daerah; dan e. Instruksi Kepala Daerah. Dari jenis produk hukum daerah yang diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut nampak jelas bahwa produk hukum itu terdiri atas produk legislasi dan regulasi, dengan kata lain tidak membedakan antara legislasi dan regulasi, sama halnya dengan Pasal 7 Ayat (1) UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menggabungkan antara legislasi dengan regulasi dalam satu kemasan peraturan perundang-undangan. Pengertian legislasi pada prinsipnya dapat diartikan sebagai aturan hukum yang pembentukannya melibatkan badan legislatif, untuk tingkat daerah bentuknya adalah Peraturan Daerah, sedangkan regulasi adalah produk hukum yang dibentuk dimana badan legislatif tidak terlibat secara. Untuk tingkat daerah maka akan kita jumpai peraturan kepala daerah, yang mengatur hal-hal secara umum, sedangkan untuk mengatur hal-hal yang bersifat kongkrit individual disebut dengan keputusan kepala daerah (order atau beschikking)103 Berkaitan dengan regulasi atau keputusan, Black Law Dictionary mengartikan regulation sebagai: “regulation is rule or order having force of law issued by executive authority of government”dan selanjutnya dinyatakan bahwa “regulation are not the work of legislature”104. Dari pengertian tersebut maka jelas regulasi adalah produk badan eksekutif atau pemerintah, dan badan legislatif tidak ikut campur dalam pembentukannya. I.Gusti Ngurah Wairocana,2005 Good Governance(Kepemerintahan Yang Baik) dan Implementasinya Di Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Di Bali), Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya,h.199 104 Henry Campbell Black, 1979, Blacks Law Dictionary ,St.Paul Minn: West Publishing Co 103
59
Menurut P.P.Craig dalam bukunya yang berjudul Administrative Law, regulasi merupakan salah satu bentuk dari delegasi perundang-undangan seperti dinyatakan: There is a bewilldering variety of terminology through which to express delegated legislation, oder in council, rules, regulations, bylaws direction105. Keanekaragaman istilah untuk produk delegasi peraturan perundang– undangan oleh Sir William Wade disebabkan oleh karena badan legislatif tidak menentukan secara khusus mengenai bentuk hukum pendelegasian perundangundangan seperti apa yang dinyatakan: Parliament follow no particular policy, and there is a wide range of varietes and nomenclature.106 Keanekaragaman istilah untuk menyebutkan beschikking atau keputusan dialami oleh para pakar di Indonesia, seperti yang ditulis oleh Kuntjoro Purbo Pranoto, ada yang mempergunakan istilah Ketetapan, Keputusan, Penetapan107 Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere) atau keharusan (obligatere) ataupun kebolehan.108 Produk hukum daerah adalah peraturan daerah yang diterbitkan oleh kepala daerah dalam rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah). Salah satu bentuk produk hukum daerah adalah keputusan kepala daerah. 105 106
P.P.Craig, 1988, Administrative Law, London Sweet and Maxwell, h.247 Sir William Wade, Administrative Law Clarendon Press, Oxford, h.855
Kuntjoro Purbo Pranoto,1978, Beberapa catatan Hukum Tata Pemerintaan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung h.45-47 108 Jimly Asshiddiqie, 2008, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press dengan PT Syaamil Cipta Media, Jakarta, h. 9. 107
60
Dalam produk hukum yang bersifat penetapan, yaitu salah satunya adalah keputusan gubernur, satuan kerja perangkat daerah melakukan penyusunan produk hukum daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing (Pasal 14 dan 15 Permendagri No. 16 Tahun 2006).
2.2
Pembentukan Keputusan Gubernur Mengenai pembentukan produk hukum daerah yang salah satunya adalah
Keputusan Gubernur diatur dalam Permendagri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Dalam Pasal 1 angka 1 ditentukan bahwa “Prosedur penyusunan produk hukum daerah adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak perencanaan sampai dengan penetapan.” Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa keputusan kepala daerah adalah produk hukum daerah yang bersifat penetapan. Sesuai dengan Pasal 151 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), hal ini dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 4 Permendagri Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Propinsi dan dalam Pasal 14 Permendagri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang menentukan bahwa dalam hal produk hukum yang bersifat penetapan, pimpinan satuan kerja daerah penyusun produk hukum daerah yang bersifat penetapan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing SKPD dan produk hukum tersebut diajukan pada sekretaris daerah setelah mendapat paraf
61
koordinasi dari kepala biro hukum atau kepala bagian hukum (Pasal 14 Permendagri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah). Dalam hal penandatanganan, ditandantangani oleh Kepala Daerah, namun dapat juga di delegasikan kepada sekretaris daerah (Pasal 15). Sama halnya dengan peraturan perundang-undangan yang dalam pembentukannya memuat asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam tata naskah dinas juga terdapat asas-asas tata naskah dinas yang diatur dalam Pasal 3 Permendagri Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Propinsi yang menetukan : Azas-azas Tata Naskah Dinas terdiri dari : 1. Azas Dayaguna dan Hasilguna adalah penyelenggaraan tata naskah dinas perlu dilakukan secara berdayaguna dan berhasilguna dalam penulisan, penggunaan ruangan atau lembar naskah dinas, spesifikasi informasi, serta dalam penggunaan bahasa indonesia yang baik, benar dan lugas. 2. Azas Pembakuan adalah naskah dinas di proses dan disusun menurut tata cara dan bentuk yang telah dibakukan. 3. Azas pertanggungjawaban adalah penyelenggaraan tata naskah dinas dapat dipertanggungjawabkan dari segi isi format prosedur, kearsipan, kewenangan dan keabsahan. 4. Azas Keterkaitan adalah kegiatan penyelenggaraan tata naskah dinas terkait dengan kegiatan administrasi umum dan unsur administrasi umu lainnya. 5. Azas Kecepatan dan Ketepatan adalah kegiatan untuk mendukung kelancaran tugas dan fungsi satuan kerja atau satuan organisasi, tata naskah dinas harus dapat diselesaikan tepat waktu dan tepat sasaran , antara lain dilihat dari kejelasan redaksional, kemudahan prosedural, kecepatan penyampaian dan distribusi. 6. Azas Keamanan adalah tata naskah dinas harus aman secara fisik dan substansi (isi) mulai dari penyusunan, klasifikasi, penyampaian kepada yang berhak, pemberkasan, kearsipan dan distribusi. Demi terwujudnya tata naskah dinas yang berdayaguna dan berhasilguna, pengamanan dan aspek legalitasnya perlu dilihat sebagai penentu yang paling penting.
62
Dalam penerapan Tata Persuratan Dinas yang diatur dalam Permendagri Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Propinsi dalam Pasal 5 mencerminkan Asas Kecermatan yang merupakan salah satu asas dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Ditentukan bahwa penyelenggaraan Tata Persuratan Dinas harus memperhatikan salah satunya adalah harus dilakukan secara cermat agar tidak menimbulkan salah penafsiran (Pasal 5 ayat (1)). Naskah dinas di lingkungan pemerintah Propinsi sendiri dirumuskan dalam bentuk produk-produk hukum dan berbentuk surat, yang diolah oleh Satuan Organisasi Perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Propinsi. Dalam kewenangan penandatanganan diatur dalam Pasal 9 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam lampiran. Penandatanganan keputusan Kepala Daerah, tentu bila dalam lingkungan Propinsi, Gubernur memiliki kewenangan dalam hal penandatanganan. Namun, dalam hal penandatanganan, Gubernur dapat memberikan mandat penandatanganan kepada pejabat bawahannya. Penggunaan a.n (atas nama) dipergunakan jika yang berwenang menandatangani surat telah mendapat mandat dari pejabat atasannya kepada pejabat setingkat dibawahnya, pertanggungjawaban materi surat tersebut tetap berada di tangan yang memberikan
mandat.
Pejabat
yang
menandatangani
dapat
diminta
pertanggungjawabannya tentang isi surat dimaksud oleh pemberi mandat. Sedangkan u.b (untuk beliau) dipergunakan jika pejabat yang mendapat mandat kewenangan memberikan kewenangan lagi pada bawahannya. Plt. (pelaksana tugas) dipergunakan jika terdapat kekosongan jabatan struktural (berhalangan) dan belum ditetapkan pengangkatan pejabat difinitive oleh pejabat
63
yang berwenang. Plh. (pelaksana harian) dipergunakan jika pejabat yang berwenang berhalangan sementara dan tidak dapat melaksanakan tugas kedinasan karena kepentingan dinas lain seperti izin, cuti, dan atau alasan lain yang serupa untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja. 2.3 Keberadaan Klausul Pengaman dalam Keputusan Gubernur Klausul adalah suatu ketentuan tersendiri dari suatu perjanjian yang salah satu pokok atau pasalnya diperluas atau dibatasi; yang memperluas atau membatasi.109 Mengenai klausul pengaman, menurut Utrecht banyak ditemukan pada bidang kepegawaian. Namun terdapat pula dalam bagian akhir dari izin. Adapun klausul pengaman tersebut berbunyi “Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan adanya kekeliruan maka segala sesuatunya akan ditinjau kembali”. Klausul tersebut dimaksudkan untuk menjadi pintu penyelamat bagi pejabat yang mengeluarkan keputusan tersebut. Apabila dikemudin hari ada koreksi terhadap keputusan yang telah dikeluarkan, telah ada pembenarnya, yaitu klausul pengaman tersebut.110 Dalam buku-buku mengenai admisitrasi negara, maupun literatur-literatur lainnya, tidak ditentukan mengenai sejarah klausul pengaman dalam suatu keputusan. Namun, bila melihat isi dari klausul pengaman, maka menurut pendapat penulis, munculnya klausul pengaman adalah karena ketidakmampuan pejabat atau pemerintah untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa mendatang dan untuk memberikan pengaman bagi pejabat tersebut untuk menarik keputusan yang telah dikeluarkan bila kemudian hari ditemukan 109 110
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/indeks.php Y. Sri Pudyatmoko, op. cit, h. 32-33.
64
kesalahan. Istilah klausul pengaman sendiri diintrodusir oleh Philipus M. Hadjon yang melihat dari sudut fungsi klausul pengaman tersebut, yaitu dalam praktek, tidak jarang rumusan dari kalusul pengaman tersebut dianggap sebagai jaminan untuk setiap saat mencabut keputusan yang dianggap keliru, bahkan mungkin dipergunakan sebagai sarana untuk membenarkan tindakan yang salah.111 Dalam kaitan dengan keberadaan kalusul pengaman ini, Philipus M Hadjon berpendapat bahwa kalusul ini tidak mempunyai nilai yuridis, hal ini dapat dilihat dari pernyataannya sebagai berikut: “Pada dasarnya apakah suatu SK dapat ditarik kembali atau tidak, sama sekali tidak tergantung pada ada tidaknya Veiligheids clausule” selanjutnya dikatakan apabila dikemudian hari ada terdapat bukti yang meyakinkan bahwa dalam pembuatan SK ini terdapat unsur penipuan atau paksaan apakah karena tidak ada kalusul yang menyatakan bahwa : “apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan SK yang mengandung unsur penipuan atau paksaan tidak dapat ditarik kembali. Sebaliknya apakah SK–SK yang memuat kalusul pengaman, dengan begitu saja dapat ditarik kembali ?112 Masalah penarikan kembali suatu surat keputusan menurut Prins harus memperhatikan 6 (enam) prinsip yaitu: 1.
Suatu ketetapan yang dibuat karena yang berkepentingan
menggunakan tipuan, senantiasa dapat dinyatakan dari permulaan dianggap tidak ada
Philipus M. Hadjon, 1993, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatig Bestuur), Yuridika, Surabaya, h. 1. 112 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, PT.Bina Ilmu Surabaya, h.139 111
65
2.
Suatu ketetpan yang isinya belum diberitahukan kepada yang
bersangkutan , jadi suatu ketetapan yang belum menjadi suatu prbuatan yang sungguh-sungguh dalam perbuatan hukum dapat ditiadakan ab ovo (= dari permulaan tidak ada) 3.
Suatu ketetrapan yang bermanfaat bagi yang dikenainya dengan
syarat tertentu, dapat ditarik kembali pada waktu yang dikenai ketetapan tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan itu 4.
Suatu ketetapan yang bermanfaat bagi yang dikenainya tidak boleh
ditarik kembali setelah sesuatu jangka waktu tertentu terlewati, apabila karena penarikan tersebut suatu keadaan yang layak dibawah kekuasaan ketetapan yang bermanfaat, dengan penarikan itu menjadi suatu keadaan yang tidak layak 5.
Suatu ketetapan yang tidak benar diadakan suatu keadaan yang
tidak layak. Keadaan ini tidak boleh ditiadakan, bilamana penarikan kembali ketetapan yang bersangkutan membawa kepada yang dikenainya suatu kerugian yang sangat lebih besar daripada kerugian yang oleh negara diderita karena keadaan yang tidak layak tersebut 6.
Menarik kembali atau mengubah suatu ketetapan harus dilakukan
melalui prosedur yang sama sebagai yang ditentukan dalam membuat ketetapan tersebut(asas contrarius actus).113 Prinsip-prinsip penarikan kembali suatu keputusan yang dikemukakan oleh Prins tersebut di atas menunjukkan tidak adanya hubungan sama sekali dengan ada E.Utrecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas,Surabaya,h. 178-179 113
66
tidaknya kalusul pengaman dalam suatu keputusan, dengan kata lain kalusul pengaman bukan merupakan persyaratan yang harus diperhatikan untuk penarikan kembali suatu keputusan. Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya, yakni antara lain sekretaris daerah, dinas daerah, serta lembaga teknis daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah.114 Kepala Daerah, dalam hal ini Gubernur dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, juga dibantu oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD). SKPD menyusun renana startegis yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsinya, dalam hal ini, SKPD berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan bersifat indikatif. Selain itu, Renstra SKPD dirumuskan dalam bentuk rencana satuan kerja daerah pernagkat daerah yang di dalamnya memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi dari masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 151 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu keputusan Gubernur yang memuat klausul pengaman adalah di bidang kepegawaian. 2.4 Pengaturan Klausul Pengaman dalam Keputusan Gubernur yang Berkarakter KTUN Dalam Permendagri Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Provinsi, ditentukan bahwa naskah dinas di lingkungan H. Syaukani HR, 2003, Akses dan Indikator Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Baik (Access and Indicators to Good Local Governance), Lembaga Kajian Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (LKHK-Otda), Jakarta, h. 73. 114
67
pemerintah provinsi dirumuskan dalam susunan dan bentu produk-produk hukum dan dalam bentuk surat (Pasal 6). Mengenai keputusan Gubernur, sesuai dengan ketentuan dalam Lampiran I Permendagri Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Provinsi, ditentukan bahwa “Keputusan Gubernur adalah Naskah Dinas yang berbentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat dan dikeluarkan untuk melaksanakan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau mengadakan kebijaksanaan baru dan bersifat penetapan.” Ciri dari keputusan Gubernur adalah materinya bersifat penetapan, dituangkan
dalam
diktum
PERTAMA,
KEDUA
dan
seterusnya,
dan
penandatangannya dapat didelegasikan kepada pimpinan Pernagkat Daerah. Berikut akan dijelaskan mengenai susunan dari keputusan Gubernur. Keputusan Gubernur terdiri atas : a.
Kepala Keputusan Gubernur, terdiri atas 1) Tulisan “Keputusan Gubernur.....”; 2) Nomor dan Tahun; 3) Nama Keputusan yang ditulis “TENTANG.......”.
b.
Pembukaan Keputusan Gubernur, terdiri atas : 1) Tulisan “Gubernur.......”; 2) Konsideran Menimbang dan Mengingat; (Dalam konsideran memuat pertimbangan-pertimbangan motivasi, tujuan yang akan dicapai dan peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum ditetapkannya Keputusan tersebut) 3) Menetapkan judul.
68
c.
Isi Keputusan Gubernur, terdiri atas : 1) MEMUTUSKAN; 2) PERTAMA; 3) KEDUA, KETIGA dan seterusnya.
d.
Bagian Akhir Keputusan Gubernur, terdiri atas : 1) Nama tempat ditetapkan; 2) Tanggal, Bulan dan Tahun; 3) Nama Jabatan; 4) Nama Jelas; 5) Setempel Jabatan. Dari pengaturan mengenai Keputusan Gubernur di atas, bila dibandingkan
dengan Keputusan Gubernur Bali Nomor 813.2/780/BKD, di bagian akhir dari Keputusan Gubernur ini terdapat klausul pengaman yang berbunyi “Apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan perbaikan dan perhitungan kembali sebagaimana mestinya”, sedangkan dalam Permendagri Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pedoman TataNaskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Provinsi, di bagian akhir tidak terdapat pengaturan mengenai adanya klausul pengaman. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Permendagri Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Provinsi tidak ditemukan adanya pengaturan mengenai kalusul pengaman. Hal itu menunjukan bahwa klausul pengaman bukan merupakan persyaratan yuridis dari suatu keputusan, dengan demikian keberadaannya secara yuridis tidak diperlukan.
69
70
BAB III FUNGSI KLAUSUL PENGAMAN PADA KEPUTUSAN GUBERNUR
3.1. Keputusan Gubernur yang Berkarakter KTUN Dalam menjalankan tugas administrasi negara pemerintah melakukan bermacam-macam perbuatan. Perbuatan administrasi negara dapat digolongkan ke dalam dua golongan,115 yaitu: perbuatan hukum (rechtshandelingen) dan perbuatan bukan hukum (feitelijke handelingen). Pemerintah di dalam melaksanakan tugasnya menggunakan hukum publik dan hukum privat. E. Utrecht membedakan perbuatan pemerintah berdasarkan hukum publik menjadi dua kelompok yaitu : a. Perbuatan hukum publik yang bersegi dua (tweezijdige publiekrechtelijke handeling); b. Perbuatan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling)116, yang terdiri dari: Perbuatan hukum publik bersegi dua (tweezijdige publiekrechtelijke
1.
handeling), seperti perjanjian kerja yang berlaku jangka pendek (kortverband contract ) yang dilakukan antara pemerintah dengan swasta. Perbuatan hukum publik bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke
2.
handeling), yang dilakukan oleh alat-alat pemerintah berdasar suatu kewenangan istimewa disebut beschikking (ketetapan). Ketentuan ini dibuat untuk menyelenggarakan hubungan alat negara yang membuatnya E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, h. 80 116 Ibid, h. 65 115
71
maupun
menyelenggarakan
membuatnya dengan
hubungan
antara
alat
negara
yang
pihak swasta, baik perseorangan maupun badan
hukum swasta atau alat-alat negara lainnya. Beschikking sering juga diterjemahkan dengan keputusan atau ketetapan. Dapat dikatakan bahwa ketetapan itu merupakan suatu perbuatan pemerintahan dalam arti kata luas yang khusus bagi lapangan pemerintahan dalam arti kata sempit (de specifieke bewindshandeling op het terrein van het bestuur).117 Seperti halnya dengan undang-undang, yang merupakan perbuatan pemerintahan dalam arti kata luas yang khusus bagi lapangan perundang-undangan, sedangkan keputusan hakim merupakan perbuatan pemerintahan dalam arti kata luas yang khusus dalam lapangan mengadili. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa ketetapan itu suatu perbuatan yang hanya dilakukan oleh suatu alat pemerintahan dalam arti kata sempit (bestuursorgaan) saja. Melainkan, kadang-kadang ketetapan itu juga dibuat oleh suatu alat pemerintah (regeerorgaan) yang termasuk kalangan kehakiman– misalnya, dalam hal hakim mengangkat seorang wali (benoemen van een voogd, jurisdiksi volunter). Sifat umum dan konkret suatu norma hukum tata usaha negara tergantung dari ruang ia berlaku dan terhadap siapa ia diberlakukan, maka penerapannya akan menghasilkan empat macam kelompok norma yang bersifat 118 sebagai berikut : 1.
Umum abstrak, yaitu peraturan yang bersifat umum seperti UU, PP, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, dan Peraturan Kepala Daerah. Kalau peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif yang berwenang maka kita
Ibid, h. 70 Indroharto, 1992, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Mahkamah Agung, Jakarta, hal 30-31 117 118
72
dapatkan peraturan atau Undang-undang dalam arti materiil. Kalau yang mengeluarkan bukan lembaga legislatif yang berwenang, maka kita dapatkan suatu perundang-undangan semu (pseudo-wetgeving). 2.
Umum konkret, yaitu tindakan hukum administrasi yang menyebabkan suatu peraturan umum yang bersifat mengikat mengandung suatu isi konkret yang secara praktis dapat diterapkan menurut ruang dan waktu pada suatu hal atau keadaan yang konkret dalam masyarakat, seperti memasang tanda parkir, stopan, daerah industri, pemukiman, dan dilarang buang sampah. Oleh Belifante tindakan hukum publik semacam ini disebut sebagai norma konkret.119 Menurut pendapatnya suatu norma konkret itu memberikan isi yang konkret serta menyebabkan dapat diterapkannya secara praktis menurut tempat dan waktu dari norma suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.
3.
Individual abstrak, yaitu izin usaha yang di dalamnya masih mengandung syarat-syarat lain yang merupakan suatu rangkaian ketentuan yang mengandung norma yang daya kerjanya secara abstrak, seperti izin usaha industri, baru bisa dikeluarkan setelah melengkapi dengan izin-izin lainnya, seperti izin gangguan, izin lokasi, Amdal dan izin lingkungan.
4.
Individual konkret, yaitu seperti surat penetapan pajak, surat keputusan pengangkatan pegawai negeri, dan surat keputusan tentang subsidi. Keputusan Gubernur merupakan salah satu bentuk produk hukum daerah
yang digunakan sebagai penjabaran lebih lanjut atau sebagai pelaksanaan dari Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta, h.29 119
73
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Mengenai KTUN, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu “penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Perjabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.” Secara historis, mengenai konsep keputusan diperkenalkan oleh Otto Meyer seorang sarjana Jerman dengan istilah verwaltungsakt, sedangkan di Belanda diperkenalkan oleh Van Vollenhoven dan C. W van der Pot yang oleh AM. Donner, H.D van Wijk/Willemkonijnenbelt, serta sarjana lainnya dianggap sebagai bapak dari konsep beschikking yang modern.120 Beschikking, dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan berbagai istilah oleh para sarjana. E. Utrecht menggunakan istilah “ketetapan”121 sama dengan Boedisoesetya122, Prajudi
Atmosudirdjo
menggunakan
istilah
“penetapan”123,
Kuntjoro
Purbopranoto mempergunakan istilah “keputusan”.124 Dalam Undang-Undang Ridwan HR, op. cit., h. 144. E. Utrecht, op.cit., h. 68. 122 S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, op.cit., h. 74. 123 Prajudi Atmosudirdjo, h. 17. 124 Kuntjoro Purbopranoto II, op.cit., h. 45.
120
121
74
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Administrasi Negara, istilah beschikking, diterjemahkan sebagai “keputusan”, karenanya, dalam tulisan ini menggunakan istilah “keputusan”, karena metode penlitian dalam tulisan ini adalah metode penelitian normatif. Sementara itu, mengenai pengertian beschikking sendiri antara para sarjana mempunyai arti yang berbeda-beda. Pengertian beschikking menurut para sarjana antara lain125 : 1. Menurut Prins, beschikking adalah suatu tindak hukum sepihak di bidang
pemerintahan yang dilakukan oleh alat penguasa berdasarkan kewenangan khusus. 2. Menurut E. Utrecht, beschikking adalah perbuatan hukum publik yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan yang berdasarkan atas suatu kekuasaan istimewa. 3. Menurut Van der Pot, beschikking adalah perbuatan hukum yang dilakukan alat-alat pemerintahan itu dalam menyelenggarakan hal khusus, dengan maksud mengadakan perubahan dalam lapangan hubungan hukum. 4. Menurut A.M. Donner, beschikking adalah suatu perbuatan hukum yang dalam hal istimewa dilakukan oleh suatu alat pemerintahan sebagai alat pemerintahan adan atau berdasarkan suatu ketentuan yang mengikat dan berlaku umum dengan maksud menentukan hak-kewajiban mereka yang tunduk pada sesuatu tata-tertib hukum, dan penentuan tersebut diadakan oleh alat pemerintahan itu dengan tidak sekehendak mereka yang dikenaipenentuan itu. 5. Menurut Stellinga, beschikking adalah keputusan sesuatu alat pemerintahan (dalam arti luas) yang isinya tidak terletak di dalam lapangan perbuatan peraturan, kepolisian dan pengadilan. 6. Menurut Sjachran Basah, beschikking adalah keputusan tertulis dari administrasi negara yang mempunyai akibat hukum, untuk menyelenggarakan pemerintahan… Dari berbagai pendapat di atas dapat disimak bahwa Prins menekankan pada tindakan sepihak, dengan memberikan arti beschikking sebagai “ suatu tindakan hukum sepihak di bidang pemerintahan yang dilakukan oleh alat penguasa berdasarkan kewenangan khusus, sedangkan Utrecht,Van der Pot dan Donner menekankan pada aspek perbuatan hukum. Namun demikian, antara ketiga 125
Ibid., h. 46-48.
75
pendapat tersebut terdapat perbedaan yang cukup prinsipiil, khususnya antara Utrecht disatu pihak dengan Van der Pot dan Donner dipihak lain. Utrecht mendifinisikan beschikking sebagai perbuatan hukum publik yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan yang berdasarkan atas suatu kekuasaan istimewa, sedangkan Van der Pot hanya menekankan pada perbuatan hukum, tidak menekankan kepada perbuatan hukum bersegi satu seperti halnya Utrecht. Van der Pot mendifinisikan beschikking adalah perbuatan hukum yang dilakukan alat-alat pemerintahan itu dalam menyelenggarakan hal khusus, dengan maksud mengadakan perubahan dalam lapangan hubungan hukum. Donner mendifinisikan beschikking sebagai
suatu perbuatan hukum yang dalam hal
istimewa dilakukan oleh suatu alat pemerintahan sebagai alat pemerintahan dan atau berdasarkan suatu ketentuan yang mengikat dan berlaku umum dengan maksud menentukan hak-kewajiban mereka yang tunduk pada sesuatu tata-tertib hukum, dan penentuan tersebut diadakan oleh alat pemerintahan itu dengan tidak sekehendak mereka yang dikenai penentuan itu. Kalaupun ada perbedaan diantara ketiganya, akan tetapi ada persamaan antara ketiganya, yaitu dalam hal sifat kewenangan yang dimiliki oleh administrasi negara pembuat keputusan adalah kewenangan istimewa atau khusus. Stelinga dan Sjachran Basah sama-sama menekankan pada bentuk keputusan, hanya saja Stelinga memberikan pengertian yang lebih luas dari pada Sjachran Basah. Stelinga mendifinisikan beschikking sebagai
keputusan sesuatu alat pemerintahan (dalam arti luas) yang isinya tidak
terletak di dalam lapangan perbuatan peraturan, kepolisian dan pengadilan, sedangkan
Sjachran
Basah memberikan
pengertian
beschikking sebagai
76
keputusan tertulis dari administrasi negara yang mempunyai akibat hukum, untuk menyelenggarakan pemerintahan, jadi pengertian yang diberikan lebih sempit, karena hanya membatasi pada keputusan tertulis, sedangkan Stelinga tidak membatasi lingkup keputusan. Selanjutnya Philipus M. Hadjon mengelompokkan pengertian beschikking menurut para sarjana menjadi dua kelompok. Kelompok I, merumuskan “beschikking” sebagai suatu “wilsverklaring” (pernyataan kehendak) organ administrasi negara. Sarjana yang termasuk dalam kelopok ini adalah van der Pot, van Poelje, F.R. Bohtlink. Kelompok II, merumuskan “beschikking” sebagai tindakan yang dilakukan oleh administrasi negara berdasarkan atau karena jabatan. Sarjana yang termasuk dalam kelompok ini adalah A.M. Donner, W.F. Prins, Kranenburg, dan lain-lain.126 Di Indonesia sendiri, bila melihat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, istilah beschikking, diterjemahkan sebagai “keputusan”. Dari pengertian KTUN dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Administrasi Negara tersebut, maka dapat ditarik unsur-unsur dari KTUN, yaitu127 : penetapan tertulis, dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, konkrit, individual, final, menimbulkan akibat hukum, seseorang atau badan hukum perdata. Adapun penjelasannya adalah : 1. Penetapan Tertulis
Mengenai penetapan tertulis, bukan pada bentuk dari keputusan yang dikeluarkan, namun pada isi. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, Philipus M. Hadjon I, op.cit., h. 6-7. Ridwan HR, op. cit., h. 150-163.
126 127
77
namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya. Disyaratkan tertulis lebih dikarenakan untuk memudahkan dalam hal pembuktian. 2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara Pejabat yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Ketetapan yang dikeluarkan oleh organ-organ kenegaraan tidak termasuk dalam pengertian beschikking berdasarkan hukum administrasi. 3. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku
Dalam negara hukum, setiap tindakan hukum harus didasarkan pada asas legalitas, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya pemerintah harus tunduk pada hukum. 4. Bersifat Konkret, Individual dan Final Dalam Hukum Administrasi, terdapat beberapa macam sifat norma hukum, seperti yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon dalam bukunya “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia” , yaitu128 : a). Norma umum abstrak misalnya undang-undang
b). Norma individual konkrit misalnya keputusan tata usaha negara c). Norma umum konkrit misalnya rambu-rambu lalu lintas yang
dipasang di suatu tempat tertentu d). Norma individual abstrak misalnya izin gangguan. KTUN bersifat individual artinya tidak untuk umum, konkret berarti tidak bersifat umum. Norma konkret adalah suatu tindakan hukum administrasi yang dapat memberikan isi yang konkret serta pelaksanaan praktis menurut Philipus M. Hadjon dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, (Selanjutnya disingkat Philipus M. Hadjon III), h. 125. 128
78
waktu dan tempat pada ketentuan-ketentuan umum yang mengikat.129 Final sendiri sesuai dengan ketentuan penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berarti sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. 5. Menimbulkan Akibat Hukum Tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban. Dengan demikina, tindakan hukum pemerintahan merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh organ pemerintahan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu khususnya di bidang pemerintahan atau adminsitrasi negara. Menimbulkan akibat hukum berarti menumbulkan suatu perubahan dalam suasana hubungan hukum yang telah ada.130 6. Akibat hukum ditujukan kepada seseorang atau Badan Hukum Perdata.
Dalam konsep hukum, seseorang dan badan hukum perdata diakui keberadaannya sebagai subyek hukum. Sehingga seseorang dan badan hukum perdata dikualifikasikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Selanjutnya mengenai jenis-jenis Keputusan Tata Usaha Negara, terdapat pendapat beberapa sarjana yang berbeda. Adapun pendapat para sarajana yang dimaksudkan adalah sebagai berikut : a. E. Utrecht membedakan jenis-jenis keputusan atas : a.1. Ketetapan yang positif dan ketetapan yang negatif. AD. Belinfante dan H. Boerhanoeddin Soetan Batoetah, 1981, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Binacipta, Bandung, h. 50. 130 Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 118. 129
79
Ketetapan positif merupakan ketetapan yang dimaksudkan untuk menimbulkan hak atau kewajiban, sedangkan suatu ketetapan yang negatif adalah setiap penolakan atas suatu permohonan tertentu yang dimaksudkan untuk mengubah keadaan hukum yang telah ada.
a.2. Ketetapan yang deklaratur (declaratoir) dan ketetapan yang konstitutif (constitutief). Ketetapan deklaratur adalah ketetapan yang sifatnya bukan pelaksanaan (eksekutif dalam arti luas), keputusan konstitutif menetapkan hubungan hukum dan mempunyai akibat hukum. a.3. Ketetapan kilat (vluchtig) dan ketetapan tetap (blijvend). Empat macam ketetapan kilat menurut pembagian dari Prins adalah sebagai berikut : - Ketetapan yang bermaksud untuk mengubah redaksi (teks) dari ketetapan sebelumnya; -
Ketetapan negatif, ketetapan ini memuat suatu ketetapan yang tidak bermaksud untuk mengadakan sesuatu. - Penarikan kembali atau pembatalan. Ketetapan ini hampir sama dengan ketetapan negatif, karena tidak membawa suatu hasil positif, serta tidak menolak pengambilan ketetapan yang menyerupai ketetapan yang ditarik kembali atau dibatalkan.
- Pernyataan pelaksanaan (uitvoerbaarverklaring), contohnya adalah keputusan pemerintah untuk menutup jalan raya karena adanya perbaikan
80
jalan. Ketetapan sejenis itu tidak perlu untuk dirubah atau ditarik kembali dengan suatu keputusan. Sehingga, apabila perlu untuk menutup jalan raya tersebut kembali, harus ada satu ketetapan baru dengan motivasi baru tersendiri.131
b. Prins membedakan keputusan sebagai berikut : Selain macam keputusan yang telah dikemukakan oleh E. Utrecht di atas, Prins menyebutkan beberapa bentuk keputusan lagi, yaitu : 1). Dispensasi Dispensasi adalah suatu tindakan administrasi negara dalam suatu lapangan bestuur (= pemerintah dalam arti sempit) yang menghapuskan daya laku dari suatu peraturan perundang-undangan terhadap suatu peristiwa atau hal yang khusus (relaxtio legis).132
2). Izin Izin merupakan suatu bentuk keputusan menguntungkan yang paling sering ditemukan.133 Prins berpendapat, bila dalam dispensasi, peristiwa yang diberi dispensasi tersebut harus terbatas atau tertentu, maka lain halnya bagi perizinan. Hal-hal yang tidak dapat diizinkan (permohonan) izin itu seharusnya terbatas.134 3). Lisensi Kuntjoro Purbopranoto, op.cit., h. 52. Djaenal Hoesen Kosoemahatmadja, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, h. 95. 133 Ibid., h. 96. 134 Kuntjoro Purbopranoto, op.cit., h. 53. 131 132
81
Lisensi merupakan suatu izin yang memberikan kebebasan untuk menjalankan perusahaan (bedrijfsvergunning).135 4). Konsesi Prins berpendapat bahwa bentuk konsesi seakan-akan merupakan suatu kombinasi dari lisensi dan pemberian status (statusverlening) bagi sebuah usaha yang luas bidangnya dan meliputi “het uit gebreide regime van rechten en verplichtingen” (= mengandung hak dan kewajiban yang sangat luas).136 c. Philipus M. Hadjon membedakan keputusan sebagai berikut : Philipus M. Hadjon membagi keputusan berdasarkan dampaknya terhadap seseorang, yaitu : a). Keputusan-keputusan dalam rangka ketentuan-ketentuan larangan dan atau
ketentuan-ketentuan perintah. Ini merupakan bentuk keputusan biasa. Salah satu contohnya adalah izin. Larangan ini tidaklah mutlak, namun untuk mengendalikan masyarakat, maka pemerintah mengeluarkan izin, khususnya dengan menghubungakan peraturan-peraturan tersebut ke dalam izin. Ada pula dispensasi, bila peraturan perundang-undangan dengan tegas menentukan suatu larangan dan hanya dengan pengecualian dapat diberikan pembebasan. Sedangkan konsesi adalah apablia kepentingan umum menuntut kegiatan-kegiatan dari seorang penerima konsesi, contoh : pengangkutan bus di daerah dengan trayek tertentu. b). Keputusan yang menyediakan sejumlah uang 135 136
Djaenal Hoesen Kosoemahatmadja, op.cit., h. 96-97. Ibid., h. 97.
82
Contohnya adalah subsidi-subsidi bagi masyarakat. c). Keputusan-keputusan yang membebankan suatu kewajiban keuangan
Contohnya adalah penetapan pajak. d). Keputusan-keputusan yang memberikan suatu kedudukan diartikan
sebagai keputusan-keputusan yang menyebabkan dapat diperlakukannya beberapa peraturan. e). Keputusan penyitaan Kewenangan-kewenangan untuk penyitaan apabila suatu organ penguasa melalui jalan hukum publik dapat mengadakan penyitaan atas barangbarang dari para warga atau untuk digunakan demi kepentingan umum atau untuk menariknya dari lalu lintas. Selain pembagian keputusan di atas, Philipus M. Hadjon juga membuat pembagian lain dari keputusan, karena penting dan berkaitan dengan akibat hukum tertentu. Keputusan-keputusan yang bebas dan terikat. Tentang keputusan bebas,
a.
apabila penguasa mempunyai kebebasan bertindak. Sedangkan keputusan terikat apabila seolah-olah dapat dibaca secara langsung dalam undang-undang kapan suatu ketetapan diberikan. Pertanyaan mengenai seajuh mana keputusan bebas atau terikat penting untuk dipahami : 1)
Kemungkinan untuk mengaitkan peraturan-peraturan pada keputusan tersebut. Karena semakin bebas suatu keputusan, maka semakin banyak peraturan yang dapat dikaitkan kepada keputusan tersebut.
83
2)
Besar luasnya pengujian oleh Hakim. Pada keputusan-keputusan terikat Hakim dapat mengujinya secara keseluruhan, sedangkan pada keputusan-keputusan bebas, Hakim hanya dapat menguji kebebasan secara marginal (marginaal).
3)
Kemungkinan untuk menarik lagi keputusan. Pada keputusan bebas, pada dasarnya dapat ditarik kembali, keputusan terikat dapat ditarik hanya bila ditentukan oleh undang-undang untuk dapat ditarik kembali.
4)
Kemungkinan untuk pihak ketiga ikut memutuskan tentang suatu keputusan yang bersangkutan. Dalam keputusan-keputusan bebas, biasanya kepentingan-kepentingan pihak ketiga memainkan peran yang sangat besar ikut dalam memutuskan. Biasanya dengan diadakan suatu sidang untuk mendengarkan.
b.
Keputusan yang memberikan keuntungan dan yang memberi beban. Kadang kala suatu keputusan yang memberi keuntungan juga sekaligus memberi beban. Misalnya dalam perizinan, seorang pemegang izin diperbolehkan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu (=memberi keuntungan), namun pada saat yang bersamaan pemegang izin terikat dengan peraturan tertentu (=memberi beban). Sering kali yang untuk seseorang memberikan keuntungan, memberi beban untuk orang lain.
c.
Keputusan-keputusan yang seketika akan berakhir dan yang berjalan lama. Keputusan dapat menyangkut tindakan yang berlaku satu kali dan yang berakhir atau dapat juga menyangkut suatu keadaan yang berjalan lama.
84
Contoh : suatu izin untuk membuat bangunan, merupakan suatu tindakan yang berakhir seketika. Sedangkan suatu izin berdasarkan ordonansi gangguan Staatsblad No. 226 th 1926 dimaksudkan untuk waktu yang tidak tertentu dan berlaku untuk sejumlah tindakan yang tidak tertentu. Keputusan yang bersifat perorangan dan yang bersifat kebendaan.
d.
Keputusan yang bersifat perorangan isinya tergantung dari sifat-sifat pribadi si pemohon, sedangkan keputusan yang bersifat kebendaan adalah suatu keputusan yang isinya tergantung dari sifat objek yang bersangkutan.137 Rene Seerden dan Frits Stoink, dalam tulisanya yang berjudul Admiistrative Law in The Netherland dalam buku yang berjudul Administrative Law of The European Union,its Member States and The United States membagi atas 9 (sembilan) jenis keputusan yaitu: Keputusan Administrasi dalam kasus perseorangan (individual cases), lebih lanjut dapat dibedakan menjadi : a.
Individual decisions on application and ex-officio decisions in
individual cases (Keputusan yang Sifatnya Individual Atas Permohonan / Keputusan ex-officio pada Kasus Individual)
In article 1:3, para 3 Awb application Is difened as a request for desicion by an intereted party” Examples are the application for a building permit or social benefit.Often decisions in individual cases are taken ex offici, not on application, Examples are tax assessment and decisions by which adminisrative sanctions are imposed (Pada pasal 1 ayat 3 paragraf 3 Awb, permohonan didefinisikan sebagai ‘permintaan untuk adanya suatu keputusan oleh pihak yang berkepentingan’. Contoh : Permohonan untuk Izin Mendirikan Bangunan atau kepentingan umum. Seringkali keputusan individual diambil secara ex-officio, tidak berdasarkan pada permohonan. Contohnya, antara lain : assessment pajak dan bagi keputusan-keputusan yang dapat dikenakan sanksi administrasi).
137
Philipus M. Hadjon III, h. 126-130.
85
b..Individualized decisions addressed at one or several person and decisions relating to objects (Keputusan Individual yang Ditujukan Pada Satu atau Beberapa Orang dan Keputusan-keputusan yang Berkenaan dengan Obyek) The overhelming mayority of adminstrative decision in individual cases are addressed to single person: the granting of licences or subsides , tax assessement , and so on. An example of and administrative decision relating to the object is decision based on the Housing Act to declare a building unsafe. (Secara umum, sebagian besar keputusan-keputusan administrasi pada kasus individual ditujukan pada perseorangan. : Garansi pemberian lisensi atau subsidi, pajak assessment, dan sebagainya. Sebuah contoh mengenai keputusan administrasi yang berkenaan dengan objek adalah adalah keputusan yang berdasarkan pada Undang-Undang Perumahan (Woningwet), yang menyatakan bahwa sutau bangunan tidak aman.) c.Decisions in personam and decisions in rem (Keputusan Menyangkut Subjek Hukumnya (in personam) dan Keputusan Menyangkut Objek (in rem) An Administrative decision in individual cases is taken in personam if its granting depends in part on the personal qualities of the applicant, for instance, the decisions to issue a driver’s licence. In the case of decision in rem, for intance the granting of building permits and environmental licences, personal qualities are in principle not relevant.The distinction is of particuar relevance with regard to the tranferability of the decisions ( Sebuah keputusan administrasi dalam kasus individual dikatakan sebagai keputusan yang menyangkut subjek hukumnya (in personam) apabila pemberiannya sebagian didasarkan pada kualitas pribadi dari si pemohon, sebagai contoh, keputusan untuk mengeluarkan Surat Izin Mengemudi. Dalam hal keputusan yang menyangkut objek (in rem), contohnya adalah pemberian Izin Mendirikan Bangunan dan environmental licenses, kualitas pribadi/kemampuan individual secara prinsip tidak relevan. Perbedaannya adalah keterkaitan khusus dalam hal pemberian Keputusan atau lisensi/ izin. d.Declaratory and constitutive decisions (keputusan deklaratur dan keputusan konstitutif ) In the case of declarative decisions, the administrative organ establishes a fact to which the law attaches specific consequences. A right or an obligation is created by constitutive decisions. This contradictioan is not entirely absolute and also not entirely pure. Stating the existence of aright by a declaratory decision also has a constitutive ascpect. If such a
86
constitutive element wee absent, the right or obligfation would rise directly from the law. In fact, it is necessary to make a distinction between declarativeand constitutive decisions, discussed below, is clearer distinction, which already includes the distinction between declarative and constitutive (Dalam keputusan deklaratif, organ administrasi menetapkan fakta yang menimbulkan akibat hukum secara specific. Hak atau kewajiban diciptakan oleh keputusan konstitutif. Perbedaan antara kedua hal tersebut tidak seluruhnya absolute dan juga tidak seluruhnya murni. Menyatakan eksistensi/keberadaan sebuah hak dengan Keputusan Deklaratif juga memiliki aspek konstitutif. Jika ada sebuah aspek konstitutif yang tidak ada, hak-hak atau kewajiban-kewajiban akan bersumber secara langsung dari hukum. Faktanya, tidak perlu untuk membuat pembedaan anatara Keputusan Deklaratif dan keputusan Konstitutif, karena perbedaan antara Keputusan Mandatory/Keputusan mengikat , akan dibahas dibawah ini, adalah perbedaan yang jelas, yang sudah mencakup perbedaan antara deklaratif dan konstitutif.) e.Constitutive and enforcement decisions (Keputusan Konstitutif dan Keputusan Pemberlakuan ) The term constitutive can also be used in conjungtion with the term “enforcement”.The adminstration creates new law( the administration as law maker) and enforces the law created by it by means variety of administrative sanction (Istilah “Konstitutif” juga dapat digunakan dalam kaitannya dengan istilah “Penegakan” . Pejabat administrasi negara membuat hukum yang baru (Adminiistrasi negara sebagai pembuat /pembentuk hukum) dan memberlakukan hukum yang dibuat olehnya dengan menerapkan berbagai jenis sanksi administratif). f.Discretionary and mandatory decisions ( keputusan diskresi dan keputusan mengikat) An important distinction is the one between diccretionary and mandatory decisions, it would be more precise, actually, to refer to discretionary and mandatory powers.The distinction is not absolute. Decisions are either more dicretionary or more mandatory.The distinction is relevant for the extent of judicial review and also for the possibility of making the decision subject to requirements/provisions. iIn the case of decisions a more discretionary nature, the judge must in principe, respect the discretionary freedom of the administration nature (Pembedaan yang penting adalah antara Keputusan Diskresi /Bebas dan Keputusan Wajib/ mengikat. Itu akan lebih tepat, sebenarnya, terkait
87
dengan kekuasaan diskresi dankekuasaan mandate. Perbedaannya tidak absolute. Keputusandapat dikatakan lebih diskresi atau lebih pada mandate. Perbedaan ini relevan untuk memperluas judicial review dan juga kemungkinan untuk membuat subjek keputusan pada persyaratanpersyaratan / ketentuan-ketentuan. Dalam hal keputusan lebih bersifat diskresi, hakim harus, pada prinsipnya, menghormati kebebasan diskresi pejabat admnistrasi negara ). g.Positive and negative decisions ( Keputusan positif dan keputusan negatif). This distinctionis also not absolut. Administrative decision i individual casesoften possess traith of both. For intance, the ranting of lisence is positive in nature, but requirements atached to the licence are negative. More over the licence is partly positive as regard tje licence, but negative to third parties. The distinction is also relevant for the revocabilty of decisions, as wel as for their amendability or retro activeness. Perbedaannya tidak absolut. Keputusan administrative dalam kasus individual seringkali memiliki ciri keduanya. Sebagai contoh, pemberian izin sifatnya positif, tetapi persyaratan yang terkait dengan izin tersebut adalah negative. Lebih lanjut, Izin tersebut (sebagian) positif bagi si penerima izin, tetai negative untuk pihak ketiga. Perbedaan tersebut juga relevan untuk pembatalan keputusan, sebagaimana juga dalam hal amandemen atau pemberlakuan surut). h. Perpetual and temporary decisions (Keputusan yang bersifat tetap dan keputusan yang bersifat sementara ) Many administrative decision in individual cases are for a determinate period of time, for instance building permits based on the Housing Act or the permission to demonstrate based on the demonstration Act. There are granted for single occasion only. After the Act has been performed, the decision has lost it effect, as it were. An example of prepetual decision, at least in most cases, is the environmental licence which is granted for an indeterminate period of time, although it can be adapted as a result of a change in circumtances. This distinction ia also relevant to the question of revocability A temporary licence cannot be revoked, a prepetual licence, on the other hand , is revocable. (Banyak Keputusan-keputusan administrative dalam kasus individu adalah untuk jangka watu tertentu, sebagai contoh : Izin Mendirikan Bangunan berdasarkan Undang-Undang Perumahan (Woningwet) atau izin untuk berunjuk rasa berdasarkan Undang-Undang Unjuk Rasa (Wet Openbare
88
manifestaties). Hal-hal ini diberikan hanya untuk satu kali kesempatan. Setelah tindakan dilakukan maka keputusan itu akan kehilangan kekuatannya sebagaimana sebelumnya. Sebagai contoh dari Keputusan yang bersifat tetap, setidaknya pada kebanyakan kasus, adalah environmental licence / izin lingkungan, yang diberikan untuk jangka waktu yang tak terbats,meskipun hal itu bisa diadaptasi sebagai hasil dari perubahan situasi/lingkungan. Perbedaan juga relevan bagi pertanyaan mengenai kewenangan pembatalan. Sebuah izin yang bersifat sementara tidak dapat dibatalkan, sementara itu, keputusan yang bersifat tetap dapat dibatalkan.) i.Exonerative and non- exonerative decisions ( keputusan bebas dan keputusan terikat) The distinction relates to the question to wheter a license, by making use of the licence within the limits set by the licence, can nevertheless commit a wrongful Act (under civil law) againts the fellow citizen . As a result of pepetual nature the licenosors was not able to consider properly all interest involved over a longer period of time. The lcencors discretionary freedom also played a part. In the case of licence of more mandatory nature, such as a building permit , the interests of third parties are weighed at the level of the rule s, on which the permit is based, namely the zoning plan an the local building ordinance (Perbedaan ini terkait dengan pertanyaan apakah si penerima izin, dengan mempergunakan izin sesuai dengan pembatasan yang diberikan oleh si pemberi izin, tidak akan pernah melakukan tindakan melawan hukum (menurut hukum perdata) terhadap warga negara lainnya. Sebagai akibat dari sifatnya yang tetap pemberi izin tidak dapat mempertimbangkan sewajarnya seluruh kepentingan yang ada dalam jangka waktu yang lebih lama. Kebebasan diskresi yang dimiliki oleh pemberi izin juga merupakan bagian dari hal ini. Dalam hal izin-izin tersebut lebih bersifat mandatory / terikat,seperti Izin Mendirikan Bangunan, kepentingan pihak ketiga dipertimbangkan pada tingkatan aturan yang menjadi dasar dari izin tersebut didasarkan, yang di namakan rencana tata ruang dan aturan bangunan local) . 3.2 Keputusan Gubernur berkarakter KTUN yang memuat Klausul Pengaman Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa Keputusan Gubernur memenuhi kriteria dari suatu KTUN tersebut. Mengenai klausul pengaman ini,
89
tidak lagi dijumpai dalam lingkungan sekretariat Pemerintah Provinsi Bali. Namun, dalam lingkungan SKPD, ditemukan adanya klausul pengaman, yaitu dalam bidang kepegawaian. Tidak dicantumkannya klausul pengaman
ini
dikarenakan, pihak sekretariat memandang tidak diperlukannya suatu klausul pengaman dalam SK Gubernur. Sekretariat dalam membuat suatu keputusan Gubernur mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan pada Permendagri Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Provinsi yang tidak menentukan keharusan adanya klausul pengaman dalam suatu keputusan . Di dalam praktek ternyata masih terdapat adanya klausul pengaman dalam keputusan gubernur khususnya dalam bidang kepegawaian. Tidak adanya keseragaman dalam hal pembuatan keputusan yang dilakukan oleh SKPD, menimbulkan kesan bahwa pemahaman sekretariat tentang tidak lagi perlu untuk mencantumkan klausul pengaman dalam keputusan Gubernur, tidak sama dengan apa yang menjadi pemahaman dari badan kepegawaian provinsi Bali. Pemahaman yang tidak sama ini menyebabkan adanya variasi format keputusan gubernur , artinya ada surat keputusan gubernur yang tidak mempergunakan klausul pengaman, disatu sisi ada surat keputusan gubernur yang mempergunakan klausul pengaman contohnya surat keputusan gubernur di bidang kepegawaian masih mencantumkan klausul pengaman dalam surat keputusan yang dibuat. Beberapa contoh Keputusan Gubernur yang masih memuat adanya klausul pengaman adalah dalam hal pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil, yaitu dalam Keputusan Gubernur Bali Nomor 813.2/780/BKD,
90
Keputusan Gubernur Bali Nomor 813.3/1855/BKD, dan Keputusan Gubernur Bali Nomor : 821.12/5910/BKD. 3.3 Fungsi Klausul Pengaman Bagi Keberlakuan Keputusan Gubernur yang berkarakter KTUN Dalam pembentukan KTUN, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi. Mengenai syarat-syarat ini, terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana, antara lain : 1. Kuntjoro Purbopranoto Kuntjoro Purbopranoto membagi syarat suatu Keputusan Tata Usaha Negara menjadi syarat materiil dan syarat formil. a. Syarat-syarat Materiil :
1. Alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang (berhak). Bila alat pemerintahan yang membuat keputusan itu jelas tidak berwenang, maka keputusan itu menjadi batal mutlak. 2. Dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorning). Kekurangan yuridis dalam pembentukan dapat terjadi karena kesesatan, penipuan, atau paksaan. 3. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan
91
prosedur membuat keputusan bilamana prosedur itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan itu (rechtmatig). Bentuk keputusan ini ada dua macam, yaitu lisan dan tertulis. 4. Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan yang hendak dicapai (doelmatig). Harus sesuai dengan isi dan tujuan yang hendak dicapai (doelmatig) berarti menuju sasaran yang tepat.
b. Syarat-syarat formil : 1. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi 2. Harus diberi bentuk yang telah ditentukan 3. Syarat-syarat, berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi 4. Jangka waktu harus ditentukan, antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.138 Pendapat Kuntjoro Purbopranoto mengenai syarat-syarat Keputusan Tata Usaha Negara di atas sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Van der Wel. 2. Van der Pot Van der Pot tidak membagi syarat sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara menjadi syarat formil dan materiil. Van der Pot membagi syarat sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara menjadi empat, yaitu : 138
Kuntoro Purbopranoto II, op.cit., h. 48.
92
1. bevoedgheid (kewenangan) organ administrasi negara yang membuat
keputusan; 2. geen juridische gebreken in de wilsvorming (tidak ada kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak); 3. vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah ditetapkan dan dibuat menurut tata-cara yang telah ditetapkan; 4. isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.139 3. H. Amrah Muslimin Syarat sebuah Keputusan Tata Usaha Negara menurut H. Amrah Muslimin hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Kuntjoro Purbopranoto, hanya saja dalam syarat formil, dibagi menjadi tiga, yaitu prosedur atau cara membuat penetapan, bentuk penetapan dan pemeberitahuan penetapan pada yang bersangkutan.140 Tentang pemberitahuan penetapan pada yang bersangkutan, untuk dapat berlaku, suatu ketetapan pada hakekatnya harus diberitahukan kepada yang terkena penetapan, baik secara pengumuman melalui media massa ataupun secara tercatat (dengan buku expedisi).141 Sedangkan syarat materiil sama dengan yang dikemukakan Kuntjoro Purbopranoto, hanya saja tidak mencantumkan bahwa suatu keputusan harus diberi bentuk. 4. Philipus M. Hadjon Syarat terdasar yang dapat dijumpai pada pendapat Philipus M. Hadjon adalah sebagai berikut : 1. kewenangan (bevoegdheid) organ administrasi negara; 2. “rechtmatigheid” keputusan pemerintah; 3. tidak ada kekurangan dalam wilsvorming (pembentukan kehendak) organ
administrasi negara; 4. doelmatigheid dari pada keputusan pemerintah;
5. prosedur pembuatan keputusan; Van der Pot dalam Philipus M. Hadjon III, op.cit., h. 8. H. Amrah Muslimin I , h. 128. 141 Ibid., h. 130. 139 140
93
6. penuangan keputusan dalam bentuk yang tepat.142
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara harus memenuhi apa yang menjadi syarat-syaratnya, baik syarat materiil maupun syarat formil. Apabila salah satu syarat (baik syarat materiil maupun formil) tidak dipenuhi, maka akan membawa akibat hukum. Akibat hukum dari suatu keputusan tidak sah menurut para sarjana adalah : 1. E. Utrecht Menurut E. Utrecht, keputusan tidak sah berakibat : 1. Batal karena hukum (nietigheid van rechtswege) Akibat sesuatu perbuatan untuk sebagiannya atau untuk seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada (dihapuskan) tanpa diperlukan suatu putusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintah lain yang berkompeten untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruh akibat itu. 2. Batal (nietig, juga : batal absolute, absolute nietig) Berarti bahwa bagi hukum, perbuatan yang dilakukan tidak ada. Jadi bagi hukum, akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah ada. 3. Dapat dibatalkan (vernietigbaar) Bagi hukum, perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh Hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompeten (pembatalan itu diadakan karena perbuatan tersebut mengandung suatu kekurangan). Bagi hukum, perbuatan tersebut ada sampai waktu pembatalannya dan oleh sebab itu segala akibat yang ditimbulkan antara waktu mengadakannya sampai waktu pembatalnnya menjadi sah (terkecuali dalam hal UU menyebut beberapa bagian akibat itu tidak sah).143 2. A.M. Donner A.M. Donner mengemukakan empat akibat dari suatu keputusan yang tidak sah, yaitu : 142 143
Philipus M. Hadjon III, op.cit., h. 10. E. Utrecht, op.cit., h. 78-81.
94
1. ketetapan itu harus dianggap batal sama sekali 2. berlakunya ketetapan itu dapat digugat : a.
dalam bandingan (beroep)
b. dalam pembatalan oleh jabatan (amtshalve vernietiging) karena bertentangan dengan undang-undang c. dalam penarikan kembali (intrekking) oleh kekuasaan yang berhak (competent) mengeluarkan ketetapan tersebut. 3. dalam hal ketetapan tersebut, sebelum dapat berlaku, memerlukan persetujuan (peneguhan) suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan itu tidak diberi 4. ketetapan itu diberi suatu tujuan lain dari pada tujuan permulaanya (konversi, conversie).144 3. Van der Wel Van der Wel mengemukakan enam akibat dari suatu keputusan yang mengandung kekurangan, yaitu : 1. batal karena hukum (van Rechtwege Nietig)
2. kekurangan itu menjadi sebab atau menimbulkan kewajiban untuk membatalkan ketetapan yang bersangkutan untuk sebagian atau untuk seluruhnya 3. kekurangan itu menyebabkan bahwa alat Administrasi Negara yang lebih tinggi dan yang berkompeten untuk menyetujui atau mengukuhkannya tidak sanggup memberikan persetujuan atau pengukuhannya itu. 4. kekurangan itu tidak mempengaruhi berlakunya ketetapan 5. karena kekurangan itu, maka ketetapan yang bersangkutan dikonversi ke dalam suatu ketetapan lain 6. hakim sipil (biasa) menganggap ketetapan yang bersangkutan tidak mengikat.145 Tindakan pemerintah dapat berakibat batal-karena-hukum, batal atau dapat dibatalkan tergantung pada essential-tidaknya kekurangan yang terdapat di dalam keputusan itu. Menurut Huart dan Stellinga, keputusan pemerintah selalu tidak 144 145
Ibid., h. 82. Bachsan Mustafa I, op.cit., h. 124.
95
boleh dianggap batal (karena hukum).146 Bila suatu KTUN telah memenuhi syaratsyarat tersebut, maka tentu KTUN tersebut akan berlaku secara sah. Mengenai pengertian sah (rechtsgelding) dan kekuatan hukum (rechtskracht), ada beberapa pendapat : 1. Stellinga Sah berarti pendapat tentang suatu perbuatan pemerintah, kekuatan hukum itu adalah suatu mengenai daya kerjanya. Suatu perbuatan adalah sah bilamana dapat diterima sebagai suatu bagian dari tata hukum, suatu perbuatan pemerintah mempunyai kekuatan hukum bilamana dapat mempengaruhi pergaulan hukum.147 2. E. Utrecht Sah tidak menyatakan tentang isi dari kekurangan dalam suatu perbuatan pemerintah, melainkan hanya berarti diterima sebagai sesuatu yang berlaku pasti (diterima sebagai bagian dari tata hukum), maka perbuatan pemerintah itu mempunyai kekuatan hukum, yaitu dapat mempengaruhi pergaulan hukum. Sebelum dinyatakan sah, maka perbuatan pemerintah itu belum mempunyai kekuatan hukum, jadi belum dapat mempengaruhi pergaulan hukum yang berlaku (geldende rechsorde).148 Mengenai kekuatan hukum dari suatu Keputusan Pemerintah, E. Utrecht membedakan menjadi : Kekuasaan hukum formil (formele rechtskracht) Yang dimaksud dengan kekuasaan hukum formil suatu ketetapan adalah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena adanya ketetapan itu tidak lagi dapat dibatah oleh suatu alat hukum (rechtsmiddle) b. Kekuasaan hukum materiil (materiele rechtskracht) Yang dimaksud dengan kekuasaan hukum materiil suatu ketetapan ialah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi ketetapan itu. Suatu ketetapan mempunyai kekuasaan hukum materiil bilamana ketatapan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya.149 a.
Philipus M. Hadjon III, op.cit., h. 25. Baschan Mustafa I, op.cit., h. 125. 148 E. Utercht, op.cit., h. 118. 149 Ibid., h. 118-127. 146 147
96
Keberadaan klausul pengaman yang selama ini oleh para sarjana dikatakan sebagai klausul untuk menyelamatkan pejabat yang mengelurakan KTUN tersebut,sebenarnya bila melihat dari syarat sahnya suatu KTUN, tetap akan menimbulkan akibat hukum terhadap KTUN yang memiliki kekurangan tersebut. Mengenai keberlakuan dari Keputusan Gubernur yang memiliki klausul pengaman, meskipun tanpa adanya klausul pengaman, Keputusan Gubernur tetap berlaku. Karena sesuai dengan syarat pembentukan suatu keputusan dan syarat sahnya suatu keputusan adalah bila telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Dalam syarat-syarat tersebut, tidak mensyaratkan harus adanya suatu klausul pengaman dalam keputusan tata usaha negara agar keputusan tersebut dapat berlaku. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa terjadi ketidaksesuaian pemahaman mengenai dicantumkannya klausul pengaman dalam Keputusan Gubernur Bali. Hal ini dapat dilihat pada Keputusan Gubernur Bali yang dibuat oleh Sekretariat dan Keputusan Gubernur yang dibuat oleh SKPD. Pada Keputusan Gubernur Bali yang dibuat oleh Sekretariat, tidak lagi ditemukan adanya adanya klausul pengaman. Hal ini sama dengan Keputusan Gubernur yang dikeluarkan oleh
Dinas Perindustrian
dan Perdagangan
Provinsi Bali.
Dalam hal
penandatanganannya, terlihat bahwa Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali diberikan mandat oleh Gubernur Bali. Pada bagian akhir dari Keputusan Gubernur Bali yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Keputusan Gubernur Bali Nomor 168/03-P/HK/2009 tentang Pembentukan Dan Susunan Keanggotaan Tim Pengawasan Dan Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol), tidak terdapat klausul pengaman. Hanya
97
terdapat kalimat penutup yang berbunyi “Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2009”. Tentu saja berbeda dengan Keputusan Gubernur Bali yang dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Bali. Adanya perbedaan pandangan mengenai keberadaan klausul pengaman dalam Keputusan Gubernur tentu menunjukkan bahwa sebenarnya klausul pengaman tersebut tidak memiliki fungsi dalam suatu Keputusan Gubernur. Dasar hukum yang digunakan oleh BKD Provinsi Bali adalah Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil. Namun, bila melihat ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, tidak terdapat ketentuan yang memberikan dasar BKD mencantumkan suatu klausul pengaman. Bila dilihat kalimat atau bunyi kalusul pengaman dan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, menurut pendapat penulis, ketentuan Pasal 18 huruf g yang dijadikan dasar adanya klausul pengaman tersebut. Pasal 18 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil menentukan bahwa : “Calon Pegawai Negeri Sipil diberhentikan apabila : a.
mengajukan permohonan berhenti;
b.
tidak memenuhi syarat kesehatan;
98
c.
tidak lulus pendidikan dan pelatihan prajabatan;
d.
tidak menunjukkan kecakapan dalam melaksanakan tugas;
e.
menunjukkan sikap dan budi pekerti yang tidak baik yang dapat mengganggu lingkungan pekerjaan;
f.
dijatuhi hukuman disiplin tingkat sedang atau berat;
g.
pada watu melamar dengan sengaja memberikan keterangan atau bukti yang tidak benar;
h.
dihukum penjara atau dukungan berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena dengan sengaja melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan atau melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan/tugasnya.
i.
menjadi anggota dan/atau partai politik;
j.
1 (satu) bulan setelah siterimanya keputusan pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil tidak melapor dan melaksanakan tugas, kecuali bukan karena kesalahan yang bersangkutan.”
Ketentuan Pasal ini kiranya tidak dapat dijadikan dasar dari dicantumkannya klausul pengaman dalam Keputusan Gubernur Bali dalam bidang kepegawaian, karena selain dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil tidak mengatur mengenai pengaturan klausul pengaman dalam bidang kepegawaian, juga dalam Permendagri Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Provinsi tidak menentukan adanya kalusul pengaman dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan
99
Provinsi. Sesuai dengan salah satu syarat dari pembentukan KTUN harus sesuai dengan peraturan yang menjadi dasarnya maka tidak ada peraturan perundangundangan yang berlaku yang menentukan adanya suatu klausul pengaman dalam KTUN, khususnya Keputusan Gubernur. Dari kajian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada suatu ketentuan yuridis yang mengharuskan adanya satu klausul pengaman dalam suatu keputusan gubernur. Permasalahan klausul pengaman dalam suatu keputusan sangat dekat dengan persoalan penarikan kembali suatu keputusan, hal ini disebabkan oleh kalimat dalam klausul pengaman “bilamana dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya”. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah dengan adanya klausul tersebut, pejabat administrasi negara pembuat keputusan tersebut dengan bebas dapat menarik keputusan itu ? Pertanyaan lain yang dapat diajukan adalah apakah bilamana keputusan itu tidak memuat klausul pengaman, berarti tidak dapat dilakukan perbaikan kalau ternyata mengalami cacat yuridis dalam penetapannya? Berbicara masalah penarikan kembali suatu keputusan pendapat para sarjana bervariasi misalnya Donner
150
dalam bukunya yang berjudul “De
rechtskracht van Administrative Beschikkingen” berpendapat bahwa, karena keputusan itu adalah berada dalam ranah hukum publik yang sifatnya sepihak, maka pejabat administrasi negara yang membuat keputusan itu dengan bebas dapat menarik keputusan yang dibuatnya tanpa harus berkonsultasi dengan siapapun, karena itu merupakan keputusan yang dibuatnya sendiri. Argumentasi Donner tentang kebebasan adaministrasi negara untuk menarik suatu keputusan 150
Utrecht, Op.cit. hal 122
100
bila dianggap perlu, karena keputusan itu berada dalam ranah hukum publik dibantah oleh Kranenburg dan Vegting151. Menurut Kranenburg dan Vegting ukuran yang seharusnya dipakai untuk menentukan apakah suatu keputusan dapat ditarik atau tidak adalah sifat dan corak akibat hukum yang ditimbulkan oleh isi keputusan itu dan yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Prins berpendapat bahwa menarik kembali suatu keputusan yang telah dibuat, harus memperhatikan 6 (enam) asas kecuali kalau undang-undang dengan tegas melarang menarik kembali keputusan itu. Keenam asas tersebut adalah: 1. Suatu keputusan yang dibuat karena yang berkepentingan menggunakan
2.
3.
4.
5.
6.
tipuan, senantiasa dapat ditiadakan ab.ovo (dari permulaan dianggap tidak ada); Suatu keputusan yang isinya belum diberitahukan kepada yang bersangkutan- jadi suatu keputusan yang belum menjadi suatu perbuatan yang sunguh- sungguh dalam pergaulan hukum-dapat ditiadakan ab ovo Suatu keputusan yang bermanfaat bagi yang dikenainya dan yang diberi kepada yang dikenai itu dengan beberapa syarat tertentu, dapat dapat ditarik kembali pada waktu yang dikenai keputusan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan itu Suatu ketetapan yang bermanfaat bagi yang dikenainya tidak boleh ditarik kembali setelah sesuatu jangka tertentu (sudah) liwat, bila oleh karena menarik kembali tersebut , suatu keadaan yang layak di bawah kekuasaan ketetapan yang bermanfaat itu (setelah adanya menarik kembali tersebut) menjadi keadaan yang tidak layak Oleh karena suatu keputusan yang tidak benar, terjadi suatu keadaan yang tidak layak. Keadaan ini tidak boleh ditiadakan , bilamana menarik kembali keputusan yang bersangkutan membawa kepada yang dikenainya suatu kerugian yang sangat lebih besar daripada kerugian yang oleh negara diderita karena keadaan yang tidak layak tersebut. Menarik kembali atau mengubah suatu keputusan harus diadakan menurut acara (formaliteit) yang sama sebagaimana pada saat pembentukan keputusan tersebut (asas: contrarius actus)152
151 152
Ibid, h. 122- 123 Ibid, hal 125.
101
Pertanyaan kedua yang menyangkut apakah keputusan yang tidak memuat klausul pengaman, berarti tidak dapat dilakukan perbaikan atau dicabut kalau ternyata mengalami cacat yuridis dalam penetapannya? akan diuraikan dalam bab berikutnya.
102
BAB IV KEPUTUSAN GUBERNUR DENGAN KLAUSUL PENGAMAN DALAM SENGKETA TATA USAHA NEGARA
4.1
Kedudukan Klausul Pengaman Dikaitkan Dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
4.1.1
Sejarah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Dalam buku Ridwan HR “Hukum Administrasi Negara” diuraikan
mengenai sejarah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).153 Adanya perkembangan negara dari negara jaga malam ke negara kesejahteraan, membuat tidak adanya lagi pembatasan terhadap pemerintah dan negara terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam mewujudkan negara kesejahteraan, maka pemerintah ikut aktif campur tangan dalam setiap kehidupan masyarakat. Hal ini dilakukan tidak hanya berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku, namun juga pemerintah melakukan inisiatif sendiri, atau freies ermessen. Adanya freies ermessen ini menimbulkan kekhawatiran di lingkungan masyarakat, karena adanya freies ermessen dapat menimbulkan terjadinya benturan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah. Freies Ermessen berarti kebebasan yang diberikan kepada Administrasi Negara dalam menjalankan tugas administrasinya, tetapi bukan dalam pengertian kebebasan yang tidak terbatas sebab kebebasan yang tidak terbatas ini mengarah timbulnya Detournement de pouvoir atau penyalahgunaan wewenang.154 Freies Ridwan HR, op.cit., h. 243-244. Baschan Mustafa, 2001, Sistem Hukum Adminsitrasi Negara Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat dengan Baschan Mustafa II), h. 106. 153 154
103
ermessen atau diskresi juga berarti A public official’s power or right to act in certain circumstances according to personal judgement and conscience.155 Akan tetapi suatu kewenangan diskresi tidak dapat didelegasikan seperti apa yang dinyatakan oleh EI Sykes156 dalam bukunya yang berjudul “General Principles 0f Administrative Law” bahwa: While it may be more permissible to delegate admnistrative powers than legislative or judicial one, the general principle is that discretionary administrative power may not be delegated. Pada tahun 1946 guna meminimalisir terjadinya benturan kepentingan antara masyarakat dan pemerintah, pemerintah Belanda membentuk komisi de Monchy yang pada tahun 1950 melaporkan penelitiannya tentang verhogde rechtsbescherming dalam bentuk algemene beginselen van behoorlijk bestuur. Dalam perjalanan penyusunannya terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dan komisi de Monchy, sehingga komisi tersebut dibubarkan dan dibentuk komisi van de Greenten sebagai pengganti komisi De Monchy yang ternyata kemudian juga dibubarkan. Walaupun kedua komisi tersebut kemudian di bubarkan ternyata selanjutnya di dalam praktek, hasil penelitian dari komisi de Monchy digunakan dalam pertimbangan putusan-putusan Raad van State dalam perkara
hukum
administrasi. Meskipun pada awalnya AAUPB susah untuk memasuki wilayah birokrasi dan dijadikan norma dalam tindakan pemerintah, namun sekarang telah diterima dan dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Belanda.Di Belanda asas-asas umum pemerintahan yang baik ini kemudian sebagian Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary Sevent Edition, West Group, St. Paul, Minn, h. 479. 156 E I Sykes BA. Et.al, 1989, General Principles of Administrative Law, Butterworths, Sydney, Adelaide Bribane Canbera Hobart Melburne Perth, h.32 155
104
dijabarkan kedalam satu undang-undang yang mengatur secara umum asas-asas umum pemerintahan yang baik tersebut, yaitu ke dalam Algemene Wet Bestuursrecht yang disahkan pada tahun 1994 4.1.2
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik terkait dengan Keputusan Di dalam kepustakaan hukum admnistrasi banyak sekali variasi yang
dipergunakan untuk asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dari sudut istilah, di Belanda asas ini disebut dengan istilah “ Algemene beinselen van behoorlijk bestuur,” di Perancis dipakai istilah “pricipes generaux du droit publique” di Jerman termasuk dalam lingkungan “verfassung prinzipien”, sedangkan di dalam literatur berbahasa Inggris disebut dengan istilah “ General Principles of Proper Administration”157 Mengenai terjemahan algemene beginselen van behoorlijk bestuur dalam bahasa Indonesia, oleh para sarjana diistilahkan secara berbeda-beda. Ada yang mengistilahkannya dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” yaitu Kuntjoro Purbopranoto dan Philipus M. Hadjon, sedangkan ada pula sarjana yang mengistilahkan dengan “asas-asas umum pemerintahan yang layak” diantaranya adalah Olden Bidara dalam “Himpunan Makalah Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)” menyatakan bahwa158
Philipus,M.Hadjon,1994, Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algemene beginselen van behoorleijk bestuur) dalam Paulus Effendie Lotulung, Himpunan Makalah Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.109 158 Olda Bidara, Asas – Asas umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Teori dan Praktek Pemerintahan, Dalam Paulus Effendie Lotulung, 1994, Himpunan Makalah Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 76. 157
105
istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik mungkin sekali adalah salinan dari bahasa Belanda Algemene beginselen van behoorlijk bestuur. Bila benar demikian, maka penyalinannya ke dalam bahasa Indonesia itu kurang tepat, sebab behoorlijk bukanlah “baik”, akan tetapi “sebaiknya” atau “sepatutnya”. Jadi istilah dalam bahasa kita seharusnya adalah “Asasasas umum pemerintahan yang sebaiknya” Meskipun oleh Olden Bidara dikatakan bahwa padanan yang lebih tepat adalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Sebaiknya, namun bila dilihat ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Pasal 53 Ayat (2) mempergunakan istilah “asas-asas umum pemerintahan yang baik”. Karena penelitian ini merupakan penelitian normatif, maka istilah yang dipergunakan untuk memaknai asas tersebut adalah “asas-asas umum pemerintahan yang baik”, sesuai dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Mengenai pengertian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Jazim Hamidi dalam penelitiannya menemukan pengertian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu159 : a. AAUPL merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam
lingkungan hukum adminitrasi negara; b. AAUPL berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara
dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan/beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat. c. Sebagian besar dari AAUPL masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan di masyarakat. 159
Ridwan HR, op.cit., h. 247.
106
d. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berabgai peraturan hukum positif. Meskipun sebagian dari asas itu berubah menjadi kaidah hukum tertulis, sifatnya tetap sebagai asas hukum. F.H. Van der Burg dan G.J.M. Cartigny yang pendapatnya dikuti oleh Olden Bidara dalam tulisannya berjudul “Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik “ dalam buku Himpunan Makalah Asas- Asas Umum Pemerintahan Yang Baik “ memberikan difinisi tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah: asas-asas hukum yang tidak tertulis yang harus diperhatikan oleh badan atau pejabat TUN dalam melakukan tindakan hukum yang dinilai kemudian oleh hakim TUN. Hal ini kiranya sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Bolt 160 bahwa hal-hal yang harus diperhatikan pemerintah di dalam mengambil suatu keputusan adalah: bila aturan tertulis tidak cukup memberikan pegangan, maka hendaknya memperhatikan hukum yang tidak tertulis (aaupb). Di dalam praktek di Belanda asas ini juga harus diperhatikan oleh hakim di dalam memutus sengketa yang ditanganinya, hal ini dinyatakan oleh J.J.van der Gouw dan Th.G.Drupsteen 161, Like the civil courts, the administrative courts apply the general principles of good government when reaching their conclusions. Dari apa yang dinyatakan oleh Bolt dan J.J.van der Gouw dan Th.G.Drupsteen, maka di Belanda asas-asas umum pemerintahan yang baik (a.a.u.p.b) dipergunakan tidak saja dilapangan pemerintahan akan tetapi juga di lapangan peradilan
H.Bolt,1994, Perijinan Yang Melawan Hukum Di dalam Buku Kumpulan Hasil Terjemahan Bidang Peradilan Taa Usaha Negara, Mahkamah Agung RI Lingkungan Peradilan Taa Usaha Negara, Jakarta h.38 161 J.J.van der Gouw and Th.G.Drupsteen,1998, Government Liability in the Nederlands, di dalam buku Comparative Studies on Governmental Liability in East and Southeast Asia, Kluwer Law International The Hague/London/Boston, h.172 160
107
4.1.3 Macam-Macam Asas Umum Pemerintahan yang Baik terkait dengan Keputusan Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, AAPUB berasal dari Belanda. Di Indonesia sendiri diperkenalkan oleh Kuntjoro Purbopranoto. R. Crince Le Roi mengemukakan 11 (sebelas) asas, yang dalam bukunya Djaenal Hoesen Kosoemahatmadja, mempergunakan kata prinsip. Le Roi mengemukakan 11 (sebelas) prinsip, yaitu162 : 1. Prinsip kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel, principle of legal
security); 2. Prinsip 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10.
11.
keseimbangan (evenredigheidsbeginsel, principle of propotionality); Prinsip kesamaan dalam mengambil keputusan (gelijkheidsbeginsel, principle of equality); Prinsip berindak cermat atau seksama (zorgvuldigheidsbeginsel, prinsciple of carefulness); Pinsip motivasi untuk setiap keputusan (motiveringsbeginsel, principle of motivation); Prinsip jangan menyalahgunakan kewenangan (verbod van detournement de pouvoir, principle of non-misuse) Prinsip permainan yang tulus (Fair-play-beginsel); Prinsip keadilan atau larangan bertindak sewenang-wenang (redelijkheidsbeginsel of verbod van willekeur, principle of reasona bleness of prohibition of arbitrariness); Prinsip pemenuhan pengharapan yang ditimbulkan (principle van opgewekte verwachtingen, principle of meeting raised expectation); Prinsip meniadakan akibat dari keputusan yang dibatalkan (herstelbeginsel, the principle of undoing the consequences of annulled decision); Prinsip perlindungan cara hidup pribadi (princip van besckerming van de persoonlijke levenssfeer, the principle of protecting the personal way of life).
Oleh Kuntjoro Purbopranoto, ditambahkan dua asas yang dianggap bahwa kedua asas tersebut adalah khas Indonesia, yaitu : 12. Asas kebijaksanaan (sapientia); dan Djaenal Hoesen Koseoemahatmadja, 1990, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 107. 162
108
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public
service).163 Adapun penjelasan dari masing-masing asas tersebut sesuai yang dikemukakan oleh Kunjtoro Purbopranoto dalam bukunya “Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara” adalah164 :
1. Asas Kepastian Hukum Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pangreh-walaupun keputusan itu salah. 2. Asas Keseimbangan Menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan seorang pegawai. Hukumanpun sebaiknya dijatuhkan oleh suatu instansi yang tidak memihak, dalam hal ini Peradilan Administrasi Negara. 3. Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan Pangreh Asas ini menghendaki agar badan-badan pemerintah harus mengambil tindakan yang sama (dalam arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama. 4. Asas Bertindak Cermat Asas ini menghendaki agar pemerintah atau administrasi bertindak cermat dalam melakukan berbagai aktivitas penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara.165 5. Asas Motivasi untuk Setiap Keputusan Asas ini menghendaki agar keputusan badan-badan pemerintah harus didasari alasan atau motivasi yang cukup. Motivasi itu sendiri haruslah adil dan jelas. 6. Asas Jangan Mencampuradukkan Kewenangan Badan Pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan menurut hukum tidak boleh menggunakan kewenangan itu untuk lain tujuan selain daripada tujuan yang telah ditetapkan untuk kewenangan itu. 7. Asas Permainan yang Layak Asas ini menghendaki agar pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara untuk mencari kebenaran dan keadilan. 8. Asas Keadilan dan Kewajaran Kuntjoro Purbopranoto II, op. cit., h. 30. Ibid., h. 30-40. 165 Ridwan HR, op. cit., h.261. 163 164
109
Asas ini menyatakan bahwa suatu tindakan yang willekeurig atau onredelijk adalah terlarang dan apabila badan pemerintahan bertindak bertentangan dengan asas ini maka tindakan itu dapat dibatalkan. 9. Asas Menanggapi Pengharapan yang Wajar Asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemeirntah harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. 10. Asas Meniadakan Akibat Suatu Keputusan yang Batal Sebagai contoh adalah mengenai pemecatan seorang pegawai yang diduga melakukan kejahatan, tetapi setelah dilakukan proses pemeriksaan di Pengadilan, ternyata pegawai yang bersangkutan tidak bersalah, maka keputusan pemecatan terhadap pegawai yang bersangkutan harus dianggap batal. 11. Asas Perlindungan atas Pandangan Hidup/Cara Hidup Asas ini menghendaki pemeirntah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap pegawai negeri dan juga tentunya hak kehidupan pribadi setiap warga negara, sebagai konsekuensi negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi setiap warga negara. 12. Asas Kebijaksanaan Asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan formal karena peraturan perundang-undangan formal tidak dapat menampung perkembangan masyarakat yang pesat. 13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak.166 Di depan telah dinyatakan bahwa macam atau jenis asas-asas umum pemerintahan yang baik sangat bervariasi, ada sarjana yang tidak membedakan dan ada sarjana yang membedakan ke dalam asas formal dan asas material. Sarjana yang tidak membedakan antara lain: F.H. Van der Burg dan G.J.M.Cartigny167, asas-asas umum pemerintahan yang baik menurut F.H. Van der Burg dan G.J.M.Cartigny terdiri atas:
166 167
a.
Asas detournement de pouvoir;
b.
larangan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang;
Ibid., h. 277. Olden Bidara,Op.Cit h.80
110
c. asas kecermatan; d. asas
kewajiban
untuk
memberikan
pertimbangan
pada
putusan/penetapan yang diambil; e. asas persamaan; f. asas kepastian hukum termasuk asas kepercayaan. Wiarda168 lebih lanjut memerinci asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai berikut : a.
asas fair play (het beginsel van fair play);
b.
asas kecermatan (zorgvuldigheid);
c.
asas sasaran yang tepat (zuiverheid van oogmerk);
d.
asas keseimbangan (evenwichtigheid);
e.
asas kepastian hukum (rechtszekerheid)
Kelompok sarjana yang membedakan asas-asas umum pemeritahan yang baik dalam arti formal dan material antara lain dikemukakan oleh: Willem Konynenbelt; J.G.Stenbeek169. Kedua sarjana ini membedakan asas-asas umum pemerintahan yang baik kedalam asas-asas formal dan material, akan tetapi terdapat beberapa perbedaan dalam unsur-unsur yang dikemukakan oleh kedua sarjana tersebut. Untuk jelasnya mengenai perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Asas Formal 1
Willem Konynenbelt • Persiapan yang cermat
J.G.Stenbeek • Asas kecermatan
Philipus M Hadjon, Asas – asas, Op.cit, h.107, menurut Wiarda asas – asas umum pemerintahan yang baik terdiri atas: asas fair play(het beginsel van fair play); asas kecermatan (zorgvuldigheid); asas sasaran yang tepat (zuiverheid van oogmerk); asas keseimbangan (evenwichtigheid); asas kepastian hukum (rechtszekerheid) 169 Olden Bidara, Asas –Asas,1994.Op.Cit.h. 81-83 168
111
Asas
Formal 2
Material
Willem Konynenbelt • Asas Fairply • Detournement de procedure
J.G.Stenbeek • Asas Fairply • Tata prosedur yang baik yang mendahului pengambilan keputusan
Asas memberikan dasar pertimbangan yang terdiri atas: a. Kewajiban untuk memberikan dasar pertimbangan b. Pemberian dasar pertimbangan yang cukup untuk menopang keputusan atau penetapan yang diambil. Asas Kepatian hukum formal yakni keputusan atau penetapan badan TUN harus dirumuskan dengan jelas • Kepastian hukum • Asas pemberian dasar secara material dan asas pertimbangan kepercayaan a. Pemberitahuan mengenai dasar-dasar pertimbangan • Asas persamaan kepada pihak-pihak yang • Detournement de bersangkutan pouvoir b. Kekuatan penunjang akan • Asas keseimbangan dasar-dasar pertimbangan (evenredigheidsbeginsel) tersebut • Asas kesewenangan • Asas kecermatan • Asas kepastian hukum • Asas penumbuhan harapan yang harus dihormati • Asas kesamaan
Dari tabel di atas terlihat adanya beberapa perbedaan antara pembagian kedua sarjana tersebut, antara lain Willem Konynenbelt membedakan asas formal menjadi dua yaitu asas formal 1 dan asas formal 2, sedangkan Stenbeek hanya membedakan atas dua jenis yaitu asas fomal dan asas material. Sebagai bahan perbandingan di Perancis asas-asas umum pemerintahan yang baik ini dikenal
112
dengan istilah asas-asas umum hukum publik (principes generaux du droit publique) yang terdiri atas: 1.
Asas persamaan (egalite)
2. Asas tidak boleh mencabut keputusan bermanfaat (intagibility de effects
individuels des actes administratifs) 3. Asas larangan berlaku surut (principe de non retroactive des actes
administratifs) 4. Asas jaminan masyarakat (garantie des libertes publiques) 5. Asas keseimbangan (proportiaonalite)170
Di Belanda dalam yurisprudensi AROB (peradilan adminsitrasi Belanda) asas-asas yang terkenal meliputi: 1.
Asas pertimbangan (motiveringsbeginsel)
2.
Asas kecermatan (zorgvuldigheidsbeginsel)
3.
Asas kepastian hukum (rechtszekerheids beginsel)
4.
Asas
menanggapi
harapan
yang
telah
ditimbulkan
(vertrouwwensbeginsel of beginsel van op gewekte verwachtingen) 5.
Asas persmaan (gelijkheidsbeginsel)
6.
Asas keseimbangan (evenredigheidsbeginsel)
7.
Asas kewenangan (bevoegheidsbeginsel)
8.
Asas fairplay (beginsel van fair play)
9.
Larangan detournement de pouvoir (het verbod detournement de
pouvoir) 170
Philipus M Hadjon, Asas – asas, Op.cit, h.108
113
10.
Larangan bertindak sewenang-wenang (het verbod van wilekeur)171
Di Belgia menurut Sabient Lust172asas-asas umum pemerintahan yang baik dibagi atas dua macam yaitu asas formal dan asas material, untuk yang pertama menyangkut masalah prosedur pembuatan keputusan sedangkan yang kedua menyangkut masalah substansi dari keputusan (A distinction is made between formal and material principles of proper administration. The first concern the procedure of decisionmaking, the second the substance of decision). Selanjutnya dinyatakan “ Formal principles of proper administration are: the duty to hear the addresse of a decision; the right of due process of law; the principle of impartiality and independence” (asas formal pemerintahan yang baik adalah : kewajiban untuk mendengarkan mereka yang terkena keputusan; hak untuk mendapatkan proses hukum yang pantas; asas persamaan dan asas kemerdekaan) Selanjutnya dinyatakan: “As exlpained, material principles determine
the
substantance of the acts administration.The duty of motivation has already been mentioned. Other material principles of proper administration are the principle of equality;the principles of proportionality; the principle of due care; the priciple of legal security; the principe of good faith; and the principles of reasonableness (disamping asas kewajiban untuk adanya motivasi, prinsip lain dari asas material adalah asas persamaan; asas proporsionalitas, asas pelayanan yang baik; asas kepastian hukum, asas permainan yang wajar, dan asas rasionalitas)
Ibid, h.106 Sabien Lust,2007, Administrative Law in Belgium dalam Rene J.G.H. Seerden dalam bukunya Administrative Law of the European Union, its Member States and the United States A Comparative Analysis ,Intersentia, Anwertpen- Oxford, h.28 - 31 171 172
114
Inventarisasi asas-asas umum pemerintahan yang baik dilakukan oleh Wairocana173, terhadap 12 (dua belas) sumber menunjukkan variasi yang begitu luas sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Asas kepastian hukum Asas keseimbangan Asas bertindak cermat Asas motivasi Asas tidak boleh mencampuradukkan kewenangan Asas kesamaan dalam mengambil keputusan 7. Asas permainan yang layak (fair play) 8. Asas keadilan/kewajaran 9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar 10.Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal 11.Asas perlindungan atas pandangan hidup 12.Asas kebijaksanaan 13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (public servis) 14. Asas larangan sewenang-wenang 15.Larangan penyalahgunaan wewenang 16.Detournement de pouvoir 17.Asas pemberian alasan 18. Kaidah-kaidah berlaku umum 19.Detournement de procedure 20.Asas kepercayaan 21.Asas sasaran yang tepat Dari
sekian
pengelompokan
banyak
asas-asas
variasi umum
yang
ada,
maka
pada
prinsipnya
pemerintahan
yang
baik
disamping
pengelompokan yang bersifat formal dan material, ada juga pembagian yang lain yaitu:
I.Gusti Ngurah Wairocana,1999 Problematik Yuridis Kalusul Pengaman (Veiligheidsclausule) Dalam Keputusan Tata Usaha Negara(Tesis), Universitas Airlangga, Surabaya 101-103. Dua belas sumber tersebut adalah: (1) R.Crince Le Roi; (2) De Haan, Drupsteen, dan Fernhout; (3) Kuntjoro Purbopranoto; (4) F.H. Van der Burg dan G.J.M.Cartigny; (5)J.B.J.M. Ten Berge dan AOC Tak; (6) Willem Konijnenbelt; (7) MJ.In’t Veld dan NSJ Koeman; (8) H.D. Van Wijk, Willem Konijnenbelt; (9) Van den Burg dan Mc Burken; (10) MJS Korteweg dan Wiers Cs; (11) Wiarda); (12) Jurisprudensi Arob 173
115
a. Asas-asas
yang
berkaitan
dengan
proses
persiapan
dan
proses
pembentukan keputusan b. Asas –asas yang berkaitan dengan pertimbangan (motivering) serta susunan keputusan c. Asas-asas yang berkaitan dengan isi/materi keputusan174
Arti penting asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai norma hukum , adalah pengaruh pada 3 (tiga) bidang yaitu: a. Pada bidang penafsiran dan penerapan dari ketentuan perundang-
undangan; b. Pada bidang pembentukan beleid dimana organ pemerintah diberi
kebebasan kebijaksanaan oleh peraturan perundang-undangan atau tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang membatasi kebebasan kebijaksanaan yang akan dilakukan itu c. Pada waktu pelaksanaan kebijaksanaan175 Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 53 ayat (2) menentukan bahwa “Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik.” Namun, dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Indroharto,1994 Asas – Asas Umm Pemerintahan Yang Baik Dalam Paulus Effendie Lotulung “ Himpunan Makalah Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik,PT Citra Aditya,Bandung, h.154 175 Ibid, hal 147. 174
116
Usaha Negara, ditentukan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang dapat dijadikan dasar gugatan meliputi : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Asas dalam AAUPB yang erat kaitannya dengan keberadaan klausul pengaman dalam suatu KTUN adalah Asas Kepastian Hukum dan Asas Kecermatan. Kedua asas ini berkaitan karena, dalam Asas Kepastian Hukum, asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Dalam banyak keadaan, asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintahan untuk menarik kembali
suatu
keputusan
atau
mengubahnya
untuk
kerugian
yang
berkepentingan.176 Sedangkan, dalam klausul pengaman ditentukan “.....dengan ketentuan, barang sesuatunya akan diubah dan diperhitungkan lagi, jika kemudian terdapat kekeliruan dalam penetapan ini”. Adanya klausul pengaman dalam suatu KTUN, menimbulkan kesan bahwa KTUN tersebut sewaktu-waktu dapat diubah dan ini menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dalam KTUN tersebut. Kaitannya dengan Asas Kecermatan, bila Asas Kecermatan ini telah diperhatikan dan diterapkan dalam pembuatan suatu keputusan, maka tidak diperlukan lagi adanya suatu klausul pengaman dalam KTUN. Adanya klausul pengaman ini juga bertentangan dengan salah satu unsur KTUN, yaitu final. Final sendiri sesuai dengan ketentuan penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 176
Ibid., h. 258.
117
tentang Peradilan Tata Usaha Negara berarti sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Sebenarnya, dari sisi hukum administrasi, terdapat beberapa kelemahan berkaitan dengan klausul pengaman177, yaitu : 1. Kalau keputusan itu mengandung cacat hukum, ada kemungkinan membawa akibat keputusan tersebut tidak sah. Apabila tidak sah, maka tentu juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 2. Adanya klausul penyelamat ini menyebabkan ketidakpastian. Pihak yang memegang izin maupun publik dihadapkan pada ketidakpastian karena sewaktu-waktu izin tersebut dapat dicabut atau ditinjau ulang. 3. Bertentangan dengan asas kepercayaan. Pemerintah seakan-akan tidak dapat dipercaya atau memposisikan diri untuk sulit dipercaya. Padahal, dalam hal izin, baik asas kepastian hukum maupun asas kepercayaan mestinya mempunyai posisi yang sama-sama penting. Oleh karena itu, secara prinsip mestinya klausul penyelamat tersebut tidak perlu dicantumkan dalam izin. Adanya klausul pengaman, tampak bahwa keputusan tersebut tidak lagi bersifat final, karena keputusan tersebut sewaktu-waktu dapat ditarik dan dilakukan perubahan terhadapnya. Hal ini tentu tidak sesuai dengan konsep “final”. Sehingga, apa yang menjadi pemahaman dari sekretariat Provinsi Bali untuk tidak mencantumkan klausul pengaman dalam Keputusan Gubernur adalah tepat. Meskipun, masih belum ada keseragaman pemahaman diantara sekretariat dan SKPD di lingkungan Provinsi Bali mengenai pencantuman klausul pengaman dalam Keputusan Gubernur.
4.2
Kedudukan Keputusan Gubernur dengan Klausul Pengaman sebagai Objek Sengketa Tata Usaha Negara
4.2.1
Sejarah Peradilan Tata Usaha Negara
Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan, PT. Gramedia, Jakarta, h. 33. 177
118
Dalam Teori Negara Hukum, salah satu unsur negara hukum yang dikemukakan oleh Stahl adalah adanya peradilan administrasi. Mengenai sejarah peradilan administrasi, Prancis merupakan negara pelopor kelahiran lembaga sejenis ini untuk pertama kali.178 Di Prancis peradilan administrasi sudah dimulai sejak pemerintahan Napoleon Bonaparte.179 Napoleon Bonaparte memberikan struktur baru kepada lembaga Conseil d’Etat, dengan membebani lembaga ini selain
sebagai
lembaga
penasihat
dalam
membuat
peraturan-peraturan
administratif, juga untuk mengatasi kesulitan yang timbul dalam masalah administratif.180 Sejak kemerdekaan masalah peradilan tata usaha negara ini telah diusahakan pembentukannya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan yang ada, baik dalam Undang-Undang Dasar
yang pernah berlaku maupun peraturan dalam
perundang-undangan yang lain. Setelah Indonesia merdeka
dapat dikatakan
peradilan administrasi yang ada pada waktu penjajahan itu masih tetap berlaku sesuai dengan ketentuan Aturan Peralihan sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan , atau selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar 1945.181 Walaupun demikian bukan berarti tidak ada usaha pemerintah untuk membentuk badan Peradilan Tata Usaha, hal ini dapat dilihat dengan dibentuknya Undang-undang No.19 tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan
Benjamin Mangkoedilaga, 1988, Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara, Suatu Prospek di Masa Datang, Angkasa, Bandung, (Selanjutnya disingkat Benjamin Mangkoedilaga I), h. 1. 179 Benjamin Mangkoedilaga, 1983, Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara, Suatu Orientasi Pengenalan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 31. 180 Benjamin Mangkoedilaga I, loc. cit. 181 Sjacran Basah, 1984,Eksistensi dan Tolok UkurBadan Peradilan Administrasi di Indonesia,Alumni, Bandung, hal 102 178
119
Kehakiman dan Kejaksaan. Masalah Peradilan Tata Usaha Pemerintahan di dalam undang-undang ini diatur dalam dua pasal yaitu Pasal 66 dan Pasal 67. Pasal 66 undang-undang ini menentukan:”Jika dengan undang-undang atau berdasar atas undang-undang tidak ditetapkan badan-badan kehakiman lain untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara dalam soal Tata Usaha Pemerintahan, maka Pengadilan Tinggi dalam tingkatan pertama dan Mahkamah Agung dalam tingkatan kedua memeriksa dan memutus perkara-perkara itu” Selanjutnya di dalam Pasal 67 ditentukan bahwa:” Badan-badan Peradilan dalam Peradilan Tata Usaha Pemerintahan yang dimaksud dalam Pasal 66 , berada dalam pengawasan Mahakamah Agung serupa dengan yang termuat dalam Pasal 55”. Undang-undang ini ternyata tidak sempat dilaksanakan oleh karena adanya agresi Belanda ke II.182 Masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat masalah Peradilan Tata Usaha diatur di dalam Pasal 161 dan Pasal 162. Pasal 161 menentukan: “Pemutusan tentang sengketa yang mengenai hukum tata usaha diserahkan kepada pengadilan, yang mengadili perkara perdata ataupun kepada alat perlengkapan lain, tetapi jika demikian seboleh-bolehnya dengan jaminan yang serupa tentang keadilan dan kebenarannya”. Pasal 162 menetapkan bahwa ”Dengan undang-undang federal dapat diatur cara memutuskan sengketa, yang mengenai hukum tata usaha dan yang bersangkutan dengan peraturan-peraturan yang diadakan dengan atau atas kuasa Konstitusi ini atau yang diadakan dengan undang-undang federal, sedangkan undang-undang itu tidak langsung mengenai semata- mata alat-alat perlengkapan dan penghuni satu daerah bagian saja termasuk badan hukum publik yang dibentuk atau diakui dengan atau atas kuasa undang-undang daerah bagian itu”. Masa Undang Undang Dasar Sementara
182
Ibid,hal 81
120
1950, pengaturan masalah sengketa tata usaha negara diatur dalam Pasal 108 yang menentukan: Pemutusan tentang sengketa yang mengenai hukum tata usaha diserahkan kepada pengadilan yang mengadili perkara perdata ataupun kepada alat-alat perlengkapan lain, tetapi jika demikian seboleh-bolehnya dengan jaminan yang serupa tentang keadilan dan kebenaran. Dari ketiga Undang-Undang Dasar tersebut terlihat jelas adanya kesadaran perlunya adanya badan peradilan tata usaha negara, dan dari perjalanan masa itu terlihat kesinambungan hasrat untuk menyelesaikan sengketa tata usaha negara walaupun badan peradilannya belum ada, dengan jalan memberikan delegasi kewenangan kepada hakim perdata untuk mengadili sengketa tata usaha yang timbul. Kesinambungan itu dapat kita lihat dengan adanya persamaan ketentuan Pasal 161 Konstitusi RIS dengan Pasal 108 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Dalam masa berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 setelah dekrit usaha itu terus dilakukan dengan sungguh-sungguh, hal ini dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu misalnya Undangundang No.19 tahun 1964 (LN 1964 Nomor 107 TLN RI Nomor 2699) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 7 ayat 1 sub d menentukan “sebelum peradilan tata usaha negara terbentuk”, undang-undang itu dicabut oleh Undang-Undang No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada tahun 1986 dengan diundangkannya UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, untuk
pertama kalinya berdiri Pengadilan Tata Usaha Negara, yang kemudian diubah dengan Undang-undang No.9 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang-
121
undang No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sarono di hadapan Musyawarah PERSAHI di Prapat awal Agustus 1972, menyatakan bahwa peradilan Administrasi Negara merupakan sarana Control on the administration untuk menghindari adanya Rule of Law of the Jungle dalam administrasi negara.183 Badan peradilan sudah ada sejak Indonesia Merdeka dan secara terus menerus dan bertahap disempurnakan.184 Di Indonesia, Peradilan Tata Usaha Negara banyak mendapat pengaruh dari Belanda. Seperti yang dikatakan oleh Adriaan Bedner dalam bukunya Administrative Courts in Indonesia, A SocioLegal Study yang mengatakan bahwa “The form and substance of judicial review in non-western countries usually originate in the judicial system of the state which colonised them.”185 Sehingga tidaklah mengherankan apabila Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia banyak mendapatkan pengaruh dari Belanda.
4.2.2 Peradilan Tata Usaha Negara sebagai Penyelesai Sengketa Tata Usaha Negara Seperti istilah hukum pidana ataupun hukum perdata, hukum administrasi juga memiliki istilah-istilah tersendiri, salah satu istilah tersebut adalah mengenai peradilan tata usaha negara. Hukum administrasi sendiri berhubungan erat dengan pemerintah. Sehingga dikatakan bahwa “...the law relating to the control of
183 184
Muchsan, 1976, Peradilan Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 25. Rochnat Soemitro, 1987, Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Eresco, Bandung,
h. 1. Adriaan Bedner, 2000, Administrative Courts in Indonesia, Universiteit Leiden, Netherland, h. 1. 185
122
government power, teh main object of which is to protect individual rights.”186 The core of administrative law is the relationship between the State and the citizen.187 Di Indonesia digunakan macam-macam istilah bagi peradilan administrasi, yang kemungkinan diakibatkan kesimpang-siuran yang mungkin diakibatkan oleh terjemahan dari administratieve rechtspraak.188 Sjachran Basah mengemukakan beberapa hasil terjemahan, antara lain189 : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Peradilan Administrasi; Peradilan administratif; Peradilan administrasi negara; Peradilan tata usaha; Peradilan tata usaha negara; Peradilan dalam tata usaha pemerintahan.
Rochmat Soemitro lebih menggunakan istilah Peradilan Administrasi karena190 : 1. 2.
186
Kata Administrasi sudah diterima umum dan pula telah digunakan pemerintah kita; buktinya dengan adanya nama “Lembaga Administrasi Negara”, Administrasi Niaga. Kata Administrasie yang asalnya dari kata latin administrave dapat mempunyai dua arti : a. Setiap penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis dengan maksud mendapatkan suatu ikhtiar dari keterangan-keterangan itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu dengan lain. Tidak semua himpunan catatan yang lepas dapat dinyatakan sebagai administrasi. Bila Administrasi diartikan seperti tersebut di atas, maka digunakan kata “tata usaha”.
P.P. Craig, 1994, Administrative Law, Third Edition, Sweet&Maxwell, London,
h. 3. Rene J.G.H Seerden, 2007, Administrative Lawof the European Union, its Member States and the United States, A Comparative Analysis, Intersentia Antwerpen, Oxford, h. 155. 188 Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, h. 31. 189 Ibid., h. 31-32. 190 Soetomo, 1983, Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, h. 16. 187
123
b. Digunakan juga istimewa untuk menyatakan pemerintahan
suatu negara, propinsi, waterschap (= subak), kota-kota dan maskape-maskape besar. Di Amerika Serikat dengan kata the Administration dimaksudkan seluruh pemerintahan, termasuk presiden. Bila Administratie diartikan seperti dimaksudkan sub (b) ini digunakan terjemahan administrasi. Dalam arti ini sudah tersimpul pula tata usahanya. Dalam penelitian ini, istilah yang digunakan adalah Peradilan Tata Usaha Negara, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 1 angka 7 ditentukan bahwa “Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara”. Administrative court means an independent authority established by law charged with the administration of justice in administrative matters.191 Rochmat Soemitro menyimpulkan unsur-unsur peradilan, yaitu192 : a. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan; b. Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit; c. Ada sekurang-kurangnya dua pihak;
d. Adanya
suatu
aparatur
peradilan
yang
perselisihan. 191 192
General Administrative Law Act, Article 1:4. Soetomo, op. cit., h. 20.
berwenang
memutuskan
124
Namun, untuk dapat dikatakan bahwa suatu peradilan adalah peradilan tata usaha negara, maka harus memenuhi unsur-unsur, yaitu193 : a. Sifat aturan hukum yang ditetapkan ; b. Perselisihan yang konkrit; c. Sekurang-kurangnya dua pihak;
d. Aparatur yang melakukan peradilan tata usaha negara. 4.2.3
Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara terkait dengan Keputusan “Kompetensi
berasal
dari
bahasa
Latin
di
abad
menengah
competentia”.194 Dalam Bahasa Belanda, competentie, rechtsmacht yang berarti kewenangan mengadili, kompetensi.195 Sedangkan Kompetensi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal.196 Menurut Buys dalam buku M. Nata Saputra, ukuran yang harus dipakai dalam menetukan berwenang tidaknya hakim administrasi negara adalah pokok perselisihan (pokok sengketa), apabila pokok sengketanya adalah hukum privat, maka yang berkompeten adalah Pengadilan Negeri, namun apabila masuk dalam ranah hukum publik, mengenai sah tidaknya perbuatan pemerintah, maka menjadi kompetensi dari Pengadilan Tata Usaha Negara.197 Pendapat dari Buys hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Thorbecke dalam buku Utrecht, yang mengatakan bahwa yang menjadi ukuran Ibid., h. 21-25. Sjachran Basah, op.cit., h. 65. 195 Yan Pramadya Puspa, 1977, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Aneka Ilmu, Semarang, h. 231. 196 W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, h. 518. 197 M. Nata Saputra, 1988, Hukum Administrasi Negara, CV. Rajawali, Jakarta, h. 99. 193 194
125
adalah dimana pokok sengketa (geschilpunt, fundamentum petendi) terletak. Bila terletak di dalam lapangan hukum privat, yang berkuasa adalah hakim pengadilan biasa, bila terletak dalam lapangan hukum publik maka administrasi Negara.198 Sjachran Basah dalam hubungannya dengan hal di atas melakukan pembedaan atas atribusi dan delegasi. 1. Atribusi Atribusi berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat (absolut) mengenai materinya dapat dibedakan menjadi : 1.1
Secara Horizontal
Yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya yang mempunyai kedudukan sederajat atau setingkat. 1.2
Secara Vertikal
Yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap pengadilan lainnya yang secara berjenjang atau hierakies mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. 2. Distribusi Distribusi berkaitan dengan pembagian wewenang yang bersifat terperinci (relatif) diantaranya badan-badan yang sejenis mengenai wilayah hukum.199 Ada pula cara untuk menentukan kompetensi, yaitu dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif. 198 199
Utrecht, op.cit., h. 178. Sjachran Basah, op.cit., h. 68-69.
126
1. Kompetensi Absolut Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio dalam buku Sjachran Basah “Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia”, “kompetensi absolut adalah tentang kekuasaan atau wewenang sesuatu jenis pengadilan”.200 Sedangkan menurut Zairin Harahap, kompetensi absolut adalah mengenai kewenangan badan peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.201 SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD mengemukakan ciri-ciri dari kompetensi absolut, yaitu : 1. Pihak yang bersengketa adalah orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; 2. Objek sengketa adalah Keputusan Tata Usaha Negara yakni penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; 3. Keputusan yang dijadikan objek sengketa adalah keputusan yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara; 4. Keputusan yang dijadikan objek sengketa bersifat konkrit, individual dan
final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum Perdata.202 Untuk melihat kompetensi absolut, dapat dibedakan menjadi tolak ukur subjek dan tolak ukur objek. 1. Tolak Ukur Subjek Subjek dalam Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari tergugat dan penggugat. Ketentuan mengenai tergugat, ditentukan dalam Pasal 1 Angka 6 Ibid, h. 67. Zaairin Harahap, op.cit., h. 29. 202 SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, op.cit., h. 186. 200 201
127
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menentukan bahwa “ Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dimaksud, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Angka 2 Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku” Sesuai dengan cara memperoleh wewenang, maka apabila seseorang Pejabat Tata Usaha Negara memperolah secara atribusi kemudian mengeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dan kemudian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut disengketakan, maka yang harus digugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut. Namun, kadang kala pejabat yang mempunyai kewenangan atributif mendelegasikan kewenangannya dan bila pejabat yang mendapat pendelegasian kewenangan ini mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara dan Keputusan Tata Usaha Negara ini disengketakan, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara inilah yang bertanggung jawab atas Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Sedangkan dalam mandat, tidak terjadi pelimpahan wewenang.203 Suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain:
A. Siti Soetami, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan Keempat, Refika Aditama, Bandung, , h. 9. 203
128
a.
Delegasi harus difinitive, artinya delegan tidak
dapat lagi
menggunakan wewenang yang telah dilimpahkan itu; b.
Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan bilamana ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; c.
Delegasi
tidak
kepada
bawahan,
artinya
dalam
hirarkhi
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; d.
Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans
berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; e.
Peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegans memberikan
instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.204 Di dalam praktek pemerintahan, sering terjadi salah pemahaman antara delegasi dan mandat. Mandat adalah suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud untuk memberi kewenangan kepada bawahan untuk membuat keputusan a/n pejabat tata usaha negara yang memberi mandat.205 Dari pengertian tersebut maka tampak bahwa tanggung jawab tidak berpindah kepada mandataris, dengan kata lain tanggung jawab tetap berada di tangan pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dari kata a/n ( atas nama). Dengan demikian semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggungjawab si pemberi mandat Philipus M Hadjon, 1998 Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuursbevoegdheid) Pro Justitia Tahun XVI Nomor 1 Januari, Bandung, h.94 205 Ibid, hal 95 204
129
Untuk jelasnya perbedaan antara kedua konsep tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini Perihal Prosedur pelimpahan
Mandat Delegasi Dalam hubungan rutin atas Dari suatu organ bawahan: hal biasa kecuali pemerintahan kepada dilarang secara tegas organ lain dengan peraturan perundang – undangan
Tanggung jawab dan Tetap tanggung gugat mandat Kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi
pada
pemberi Tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada delegetaris
Setiap saat dapat menggunakan kembali wewenang yang dilimpahkan itu
Tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas “contrarius actus”
Dalam kaitannya dengan cara memperoleh kewenangan pembagian yang diberikan oleh Suwoto Mulyosudarmo sedikit berbeda dengan yang dikemukakan oleh Philipus M Hadjon seperti terurai diatas. Suwoto Mulyosudarmo 206 membagi cara perolehan kekuasaan kedalam : a) perolehan kekuasaan yang bersifat atributif, dan b) perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan kekuasaan dengan cara atributif bersifat asli karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada, sedangkan kekuasaanyang sifatnya derivatif
disebut sebagai
pelimpahan kekuasaan, karena dari kekuasaan yang telah ada dialihkan kepada pihak lain. Perolehan kekuasaan yang bersifat derivatif dapat berbentuk delegasi dan mandat. Pada pendelegasian kekuasaan delegetaris melaksanakan kekuasaan atas nama sendiri, dengan tanggung jawab sendiri, oleh karenanya disebut Suwoto Mulyosudarmo,1997 Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara Gramedia, Jakarta, h.39 206
130
pelimpahan kekuasaan dan tanggung jawab. Mandat berasal dari bahasa latin mandatum
yang
berasal
dari
kata
mandare,
atum
yang
artinya
melimpahkan(overdragen), di dalam mandat mandataris bertindak atas nama pemberi mandat, karena itu dia tidak mempunyai tanggung jawab sendiri.207 Ada perbedaan istilah yang dipergunakan oleh Suwoto Mulyosudarmo untuk menyebut kewenangan dengan istilah kekuasaan, hal ini wajar bila dilihat dari bidang keahlian yang ditekuni yakni hukum tata negara, sehingga istilah yang lazim dipergunakan dalam hukum tata negara adalah kekuasaan (power) bukan wewenang (authority) sebagaimana lazim dipergunakan di dalam ranah hukum administrasi negara. Dari sisi kewenangan pejabat Tata Usaha Negara, maka pejabat tata usaha negara yang dapat menjadi pihak tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara, dapat dikelompokkan atas : 1. Instansi-instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai
kepala eksekutif. 2. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan
eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan suatu urusan pemerintahan. 3. Badan-badan hukum privat yang didirikan oleh pemerintah dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemrintahan. 4. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pihak pemerintah dengan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. 5. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.208 Unsur terpenting dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut Zairin Harahap adalah melaksanakan urusan pemerintahan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.209 Menurut Indroharto, yang menjadi patokan Ibid, h.42 Indroharto, op.cit., h. 56. 209 Zairin Harahap, op.cit., h. 82. 207 208
131
bukanlah kedudukan struktural “orang atau pejabat” dalam jajaran pemerintah tapi dilihat dari fungsi pemerintahan yang dilaksanakannya. Bila fungsi dilakukan berdasrkan peraturan perundang-undangan merupakan suatu tugas urusan pemerintahan (public services), maka menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dapat dianggap sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.210 Penggugat adalah orang atau badan hukum Perdata. Orang atau badan hukum Perdata ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menentukan “Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata”. Orang atau badan hukum perdata yang dapat dirugikan dengan dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, oleh Indroharto dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : 1. Kelompok pertama adalah orang-orang atau badan hukum Perdata yang
dituju oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Orang-orang atau badan hukum Perdata yang kepentingannya secara langsung terkena karena keluarnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat mengajukan gugatan. 2. Kelompok kedua adalah orang atau badan hukum Perdata yang disebut sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, yang meliputi :
210
Indroharto, op.cit., h. 49.
132
a. Individu yang berkepentingan, contoh : A memperoleh izin mengusahakan peternakan babi di halamannya sendiri yang sangat luas, B tetangganya merasa keberatan dengan diberikannya izin kepada A, karena bau dari pembuangan limbah perusahaan peternakan babi akan dirasakan menggganggu dirinya. b. Organisasi-organisasi kemasyarakatan (pecinta lingkungan hidup)
sebagai pihak ketiga dapat merasa dirugikan karena suatu Keputusan Tata Usaha Negara dianggap bertentangan dengan tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan sesuai dengan anggaran dasarnya, contoh : Pendirian suatu pabrik dalam format besar menurut pendapat organisasi tersebut akan merubah kondisi dan situasi lingkungan dan dapat menyebabkan tercemarnya atau rusaknya lingkungan, umpamanya hutan lindung dan persawahan penduduk secara luas. 3. Kelompok ketiga adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang lain.
Tetapi Undang-Undang peradilan Tata Usaha Negara tidak memberikan hak kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk menggugat.211 2. Tolak Ukur Objek Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menjadi objek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu 211
Ibid, h. 179-180.
133
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum Perdata”. Mengenai penetapan tertulis, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara memberikan pengecualian, Pasal Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menetukan bahwa : (1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. (2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolah mengeluarkan keputusan yang dimaksud. (3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menetukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan setelah diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga mentukan pengecualian mengenai kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dari tolak ukur objek. Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan : a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
134
Namun demikian, tidak semua Keputusan Tata Usaha Negara dapat menjadi objek sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Pembatasan ini ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menentukan bahwa: Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan bersadarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tantara Nasioanl Indonesia; g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. 2. Kompetensi Relatif Kompetensi relatif menurut R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio dalam buku Sjachran Basah “Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia” adalah “menetapkan pembagian kekuasaan diantaranya badan-badan pengadilan dari satu jenis”.212 Sedangkan kompetensi relatif menurut Zairin Harahap adalah “kewenangan dari pengadilan sejenis yang mana berwenang untuk memriksa, mengadili, dan memutus perkara yang bersangkutan”.213
212 213
Sjachran Basah, op.cit., h. 67. Zairin Harahap, op.cit., h. 30.
135
Mengenai kompetensi relatif ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara : (1) Pengadilan
Tata
Usaha
Negara
berkedudukan
di
ibukota
Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota. (2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi. Adanya beberapa cara untuk menentukan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, seperti uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cara untuk mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : 1. Melihat dari pokok sengketanya; 2. Melakukan pembedaan atas atribusi dan delegasi; 3. Melakukan pembedaan atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif.214
Istilah pembagian kompetensi secara atribusi yang dikemukakan oleh Sjachran Basah sama dengan kompetensi absolut dan pembagian kompetensi secara delegasi sama dengan kompetensi relatif.215 4.2.4
Potensi Keputusan Gubernur Bali menjadi Objek Sengketa Peradilan Tata Usaha Negara Sengketa Tata Usaha Negara, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas 214 215
Ibid, h. 28. Ibid, h. 31.
136
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 1 Angka tersebut ditentukan “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dari ketentuan di atas, maka tampak bahwa yang menjadi objek sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Bila melihat dari Teori Negara Hukum, maka peradilan administrasi negara merupakan salah satu unsur dari Negara Hukum. Objek sengketa dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah KTUN. Sehingga, tentu Keputusan Gubernur, meskipun di dalamnya terdapat klausul pengaman, merupakan objek sengketa dari Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan kata lain, meskipun dalam lingkungan Provinsi Bali, dalam hal ini mengenai Keputusan Gubernur yang berisi klausul pengaman, tidak terdapat gugatan terhadap Keputusan Gubernur yang memuat klausul pengaman, namun gugatan terhadap Keputusan Gubernur Bali sangat dimungkinkan seperti yang terjadi terhadap Keputusan Kepala Daerah di Kabupaten Badung.
137
4.2.5
Sengketa Tata Usaha Negara terhadap Keputusan Kepala Daerah Keputusan Tata Usaha Negara adalah objek sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Alur penyelesaian sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara ada dua, yaitu melalui upaya administratif dan dengan gugatan langsung ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Upaya administratif merupakan prosedur yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang dilaksanakan di lingkungan pemerintah sendiri (bukan oleh Badan peradilan yang bebas) yang terdiri dari : a. prosedur keberatan dan b. prosedur banding administratif. Apabila penyelesaian sengketa TUN itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan, maka prosedur tersebut dinamakan banding administratif; sedangkan apabila menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan seseorang yang terkena suatu keputusan TUN yang tidak dapat ia setujui boleh mengajukan keberatan kepada instansi yang mengeluarkan keputusan tersebut, maka keberatan yang dapat diajukan kepada instansi tersebut dinamakan prosedur keberatan.216 Mengenai upaya administratif ini diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menetukan bahwa : (1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang
oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rudi dan/administratif yang tersedia. (2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memeutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
216
Indroharto, op.cit., h. 194.
138
Bila melihat ketentuan dalam klausul pengaman, maka terdapat kesan bahwa apabila KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mengadung kesalahan, maka keputusan tata usaha negara tersebut akan ditarik kembali dan diperbaiki. Dari ketentuan klausul tersebut, dapat disimpulkan bahwa
upaya pertama yang dapat dilakukan oleh seseorang atau badan hukum
perdata yang dikenai KTUN tersebut adalah melalui jalur upaya administratif, yaitu upaya keberatan dan banding administratif. Upaya administrasi adalah keberatan adalah Namun, dalam kenyataannya, meskipun dalam suatu KTUN terdapat kalusul pengaman, KTUN tersebut dapat digugat ke Peradilan Tata Usaha Negara tanpa melalui upaya administratif. Dalam sengketa kepegawaian yang terjadi antara Drs. I Wayan Reta, S.H (Penggugat) dengan Bupati Badung (Tergugat). KTUN yang menjadi sengketa adalah Keputusan Bupati Badung Nomor : 4/01/HK/2005 tentang Pengangkatan Pengawas Mata Pelajaran SMP, SMA, dan SMK Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Badung yang memuat klausul pengaman. Keputusan Bupati ini menjadi sengketa karena Drs. I Wayan Reta, S.H yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Dinas Kebakaran Kabupaten Badung, diberhentikan dan diangkat menjadi Pengawas Mata Pelajaran SMP, SMA, SMK (Pengawas Sekolah Madya). Hal ini dirasa sebagai perbuatan sewenang-wenang oleh Tergugat, karena Penggugat tidak pernah diberikan pemberitahuan terlebih dahulu baik berupa peringatan, teguran maupun musyawarah. Penggugat juga berpendapat bahwa Keputusan Bupati Badung tersebut bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu Asas
139
keterbukaan, asas proporsionalitas, dan asas efektivitas. Sebab sebagai Kepala Dinas yang mempunyai golongan IV/c yang memperoleh penghasilan yang layak dan fasilitas yang lebih lengkap dan bertanggungjawab memimpin satu dinas yang bertanggung jawab langsung kepada Bupati/Tergugat harus ter-degradasi atau dimutasi tanpa alasan yang cukup dan hanya menjadi Pengawas Mata Pelajaran yang dalam hierarki kepemerintahan harus bertanggungjawab secara berjenjang dari tingkat yang terendah sampai pada Kepala Dinas saja, bukan Bupati, dengan demikian menurut hukum tentunya sangat merugikan kepentingan Penggugat baik secara moril maupun materiil. Dikeluarkannya Surat Keputusan Tergugat Nomor : 4/01/HK/2005 sangat merugikan Penggugat karena Penggugat ditempatkan pada jabatan yang tidak pantas dan tidak layak yang merugikan kepentingan Penggugat dan juga menimbulkan kerugian moril yang sangat besar karena Penggugat tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku serta adanya anggapan masyarakat bahwa Penggugat tidak pantas dan cakap melaksanakan tugasnya. Adapun jawaban dari Bupati Badung selaku Tergugat adalah bahwa keputusan tersebut didasarkan atas alasan/motivasi berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu untuk kepentingan dinas dan peningkatan mutu pendidikan sehingga dipandang perlu untuk mengisi lowongan jabatan Pengawas Mata Pelajaran SMP, SMA dan SMK pada Dinas Pendidikan Kabupaten Badung. Keputusan yang disengketakan bukan merupakan “penghukuman” melainkan pemindahan dari jabatan struktural ke jabatan fungsional. Hal ini telah sesuai
140
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural Pasal 100 huruf d, Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural karena diangkat dalam jabatan Struktural lain atau Jabatan Fungsional. Penggugat dengan pemindahan tersebut tidak dirugikan dalam hak-hak kepegawaiannya baik gaji maupun tunjangan fungsional sebagai Pegawai Negeri Sipil golongan IV/c sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebaliknya “jabatan” bukanlah merupakan hak kepegawaian melainkan adalah merupakan kepercayaan yang diberikan oleh Pimpinan dan merupakan kebijakan Pimpinan. Bahwa pemindahan Penggugat dari jabatan struktural ke jabatan fungsional
sudah
mempertimbangkan
segala
aspek
yang
terkait
serta
mempertimbangkan kompetensi jabatan masing-masing (jabatan struktural) Contoh kasus serupa (keputusan yang memuat klausul pengaman) terhadap Keputusan Bupati Badung Nomor 1804/01/HK/2006 tentang Pembebasan Tugas Pegawai negeri sipil dari Jabatan Struktural Di Lingkungan Kabupaten Badung. keputusan ini memuat klausul yang menyatakan: “ Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapan keputusan ini, akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya”. Keputusan ini digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara, sebagai perkara kepegawaian Nomor 07/6/2009/PTUN Denpasar oleh yang terkena keputusan yaitu Sdr.I Gede Astika M.M.A karena merasa dirugikan oleh diktum pertama keputusan ini yang menyatakan:” yang bersangkutan dibebaskan dari jabatan Struktural Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Badung, dan selanjutnya yang
141
bersangkutan diberikan bebas tugas selama 1 tahun dengan mendapat penghasilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku , kecuali tunjangan jabatan dan fasilitas lainnya. Persoalan yang relevan dengan kasus diatas dengan tulisan ini adalah mengenai keberadaan klausul pengaman dalam keputusan tersebut. Menurut hemat saya dengan adanya kalusul pengaman dalam keputusan tersebut seyogyanya bilamana terdapat ketidak puasan dari yang terkena keputusan upaya hukum yang pertama dilakukan adalah mengajukan keberatan kepada yang membuat keputusan tersebut, dalam hal ini keberatan diajukan kepada Bupati Badung. Bilamana setelah mengajukan keberatan, yang bersangkutan masih juga merasa tidak puas upaya hukum yang kedua adalah mengajukan banding administrasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 48 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilana Tata Usaha Negara yang kemudian diubah dengan Undang-undang No.9 Tahun 2004, dan terakhir diubah dengan Undangundang No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara yang menetukan: “Pengadian baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika setelah upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Ketentuan ayat (1) Pasal 48 tersebut menentukan bahwa “dalam hal suatu badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang
oleh
atau
berdasarkan
peraturan
perundang-udangan
untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara Tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
142
dan/administratif yang tersedia. Bila ketentuan ini dikaitkan dengan penjelasan Pasal 48 tersebut yang menentukan bahwa contoh banding administratif antara lain adalah Keputusan
Badan Pertimbangan Kepegawaian berdasarkan atas
Peraturan Pemerintah No, 30 Tahun 1980 tentang Pegawai Negeri Sipil, disamping Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak, dan Keputusan Panitia Penyelesaian Perburuhan. Dengan ketentuan pasal-48 Undang-undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut, maka seharusnya yang bersangkutan (yang dikenai keputusan) dalam hal ini baik Sdr. Drs I Wayan Reta,SH.MM, dan Sdr Ir. I Gede Astika M.M.A bila merasa dirugikan atau tidak menerima keputusan itu seharusnya menggunakan jalur upaya administrasi terlebih dahulu, baru kemudian kalau tidak juga merasa puas, menggunakan jalur peradilan dalam hal ini adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Di dalam praktek dari dua contoh kasus tersebut, ternyata Peradilan Tata Usaha Negara menerima gugatan penggugat, tanpa memperhatian keberadaan klausul pengaman dalam keputusan itu. Hal ini mungkin disebabkan karena hakim menganggap keputusan itu sudah final, karena hanya keputusan yang sudah finallah yang dapat diajukan langsung kepada Pengadilan Tata Usaha Negara, keyakinan penulis akan hal itu dikarenakan di dalam proses acara peradilan Tata Usaha negara ada prosedur yang disebut dismisal proses sebagaimana ditentukan dalam Pasal 63 Undang-undang No.5 Tahun 1986 : Ayat (1) “Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas”. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa:
143
Ketentuan ini merupakan kekususan dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara . Kepda hakim diberikan kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan persiapan sebelum memeriksa pokok sengketa. Dalam kesempatan ini hakim dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu. Wewenang hakim ini untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai penggugat dalam mendapatkan data yang diperlukan dari /badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mengingat bahwa penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara kedudukannya tidak sama. Dari ketentuan Pasal 63 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tersebut, dimana di dalam proses pemeriksaan persiapan hakim wajib untuk memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapi nya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari. Ini berarti setip gugatan yang telah diterima untuk diadili oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, telah benar-benar memenuhi persyaratan sesuai dengan kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara baik dari tolok ukur subyek maupun tolok ukur obyek, yaitu Keputusan tata usaha negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 5 tahun 1986 : Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulisyang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang beriri tindakan hukum Tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat kongkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Ini berarti klausul pengaman dalam keputusan Bupati Badung yang digugat tersebut
oleh
hakim
Peradilan
Tata
Usaha
Negara,
dianggap
tidak
mengenyampigkan frasa “final” dalam difinisi keputusan tata usaha negara, hal ini dapat disimpulkan dari diterimanya gugatan penggugat terhadap keputusan tersebut. Dengan demikian itu berarti klausul pengaman tidak memiliki fungsi yuridis dalam proses pengajuan gugatan langusng ke Pengadilan Tata Usaha
144
Negara, tanpa harus melalui upaya administrasi yang ada sesuai dengan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986.
145
BAB V PENUTUP
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan dalam bab-bab terdahulu, maka sampailah pada bab terakhir yakni bab penutup. Bab penutup terdiri atas kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan kristalisasi hasil pemikiran terhadap pembahasan yang dilakukan dari bab 2 sampai dengan bab 4 untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini. Selanjutnya saran merupakan rekomendasi yang diajukan untuk mencarikan jalan keluar terhadap masalah-masalah yang masih ada dan mungkin ada dalam masa-masa kedepan. 5.1. Kesimpulan 1.
Klausul pengaman yang ditetapkan pada Keputusan Gubernur Bali
yang berkarakter KTUN tidak memiliki fungsi yuridis formal. Hal ini disebabkan tidak ada ketentuan normatif yang mensyaratkan bahwa suatu KTUN harus memuat klausul pengaman. 2.
Adanya klausul pengaman dalam suatu Keputusan Gubernur Bali
yang berkarakter KTUN tidak menyebabkan tidak dapat diguguatnya keputusan itu ke lembaga peradilan tata usaha negara meskipun sengketa terhadap keputusan Gubernur Bali sampai saat ini belum terjadi. Secara analogi hal ini terbukti dengan kasus diterimanya permohonan penggugat oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar atas gugatan terhadap Keputusan Bupati Badung Nomor : 4/01/HK/2005 tentang Pengangkatan Pengawas Mata Pelajaran SMP, SMA, dan SMK Pada Dinas Pendidikan
146
Kabupaten
Badung
dan
Keputusan
Bupati
Badung
Nomor
1804/01/HK/2006 tentang Pembebasan Tugas Pegawai negeri sipil dari Jabatan Struktural Di Lingkungan Kabupaten Badung. Dengan kata lain ada tidaknya klausul pengaman dalam suatu keputusan tata usaha negara tetap dapat digugat ke lembaga peradilan tata usaha negara.
5.2. Saran-saran Sehubungan dengan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, adapun saran-saran yang dapat diajukan untuk mendapatkan pembahasan atau kajian dari para peneliti berikutnya adalah : 1.
Pemerintah Provinsi Bali diharapkan mengeluarkan suatu
pedoman khusus tentang format teknis pembentukan suatu Keputusan Gubernur
yang
menormatifisasi
berkarakter keberadaan
KTUN klausul
dengan
secara tegas
pengaman
dalam
tidak
keputusan
bersangkutan, sehingga dapat menghindari keragaman bentuk Keputusan Gubernur Bali dengan tanpa mengharuskan memuat kembali klausul pengaman yang tidak memiliki fungsi yuridis formal. 2.
Untuk kepentingan bagi mereka yang dikenai keputusan, dan
mempermudah upaya hukum yang dilakukan oleh mereka yang dikenai keputusan, maka seyogyanya dalam setiap Keputusan Gubernur yang berkarakter KTUN dicantumkan satu klausul yang memberikan penjelasan bahwa bilamana penerima keputusan keberatan atas keputusan yang diterima, maka yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan
147
kalau itu masih dimungkinkan, dan kalau keputusan itu sudah final, maka ditentukan bahwa kalau yang bersangkutan merasa keberatan terhadap keputusan yang diterimanya dapat mengajukan gugatan ke lembaga peradilan tata usaha negara, dengan demikian jalur upaya hukum yang dapat dilakukan oleh yang dikenai
keputusan dapat secara jelas
diketahui. 3. Pemerintah Provinsi Bali dalam membentuk suatu Keputusan dalam hal
ini Keputusan yang berkarakter KTUN harus memperhatikan asas-asas pembentukan keputusan agar nantinya menjamin adanya kepastian hukum. Asas-asas inipun sebaiknya dinormakan agar kepastian hukum lebih terjamin.
148
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Media Sarana Press, Jakarta. Apeldoorn, L. J. Van, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Asshiddiqie, Jimly, 2005, Lembaga Negara dan sengketaKewenanganAntarlembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerjasama dengan: Makamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. ---------, 2008, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press dengan PT Syaamil Cipta Media, Jakarta. Atmadja, I Dewa Gede, 1993, “Manfaat Filsafat Hukum dalam Studi Ilmu Hukum”, dalam Kerta Patrika, No. 62-63 Tahun XIX Maret-Juni, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Atmosudirdjo, Prajudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta. Basah, Sjachran, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung. ---------, 1986, “Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara”, Alumni, Bandung. Basah, Sjachran, 1984, Eksistensi dan Tolok UkurBadan Peradilan Administrasi di Indonesia,Alumni, Bandung. Bedner, Adriaan, 2000, Administrative Courts in Indonesia, Universiteit Leiden, Netherland. Belinfante, AD. dan H. Boerhanoeddin Soetan Batoetah, 1981, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Binacipta, Bandung. Black, Henry Campbell, 1979, Blacks Law Dictionary, St.Paul Minn: West Publishing Co. Bolt, H.,1994, Perijinan Yang Melawan Hukum Di dalam Buku Kumpulan Hasil Terjemahan Bidang Peradilan Taa Usaha Negara, Mahkamah Agung RI Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta. Bruggink, JJH., alih bahasa Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
149
Budiardjo, Miriam, 1977, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta. Craig, P.P., 1994, Administrative Law, Third Edition, Sweet&Maxwell, London. Garner, Bryan A., 1999, Black’s Law Dictionary Sevent Edition, West Group, St. Paul, Minn. Gautama, Sudargo, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung. Gouw, J.J.van der dan Th.G.Drupsteen,1998, Government Liability in the Nederlands, di dalam buku Comparative Studies on Governmental Liability in East and Southeast Asia, Kluwer Law International The Hague/London/Boston. Hadjon, Philipus M. dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. ---------, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia. PT.Bina Ilmu, Surabaya. Hadjon, Philipus M., 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Surabaya. Hadjon, Philipus M.,1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling), Djumali, Surabaya. Hamidi, Jazim dkk, 2008, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke20, Alumni, Bandung. Ida, Laode., Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal & Clean Government, Pusat Studi Pengembangan Kawasan (PPSK). Indrati S, Maria Farida, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Indroharto, 1992, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Mahkamah Agung, Jakarta. Kelsen, Hans, 2007, General Theory of Law and State, Teori Hukum dan Negara, DasarDasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif, Empirik, Alih Bahasa H. Somardi, BEE Media Indonesia. Koseoemahatmadja, Djaenal Hoesen, 1990, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
150
Kosoemahatmadja, Djaenal Hoesen, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. Kuntjoro Purbopranoto, 1981, Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia, Binacipta, Bandung. Lopa, Baharudin, 1987, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta. Lotulung, Paulus Effendie, 1994, Himpunan Makalah Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Lust, Sabien, 2007, Administrative Law in Belgium dalam Rene J.G.H. Seerden dalam bukunya Administrative Law of the European Union, its Member States and the United States A Comparative Analysis ,Intersentia, Anwertpen- Oxford. Machmudin, Dudu Duswara, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung. Mahfud MD, Moh., 2000, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi Revisi), Penerbit Renaka Cipta, Jakarta. Manan, Bagir, 1994, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Manan, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Hukum UII, Yogyakarta. Mangkoedilaga, Benjamin, 1983, Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara, Suatu Orientasi Pengenalan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Mangkoedilaga, Benjamin, 1988, Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara, Suatu Prospek di Masa Datang, Angkasa, Bandung. Marbun, SF. dan Moh. Mahfud MD, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Masriani, Yulies Tiena, 2008, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Muchsan, 1976, Peradilan Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta. Mulyosudarmo, Suwoto, 1997 Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara Gramedia, Jakarta. Murhani, Suriansyah, 2008, Aspek Hukum Pengawasan Pemerintah Daerah, Laksbang Mediatama, Yogyakarta.
151
Muslimin, Amrah, 1982, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung. Muslimin, Amrah, 1985, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung. Mustafa, Bachsan, 1990, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Mustafa, Baschan, 2001, Sistem Hukum Adminsitrasi Negara Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Ndraha, Taliziduhu, 1988, MetodologiPemerintahan Indonesia, Bina Aksara, Jakarta. Notohamidjojo, O., 1970, Makna Negara H ukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta. Nugroho D, Riant., 2000, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Resolusi, Kajian dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta. Pide, Andi Mustari, 1999, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta. Poerwadarminta, W.J.S., 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta. Projodikoro, Wirjono, 1974, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta. Pudyatmoko, Y. Sri, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan, PT. Gramedia Widiarsana Indonesia, Jakarta. Pudyatmoko, Y. Sri, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan, PT. Gramedia, Jakarta. Purbopranoto, Kuntjoro, 1978, Beberapa catatan Hukum Tata Pemerintaan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung. Purbopranoto, Kuntjoro, 1978, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Cetakan Kedua, Alumni, Bandung. Puspa, Yan Pramadya, 1977, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Aneka Ilmu, Semarang. Rahardjo, Satjipto, 1996, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Rasyid, Muhammad Ryaas, 2002, Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, PT Mutiara Sumber Widya, Jakarta. Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
152
Riyanto, Astim, 2006, Teori Konstitusi, Penerbit Yapemdo, Bandung. Sabon, Max Boli, dkk, 1992, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Saputra, M. Nata, 1988, Hukum Administrasi Negara, CV. Rajawali, Jakarta. Sarundajang, SH., 1999, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Seerden, Rene J.G.H., 2007, Administrative Law of the European Union, its Member States and the United States, A Comparative Analysis, Intersentia Antwerpen, Oxford. Soehino, 1984, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Liberty, Yogyakarta. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta. Soemitro, Rochmat 1987, Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Eresco, Bandung. Soetami, A. Siti, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan Keempat, Refika Aditama, Bandung. Soetomo, 1983, Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya. Strong, C. F, 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Penerjemah SPA Teamwork, Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Bandung. Sunggono, Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Surakhmad, Winarno, 1972, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode & Teknik, Tarsito, Bandung. Syaukani HR, 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta. Syaukani HR, H., 2003, Akses dan Indikator Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Baik (Access and Indicators to Good Local Governance), Lembaga Kajian Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (LKHK-Otda), Jakarta. Sykes BA. E I, et.al, 1989, General Principles of Administrative Law, Butterworths, Sydney, Adelaide Bribane Canbera Hobart Melburne Perth. Tjandra, W. Riawan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
153
Usfunan, Johanes, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta. Utrecht, E., 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan Keempat, Universitas Padjajaran, Bandung. Wade, Sir William, Administrative Law, Clarendon Press, Oxford. Wajong, J., 1975, Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Djambatan, Jakarta. Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Tesis/Disertasi : Atamimi, A.Hamid.S., 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, (disertasi), Fakultas Pascasrajana Universitas Indonesia, Jakarta. Wairocana, I Gusti Ngurah,1999, Problematik Yuridis Kalusul Pengaman (Veiligheidsclausule) Dalam Keputusan Tata Usaha Negara (Tesis), Universitas Airlangga, Surabaya. ---------, 2005, Good Governance(Kepemerintahan Yang Baik) dan Implementasinya Di Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Di Bali), Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Majalah : Hadjon, Philipus M., 1993, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatig Bestuur), Yuridika, Surabaya. ---------, 1998 Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuursbevoegdheid) Pro Justitia Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, Bandung. ---------, 2002, Pokok- Pokok Pikiran tentang Jenjang/Tingkatan Aturan Hukum (tertulis) (the hierarchy of written rules), Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Indroharto,1994 Asas – Asas Umm Pemerintahan Yang Baik Dalam Paulus Effendie Lotulung “ Himpunan Makalah Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik,PT Citra Aditya,Bandung. Electronic Library: http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/indeks.php
154
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4380. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Provinsi. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.