BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1. Membangun Teologi yang Kontekstual Gereja yang kontekstual merupakan gereja yang menyadari akan “konteks” di mana gereja itu hadir dan berkarya. Demikian halnya dengan misi gereja, juga harus di mengerti secara kontekstual, sebab perwujudan dari misi teraktualisasi di dalam pelayanan yang dilakukan oleh gereja. Edmund Woga mengutip pendapat Walbert Buhlmann yang mengatakan bahwa “misi harus lebih dimengerti secara kontekstual sebagai hidup dan karya Gereja di tempat di mana Gereja berada, dengan cara ini, misi mendapatkan artinya yang sebenarnya sebagai aspek keterbukaan terhadap dunia”.1 Itu berarti bahwa gereja tidak dapat mengabaikan konteks di mana gereja itu hadir dan berkarya. Tantangan yang dihadapi oleh gereja dapat menjadi peluang untuk memahami kembali usaha untuk menjalankan Misi Allah. Kepekaan gereja dalam melihat setiap peluang untuk mewujudkan Kerajaan Allah merupakan tugas yang berat, sebab kepekaan bukan saja berarti tanggap membaca situasi historis dan pergumulan yang sedang melanda gereja tetapi tingkat kekritisan gereja dalam menyikapi peluang dan tantangan itu dibutuhkan dalam menciptakan pelayanan misi yang kontekstual. Pada umumnya, gereja-gereja baru menyadari akan persoalan dalam pelayanan, ketika gereja mengalami suatu hambatan atau penderitaan yang menyebabkan gereja itu sadar akan konteks yang dihadapi. Akan tetapi, selama gereja tidak mengalami tantangan
1
Walbert Buhlmann., Alle haben denselben Gott. Begegnen mit den Menschen und Religionen Asiens, (Frankfrut am Main, 1978), hal. 89 dikutip dalam Edmund Woga, CSsR., Dasar-Dasar Misiologi, (Yogyakarta : Kanisius, 2002), hal. 18
atau hambatan dalam menjalankan misi pelayanannya maka gereja tidak pernah menyadari akan adanya persoalan dalam misinya. H. Kreamer menyebutkan “ it has always needed apparent failure and suffering in order to become fully alive to its real nature and mission”2. Dan “selama berabad-abad gereja telah sedikit sekali menderita dan menjadi yakin bahwa ia berhasil”.3 Kosuke Koyama menyebutnya sebagai krisis di mana bertemunya antara bahaya dan kesempatan (janji).4 Karena itu upaya mengatasi krisis dalam misi tidaklah terletak dalam usaha merangkul nilai-nilai dunia masa kini dan berusaha menanggapi apa pun yang diartikan oleh seseorang atau kelompok tertentu sebagai misi. Sebaliknya, kita membutuhkan visi baru untuk menerobos kebekuan di masa kini, menuju suatu keterlibatan misi yang lain- yang tidak perlu berarti membuang segala sesuatu yang telah dilakukan oleh berbagai generasi orang Kristen sebelum kita ataupun dengan sombong mengutuk semua kekeliruan mereka.5 Dengan adanya kesadaran bahwa misi itu berada dalam krisis akan memberikan dorongan yang kuat untuk memikirkan alternatif dalam mengatasi
krisis. Karena krisis yang dialami dalam bermisi tidak mungkin akan
diabaikan. Jika diabaikan maka gereja dalam menjalankan misinya tidak akan sanggup menghadapkan wajahnya kepada penderitaan yang berteriak kepadanya. Satu-satunya jalan yang sahih dan terbuka bagi kita adalah menghadapi krisis ini dengan ketulusan yang mendalam namun tanpa membiarkan diri kita menyerah kepadanya.6 Usaha-usaha gereja lokal untuk menemukan bentuk pelayanan yang kontekstual menjadi sulit karena pola dan indoktrinasi dari para misionaris telah menjadi suatu hal 2
H. Kraemer., The Christian Message In a Non-Christian World, ( London : Edinburgh House Press, 1938 ), p. 26 3 David J. Bosh., Transformasi Misi Kristen, ( Jakarta : BPK –GM, 2005 ), hal. 3. 4 Kosuke Koyama., Three Mile an Hour God, ( London : SCM Press Ltd, 1979 ), p. 4 5 David J. Bosh., Transformasi…hal 11 6 Ibid., hal 10.
2
yang tidak boleh diubah. Kesan seperti ini mulai tergeser sebab gereja-gereja mulai menyadari bahwa gereja perlu menemukan suatu bentuk pelayanan yang benar-benar dapat menjadi diri sendiri tanpa mengabaikan jeri juang dari para misionaris yang telah mewartakan injil. “Warisan teologi dari barat tidak lagi sesuai/memenuhi kebutuhan penghayatan iman gereja-gereja setempat.”7 Hal ini bukan berarti apa yang ada saat ini harus dihancurkan dan membangun sesuatu yang baru atau apa yang menjadi produk Barat harus ditolak yang harus dilakukan adalah berusaha untuk memelihara apa yang telah diwariskan dari Barat, tetapi tidak sampai mendominasi serta menentukan penghayatan iman gereja setempat, sehingga kekayaan
dan pengalaman iman gereja dapat memberi sumbangan dalam
penghayatan iman. Tugas perutusan gereja tidak dilakukan pada ruang hampa tetapi hadir dalam realitas kehidupan dan konteks masyarakat. Karena itu, panggilan “Misi” harus memperhitungkan realitas hidup dan konteks masyarakat di mana kita tinggal dan berada yakni bumi Indonesia. Indonesia merupakan suatu masyarakat yang ada di Asia yang paling kurang memiliki dua wajah yakni pertama, masyarakat beragama yang plural dan kedua sebagian masyarakatnya miskin8 dan satu hal yang perlu ditambahkan adalah pluralisme kebudayaan. Misi adalah tindakan Allah yang berpaling kepada dunia yang dihubungkan dengan penciptaan, pemeliharaan, penebusan dan penggenapan. Misi berlangsung dalam sejarah manusia yang biasa dan bukan secara eksklusif di dalam dan melalui gereja. Misio Dei adalah kegiatan Allah, yang merangkul baik gereja maupun dunia, dan di 7
J.B. Banawiratma., “Teologi Fungsional-Teologi Kontekstual” dalam Konteks Berteologi di Indonesia peny. Eka Darmaputra,(Jakarta : BPK-GM, 1997), hal. 50 8 http://www. Misiologi net. Com./komentar/ Misiologi menurut pandangan oikumene, diakses tanggal 22 maret 2007.
3
dalamnya gereja dapat memperoleh hak istimewa untuk berperan serta.9 Oleh sebab itu, sambil menghadapi krisis yang dialami oleh suatu konsep misi yang diwarnai oleh zaman historis tertentu, zaman kolonial, kita menyadari bahwa kita tidak bisa menghidupkan kembali konsep misi yang demikian tetapi kita harus berupaya untuk melihat bagaimana kita bisa mengkonsepsikan misi sesuai dengan situasi baru yang didalamnya kita hidup.10 “Dahulu misi Gereja menghadapi macam-macam persoalan, maka kini misi sendirilah yang menjadi persoalan”.11
2. Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST ) dalam Pergumulan Kontekstualisasi Masuknya agama Kristen di Sulawesi Tengah (Tana Poso) diawali dengan kedatangan utusan Nederlands Zendeling Genootschap (NZG) Albert Christian Kruyt pada tahun 1892, yang kemudian disusul oleh Dr. Nicolaus Adriani yang diutus dari Nederlands Bijbel Gennootsch (NBG) tahun 1895.12 Melalui misionaris Belanda inilah masyarakat di Sulawesi Tengah (Tana Poso) mengenal kekristenan dan menjadi cikal bakal berdirinya Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Masuknya kekristenan di Sulawesi Tengah menyisahkan pergumulan teologis yang cukup mendasar sehubungan dengan misi gereja. Hal ini disebabkan karena warisan teologi yang dikembangkan oleh GKST sampai saat ini masih didominasi oleh pola pikir misionaris yang memperkenalkan kekristenan di Tana Poso.
Mengapa demikian?
Sebagai gereja yang berdiri dari hasil Pekabaran Injil Belanda, tentu secara tidak langsung mempunyai keterkaitan sejarah sehingga pola indoktrinasi yang dikembangkan 9
David Bosch., Transformasi Misi…, hal. 599 Georg Kirchberger., misi...,hal. 14 11 Edmund Woga, CSsR., Dasar-dasar…hal. 18 12 Bnd. Th. Van den End., “Rencana Gereja Kesatuan Sulawesi Tengah pada Masa Zending” dalam Pdt. Dj. Tanggerahi, dkk.(ed), Wajah GKST : 100 Tahun Injil Masuk Tana Poso, (Tentena : Panitia 100 tahun Injil masuk Tana Poso, 1992), hal. 17 10
4
oleh para misionaris telah menjadi sebuah patron pelayanan misi gereja yang baku, yang menyebabkan gereja setempat mengalami kesulitan dalam mengembangkan pola pelayanan yang kontekstual. Georg Kirchberger
memperlihatkan bahwa “kesulitan
utama dalam periode saat itu – akhir abad 19 dan awal abad 20 - dalam menjalankan misi adalah gereja-gereja yang terbentuk melalui usaha para misionaris merupakan tiruan lengkap dari gereja yang mengutus para misionaris.”13 Itu berarti bahwa gereja yang baru terbentuk harus mengikuti semua pola dan struktur dari gereja yang mengutus para misionaris walaupun situasi dan konteks berbeda. Hal seperti ini memang terkadang kurang diperhatikan,
yang terpenting adalah mereka berhasil dalam
menjalankan
misinya. Menurut Aristarchus Sukarto, gereja-gereja tampaknya belum beranjak dari pemahaman teologis abad ke – 19.14 Pertama, gereja-gereja memandang dirinya sebagai umat yang terpilih (yang paling baik) untuk membawa manusia pada pengenalan akan Allah Tritunggal dengan cara menjadikan Kristen. Kedua, proklamasi Injil secara verbal kepada orang yang belum mengenal Yesus yang mendatangkan pertobatan (menjadi Kristen) sudah dipandang sebagai pemenuhan Amanat Agung (Mat.28:19-20). Ketiga, kehadirannya untuk mewujudkan komunitas yang disebut gereja adalah hal yang penting atau merupakan identitas misi itu sendiri.
Kenyataan ini telah menimbulkan pergumulan yang mendalam di kalangan gereja-gereja khususnya di wilayah GKST dan lebih cenderung meneruskan atau hanya mengulangi apa yang telah ada tanpa dilihat kembali sesuai dengan perkembangan zaman dan realitas pergumulan dalam masyarakat. Karena itu, Stevri I. Lumintang menyebutkan:15
13
Georg Kirchberger ., misi............hal 13 Aristarchus Sukarto., Komunitas yang Rekonsiliatif, dalam Penuntun Jurnal Teologi dan Gereja “Memahami Ulang Misi Gereja” Vol. 4. No. 13 tahun 1997-1998, hal. 24 15 Stevri I. Lumintang., Theologia dan Misiologia Reformed, (Batu, Malang : Departemen Literatur PPII, 2006), hal. 351 14
5
Sejak berdirinya sampai sekarang ini, kegiatan-kegiatan misi gereja-gereja Calvinis di Indonesia tidak lebih dari pada mengulangi kegiatan misi para zending NZG Belanda pada perintisan gereja di Indonesia, seperti : pertama, perkunjungan pendeta kepada gereja-gereja lokal yang berada di wilayah kerja kependetaan. Kedua, pembinaan tenaga-tenaga majelis seperti para penatua dan diakon gereja untuk terlibat dalam pelayanan. Ketiga, mengumpulkan para pendatang yang beragama Kristen di daerah-daerah bukan Kristen kemudian mendirikan jemaat, khusus untuk melayani para pendatang Kristen tersebut. Keempat, mempersiapkan para katekumen dalam kelas-kelas katekisasi untuk menjadi anggota gereja melalui pelayanan sakramen baptisan dan perjamuan kudus. Kelima, pelayanan diakonia bagi para janda, yatim dan piatu, duda dan janda serta orang-orang miskin. Keenam, mendirikan sekolah-sekolah umum.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa GKST adalah gereja yang misioner telah mempraktekkan dan menjalankan misi Allah sebagai bentuk kesaksian akan Injil Yesus Kristus. Akan tetapi, misi yang dipraktekkan itu, kurang mendapat perhatian yang serius untuk dikaji atau ditinjau ulang berdasarkan konteks di mana gereja itu berada. Misalnya, pemberian bantuan kepada pengungsi (pasca kerusuhan) sebagai bentuk diakonia. Seharusnya tidak berhenti sampai pada titik itu saja, tetapi perlu dilanjutkan dengan bagaimana menyembuhkan luka-luka trauma, memikirkan alternatif untuk perekonomian warga, hubungan dengan agama lain,dst. GKST selama berkarya telah menjalankan peran dan panggilannya sebagai gereja yang
diutus ke dalam dunia untuk menjalankan misi Allah tetapi nampaknya
memerlukan alternatif lain dalam mengejahwatahkan Misi Allah (bukan Misi Allah yang berubah) itu dalam konteks kehidupan saat ini. Sebab pada satu sisi dijalankan dianggap sebagai usaha pengkristenan dan pada sisi lain ketika dijalankan GKST diperhadapkan dengan teror. Mengapa tidak memadai lagi sebagai teologi misi? Persoalan sangat jelas bahwa setiap perubahan zaman diperlukan upaya untuk terus memikirkan secara kritis arah misi gereja dengan memperhatikan konteks di mana gereja itu berkarya. Karena setiap zaman mempunyai warna dan ciri khas tersendiri 6
sehingga perlu disikapi dengan keadaan yang sedang berubah itu. Dan semakin jelas bahwa “pengharapan gerakan misi pada masa lampau akan sebuah `pertobatan universal` di mana seluruh umat manusia memeluk iman Kristen sangat tidak realistis.”16 Paradigma misi tradisional seperti ini, dalam konteks saat ini, perlu dipikirkan kembali terutama dalam pelayanan gereja dewasa ini. Hal ini diperlukan, karena situasi dan kondisi yang dihadapi oleh GKST telah mengalami perubahan. GKST tidak lagi hidup di zaman kolonial, yang terlalu menekankan pada segi kuantitas dari pertumbuhan orangorang Kristen, tetapi GKST berada pada sebuah tatanan kehidupan pelayanan yang membutuhkan pendekatan baru dalam usaha memahami misi gereja, sebab keadaan masyarakat yang heterogen (suku, agama, budaya) menjadi salah satu faktor untuk memahami misi gereja, apalagi GKST baru saja mengalami sejarah kelam dalam pelayanannya ketika terjadi konflik SARA – Kristen vs Islam – pada tahun 1998 yang masih berdampak sampai saat ini. Inilah persoalan yang akan dibahas dalam penulisan ini yaitu, bagaimana GKST bermisi dalam konteks seperti itu dan teologi misi yang bagaimana yang harus dibangun. Memang tidak bisa dikatakan bahwa misi itu - tidak boleh lagi dilakukan.Bukan itu, justru misi itu dilakukan dalam keadaan yang sedang berubah ini dan bagaimana misi itu dirumuskan secara baru. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa “kontekstualisasi tidak pernah mulai dari nol.”17 Karena itulah, “kontekstualisasi adalah masalah praxis, artinya masalah yang berhubungan dengan bagaimana orang Kristen memahami diri di dalam
16
Dr. John Campbell-Nelson., Misi Gereja dan pelayanan Global, dalam Drs. Stephen Suleman,dkk, (ed)., Mengupayakan Misi Gereja Ynag Kontekstual, (Jakarta : Persetia, 1995), hal. 57 17 E.G.Singgih., Dari Israel Ke Asia, (Jakarta : BPK-GM, 1982), hal. 16.
7
situasinya yang real dan konkrit, supaya dengan demikian dan pada waktu yang sama, karyanya real dan konkrit pula”.18 Oleh karena itu, dalam upaya menggagas teologi misi yang relevan dengan konteks GKST, maka penulis akan menitikberatkan pada fenomena Meko sebagai titik tolak dalam menggagas teologi misi yang kemudian akan didialogkan dengan teks Alkitab.
3. Fenomena Meko : titik tolak upaya berteologi kontekstual Pertanyaan awal yang muncul adalah mengapa Meko dijadikan sebagai titik berangkat dalam upaya menggagas teologi misi? Meko merupakan nama sebuah desa di wilayah Pamona Barat-Poso,Sulawesi Tengah, yang menjadi salah satu wilayah pelayanan di GKST. Jarak desa Meko dengan Pusat pemerintahan Gereja (sinode) di Tentena 30 Km. Desa Meko sendiri terletak di pesisir danau Poso. Desa Meko, mendadak menjadi pusat perhatian baik masyarakat yang berdomisili disekitar Meko dan sekitarnya bahkan sampai ke luar negeri. Perbincangan tentang Meko telah tersebar sampai kemana-mana bahkan kalau kita membuka website di internet, fenomena Meko telah menjadi bahan perbincangan. Hal ini disebabkan oleh peristiwa yang sangat menggemparkan di mana seorang anak kecil bernama Selvin Bungge (8 tahun) dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit hanya dengan menyanyikan lagu “Allah Kuasa Melakukan” dan “Doa Bapa Kami”
serta
“penjamahan.” Peristiwa inilah yang mengubah desa Meko yang dahulunya sepi, kini Meko menjadi pusat perhatian sehingga puluhan ribu orang berdatangan ke Meko untuk 18
Ibid., hal 19
8
mengalami Anugerah Allah melalui seorang anak kecil. (Deskripsi tentang Meko dan pembahasan tentang keajaiban yang terjadi di Meko akan dibahas pada bab tersendiri). Melalui fenomena spiritual Meko hendak dicari model misi yang relevan dengan konteks GKST saat ini, sehingga nantinya diharapkan aura Meko ini dapat mewarnai proses bermisi di GKST atau dengan kata lain bagaimana peristiwa spiritual Meko ini dapat dijadikan otokritik terhadap model bermisi di GKST selama ini. Misi Allah harus diberitakan walaupun zaman terus berubah. Karena itu GKST harus terus berkarya dan bertumbuh dalam pelayanan yang nyata di dunia yang terus berubah secara dinamis. Itu berarti di tengah kehidupan manusia atau masyarakat yang ditandai dengan berbagai permasalahannya, gereja (GKST) hendaknya tidak berdiam diri tetapi memberi perhatian, menyatakan kepedulian sekaligus memberi respon yang nyata terhadap berbagai masalah yang terjadi, sehingga kasih Allah benar-benar dirasakan dalam kehidupan bergereja, masyarakat dan berbangsa.
4. Teks Alkitab Dalam upaya untuk membangun teologi misi yang relevan dengan konteks di GKST maka penulis akan mendialogkan dengan teks Lukas 24 : 36-49 sebagai dasar Alkitabiah.
Dalam Alkitab ada
beragam teks yang berbicara tentang misi Allah.
Pemilihan teks Lukas karena penekanan Lukas terhadap Roh Kudus mendapat tempat yang pokok. Hal ini disebabkan karena Roh Kuduslah yang menjadi penggerak dalam menjalankan misi Allah. Inilah yang unik dari bangunan teologi misi Lukas dibandingkan dengan teks-teks misioner lainnya. Ds. B.J. Boland menyebutkan bahwa Lukas telah
9
membagi sejarah dunia ini dalam tiga kategori yaitu masa sebelum Yesus, masa adanya Yesus dalam dunia dan masa sesudah itu.19 Dalam penjelasannya bahwa manusia berada dalam masa yang ketiga yang disifatkan
pekerjaan Roh Kudus (Luk.24:47; Kis.1:8). Apa yang sedang dikerjakan
Tuhan melalui RohNya merupakan suatu fakta bahwa Roh Tuhan tidak bisa dibatasi hanya dalam tembok gereja. “The sensation of spiritual power and direct inspiration by God also manifested itself in miraculous healings, visions, prophecy and glossolalia” 20 Dan inilah yang terjadi di Meko bahwa melalui RohNya, Tuhan Yesus hadir melalui orang yang dipilihNya untuk menyampaikan pertobatan dan pengampunan dosa. Peristiwa yang dialami oleh murid-murid Yesus ketika masih bersama-sama dengan Dia dalam pelayanan untuk menyampaikan berita sukacita juga dirasakan pada saat ini melalui sebuah peristiwa besar yang terjadi di Meko, “semua orang yang datang mengalami kasih dan Anugerah Allah. Allah sedang menegakkan pemerintahan-Nya yang berdaulat, sehingga semua orang dapat mengambil bagian didalamNya, dan menikmati berkat dan syalom Allah.”21 Tujuan dari Misi Allah yaitu untuk membawa “Syalom” ditengah penderitaan, pergumulan iman sehingga berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa akan terus dikumandangkan dalam sejarah perjalanan kehidupan orang beriman. Lukas dalam menarasikan peristiwa kebangkitan dan kenaikan Yesus ke sorga digambarkan sebagai hari kemenanganNya menuju kepada kemuliaan. Peristiwa tersebut adalah penggenapan janji yang telah Ia sampaikan semasa pelayananNya. Melalui peristiwa ini, maka misi
19
Ds. B.J. Boland., Tafsir Injil Lukas, ( Jakarta : BPK-GM, 1970 ), hal 10. James D.G. Dunn., Jesus And The Spirit, (Grand rapids, Michigan ; William B. Eerdmans Publishing Company,1975), p. 194 21 Pdt. Dr. Tertius Y. Lantigimo., Iman yang Menyembuhkan, dalam Tabloid Syallom edisi 46 bulan Juni (Makassar : Yayasan Suara Syallom Indonesia, 2007 ), hal. 4. 20
10
gereja diarahkan kepada ruang lingkup yang lebih luas yaitu sampai kepada bangsabangsa (Luk.24:47). Kenaikan Yesus ke sorga tidak mengakhiri misi Allah tetapi Misi merupakan sentral dari pelayanan gereja yang digerakkan dan dimeteraikan oleh Roh Kudus.22 Pengutusan jemaat oleh Tuhan tidak lain adalah untuk melanjutkan karya Kristus yang telah di utus oleh BapaNya.23 Karena itulah, gereja dipanggil dalam kesatuan sebagai komunitas beriman dalam Roh Kudus sebagai saksi akan kebangkitanNya.24 Dengan bertitik tolak pada iman kepada Yesus maka gereja akan memahami makna dan tugasnya sebagai pengemban Misi Allah. Gereja adalah tempat di mana yang dimuliakan menyatakan kehadiranNya dan d imana Roh Kudus membaharui. Sehubungan dengan itu, maka Lukas mengarahkan bahwa tugas perutusan gereja dalam dunia bersifat universal. Lukas menyatakan bahwa misi pada awalnya hanya terbatas pada Israel tetapi kehadiran Yesus telah meruntuhkan tembok pemisah sehingga misi disampaikan kepada segala bangsa (Luk.4:14,18). Lukas hendak memperlihatkan bahwa kehadiran Yesus merupakan momentum untuk mendobrak entnosentrisme demi pembebasan atau mendobrak segala eksklusivisme dan mengangkat kerjasama dengan siapapun (inklusivisme) sebagai gaya baru.25
Dalam konteks bermisi, hal ini perlu
mendapat perhatian yang serius, sebab bukan hanya masyarakat yang heterogen yang menjadi konteks kehadiran gereja tetapi juga di dalam kekristenan itu sendiri, sehingga arah dan perwujudan dari misi Allah dapat menjadi bagian semua orang dan bukan menjadi sumber pertentangan yang akhirnya menimbulkan konflik.
22
Senior, C.P.& Carroll Stuhlmueller, C.P., The Biblical Foundations For Mission, ( New York : ORBIS Books, 2001), p. 257 23 Pdt. Em. J. Tjahjaputra., jemaat misioner, dalam Bulletin LPK nomor 11 bulan mei (Yogyakarta : Lembaga Pendidikan Kader GKJ dan GKI Jateng, 1994 ), hal.3 24 Aloys Budi Purnomo, Pr., Roh Kudus Jiwa Gereja Yang Hidup, ( Yogyakarta : Kanisius, 1998 ), hal. 52 25 Theo C. Vergeer, OFM., Mencari Model Misi : Penabur menjadi Benih ? dalam Eddy Kristiyanto, OFM.dkk (ed ), Dinamika Hidup Beriman, ( Yogyakarta : Kanisius, 2002 ), hal. 137
11
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika dalam Lukas 24: 48 menekankan tentang saksi atas peristiwa kebangkitan Yesus. Kata saksi ini sangat penting dalam memahami paradigma misi yang dibangun oleh Lukas. Dua belas murid Yesus mendapat tempat yang unik dalam Lukas dan Kisah Para Rasul sebab mereka membentuk hubungan antara sejarah Yesus dan sejarah kekristenan. “Para rasul merupakan saksi dari Yesus
yang
pernah
hidup
bersamaNya
dari
Galilea
sampai
di
Yerusalem
(bnd.Yoh.15:27).”26 Isi kesaksian dari para rasul mengacu pada pemberitaan Injil, yaitu memberitakan tentang kebangkitan dan pelayananNya. Pada awalnya istilah tentang saksi ini hanya ditujukan oleh Lukas kepada dua belas murid Yesus tetapi pada saat yang sama setelah kenaikan Yesus ke sorga istilah saksi itu sendiri diperluas dan diberlakukan kepada orang lain seperti Paulus dan Stefanus dan pada akhirnya kepada semua orang yang percaya. Tugas dalam menjalankan kesaksian itu tidak lahir dari kemampuan manusia tetapi lahir dari Roh Kudus. Walaupun Lukas belum pernah melihat Yesus tetapi nilai kesaksiannya tidak lebih rendah dari yang lain sebab Roh yang sama datang kepadanya untuk menyatakan akan kemuliaanNya. “Kehadiran umat Tuhan dalam dunia adalah untuk keselamatan umat manusia. “being in the world is being for the world” merupakan hakikat hidup misioner gereja yang harus dihidupi dengan penuh kesadaran. Sebab keberadaan gereja (konteks dimana ia berada) adalah untuk keselamatan dunia itu, dimana dalam konteks gereja itulah kerygma tentang Kristus harus disampaikan kepada manusia berdosa.”27 Dalam teks Lukas ini yang menopang dan mengarahkan misi Gereja adalah Roh Kudus (Luk.24:49). Melalui Roh Kudus, isi dari pelayanan Yesus dapat dipahami. Mulai
26 27
Senior, C.P.& Carroll Stuhlmueller, C.P., The Biblical…p. 259 Dr. Yakob Tomatala., Teologi Misi, ( Jakarta : YT. Leadership Foundation, 2003 ), hal.81-82
12
dari peristiwa Pentakosta dan narasi para rasul, Lukas secara konsisten menghubungkan antara misi gereja dengan Roh Kudus. Roh Kudus sebagai kekuatan yang diutus oleh Allah yang bekerja melalui Israel, pelayanan Yesus dan Gereja.28 “He makes it possible for believers to exist in the continuing life of the world and in persecution, and he gives the power for missionary endeavour and for endurance”.29 Roh Allah yang memberi kekuatan
sebagai penggerak, pembimbing, pendorong dan mengarahkan untuk
melaksanakan misi Allah. Dengan demikian, persoalan utama yang dipergumulkan dalam tesis ini adalah bagaimana mendialogkan antara fenomena Meko sebagai konteks dalam membangun teologi misi di GKST dengan teks Lukas 24:36-49 sebagai dasar. Melalui dialog antara konteks dan teks ini,
diharapkan dapat mewarnai proses bermisi di GKST dan
memberikan arah baru dalam memahami hakikat dari misi Allah, sehingga Syalom Allah dapat dirasakan oleh semua orang
sebagai pengalaman spiritual yang teraktualisasi
dalam praktek kehidupan manusia.
5. Pendekatan Hermeneutik Dalam usaha untuk menyelidiki makna yang terkandung dalam Lukas 24:36-49 maka penulis menggunakan pendekatan dialogic Criticism. Pada prinsipnya, pendekatan ini hendak mengkomunikasikan secara langsung antara teks yang kita miliki dalam Alkitab dengan situasi konkrit yang menjadi realitas kehidupan gereja saat ini. Oleh
28
M. Eugene Boring & Fred B. Craddock., The People’s New Testament Commentary, ( Louisville : Westminster John Knox Press, 1984 ) P.175 29 Hanz Conzelman., The Theology of Saint Luke, ( London : Faber and Faber, 1961 ), p. 95-96
13
sebab itu, untuk memudahkan penafsiran terhadap setiap teks, maka Jakub Santoja menyusunnya dalam bentuk bagan sebagai berikut : .30
Penulis menggunakan pendekatan ini karena dalam
kekristenan pendekatan
terhadap penelitian Kitab Suci ada bermacam-macam yang telah dikembangkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa metode selalu mengalami pergeseran dalam penelitian biblikal (Shifting paradigm)
dan salah satunya adalah dialogic criticism yang merupakan
pengembangan dari teori narasi. Pendekatan ini digunakan karena dalam setiap cerita sebagai wacana komunikasi dari suatu peristiwa, yang terjadi pada masa lampau yang kita jumpai dalam wacana narasi yang kita baca, akan ditemukan hal-hal seperti ini secara teoritis metodologis naratif. Dan ketika membaca dan masuk didalamnya maka peristiwa yang dulu terjadi bisa dijumpai dan turut berperan dan bisa ikut berdialog dengan teks. Menurut Jakub Santoja yang mengembangkan pendekatan ini, menuturkan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam bagan di atas, diambil dari buku “ dialogic Imagination “ karya M.M. Bahktin yang kemudian diletakkan dalam kerangka tiga dimensi.31 Inilah 30
Jakub Santoja, Bahan Kuliah Seminar Metodologi Penelitiaan Teologi PPST UKDW semester gasal 2006-2007. 31 Ibid.
14
kekhasan dari pendekatan ini disajikan dalam bentuk tiga dimensi. Dalam penjelasannya, dimensi ketiga dari pendekatan ini terletak pada apa yang disebut dengan Author Creator (Peranan Allah). Peranan Allah
tidak sama dengan unsur-unsur yang membentuk
dialogic criticism. Author Creator inilah yang menjadi daya penggerak dalam memahami teks.32 Dengan demikian, pendekatan ini mau memberikan sebuah kerangka kerja dalam mendekati teks Alkitab. Terjadinya dialog antara
konteks dan teks tentu akan
memberikan makna bagi kehidupan beriman, terutama dalam konteks jemaat setempat, dan upaya ini tidak dapat dilepaskan dari peranan Author Creator. Disinilah letak dari spirit atau wahyuNya.
Dialogic Criticism tidak hanya digunakan untuk memahami
sebuah teks Alkitab saja, tetapi dapat juga digunakan sebagai media komunikasi yang dapat menghubungkan antara kenyataan yang dihadapi oleh pembaca lokal (realitas pembaca saat ini) dengan teks Alkitab yang telah ada sejak dahulu. Artinya pendekatan ini, merupakan upaya untuk mendialogkan fenomena yang dihadapi oleh pembaca dalam konteksnya dengan teks Alkitab yang juga mempunyai konteks. Dengan didialogkan antara konteks dan teks Alkitab, akan memunculkan sebuah pemahaman dalam menghayati akan esensi keberimanan dalam konteks dimana pembaca lokal itu berada. Jadi, pendekatan dialogic criticsm ini, selain ditampilkan dengan tampilan tiga dimensi, juga mempunyai fungsi ganda, yaitu pertama, dapat dipakai untuk mendekati/menafsirkan teks Alkitab. Kedua, tujuan utama pendekatan ini adalah untuk mengkomunikasikan secara kritis antara pembaca lokal dengan teks Alkitab yang kita miliki saat ini. Pendekatan ini merupakan sebuah wujud keseriusan dalam menggumuli dan memaknai kembali pemberitaan Yesus dalam konteks masyarakat lokal. Dengan cara 32
Ibid.
15
seperti ini diharapkan akan melahirkan sebuah penghayatan iman yang berakar dari konteks lokal.
B. Rumusan Masalah Agar pembahasan ini lebih terarah, penulis mencoba memetakan persoalan di atas dengan pertanyaan – pertanyaan berikut : 1. Bagaimana Fenomena Spiritual Meko dapat memberi inspirasi bagi proses bermisi di GKST sebagai alternatif dalam menggagas masa depan misi di GKST? 2. Bagaimana teks Lukas dapat memberikan landasan teologis bagi pengembangan Misi Allah di GKST melalui fenomena Meko? 3. Bagaimana dialog antara fenomena spiritual Meko dengan teks Lukas 24:36-49 dapat memunculkan dimensi misiologis sehingga membantu warga GKST untuk menghayati imannya? C. Tujuan Penulisan Penelitian ini diharapkan mencapai tujuan : 1. Untuk menggagas misi gereja yang kontekstual dalam penerapannya berdasarkan Fenomena Spiritual Meko 2. Untuk memberikan landasan teologis yang cocok dalam mengembangkan misi Gereja berdasarkan Fenomena Meko 3. Melalui dialog yang kontekstual akan memunculkan dimensi Misiologis bagi pengembangan misi gereja di GKST untuk membawa warga gereja, bergereja secara kontekstual
16
D. Hipotesis Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dan dengan berfokus pada rumusan masalah di atas, maka Penulis menduga bahwa dengan mendialogkan antara fenomena spiritual Meko dengan teks Lukas 24 : 36-49 dapat memunculkan dimensi misiologis bagi pengembangan misi di GKST. Dari hipotesis ini, penulis memberi judul sebagai berikut : MEKO “Pertemuan Dialogis Fenomena Spiritual Meko dengan Injil Lukas 24 : 36-49”
E. Metode penelitian Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah : 1. Penelitian pustaka akan penulis gunakan dalam rangka memperoleh sejumlah data terkait dengan tafsir teks Lukas 24:36-49 serta implikasinya di dalam upaya untuk menggagas misi gereja di GKST dalam konteks saat ini. Karena itu, buku-buku, artikel, majalah-majalah maupun pustaka tertulis lainnya, baik yang bersifat teologis maupun non teologis akan digunakan untuk mendukung penulisan tesis ini. 2. Penelitian lapangan. Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sarana yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara. Yang hendak di wawancara adalah pemuka agama (Kristen dan Islam) dan warga jemaat. Informasi dari informan ini bertujuan untuk memperoleh keterangan tentang fenomena spiritual di Meko sekaligus bagaimana tanggapan mereka terhadap fenomena ini terutama dari perspektif misi Allah.
17
F. Sistematika Penulisan Bab I
: Pendahuluan yang berisi : Latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis, metode penelitian dan sistematika penulisan
Bab II
: Fenomena Spiritual Meko Menguraikan tentang konteks Meko sebagai bagian dari wilayah pelayanan di GKST dan menjelaskan tentang fenomena spiritual di Meko serta implikasi misiologis bagi proses bermisi di GKST
Bab III : Analisis Lukas 24 : 36-49 berdasarkan Dialogic Criticism Bab IV : Mendialogkan Fenomena Spiritual Meko dengan Lukas 24: 36-49 untuk menemukan dimensi misiologis sehingga membantu warga GKST untuk menghayati imannya dalam rangka kontekstual Bab V : Penutup : Kesimpulan dan Saran
18
mengembangkan teologi misi yang