BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Bumi kini semakin tua dan renta, selama jutaan tahun bahkan lebih bumi telah menopang semua bentuk kehidupan. Pada usianya yang semakin tua, bumi pun semakin menderita menanggung beban pencemaran, polusi, kerusakan dan perubahan (degradasi). Kirom (2007) mengatakan bahwa dari waktu ke waktu
kualitas lingkungan terus
menurun. Kondisi ini terjadi di seluruh permukaan bumi, bumi kini hari ke hari semakin rusak dan berbahaya bagi bumi itu sendiri serta manusia yang tinggal didalamnya. Manusia adalah makhluk
yang paling bertanggung
jawab
terhadap perubahan drastis dan perusakan yang terjadi di setiap mili
Universitas Sumatera Utara
permukaan bumi. Banyak sudah dampak yang terjadi akibat ulah tangan-tangan jahil manusia yang merusak alam. Bencana alam (murni akibat proses alamiah) dan bencana lingkungan (ekses perubahan lingkungan akibat ulah manusia) semakin sering terjadi. Tidak peduli di Asia, Afrika, Australia, Antartika (Kutub Selatan), Arktik (Kutub Utara), Eropa dan pulau-pulau yang tersebar di semua belahan bumi (Zaman, 2008). Sangat miris melihat kondisi lingkungan yang semakin hari semakin memprihatinkan. Setiap detik pencemaran berlangsung, perusakan hutan melaju, kepunahan spesies senantiasa terjadi dan iklim pun berubah perlahan tapi pasti. Sebuah ancaman yang nyata pun sudah diumumkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu bahaya pemanasan global dan perubahan iklim dunia (Zaman, 2008). Kalangan ilmuwan mengatakan rata-rata temperature dunia akan meningkat berkisar antara 1,8 dan 4,0 derajat celcius pada abad ini (Inggris mengkaji penggurangan karbon sampai 80%, 2008). Perubahan iklim adalah fenomena yang tidak bisa dibantahkan efeknya di Indonesia. Salah satu bukti adalah peningkatan suhu 0,3 derajat Celcius tiap tahun sejak 1990. Tahun 1998 tercatat sebagai tahun dengan perubahan suhu satu derajat lebih panas dari pada suhu ratarata era tahun 1961-1990. Pada tahun 2020 diperkirakan temperatur di Indonesia akan meningkat 0,36-0,47 derajat celcius dibandingkan dengan tahun 2000 (Nababan, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Masalah lingkungan kini telah mewarnai kehidupan manusia, masalah ini telah menjadi isu global yang menjadi perhatian bangsabangsa di dunia. Hal ini dikarenakan, kehidupan makhluk di bumi sesungguhnya saling terkait satu dengan yang lainnya baik tumbuhtumbuhan, binatang, maupun manusia, saling berkait dalam satu keutuhan lingkungan hidup. Artinya apabila terjadi gangguan terhadap salah satu jenis makhluk, maka terjadilah gangguan terhadap lingkungan hidup secara keseluruhan (Zaman, 2005). Lingkungan hidup, yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya, bagaimanapun
juga
akan
tercemar,
dengan
masuknya
atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain kedalam lingkungan dan berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (UU RI No 23 TAHUN 1997). Tiga unsur dalam masalah pencemaran yaitu sumber perubahan akibat kegiatan manusia atau proses alam, bentuk perubahannya adalah berubahnya konsentrasi suatu bahan dalam lingkungan
dan
merosotnya
fungsi
lingkungan
untuk
menunjang
kehidupan (Pustekkom, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Hubungan antara lingkungan sosial dan lingkungan alam akan melahirkan masalah-masalah lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup adalah masalah yang menyangkut hidup dan masa depan manusia. Dengan demikian pengelolaan lingkungan hidup secara manusiawi merupakan syarat ekologis bagi masa depan kehidupan di bumi ini (Susilo, 2003). Percepatan pembangunan di satu sisi dan perilaku manusia disisi lain sering berseberangan satu sama lain yang menjadi korban pasti adalah alam (Wardhana, 2008). Penelitian
tentang
lingkungan
pada
dasarnya
adalah
pengetahuan tentang mutu lingkungan. Secara sederhana kualitas lingkungan hidup diartikan sebagai keadaan lingkungan yang dapat memberikan daya dukung yang optimal bagi kelangsungan hidup manusia di suatu wilayah (Pustekkom, 2008). Kualitas lingkungan hidup ini berkaitan dengan kemampuan lingkungan untuk memberikan daya dukung yang optimal bagi kelangsungan hidup manusia di suatu wilayah. Kualitas lingkungan ini dicirikan antara lain dari suasana yang membuat orang betah atau kerasan tinggal ditempatnya sendiri. Berbagai keperluan hidup terpenuhi dari kebutuhan dasar atau fisik seperti makan minum, perumahan sampai kebutuhan rohani atau spiritual seperti pendidikan, rasa aman, ibadah dan sebagainya (Pustekkom, 2008). Kualitas lingkungan hidup ini dibedakan berdasarkan biofisik, sosial ekonomi, dan budaya. Lingkungan biofisik adalah lingkungan yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang berhubungan dan saling
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi satu sama lain. Komponen biotik merupakan makhluk hidup seperti hewan, tumbuhan dan manusia, sedangkan komponen abiotik terdiri dari benda-benda mati seperti tanah, air, udara, dan cahaya matahari (Pustekkom, 2008). Melihat dari definisi tentang lingkungan hidup biofisik yang berkenaan dengan komponen biotik (makhluk hidup) dan abiotik (benda mati) serta definisi lingkungan hidup yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup maka yang dimaksud pada banyak penelitian tentang pencemaran lingkungan hidup adalah merupakan hal yang sama dengan penurunan kualitas lingkungan hidup biofisik. Perlu diketahui bahwa istilah lingkungan dan lingkungan hidup, lingkungan hidup biofisik atau lingkungan hidup manusia seringkali digunakan silih berganti dalam pengertian yang sama (Wikipedia, 2008). Selanjutnya dalam penelitian ini akan digunakan istilah lingkungan hidup biofisik. Degradasi atau perubahan lingkungan hidup biofisik yang terjadi sebagian besar adalah karena ulah dan aktivitas manusia. Seringkali perlakuan terhadap bumi tidak memandang daya dukung lingkungan hidup (carrying capacity) itu sendiri. Hal ini berdampak pada munculnya bencana yang menjurus pada penurunan kualitas lingkungan hidup biofisik dan berekses pada penurunan nilai ekonomi dari sumber daya dan lingkungan (Wardhana,2007).
Universitas Sumatera Utara
Fakta yang menunjukkan bahwa tingkat kerusakan lingkungan hidup biofisik sudah sangat tinggi dan cenderung makin meninggi, relatif mudah
untuk
ditemukan.
Berita
tentang
terjadinya
pencemaran
lingkungan hidup biofisik, baik pencemaran udara, air maupun tanah dengan segala aspek yang terdapat didalamnya sering ditemukan baik di dalam media massa cetak maupun media elektronik. Fenomena mengindikasikan bahwa kerusakan lingkungan hidup biofisik sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Mengingat bahwa pembangunan merupakan aktifitas utama dari setiap Negara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warganya, dapat dikatakan bahwa kerusakan lingkungan hidup biofisik sudah merupakan bagian yang tidak dapat dihindarkan dari kegiatan pembangunan (Wardhana, 2007). Kemerosotan lingkungan hidup biofisik di banyak
negara
berkembang berada pada situasi berbahaya. Salah satu masalah yang mengakibatkan kemerosotan lingkungan hidup biofisik terjadi pada negara-negara berkembang adalah pertumbuhan dan konsentrasi penduduk di kota-kota besar yang pesat. Pada tahun 1950 jumlah penduduk perkotaan di 34 negara sedang berkembang baru 275 juta (atau 38%) dari 724 juta total penduduk perkotaan di seluruh dunia. Pada tahun 2001 penduduk perkotaan di seluruh dunia meningkat menjadi 3 miliar jiwa, dan di negara sedang berkembang dua per tiga diantaranya tinggal di kota-kota meteropolitan (World Bank, World Development
Universitas Sumatera Utara
Report, 2000). Diperkirakan pada tahun 2010, sebanyak 30 kota di Asia akan memiliki jumlah penduduk lebih di atas 5 juta jiwa. Artinya persoalan-persoalan lingkungan pada sepuluh tahun mendatang akan banyak muncul di daerah perkotaan (Sardiyoko, 2008). Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang. Pada sensus penduduk 2000 menunjukkan data jumlah penduduk perkotaan di Indonesia telah mencapai lebih dari 85 juta jiwa, dengan laju kenaikan sebesar 4,40 persen per tahun selama kurun 1990-2000. Jumlah itu kira-kira hampir 42 persen dari total jumlah penduduk. Laju kenaikan penduduk di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Semarang berkisar antara 0,16 sampai dengan 0,90 persen per tahun pada kurun waktu 1990-2000 (Firman, 2005). Mengikuti
kecenderungan
tersebut, dewasa
ini
diperkirakan
bahwa jumlah penduduk perkotaan telah melampaui 100 juta jiwa, dan kini hampir setengah jumlah penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan (Firman, 2005). Pertumbuhan ini tentu saja berdampak sangat luas pada upaya perencanaan dan pengelolaan pembangunan lingkungan hidup biofisik perkotaan dan masyarakat perkotaan adalah salah satu unsur penting dalam penjagaan kualitas lingkungan hidup biofisik ini. Kementerian
Negara
Lingkungan
Hidup
melalui
Asdep
Pemberdayaan Masyarakat Perkotaan (2007) mengatakan :
Universitas Sumatera Utara
Pembangunan yang berlangsung beberapa dasawarsa ini, selain memberikan dampak pada peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, juga telah menimbulkan berbagai persoalan lingkungan. Fakta menunjukkan bahwa kondisi lingkungan perkotaan di Indonesia semakin lama semakin memprihatinkan, yang ditandai dengan semakin menurunnya kualitas lingkungan di beberapa daerah khususnya pengelolaan lingkungan perkotaan, misalnya meningkatnya pencemaran udara, pencemaran air, kebisingan dan sebagainya.(Azmil, 2008)
Menurut Westra (dalam Farhati, 1995) sikap dan perilaku seseorang dalam
mengambil
keputusan
terhadap
lingkungan
hidup
biofisik
merupakan kunci utama dalam usaha peningkatan kualitas lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan model Curriculum Development Program Theory of Action oleh Westra (dalam Farhati, 1995). Pada model ini ditunjukkan tahap-tahap mulai dari kesadaran sampai dengan perbaikan lingkungan hidup biofisik. Sehingga tampak dengan jelas pentingnya 1 : persoalan Curriculumlingkungan Development Program sikap seseorangGambar terhadap hidup biofisik. Theory of Action Model Westra L.S.,1990
Universitas Sumatera Utara
Kepekaan dan pemahaman yang luas tentang lingkungan hidup biofisik, pengertian yang lebih mendalam tentang substansi hubungan antara manusia dengan
Timbulnya kepedulian lingkungan dalam diri individu, diiringi tumbuhnya kemampuan problem-solving terhadap permasalahan
Keputusan individu yang memperhitungkan faktor lingkungan hidup biofisik.
Keputusan individu yang berdampak negatif terhadap lingkungan hidup biofisik mulai berkurang.
Kualitas Lingkungan Hidup Biofisik Meningkat Sumber : Westra (dalam Farhati, 1995)
Pada Model di atas terlihat bahwa sikap seseorang akan mempengaruhi kualitas lingkungan hidup biofisik. Pada Masyarakat umum,
terlebih masyarakat perkotaan yang individualis sering kali
memandang bahwa kebutuhan dan kepentingannya diatas segalanya dalam kehidupan ini. Indonesia dengan 33 propinsi yang ada kini terdapat 91 kota. Salah satu kota yang termasuk kota besar di Indonesia adalah Medan,
Universitas Sumatera Utara
Kota Medan menjadi kota dengan jumlah penduduk yang dalam sensus terakhir tahun 2005 mencapai 2.036.018 jiwa dengan kepadatan penduduknya pada 7.681/km² (Berita Pemko Medan, 2008). Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265.10 km2) atau 3.6 % dari
keseluruhan
wilayah
Sumatera
Utara.
Dengan
demikian,
dibandingkan dengan kota atau kabupaten lainnya, kota Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil, tetapi dengan jumlah penduduk yang relatif besar (Pemerintah Kota Medan, 2008) Berikut Data Jumlah Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kota Medan Tahun 2001 – 2005 Tahun
Jumlah
Laju
Luas Wilayah
Kepadatan
Penduduk
Pertumbuhan
(km2)
Penduduk (Jiwa /
Penduduk
km2) 2001
1.926.052
1.17
265.10
7.267
2002
1.963.086
1.94
265.10
7.408
2003
1.993.060
1.51
265.10
7.520
2004
2.006.014
0.63
265.10
7.567
2005
2.036.018
1.50
265.10
7.681
Sumber : Badan Pusat Statitistik Sumatera Utara (2008)
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan data di atas dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, salah satu masalah yang harus diantisipasi oleh masyarakat kota medan adalah menyempitnya luas lahan yang ada sehingga berpeluang menjadi tidak seimbang dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang ada (Pemerintah Kota Medan, 2008). Pada kenyataannya menurut Bapedalda Sumut (2008) kerusakan lingkungan di Indonesia termasuk Sumut dan Kota Medan khususnya saat ini sudah diambang batas, akibat kesadaran masyarakat atau bangsa ini untuk memelihara lingkungan masih jauh. Secara nyata kondisi ini menuju kepada sikap apatis dari masyarakat yang ditunjukkan dengan tidak adanya kesadaran untuk memilihara lingkungan. Permasalahan lingkungan kota Medan mulai dari soal hutan, udara dan air, pencemaran akibat limbah industri, limbah Rumah Sakit, limbah hotel, pusat perbelanjaan, restoran, sampah perkotaan, krisis persediaan air tawar, degradasi tanah dan lahan pertanian, konflik sosial, lingkungan transportasi, dan ruang terbuka hijau (Status Lingkungan Hidup Medan, 2006). Di kota Medan, Setiap hari polusi udara semakin bertambah,
sementara
untuk
menyeimbangkan
bertambahnya
pencemaran polusi dengan membangun hutan kayu tidak pernah dilakukan. Justru yang menjamur adalah hutan tembok (Zuhedi, 2008). Pengelolaan polusi dan limbah menjadi masalah kota Medan, yang semakin penting untuk diselesaikan karena menyangkut keselamatan dan kesehatan masyarakat (Azmil, 2008)
Universitas Sumatera Utara
Melihat dari sudut motivasi yang mendasari hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup biofisik Thompson dan Barton (1994) mengatakan paling tidak ada tiga motif atau nilai yang mendasari dukungan individu terhadap permasalahan lingkungan hidup biofisik, yaitu ekosentrik (ecocentric), antroposentrik (anthropocentric) dan apatis. Individu perlindungan
yang
berpandangan
terhadap
lingkungan
ekosentrik dilakukan
menilai
untuk
bahwa
kepentingan
lingkungan itu sendiri, sehingga mereka berpendapat bahwa lingkungan memang patut mendapatkan perlindungan karena nilai-nilai intrinsik yang dikandungnya.
Individu
yang
berpandangan
antroposentrik
berpendapat bahwa lingkungan perlu dilindungi karena nilai yang terkandung
dalam
lingkungan
sangat
bermanfaat
terhadap
kelangsungan hidup manusia Sedangkan apatis adalah ketidakpedulian terhadap
permasalahan-permasalahan
lingkungan
(Thompson
dan
Barton, 1994). Thompson dan Barton (1994) menyatakan bahwa ekosentrik dan antroposentrik menunjukkan sikap yang positif terhadap lingkungan hidup biofisik, perbedaannya adalah pada alasan sikap tersebut. Menurut penelitian Thompson dan Barton (1994), individu yang memiliki sikap ekosentrik cenderung lebih banyak memberikan perhatian terhadap permasalahan lingkungan hidup biofisik dan lebih banyak
Universitas Sumatera Utara
terlibat dalam kegiatan konservasi lingkungan. Sebaliknya individu yang memiliki sikap antroposentrik cenderung memiliki perhatian yang kurang terhadap permasalahan lingkungan hidup biofisik dan jarang terlibat dalam kegiatan konservasi atau perlindungan lingkungan, perhatian mereka terhadap lingkungan lebih disebabkan karena kepentingan dirinya. Individu yang memilki sikap apatis memiliki kecendrungan tidak mengadakan konservasi terhadap lingkungan hidup biofisik. Pelestarian lingkungan jika kemudian dilihat dalam kaca mata agama sangatlah sejalan, karena filosofis penciptaan manusia adalah sebagai pemimpin, artinya manusia harus tampil dalam memanajemen alam tanpa harus merusaknya (Gunawan, 2005) Agama dan budaya yang diyakini, dianut, dan diterapkan oleh masyarakat dapat memainkan peran penting dalam upaya perlindungan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. Posisi agama dan budaya
menjadi
salah satu modal dasar untuk mendukung upaya konservasi lingkungan hidup biofisik
dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) secara
berkelanjutan (WWF, 2008). Manifestasi kontribusi keyakinan masyarakat yang selaras dengan upaya konservasi adalah perlindungan tempat keramat yang diyakini sebagai bentuk tertua dari perlindungan alam dan lingkungan hidup (WWF, 2008). Hal ini merujuk kepada sikap ekosentrik yaitu alam dilindungi karena nilai-nilai intrinsik yang dikandungnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Westra (1990) sikap terhadap lingkungan dipengaruhi oleh faktor keprbadian, variabel demografis dan sistem nilai yang dianut. Usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi sikap terhadap lingkungan dalam hal variabel demografis dimana Westra (dalam Farhati, 1995) mengatakan individu yang berpendidikan tinggi, pemuda, dan lokasi tempat tinggal dalam hal ini penduduk kota cenderung memiliki perhatian
yang
lebih
besar
terhadap
permasalahan
lingkungan
dibandingkan dengan individu yang memiliki ciri sebaliknya. Secara spesifik jika dilihat dari usia sebagian besar penduduk Kota Medan berasal dari kelompok umur 0-19 dan 20-39 tahun dengan persentasi masing-masingnya 41% dan 37,8% dari total penduduk (Berita Pemko Medan, 2008). Melihat
fenomena
diatas
penelitian
ini
ingin
mengungkap
bagaimana gambaran sikap ekosentik, antroposentrik, dan apatis terhadap pencemaran lingkungan hidup biofisik pada masyarakat Kota Medan.
I.B. Tujuan Penelitian
Mengetahui gambaran sikap ekosentik, antroposentrik, dan apatis terhadap pencemaran lingkungan hidup biofisik pada masyarakat Kota Medan.
I.C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam bidang Psikologi Sosial dan bermanfaat menjadi salah satu sumber informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut masalah yang berkaitan dengan sikap masyarakat Kota Medan terhadap pencemaran lingkungan hidup biofisik. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak di bawah ini : a. Masyarakat Umum Penelitian masyarakat
ini
secara
diharapkan umum
agar
dapat agar
bermanfaat lebih
untuk
mendapatkan
gambaran mengenai sikap penduduk kota Medan terhadap pencemaran lingkungan hidup biofisik pada masyarakat Kota Medan yang diteliti. Kategori yang dimaksud berupa sikap ekosentrik, sikap antroposentrik, dan sikap apatis. Serta bagaimana fenomena sikap ekosentrik, antroposentrik, dan apatis masyarakat Kota Medan terhadap pencemaran lingkungan hidup biofisik ini muncul, apakah disebabkan perbedaan etnis, pendidikan, atau usia. b. Kementrian Negara Lingkungan Hidup Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif berupa data sikap sikap ekosentik, antroposentrik, dan
Universitas Sumatera Utara
apatis terhadap pencemaran lingkungan hidup biofisik pada masyarakat Kota Medan sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki atau mempertahankan sikap masyarakat Kota Medan dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup biofisik. c. Lembaga-lembaga Pemerhati lingkungan dan LSM Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam hal pencemaran
data sikap ekosentik, antroposentrik, dan apatis terhadap lingkungan hidup biofisik pada masyarakat Kota
Medan kepada lembaga- lembaga lingkungan. Untuk kemudian (masyarakat)
pemerhati
dan
penyelamat
melakukan intervensi pada komunitas
sehingga terbentuk sikap
yang
masyarakat, terhadap pencemaran lingkungan hidup
sesuai
dari
biofisik pada
masyarakat Kota Medan
I.D. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II
Landasan teori
Universitas Sumatera Utara
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang Sikap, Masyarakat Kota Medan dan Lingkungan hidup biofisik. Bab III
Metode penelitian Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel,
metode
pengambilan
sampel,
alat
ukur
yang
digunakan, uji validitas dan reliabilitas alat ukur, dan metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian. Bab IV Analisa Data dan Pembahasan Berisikan gambaran subjek penelitian, hasil penelitian utama, dan hasil penelitian tambahan. Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Berisikan kesimpulan hasil penelitian, diskusi, dan saran-saran untuk pihak-pihak terkait dan penelitian selanjutnya.
BAB II LANDASAN TEORI
Universitas Sumatera Utara