1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf telah diberlakukan di Indonesia. Harta tanah wakaf mempunyai potensi yang amat besar dan amat penting guna pemenuhan terhadap berbagai kebutuhan kepentingan masyarakat, seperti untuk kepentingan keagamaan, kepentingan sosial dan ekonomi, oleh karenanya masalah perwakafan tanah milik perlu diatur dan dikelola dengan secermat mungkin. Sebagai salah satu wujud nyata upaya pengaturan pengelolaan tanah wakaf itu adalah dengan telah disusun dan disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Harta tanah wakaf yang terdapat di Kota Denpasar sebanyak 123 lokasi, yang tersebar di 4 wilayah Kecamatan, yaitu di Kecamatan Denpasar Barat sebanyak 51 lokasi, di Kecamatan Denpasar-Selatan sebanyak 42 lokasi, di Kecamatan Denpasar-Utara sebanyak 18 lokasi, di Kecamatan DenpasarTimur sebanyak 12 lokasi. Meskipun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf itu telah
diberlakukan
selama
10
tahun
namun
ternyata
di
dalam
implementasinya terhadap pengelolaan harta tanah wakaf secara produktifitas
2
ekonomi belum terlaksana secara optimal, sehingga layak untuk diteliti apakah yang menjadi kendalanya. Wakaf bertujuan untuk memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Fungsi wakaf adalah untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf guna kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum, maka harta benda wakaf khususnya yang berupa tanah milik harus dikelola secara efektif dan efisien untuk menunjang tersedianya sarana tempat ibadah, tempat pendidikan, rumah sakit dan kepentingan
sosial
lainnya
serta
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat ataupun untuk kepentingan umum lainnya. Namun dalam realitanya harapan untuk mewujudkan suatu tujuan dan fungsi wakaf guna peningkatan kesejahteran ekonomi masyarakat itu belum dapat terrealisir sepenuhnya. Banyak harta benda tanah wakaf di dalam masyarakat yang mempunyai potensi dan manfaat ekonomi sangat besar untuk dapat dikelola dan dikembangkan guna peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun belum sepenuhnya sesungguhnya
dikelola dapat
secara
produktifitas
dipergunakan
untuk
ekonomi, membantu
yang
hasilnya
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Sangat disayangkan bahwa dalam realitnya usahausaha pengelolaan harta tanah wakaf yang kearah peningkatan kesejahteraan umum itu belum sepenuhnya dapat terwujud seperti yang diharapakan, pada hal potensi dan manfaat ekonomi dalam harta tanah wakaf itu sangat besar.
3
Hal ini merupakan suatu persoalan dan tantangan dalam lembaga wakaf, khususnya bagi pengelola harta benda tanah wakaf agar segera dapat mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf sesuai dengan amanat undang-undang. Harta tanah wakaf yang mempunyai potensi dan manfaat ekonomi begitu besar yang dapat dipergunakan sebagai modal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat itu jangan sampai disia-siakan begitu saja. Potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf itu harus benar-benar dapat terrealisir pengelolaannya secara produktivitas ekonomi sesuai dengan tujuan dan fungsinya yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Secara praktis ketersediaan tanah itu memang merupakan suatu kebutuhan yang amat penting bagi seluruh warga masyarakat Indonesia untuk menunjang kehidupannya, terutama bagi warga masyarakat petani yang semata-mata hanya mengandalkan tanah sebagai sarana modal pokok untuk usaha produktifitas ekonomi guna memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Tanah adalah sebagai tempat untuk bertani, untuk berkebun ataupun berladang, tanah itulah sebagai tempat bergantungnya kehidupan mereka. Tanah juga merupakan sarana utama untuk dibangun dalam berbagai macam sarana kebuthan kehidupan seperti sebagai tempat tinggal, tempat pendidikan, perkantoran dan rumah sakit serta untuk kepentingan sarana umum yang lainnya.
4
Bagi rakyat Indonesia yang sebagian besar bekerja sebagai petani tanah adalah sebagai faktor penunjang yang paling mendasar dalam pekerjaannya maka tanah merupakan modal utama bagi sebagian besar masyarakat Indonenesia.1 Kehidupan manusia sangat bergantung pada ketersediaan tanah. Di Indonesia perwakafan tanah milik telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Perwakafan tanah milik merupakan salah satu bentuk obyek wakaf di Indonesia. Wakaf sebagai suatu lembaga Islam telah menjadi salah satu penunjang bagi perkembangan kehidupan agama dan sosial masyarakat Islam di Indonesia. Kalangan masyarakat Islam di Indonesia memiliki kebiasaan untuk berwakaf tanah milik itu sudah cukup lama, sejalan dengan perkembangan agama Islam di Indonesia. Walaupun keberdaan harta benda tanah wakaf sudah cukup lama namun dalam pemberdayaan terhadap tanah wakaf itu pengeloaannya belum dilakukan pelaksanaan secara optimal, sehingga hasil dari pengelolaannya itu belum sepenuhnya dapat diwujudkan guna menunjang untuk memenuhi berbagai kebutuhan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang secara menyeluruh. Keberadaan tanah wakaf memerlukan adanya suatu
1
H Muchsin, 2007, Isbath Wakaf Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Tanah Wakaf, Varia Peradilan No,264, Nopember 2007, Jakarta, h. 27
5
perhatian yang serius di dalam pengelolaannya dan perlu segera dilakukan penanganan yang secara professional agar hasilnya dapat lebih optimal. Perkembangan Islam di Indonesia secara historis tidak dapat terpisahkan dengan
perwakafan, dan perkembangan Islam di Indonesia tidak dapat
terlepas dari kebiasaan keikhlasan masyarakat untuk ikut berwakaf, sehingga potensi wakaf dapat dipakai sebagai penunjang pada dakwah Islamiah.2 Setiap bangunan yang difungsikan untuk kepentingan keagamaan dan sosial, baik yang berupa tempat ibadah, tempat pendidikan, pusat-pusat penyiaran Islam, asrama dan lain sebagainya selama ini sebagian besar berdiri diatas tanah wakaf. Selain dari itu terhadap harta tanah wakaf yang mempunyai potensi ekonomi perlu dilakukan pengelolaan
dengan secara professional
yang hasilnya akan dapat memberikan kontribusi yang begitu besar guna menunjang terwujudnya kesejahteraan umum, baik untuk pemenuhan kebutuhan dibidang keagamaan, kebutuhan sosial maupun untuk pruduktivitas ekonomi, khususnya guna kepentingan peningkatan kesejahteraan ekonomi umat Islam di Indonesia. Harta tanah wakaf yang dikelola secara produktifitas ekonomi masih sangat sedikit, karena memang masih ada sebagian kecil dari warga muslim yang berwawasan sempit, yang masih memiliki suatu pandangan terhadap
2
Abdul Ghafur Anshori, 2005, Hukum Dan Praktek Perwkafan Di Indonesia, Pilar Media, Jogyakarta, h. 2.
6
penggunaan harta tanah wakaf itu hanya diutamakan guna pemenuhan kebutuhan sarana tempat peribadatan saja. Pada hal peluang pemanfaatan harta tanah wakaf tersebut disamping dapat dipergunakan sebagai tempat ibadah murni ( seperti untuk masjid, untuk mushola), dan dapat dipergunakan untuk kepentingan sosial (seperti untuk sarana tempat pendidikan, untuk rumah sakit, untuk asrama dan sebagainya), harta tanah wakaf dapat dikelola juga secara produktifitas ekonomi. Tanah wakaf sebenarnya mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikelola secara optimal di dalam bidang produktivitas ekonomi, yang hasilnya dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan umat yang lebih luas. Keberadaan lembaga wakaf sebenarnya merupakan suatu lembaga yang memiliki peranan sangat penting dalam perkembangan masyarakat Islam baik dalam bidang keagamaan maupun pendidikan, ekonomi dan sosial.3 Perwakafan tanah milik
dapat merupakan fundamen yang amat
kokoh yaitu sebagai suatu modal usaha yang permanen untuk diberdayakan dalam usaha dibidang produktifitas ekonomi, yang hasilnya dapat dipergunakan untuk mendukung dalam berbagai kegiatan keagamaan dan sosial, sedangkan modal yang berupa harta tanah wakafnya sendiri masih tetap utuh. Keberadaan harta tanah wakaf sebagai aset dapat dimanfaatkan guna kepentingan
3
Juhaya S Praja & Mukhlisin Muzairie, 2009, Pranata Ekonomi Islam Wakaf, Pustaka Dinamika, Jogyakarta, h. 11
7
kemanusiaan didalam jangka waktu yang cukup panjang bahkan untuk selamanya, selama harta tanah wakaf itu masih dapat dimanfaatkan. Dilihat dari segi religious, substansi dalam praktek pelaksanaan perwakafan mempunyai fungsi sebagai ritual dalam arti sebagai suatu bentuk implemantasi dari keimanan seseorang yaitu sebagai amal shaleh yang dipercaya pahalanya akan mengalir secara terus menerus dapat dipakai sebagai bekal kehidupan diakhirat nanti. Pelaksanaan perwakafan juga mempunyai fungsi sosial yaitu bahwa tanah wakaf itu dalam pengelolaan pemanfaatannya sebagai bentuk solidaritas sosial yang dijadikan sebagai instrument pendukung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bersifat abadi. Maka wakaf sifatnya sebagai amal jariah, selama benda yang diwakafkan itu dimanfaatkan oleh orang banyak dan selama itu pula pahalanya akan mengalir terus kepadanya.4 Pelaksanaan wakaf substansinya sebagai bentuk amal jariah adalah merupakan suatu bentuk perbuatan yang amat mulya, yang pahalanya dipercaya akan mengalir secara terus menerus selamanya, sepanjang tanah wakaf tersebut masih digunakan orang. Amal jariah itu semata-mata sebagai perbuatan kebaikan yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat pada umumnya, maka wakaf itu merupakan suatu potensi yang dapat untuk peningkatan kehidupan kesejahteraan masyarakat. 4
Tahir Azhari, 1992, Wakaf dan Sumber Daya Ekonomi, Al Hikmah, Jakarta, h. 11
8
Kegiatan pengelolaan terhadap harta tanah wakap memerlukan suatu perhatian yang sungguh-sungguh guna untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf yang sepenuhnya, harta tanah wakaf harus diberdayakan secara optimal dengan sungguh-sungguh. Pemberdayaan terhadap harta tanah wakaf hasilnya secara tidak langsung juga akan mengarah
kepada pengembangan
pemanfaatannya maupun pengembangan modalnya, sehingga keberadaan harta tanah wakaf akan tetap utuh bahkan dari hasil usaha produktifitasnya akan dapat memperbesar harta wakaf itu sendiri. Terhadap harta tanah wakaf yang dalam realitanya telah diberdayakan secara langsung keberadaan harta tanah wakaf itu akan selalu terkontrol/ terawasi, sehingga tanah wakaf akan tetap terjaga keutuhannya dengan baik, serta keberadaan harta tanah wakaf juga akan selalu terkontrol dengan baik. Keberadaan harta tanah wakaf harus tetap dijaga kelestariannya keutuhannya selama tanah wakaf tersebut masih dapat memberikan manfaat, dapat dikelola dan diberdayakan. Tanah wakaf sebaiknya tidak dialihkan atau dijual agar dapat tetap dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan ketersediaan lahan bagi masyarakat. Bagi masyarakat merasakan ketersediaan lahan pada saat ini dirasakan sudah semakin berat dan semakin sulit untuk dapat memperolehnya apalagi pada masa yang akan datang tentu akan tidak akan mudah. Sejalan dengan kondisi laju pertambahan penduduk dalam masyarakat yang semakin besar akan berpengaruh juga kepada pemenuhan
9
kebutuhan lahan untuk kepentingan pemukiman masyarakat yang tidak dapat dihindarkan lagi, maka lahan tanah wakaf tidak boleh dialihkan kepada pihak lain, agar dapat terjaga kelangsungan pemanfaatannya, keutuhannya untuk selama-lamanya sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. Pengamalan nilai-nilai luhur ajaran Islam yang tercermin dalam makna wakaf itu merupakan bagian dari ibadah.5 Cerminan kebiasaan masyarakat gemar berwakaf harus tetap dijaga selamanya. Semangat gemar pelaksanaan wakaf yang didalamnya terkandung suatu nilai begitu amat mulia itu wajib dipertahankan. Harta tanah wakaf harus dijaga kelestariannya, keamanannya, keutuhannya dan harus dikelola, dikembangkan secara optimal guna memenuhi kebutuhan umat. Keberadaan harta tanah wakaf tidak dapat terlepas dari kesadaran dan keikhlasan setiap orang yang ingin berwakaf atau yang sering disebut Wakif. Pengertian Wakif dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Harta benda tanah milik yang oleh wakif telah diikrarkan untuk diwakafkan berarti status kepemilikannya telah lepas menjadi harta wakaf, untuk selanjudnya harta tanah wakaf diserahkan kepada Nazhir untuk dikelola 5
Sholeh So’an, 2004, Moral Penegak Hukum di Indonesia Dalam Pandangan Islam, Agung Ilmu, Bandung, h. 7.
10
sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. Nazhir merupakan salah satu unsur wakaf yang harus ada dalam praktek pelaksanaan wakaf. Tentang penulisan istilah Nazhir ada beberapa macam versi, yang di dalam Kompilasi Hukum Islam ditulis dengan istilah Nadzir, bahkan dalam tulisan yang lain ada dipergunakan dengan penulisan Nazir, karena ada beberapa versi tentang penulisan Nazhir maka dalam penulisan tesis ini agar tidak menimbulkan kerancuan penulisan istilah Nazhir untuk selanjudnya dipergunakan istilah Nazhir sesuai dengan yang tertulis di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Pengertian Nazhir dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Nazhir
memiliki
tugas
dan
kewenangan
untuk
mengelola,
mengembangkan juga menjaga keutuhan dan kelestarian harta benda wakaf yang telah diterima dari Wakif. Nazhir memiliki peran kewenangan yang sangat penting terhadap harta benda wakaf yang telah diterimanya. Meskipun Nazhir memiliki tugas dan kewenangan untuk mengelola harta benda tanah wakaf, namun yang menjadi masalah adalah bahwa tugas kewenangan untuk mengelola harta tanah wakaf tersebut belum sepenuhnya dapat diwujudkan sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat yaitu pada prinsipnya untuk
11
membantu mewujudkan kesejahteraan umum. Nazhir seharusnya memiliki kewajiban penuh untuk mengurus dan bertanggungjawab atas kekayaan harta benda wakaf serta hasilnya.6 Nazhir memilki kedudukan yang pokok dan sangat penting dalam pengelolaan harta benda wakaf yang telah diterimanya. Nazhir dibebani tugas untuk mengelola termasuk untuk menjaga kelestariannya keutuhannya dan untuk mengembangkanya atau meberdayakannya serta memanfaatkannya guna meningkatkan kehidupan kesejahteraan umat. Nazhir wakaf berwenang melakukan hal-hal yang mendatangkan kebaikan dalam pengelolaan harta wakaf dan mewujudkan keuntungankeuntungan bagi tujuan wakaf dengan memperhatikan syarat-syarat yang mungkin telah ditentukan oleh wakif.7 Dimana wakif dalam ikrar wakafnya menyatakan dengan jelas tentang peruntukan dari wakaf yang telah dilaksanakan. Peran Nazhir dalam hal ini sangat sentral untuk mengelola tanah wakaf yang telah diterimanya. Berhasil atau tidaknya untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf itu sangat tergantung kepada peranan Nazhir yang bersangkutan yang telah dipercaya sepenuhnya oleh wakif. Seorang Nazhir didalam pengelolaan tanah wakaf agar dapat berjalan dengan baik maka 6 7
Bahder Johan Nasution & Sri Warjiyati, 2007, Hukum Perdata Islam, Mandar Maju, Bandung, h. 71. Ahmad Azhar Basyir, 1987, Hukum Islam Tentang Wakaf Ijarah Syirkah, Alm’arif, Bandung, h. 20.
12
diperlukan adanya suatu syarat kwalifikasi tertentu bagi seorang Nazhir, seperti yang berupa penguawasaan pengetahuan yang cukup sesuai dengan bidang tugasnya, kemampuan yang dapat diandalkan dan keterampilan yang memadai. Hal tersebut sangat diperlukan guna menunjang tugas yang diembannya. Oleh karenanya dalam rangka untuk mempersiapkan sumberdaya manusia sebagai Nazhir yang memadai, maka sebaiknya di dalam perekrutan terhadap Nazhir itu harus dilakukan secara selektif dengan memperhatikan pada aspek keahlian, ketrampilan dan kemampuan professional yang diperlukan. kwalitatif
Persyaratan
inilah sebagai modal dasar bagi Nazhir yang selama ini belum
sepenuhnya terpenuhi oleh Nazhir, sehingga dapat menjadi kendala untuk dapat mengelola harta tanah wakaf itu secara efektif dan efisien. Nazhir diberikan suatu tanggungjawab langsung atas pengelolaan kemanfaatan terhadap harta tanah wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf yang telah diamanatkan kepadanya, oleh karena itu sebagai Nazhir harus memenunuhi kwalifikasi landasan sifat moral sesuai dengan fikih yang antara lain adalah harus beragama Islam dan harus memiliki sifat amanah, jujur, adil. Guna menjaga kelestarian dan keamanan terhadap harta tanah wakaf maka Nazhir memiliki peran juga dalam menjamin untuk menjaga kepastian hukum terhadap tanah wakaf. Status setiap tanah wakaf harus jelas tentang kepastian
hukum mengenai kepemilikannya dan perlindungan hukumnya.
Nazhir berkewajiban untuk mengusahakan kelengkapan sertifikat dari tanah
13
wakaf yang dikelolanya sebagai alat bukti kepemilikan yang sah terhadap tanah wakaf. Jika dilihat secara nasional harta tanah wakaf diseluruh wilayah Indonesia jumlahnya cukup banyak, pada tahun 2006 sudah mencapai 403.845 lokasi yang luasnya mencapai 1.566.672.406 meterpersegi.8 Dari seluruh tanah wakaf tersebut sebanyak 25% belum bersertifikat, sehingga masih sangat rawan terhadap terjadinya gangguan keamanan kelestarian terhadap harta tanah wakaf. Khusus untuk tanah wakaf yang ada di Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar saja berjumlah 51 lokasi yang luasnya kurarng lebih 16.669,89 m2.9 Tanah wakaf yang jumlahnya cukup banyak itu ternyata belum seluruhnya dikelola secara optimal, belum diperoleh suatu perhatian yang sungguh-sungguh untuk dikelola, dikembangkan, diberdayakan, diawasi serta dijaga keutuhannya.. Sedangkan khusus tanah wakaf yang ada di Kecamatan Denpasar-Barat Kota Denpasar kurang lebih berjumlah 51 lokasi dan sebagian besar dipergunakan untuk tempat ibadah serta ada sebagian kecil yang belum bersertifikat, yang semuanya sudah dilengkapi dengan Akta Ikrar Wakaf (AIW). Terhadap tanah wakaf yang samapai sekarang belum bersertifikat tentu sangat tidak dikehendaki dan dapat menimbulkan kekawatiran terhadap keutuhan serta keamanannya. Ketiadaan sertifikat ini dapat mengancam 8
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI, 2006, Pedoman Pengelolaa dan Pengembangan Wakaf, Departemen Agama RI, Jakarta, h. 82. 9 Gun Supardi, Kepala KUA Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar, wawancara tanggal 1 Agustus 20011.
14
keselamatan
terhadap
eksistensi
tanah
wakaf
yang
terkait.
Untuk
mengantisipasinya maka peran aktif sebagai seorang Nazhir itu sangat diperlukan agar tanah wakaf itu tetap terjaga dan dikelola sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Persoalan dan tantangan terhadap harta tanah wakaf yang tidak dilengkapi dengan sertifikat adalah akan sangat rawan bagi timbulnya persengketaan, bahkan dapat menyebabkan hilangnya aset
kekayaan harta
benda wakaf, yang sangat diperlukan untuk memenuhi kepentingan sarana tempat ibadah keagamaan maupun kepentingan sosial yang lainnya. Pensertifikatan terhadap tanah wakaf merupakan suatu keharusan. Dalam pertumbuhan penduduk dan perkembangan kehidupan masyarakat saat ini yang begitu pesat dengan disertai adanya dorongan terhadap pemenuhan kebutuhan lahan untuk pemukiman yang begitu sulit untuk dipenuhi, maka tanah wakaf dapat dijadikan obyek jual beli tanah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Tanah wakaf sangat memerlukan suatu perhatian yang sungguh-sungguh agar tanah wakaf jangan sampai beralih penguwasaannya kepada pihak ketiga secara melanggar hukum dan jangan sampai harta tanah wakaf itu terbemgkalai atau tidak terurus, terlantar. Guna menjamin keamanan dan kepastian hukum terhadap tanah wakaf maka seorang Nadzir dituntut untuk bekerja secara giat dan professional untuk
15
mengusahakan agar tanah wakaf yang menjadi tanggungjawabnya dapat dilengkapi dengan sertifikat kepemilikannya serta dikelola pemanfaantannya secara efektif dan efisien. Pensertifikatan tanah wakaf secara tehnis memang memerlukan keteguhan kegigihan usaha dari seorang Nadzir yang bersangkutan, karena untuk pensertifikatan tanah wakaf diperlukan pengorbanan tenaga, pikiran dan biaya yang tidak sedikit. Untuk kepentingan tersebut maka diperlukan juga peran dari pihak lain yang terkait yaitu dalam hal ini khususnya adalah peran serta dari pihak lain yang terkait yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemerintah Daerah agar memudahkan dalam pengurusannya. Tanah wakaf dalam proses pelaksanaan kepengurusan sertifikatnya kadang-kadang masih dihadapkan suatu kendala persyaratan dokumen administrasi, khususnya terhadap tanah wakaf yang tidak dilengkapi dengan Akta Ikrar Wakaf (AIW), Terutama terhadap tanah wakaf yang telah ada sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik (PP Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Wakaf Tanah Milik). Dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Wakaf Tanah Milik tersebut ditentukan bahwa setiap tanah wakaf itu harus disertifikatkan. Pensertifikatan terhadap tanah wakaf ini diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum tanah wakaf. Guna keperluan dalam suatu proses pensertifikatan tanah wakaf maka harus dilengkapi dengan Akta Ikrar Wakaf
16
(AIW) sebagai sarat untuk dapat diproses secara administrasi di kantor Badan Pertanahan Nasional. Atas dasar keberadaan harta tanah wakaf yang telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, di dalamnya diamanatkan bahwa harta tanah wakaf yang memiliki potensi manfaat ekonomi harus dikelola secara efektif dan efisien, mengkaji
melalui
suatu
kegiatan
maka penulis bermaksud untuk
penelitian
ilmiah
yang berjudul
“EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DALAM PENGELOLAAN HARTA TANAH WAKAF OLEH NAZHIR DI KECAMATAN DENPASARBARAT KOTA DENPASAR” dengan mengangkat suatu permasalahan sebagai berikut. 1.2
Rumusan Masalah Dari uraian pada latar belakang masalah tersebut di atas tercermin masih adanya harta tanah wakaf yang belum dikelola secara optimal dan baru sebagian kecil harta tanah wakaf yang telah dikelola secara produktivitas ekonomi, sehingga harta tanah wakaf tersebut belum mendatangkan suatu hasil guna yang optimal secara ekonomis untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka dapatlah dirumuskan suatu masalah sebagai berikut:
17
1. Apakah pelaksanaan pengelolaan harta tanah wakaf oleh Nazhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf di Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar itu telah efektif ? 2. Apakah harta tanah wakaf di Kecamatan Denpasar-Barat Kota Denpasar telah dikelola secara optimal ? 1.3
Ruang Lingkup Masalah. Penelitian terhadap wakaf ini hanya ditekankan terhadap permasalahan yang terkait dengan wakaf tanah milik di Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar, terutama tentang pengelolaan terhadap wakaf tanah milik secara produktif yang dilakukan oleh Nazhir, meliputi
fungsi perencanaan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan pelestarian, pengawasan tanah wakaf guna membantu meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat, dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengelolaan harta tanah wakaf. 1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pelaksanaan penerapan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dalam pengelolaan terhadap harta tanah wakaf di Kecamatan Denpasar- Barat Kota Denpasar.
18
2. Untuk mengetahui tentang penggunaan pemanfaatan terhadap tanah wakaf di Kecamatan Denpasar- Barat Kota Denpasar
1.4.2 Tujuan Khusus Secara khusus tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui tentang pengelolaan terhadap harta tanah wakaf berdasarkan Undang-Undang Nomor. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang dilaksanakan oleh Nazhir di Kecamatan Denpasar-Barat Kota Denpasar. 2. Untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap pengelolaan
harta
tanah wakaf di Kecamatan Denpasar-Barat Kota
Denpasar. 1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Secara Teoritis Secara teoritis manfaat dari hasil penelitian ini adalah, 1. Diharapkan dapat membantu memberikan sumbangan pemikiran kepada Nazhir dalam rangka untuk menyusun suatu rancangan pedoman tentang pengelolaan harta tanah wakaf yang sesuai dengan landasan pertimbangan pembentukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
19
2. Dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada Nazhir dalam rencana pengelolaan terhadap harta tanah wakaf sehingga dapat memberikan suatu kontribusi dalam peningkatan ekonomi masyarakat.
1.5.2 Manfaat Secara Praktis Secara praktis manfaat dari penelitian ini adalah; 1. Dapat memberikan kejelasan kepada masyarakat tentang pengelolaan harta tanah wakaf di Kecamatan Denpasar-Barat Kota Denpasar. 2. Dapat
memberikan kejelasan kepada masyarakat tentang pemanfaatan
terhadap harta tanah wakaf di Kecamatan Denpasar-Barat Kota Denpasar. 1.6
Orisinalitas Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis judul Penelitian tentang “Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Dalam Pengelolaan Harta Tanah Wakaf Oleh Nazhir di Kecamatan Denpasar-Barat Kota Denpasar” itu belum pernah ditemukan sebelumnya. Bagi penulis permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini merupakan hal yang baru. Adapun hasil penelitian ataupun tesis yang pernah ditemukan adalah,
20
1. Resmiyati, 2004, Pelaksanaan Perwakafan Tanah Milik di Kabupaten Ambarawa Berdasarkan PP No.28 Tahun 1977, Tesis UNDIP, Semarang10. Tesis tersebut merumuskan permasalahan sebagai berikut: (1). Bagaimanakah pelaksanaan perwakfan tanah milik di Kabupaten Ambarawa, apakah sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik ? (2). Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perwakafan tanah milik di Kecamatan Ambarawa? Jawaban dari permasalahan tersebut adalah bahwa pelaksanaan perwakafan tanah milik di Kecamatan Ambarawa sudah sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, dimana setiap tanah wakaf harus dilakukan pendaftaran. Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perwakafan tanah milik di Kecamatan Ambarawa adalah (a). Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 belum banyak diketahui didalam kehidupan masyarakat khususnya masyarakat di Kabupaten Ambarawa. (b). Terbatasnya dana untuk pensertifikatan tanah wakaf. (c). surat bukti kepemilikan kurang lengkap. 2. Erfin Febriansyah, 2008, Peranan Persyarikatan Muhammadiyah Sebagai Nadzir Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Dalam Pengelolaan Tanah Wakaf Di Jogyakarta, Tesis UNDIP, Semarang11. 10
Resmiyati, 2004, Pelakasnaan Perwakafan Tanah Milik di Kabupaten Ambarawa Berdasarkan PP No 28Tahun 1977 , (Tesis) Program Studi Magister(S2) Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, h. 5.
21
Tesis
ini
merumuskan
permasalahan
sebagai
berikut;
(1).
Bagaimanakah peranan Persyarikatan Muhamadiyah sebagai Nazhir dalam pengelolaan tanah wakaf di Kota Yogyakarta ? (2). Apakah kendala yang dihadapi oleh persyarikatan Muhamadiyah sebagai Nazhir dan bagaimana solusinya ? Dari permasalahan tersebut diperoleh jawaban sebagai berikut; peranan Persyarikatan Muhamadiyah sebagai Nazhir dalam pengelolaan tanah wakaf adalah, (a).
melakukan koordinasi dan konsolidasi, yaitu sebagai
koordinasi pelaksana wakaf yang terjadi pada tiap tingkatan Pimpinan Cabang dan Ranting Muhamadiyah, serta memperkuat kinerja organisasi secara struktural dan personal di masing-masing tingkat pimpinan baik secara internal maupun secara ekstenal. (b). Mengoptimalisasikan pelaksanaan perwakafan
yaitu
penghimpunan
tanah
wakaf,
pendaftaran
dan
pengoptimalisasi tanah wakaf untuk dapat dipergunakan dalam kegiatan dibidang keagamaan dan sosial. (c). Melakukan bimbingan dan pengawasan dalam pelaksanaan wakaf yang terjadi pada tiap tingkatan Pimpinan Muhamadiyah yang dibawahnya. (2). Kendala –kendala dalam perwakafan di Kota Yogyakarta yaitu, masih terdapat tanah wakaf yang belum bersertifikat sehingga hal ini akan menyulitkan dalam pendaftarannya dan mengakibatkan adanya berbagai permasalahan yang kemungkinan timbul dikemudian hari. 11
Erfin Febriansyah, 2008, Peran Persyarikatan Muhammadiyah sebagai Nazhir Menurut UU No.41 tahun 2004 tentang Wakaf dalam Pengelolaan Tanah Wakaf diYogyakarta,(Tesis) Prgram Studi Magister (S2) Kenotariatan Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, h. 9.
22
Apabila terjadi sengketa, maka penyelesaiannya dilakukan dengan cara musyawarah, apabila masih juga tidak berhasil, maka satu-satunya jalan adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga(mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke Pengadilan Agama. 3. Abdullah Gofar 2013, Peranan Nazhir Dalam Pendayagunaan Tanah Wakaf , studi kasus di Kotamadya Palembang, Tesis Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta12. Tesis tersebut merumuskan permasalahan tentang; (1). Hambatan atau kendala dalam proses pendaftaran dan pemanfaatan tanah wakaf? (2). Proses dan tatacara pengangkatan atau penunjukan Nazhir dalam pengelolaan tanah wakaf? (3). Peran dan tanggung jawab Nazhir dalam pendayagunaan tanah wakaf? (4). Sistem dan program kerja Nazhir dalam pemanfaatan tanah wakaf. Simpulan jawaban dari permasalahan tersebut; (1). Bahwa proses pendaftaran tanah wakaf, walaupun pada kenyataannya saat sekarang telah mencapai 70% 12
Abdullah Gofar 2013, Peranan Nazhir Dalam Pendayagunan Tanah Wakaf, Studi Kasus di Kotamadya Palembang, Tesis Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana(S2) Universitas Indonesia, Jakarta. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/16/73763b9f0b696acda23228d6e1b7ec4f4932f49a.pdf diakses tanggal 27 September 2013
23
sebagian besar dilakukan melalui program yang datangnya dari pihak Pemerintah, sedangkan peran aktif yang diharapkan dari pihak Nazhir tanah wakaf belum begitu Nampak, sebab Nazhir masih berstatus sebagai bagian pelengkap dari lembaga perwakafan, belum sebagai manajer yang bertanggungjawab. Di lain pihak pemanfaatan tanah wakaf sebagian besar adalah di bidang peribadatan dan sosial, belum dijadikan peluang oleh Nazhir untuk medatangkan hasil secara ekonomis, dengan memanfaatkan bagianbagian tertentu tanah wakaf sebagai unit usaha. (2). Pengangkatan Nazhir tanah wakaf secara administratif telah dilandasi pada perturan perundangundangan, namun dari segi kemampuan kerja sebagian besar Nazhir belum dibekali panduan kerja yang jelas dalam mendatangkan nilai tambah bagi kepentingan umat Islam. (3). Sebagian besar di masyarakat adanya suatu anggapan pekerjaan Nazhir tanah wakaf lebih banyak pada aspek ibadat unsur keikhlasan dan kerelaan sangat diperlukan oleh setiap orang yang bertindak sebagai Nazhir, sehingga pekerjaan Nazhir masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan bukan sebagai pekerjaan pokok. Akibatnya pengelolaan tanah wakaf belum berpedoman dan dijalankan prinsip-prinsip manajemen suatu organisasi dan pendayagunaan belum menyentuh aspek-aspek ekonomis produktif. (4). Sistem kerja Nazhir dalam pengelolaan tanah wakaf dikerjakan berdasarkan kebiasaan belaka, belum adanya panduan maupun arahan dari instansi yang berwenang, yakni Departemen Agama dalam meningkatkan kemampuan kerja Nazhir tanah wakaf.
24
Jika dibandingkan dengan ketiga tesis tersebut dapat diketahui bahwa judul ataupun permasalahan penelitian yang dilakukan penulis adalah murni sebagai buah karya sendiri. 1.7
Landasan Teori dan Kerangka Berfikir
1.7.1 Landasan Teoritis Penelitian ini menggunakan teori, konsep dan pandangan para sarjana sebagai alat untuk analisa untuk membahas permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini, guna memperoleh hasil kajian yang mendalam. Teori merupakan bangunan berfikir yang tersusun secara sistematis, logis (rasional), empiris (sesuai kenyataan) juga simbolis.13 Teori yang digunakan untuk membahas permasalahan penelitian ini meliputi; 1. Teori sistem hukum dari Lawrence M Friedman. 2. Teori efektivitas hukum dari Soerjono Soekanto. 3. Teori keberlakuan hukum dari Bruggink. 1. Teori sistem hukum Teori sistem hukum dari Lawrence M Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System, A Social Science Perspective, 1975 dinyatakan bahwa A legal system in actual operation is a complex organism in wich
13
Otje Salman Anton F Susanto, 2008, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, h. 7.
25
structur, substance and culture interact14 yang berarti bahwa sistem hukum dalam operasional pelaksanaannya adalah sebagai suatu kesatuan yang mencakup struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum. Teori sistem hukum menegaskan bahwa agar suatu hukum itu dapat berperan secara optimal maka diperlukan kesatuan ketiga unsur dari sistem hukum yaitu struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum.15 a. Legal Structure (Struktur Hukum) Structure to be sure, is one basic and obvious element of the legal system(struktur adalah suatu dasar dan merupakan unsur nyata dari sistem hukum). Struktur hukum mencakup keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, yang termasuk didalamnya lembaga kepolisian dengan polisinya, lembaga kejaksaan dengan jaksanya, lembaga pengadilan dengan hakimnya. Jadi struktur hukum itu mencakup keseluruhan lembaga hukum dan penegak hukum. b. Legal Substance (Substansi Hukum) The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave (substansi terdiri dari aturan substantive dan aturan tentang bagaimana lembaga harus bersikap). Substansi merupakan kandungan
14
Lawrence M Friedman, 1975, The Legal System, A Social science perspective, Rusell Sage Foundation, New York, h. 16. 15 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum ( Legal Theory) dan teori Peradilan (Judicialprudence) termaasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta, h. 225.
26
keseluruhan aturan hukum termasuk asas hukum dan norma hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk petugas pengadilan. c. Legal Cultur (Budaya Hukum) Legal culture refers, then, to those parts of general culture, costums, opinion, wais of doing, that bend social forces toward or away from the law and in particularways (budaya hukum merupakan bagian dari budaya pada umumnya, berupa adat istiadat, pandangan, ide-ide cara berfikir dan tingkah laku, kesemuanya itu dapat membentuk kekuatan sosial yang bergerak mendekati hukum dan cara-cara tertentu). Termasuk dalam budaya hukum ini adalah sikap, prilaku manusia, kebiasaan-kebiasaan dapat membentuk kekuatan sosial untuk mentaati hukum atau sebaliknya melanggar hukum. 2. Teori efektivitas hukum Teori efektivitas hukum dari Soerjono Soekanto menyatakan bahwa hukum itu secara efektif dapat ditegakkan ditentukan oleh lima faktor.16 kelima faktor yang mempengaruhi efektivitas berlakunya hukum itu adalah, a. Faktor hukumnya sendiri. b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.
16
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan hukum, Rajawali Press, Jakarta. h. 8.
27
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. e. Faktor kebudayaan, yaitu cipta, rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. 3. Teori keberlakuan hukum dari Bruggink. Dalam teori hukum keberlakuan hukum itu menurut Brugink dibagi menjadi tiga, yaitu keberlakuan empiris, keberlakuan normatif, keberlakuan evaluatif 17. a. Keberlakuan faktual atau empiris. Kaidah hukum itu berlaku secara faktual atau empiris apabila warga masyarakat mematuhi atau mentaati terhadap aturan yang berlaku terhadap dirinya. Apabila warga masyarakat yang dipandang secara umum berprilaku dengan mengacu pada keseluruhan kaidah hukum itu berarti hukum itu berlaku secara empiris, dimana aturan hukum menjadi pengarah terhadap perilaku warga masyarakat. Disamping itu bahwa aturan atau kaidah hukum itu juga ditegakan oleh penguwasa sebagai penegak hukum dengan demikian suatu aturan hukum itu juga akan berlaku secara efektif. b. Keberlakuan normatif atau formal.
17
Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa B.Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 148.
28
Dalam keberlakuan normatif atau formal ini kaidah hukum yang bersifat khusus tidak boleh bertentangan dengan kaidah hukum yang umum. Suatu sistem kaidah hukum terdiri atas keseluruhan hierarkhi dimana kaidah hukum yang khusus bertumpu pada kaidah hukum umum, kaidah hukum yang lebih rendak diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi, sehingga aturan hukum yang lebih rendah
kedudukannya tidak boleh
bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi kedudukannya, disamping itu substansi aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan substasi yang ada dalam aturan yang lebih tinggi. c. Keberlakuan evaluatif. Hukum itu berlaku sacara evaluatif apabila aturan hukum itu didalamnya mengandung suatu nilai yang penting bagi masyarakat dan dapat diterima oleh masyarakat, sehingga aturan hukum itu wajib untuk dilaksanakan, serta aturan hukum itu harus ditaati dan dipatuhi. Keberlakuan aturan hukum secara evaluatif bahwa aturan atau kaidah hukum itu mempunyai sifat yang mewajibkan.
1.7.2 Landasan Konsep 1. Konsep Pengertian Efektivitas
29
Efektivitas dalam arti menunjukan tarap pencapaian suatu tujuan,18 sesuai dengan aturan yang telah ditentukan sejalan dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Dalam penulisan ini efektivitasnya hanya diukur dengan kriteria berikut ini. Pengelolaan harta tanah wakaf dikatakan efektif apabila: a. Peruntukan pemanfaatan harta tanah wakaf itu tidak menyimpang dari ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dalam ketentuan ini dinyatakan bahwa wakaf hanya dapat diperuntukan bagi: (1). sarana dan kegiatan ibadah, (2). sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan, (3). bantuan kepada fakir miskin anak terlantar, yatim piatu, bea siswa, (4). kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan atau, (5). kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. b. Secara substantif harta tanah wakaf yang mempunyai potensi ekonomis dapat di kelola secara produktifitas ekonomi yang mendatangkan keuntungan dan kemanfaatan bagi umat. 2. Konsep Pengertian Pengelolaan Pengertian pengelolaan berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan &
18
Pringgodigdo, 1973, Ensiklopedi Umum, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, h 361.
30
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang pada garis besarnya pengelolaan itu adalah upaya sistematis dan terpadu yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Sedangkan pada Pasal 1 angka (2) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pengelolaan itu pada intinya merupakan upaya terpadu yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian.19 Dalam pengelolaan
penelitian
harta
tanah
ini
yang dimaksudkan
wakaf
yang
mencakup
pengelolaan
adalah
serangkaian
upaya
pemberdayaan terhadap harta tanah wakaf yang meliputi kegiatan perencanaan dalam pendayagunaan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan atau pelestarian, pengawasan dan penegakan hukum (jaminan kepastian hukum). 3. Konsep Pengertian wakaf. Pengertian wakaf dalam hal ini adalah wakaf tanah milik. Wakaf tanah diperlukan adanya konsep yang jelas, yaitu khusus merupakan serangkaian arti/makna yang terkait dengan wakaf tanah milik.20 Pengertian wakaf berdsarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah merupakan perbuatan hukum wakif (sebagai subyek yang berwakaf ) untuk memisahkan dan atau 19 20
I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Pustaka Sutra, Bandung, h 53. Roni Hanitijo Soemitro, 1983, Metodologin Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 26.
31
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah. Konsep ini untuk mempertegas tentang makna yang terkait dengan istilah wakaf.21 1.7.3 Pandangan para sarjana 1. Pandangan tentang wakaf. Menurut Rachmadi Usman wakaf tanah milik merupakan salah satu cara peralihan dan perolehan hak atas tanah disamping cara lain.22 Wakaf tanah milik dalam prosesnya merupakan suatu perbuatan hukum yang menyangkut tentang peralihan atau perpindahan hak, pada sisi lain proses wakaf juga menyangkut dimensi agama, adat , sosial dan ekonomi. Menurut Rachmat Djatnika, wakaf bukan sekedar masalah keagamaan atau masalah kehidupan seseorang atau masalah adat belaka, melainkan juga merupakan masalah kemasyarakatan dan individu secara keseluruhan yang mempunyai dimensi polymorhpe secara interdisipliner dan multidisipliner.23 2. Pandangan tentang efektivitas hukum 21
Soerjono Soekanto & Sri Mamuji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 6. 22 Rachmadi Usman, 2009, Hukum Perwakafan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 5. 23 Ibid, h. 9.
32
Pelaksanaan kegiatan pengelolaan harta wakaf tanah milik yang menyangkut
pemanfaatan,
pengembangan,
pemberdayaan,
pelestarian,
pendaftaran adalah merupakan bagian dari emplementasi penegakan hukum tentang wakaf. Efektivitas hukum menunjukan tarap pencapaian suatu tujuan hukum.24 Menurut Siswanto Sunarso penegakan hukum merupakan bagian dari pada legal system tidak dapat dipisahkan dengan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.25 Dalam penegakan hukum ketiga unsur pada sistem hukum merupakan satu kesatuan untuk mencapai tujuan hukum. Efektivitas suatu peraturan hukum dalam tehnis penegakannya memerlukan perhatian dari lembaga dan prosedur pelaksanaan yang diperlukan dalam emplementasi penegakannya. Dimana dalam realitanya yang menjadi penentu bagi bekerjanya hukum adalah manusianya itu sendiri.26 Hukum itu diciptakan dan dilaksanakan oleh manusia, oleh karenanya suatu hukum itu dapat bekerja secara efektif apabila disertai adanya penegak hukum sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan hukum tersebut dan orang atau masyarakat yang melakukan perbuatan hukum.
24
Pringgodigdo 1973, loc cit.. Siswanto Sunarso, 2005, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Cipta Aditya Bakti, Bandung, h. 110. 26 Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 70. 25
33
Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang harus mendapat perhatian yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.27 Penegakan hukum dikatakan efektif ketika prilaku bergerak kearah yang dikehendaki oleh norma hukum itu. Menurut Soerjono Soekanto efektivitas suatu aturan hukum sangat tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya.28 Kepincangan pada salah satu unsur, mungkin akan mangakibatkan pengaruhnya terhadap seluruh sistem hukum, karena dalam penegakan hukum masing-masing unsur sistem hukum tidak dapat mencapai tujuannya sendirisendiri secara terlepas dari masing-masing unsur sistem hukum. Achmad Ali berpadangan bahwa efektif atau tidaknya hukum, tidak hanya tergantung pada unsur substansi hukumnya belaka, tetapi juga ditentukan oleh dua unsur sistem hukum yang lainnya yaitu unsur struktur hukum dan unsur kultur hukum.29
27
Sudikno Mertokusumo & A Pitlo, 2005, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum Adat,Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 1. 28 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta,Bandung h. 62. 29 Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 20.
34
Menurut Abdul Manan bahwa hukum yang efektif dan efisien adalah hukum yang bisa mencapai visi dan misinya yaitu untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada warga.30 Hukum yang
dapat berlaku secara efektif adalah mencerminkan
hukum yang hidup dalam masyarakat. Menurut Von Savigny hukum itu timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak didalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa (volksgeist) itulah yang menjadi sumber hukum. Sebagaimana diungkapkan low is an expression of common consciousness or spirit of people.31(hukum adalah sebuah pengekspresian kesadaran atau jiwa bangsa). Hukum tidak dibuat tetapi hukum itu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, sehingga hukum itu ditemukan dalam masyarakat. Pokok-pokok pendapat Von Savigny yang disimpulkan oleh Muhammad Siddiq Tgk. Armia yaitu, hukum itu ditemukan dalam masyarakat tidak dibuat yang bersumber dari kesadaran atau jiwa rakyat.32 Maksud dari pendapat tersebut adalah.
30
Abdul Manan, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kecana, Jakarta, h. 18. Dardji Darmodihardjo, 2008, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, h. 124. 32 Muhmmad Siddiq Tgk. Armia, 2009, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 5 . 31
35
1. Hukum itu tidak dibuat atau diciptakan (hasil penggunaan rasio) tetapi ditemukan. 2. Masyarakat dunia terbagi dalam banyak masyarakat sebagai bangsa, yang masing-masing mempunyai volksgeist sendiri, yaitu adat istiadat sendiri. 3. Yang menjadi sumber hukum satu-satunya dari hukum ialah kesadaran hukum rakyat atau bangsa. Kesadaran hukum masyarakat adalah nilai yang hidup dalam masyarakat, yang meliputi pengetahuan, pemahaman, penghayatan , kepatuhan atau ketaatan kepada hukum. Abdurrahman
mengungkapkan
ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi keefekifan berlakunya undang-undang atau peraturan.33 Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan berlakunya undang-undang meliputi, 1. Faktor peraturan hukumnya sendiri, baik yang menyangkut sistem peraturannya dalam arti sinkronisasi antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, peraturan yang mendukung pelaksanaan peraturan yang bersangkutan dan substansi atau isi dari peraturan tersebut. 2. Faktor pelaksanaan dan penegakan hukum yang diserahi tugas untuk melaksanakan peraturan tersebut. 33
Abdurrahman, 1988, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Akademika Presindo, Jakarta, h. 3.
36
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mencakup berbagai fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan peraturan tersebut. 4. Faktor
masyarakat
dan
budaya
setempat
banyak
mempengaruhi
pelaksanaan undang-undang atau peraturan yang bersangkutan.
37
1.7.4 Kerangka Berfikir Kerangka berfikir dari penelitian ini dapat di lukiskan dalam bentuk skema sebagai berikut.
SUBSTANSI HK (UU 41 , PP 42, PP 28 , KHI)
STRUKTUR HUKUM; ( PPAIW. PA, BWI, BPN )
ATURAN TEHNIS PENGELOLAAN TANAH WAKAF
PROFESIONALISME NAZHIR
EFEKTIVITAS; Pengelolaan Perencanaan, Pemanfaatan, Pengembangan, Pelestarian pengawasan, penegakan hk wakaf
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
BUDAYA HK (KEBIASAAN, KETAATAN MASYARAKAT)
38
Keterangan kerangka berpikir Efektivitas suatu aturan hukum tidak dapat dilepaskan dari hubungan keserasian antara unsur-unsur atau bagian-bagian yang tercakup dalam sistem hukum itu sendiri, yaitu hubungan antara substansi hukum struktur hukum dan budaya hukum. Substansi
hukum
dibidang
perwakafan
tercermin
didalamnya
mencakup substansi hukum yaitu Undang-Undang No 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 tentang Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf. Struktur hukum yang dibidang perwakafan yaitu adanya Lembaga Peradilan Agama (PA), lembaga Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Badan Wakaf Indonesia (BWI), Departemen Agama, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan sebagainya. Budaya hukum dalam hal wakaf yaitu budaya hukum masyarakat yang gemar untuk berwakaf, kebiasaan masyarakat untuk berwakaf, sehingga praktek perwakafan itu sudah menjadi bagian dari budaya atau adat istiadat masyarakat . Wakif sebagai pewakaf dalam melaksanakan kehendak berwakafnya harus berdasarkan ketentuan hukum wakaf.
39
Harta benda wakaf dalam hal ini adalah tanah milik, harus merupakan tanah hak milik sah yang terbebas dari segala pembebanan, sengketa, masih dalam proses pengadilan dan lain-lain, berdasarkan undang-undang atau peraturan yang berlaku. Nazhir adalah sebagai subyek yang diberi tugas dan kewenangan untuk mengelola, merencanakan, memanfaatkan, mengembangkan, menjaga atau melestarikan, mengawasi dan menegakkan hukum harta benda wakaf. Nazhir dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya harus berlandaskan undang-undang atau peraturan yang terkait. Untuk mewujudkan efektivitas maka aturan tehnis pengelolaan harta tanah wakaf harus ada dan disusun berdasarkan undang-undang maupun aturan tentang wakaf, yang dapat menjadi pedoman bagi Nazhir dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Syarat profesionalisme Nazhir harus ada untuk mewujudkan efektivitas dalam pengelolaan harta tanah wakaf, memiliki pengetahuan dan ketrampilan
seorang Nazhir harus
yang memadai untuk mendukung
tugasnya dan harus ada proses perencanaan yang jelas, maka untuk menentukan pemilihan Nazhir harus dilakukan secara selektif, berdasarkan kemampuan profesionalitas yang memadai, pengetahuan yang tinggi, ketrampilan yang tinggi.
40
Personil pengelola atau Nazhir harus didukung dan diawasi oleh lingkungan masyarakat, perhatian masyarakat terhadap harta tanah wakaf harus ditingkatkan, budaya kepedulian
masyarakat terhadap harta tanah
wakaf harus ditingkatkan. Adanya landasan undang-undang atau peraturan yang jelas dengan ditunjang oleh Nazhir sebagai pelaksana yang professional ini dapat mendukung terhadap efektifitas pengelolaan, pemanfaatan, pengembangan, pengawasan dan pelestarian harta tanah wakaf secara efektif. Efektivitas pengelolaan terhadap harta tanah wakaf dapat ikut menunjang terciptanya kesejahteraan masyarakat. 1.8.
Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris mengkaji pada berlakunya hukum didalam masyarakat. Penelitian hukum empiris merupakan penelitian tentang fakta-fakta sosial masyarakat atau fakta-fakta berlakunya hukum dimasyarakat.34 Penelitian hukum empiris berusaha untuk mengungkapkan tentang berlakunya hukum dalam masyarakat. Berlakunya hukum berkaitan dengan 34
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju , Bandung , h. 135.
41
prilaku masyarakat terhadap hukum, masyarakat akan menunjukan reaksinya dalam sikap. Penelitian hukum empiris menjelaskan tentang prilaku terhadap hukum yang berkembang dimasyarakat.35 Bahwa terhadap hukum masyarakat dapat bersikap menerima sehingga ia akan mentaatinya atau sebaliknya menolaknya. Penelitian hukum empiris lebih menitik beratkan pada aspek penerapan hukum dalam masyarakat (law as what it is insociety).36 Penelitian hukum empiris mengkaji penerapan terhadap hukum. Ilmu hukum sebagai ilmu terapan menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam penerapan hukum.37 Penelian hukum empiris mencari bentuk-bentuk realitas sikap prilaku masyarakat terhadap hukum yang berlaku .
1.8.2
Sifat Penelitian Penelitian hukum empiris ini bersifat diskriptif analistik yaitu merupakan penelitian hukum empiris yang bertujuan untuk menggambarkan
35
Abdulkadir Muhammad,2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 157. Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana UNUD, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Universitas Udayana, Denpasar, h. 34. 37 Peter Mahmud Marzuki,2009, Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 22. 36
42
sikap-sikap kegiatan seorang Nazhir wakaf dalam melakukan pengelolaan terhadap harta wakaf tanah milik. 1.8.3
Data dan Sumber Data 1.
Jenis data Data dalam penelitian hukum empiris ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer adalah merupakan data yang diperoleh langsung dari responden dan informan di lapangan penelitian. Data penelitian dapat diperoleh dari pihak-pihak yang berwenang pada kantor Kementrian Agama kota Denpasar bagian pendataan tanah wakaf, pihak yang berwenang pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Denpasar Barat, Nazhir wakaf , Wakif tanah wakaf dan warga masyarakat disekitar keberadaan tanah wakaf, dan kalangan akademisi yang kompeten. Data sekunder adalah merupakan data yang diperoleh dari literature melalui penelitian kepustakaan. Data penelitian ini dapat diperoleh dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahu 1977 Tentang Perwkafan Tanah Milik,
43
Kompilasi Hukum Islam Indonesia, serta beberapa peraturan pelaksana yang terkait. 2.
Sumber Data Data primer penelitian bersumber dari
pejabat yang membidangi
tentang wakaf di Kantor Kementrian Agama Kota Denpasar sebagai responden, pejabat yang membidangi wakaf di Kantor Urusan Agama Denpasar Barat serta responden dan informan lainnya dilapangan penlitian. Semua data yang diperoleh dari respoden dan informan sebagai data primer. Data sekunder merupakan data yang bersumber dari bahan literatur hukum meliputi undang-undang yang terkait dengan wakaf dan perturanperaturan pemerintah terkait dengan wakaf sebagai bahan hukum primer, buku-buku literature dan majalah sebagai bahan hukum sekunder dan ensiklopedi umum sebagai bahan hukum tersier. Semua data yang diperoleh dari literatur bahan hukum sebagai data sekunder. Berbeda dengan penelitian non doctrinal yang lebih mengutamakan sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder. Non doctrinal research is characterized by a lesser emphasis on the primary and secondary source of law.38 Data sekunder bersumber dari bahan hukum atau buku lainnya yang terkait dengan wakaf, yang secara garis besarnya meliputi;
38
Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co. Reverwod, NSW, h. 18.
44
a. Bahan hukum primer mencakup perundang-undangan yaitu UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, Kompilasi Hukum Islam Tentang Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf, serta beberapa perturan lainnya yang terkait. b. Bahan hukum sekunder meliputi buku literatur, majalah dan hasil penelitian yang terkait dengan wakaf. c. Bahan hukum tersier ensiklopedi umum. 3.
Tehnis Pengumpulan Data Tehnis pengumpulan data yang dipergunakan adalah;
Tenis dengan cara mencatat dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden dan informan. Tehnis dengan cara mencatat dari hasil penelusuran studi dokumen melalui kepustakaan. Tehnis wawancara langsung dengan responden dan informan digunakan untuk mengumpulkan data primer. Tehnis studi dokumen digunakan untuk mengumpulkan data sekunder. 4. Tehnis penentuan sampel
45
Tehnis penentuan sampel ditentukan menggunakan langkah-lankah sebagai berikut. Tehnis penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan tehnik non probability sampling yaitu tidak semua subyek populasi sebagai individu mendapat kemungkinan kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel.39 Penentuan sampelnya menggunakan model purposive sampling. Purposive sampling adalah pengambilan contoh/sampel dengan cara langsung berdasarkan tujuan tertentu. Dalam penelitian ini penentuan sampelnya hanya terbatas pada pihak-pihak yang terkait dengan harta wakaf tanah milik yang ada diwilayah Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar. Adapun pihak yang terkait dengan wakaf tanah milik di wilayah Kecamatan Denpasar Barat adalah Wakif atau pihak yang berwakaf jika masih ada, Nadzir atau pihak yang diberikan tugas untuk mengelola mengawasi tanah wakaf. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) Kantor Urusan Agama, bagian pendataan tanah wakaf Departemen Agama Kotamadya Denpasar, dan pihak warga masyarakat diitempat sekitar keberadaan tanah wakaf. 5. Tehnis penentuan responden dan informan Responden ditentukan dengan cara memilih beberapa pihak berkaitan langsung terhadap pengelolaan harta tanah wakaf.
39
Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 74.
yang
46
Informan ditentukan dengan cara memilih pihak-pihak yang tugasnya terkait dengan pelaksanaan perwakafan,
pendataan perwakafan dan
pengawasan perwakafan, serta pihak-pihak yang dipandang mengetahui tentang perwakafan.. 6. Tehnis pengolahan dan analisa data a. Tehnis pengolahan data Tehnis pengolahan data dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut. 1. Mengedit data, yaitu semua data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data
dipilah-pilahkan
berdasarkan
kwalifikasinya
sebagai
data
pendukung terhadap proses penelitian. 2. Koding data yaitu dengan cara memberikan tanda pada masing-masing data berdasarkan sumber dan kwalifikasi data. b. Tehnis analisis data Setelah dilakukan pengolahan data maka tahap langkah selanjutnya dilakukan analisa data dengan menggunakan tehnik analisa secara kwalitatif. Dalam proses analisa data ini semua data primer maupun sekunder mempunyai kedudukan yang sama untuk dipergunakan sebagai bahan dasar pokok analisis, yang selanjudnya data tersebut dipakai untuk menelaah terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Menginterpretasikan data dengan cara mencari makna yang tercermin didalam masing-masing data.
47
2. Mengkwalifikasikan data dengan cara mengelompokan
data- data
kedalam kwalifikasinya. 3. Melakukan analisis dilakukan analisa secara kwalitatif terhadap data yang diperolehnya.. 4. Penyajian data dengan cara melakukan pemaknaan terhadap seluruh data yang diperoleh dengan menggunakan analisa secara kwalitatif dan disajikan dalam bentuk suatu uraian secara diskriptif analistis.
48
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WAKAF DI INDONESIA 2.1. Pengertian Wakaf Ditinjai dari segi bahasa wakaf berasal dari bahasa Arab waqf yang berasal dari kata woqofa-yaqifu-waqfa yang berarti ragu-ragu, berhenti, memperlihatkan,
memperhatikan,
meletakan,
mengatakan,
mengabdi,
memahami, mencegah, menahan, dan tetap berdiri.40 Kata al-waqf adalah bentuk kata kerja dari ungkapan waqfu al-syai yang berarti menahan sesuatu. Dalam
pengertian
secara
umum
wakaf
adalah
pemberian
yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Sedangkan yang dimaksud dengan tahbisul ashli ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan,
disewakan
dan
digadaikan
kepada
orang
lain.
Cara
pemanfaatanya, menggunakannya adalah sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan. 41 Wakaf menurut istilah berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah S.W.T.42 40
Farida Prihartin dkk, 2005, Hukum Islam, Zakat dan waqaf, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Papas Sinar Sinanti dan Fak. Hukum UI, Jakarta h. 108-109. 41 Departeman Agama RI,2005, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag, Jakarta, h. 1-2. 42 Ahmad Azhar Basyir, 1987, Hukum Islam Tentang Wakaf Ijarah Syirkah, Alma’arif, Bandung, h. 5.
49
2.2. Pengertian Wakaf Secara Terminologis. Pengertian wakaf jika ditinjau dari segi terminologis ada beberapa konsep, dimana para pakar hukum Islam memiliki pendapat yang berbedabeda sesuai dengan faham dari mazhab yang dianutnya.43 Al Minawi dari mazhab Syafi’i menyatakan wakaf adalah menahan harta benda yang dimiliki dan menyalurkan manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadiannya yang berasal dari para dermawan atau pihak umum selain dari harta maksiat, semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Al Kabisi dari mazhab Hanafi menyatakan bahwa wakaf adalah menahan benda dalam kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya kepada orang-orang miskin dengan tetap menjaga keutuhan bendanya. Dalam pembatasan ini menekankan bahwa wakaf itu menahan benda milik si wakif dan yang disedekahkan adalah manfaatnya atau hasilnya saja. Sedangkan dari penganut Imam Malik menyatakan bahwa wakaf itu adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik yang berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang diperjanjikan atau yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan. Wakaf menurut pendapat ini tidak disyaratkan berlaku untuk selamanya, tetapi sah apabila berlaku untuk dalam waktu tertentu saja, sesudah itu kembali kepada pemiliknya.
43
Abdul Manan, 2007, Hukum Wakaf Dalam Paradigma baru di Indonesia, Varia Peradilan, No 255 Februari 2007, Jakarta, h. 32.
50
Mundzir Qahaf menyatakan bahwa wakaf adalah menahan harta baik secara abadi maupun sementara, dari segala bentuk tindakan pribadi,seperti menjual dan memberikan wakaf atau yang lainnya, untuk tujuan pemanfaatannya atau hasilnya secara berulang-ulang bagi kepentingan umum atau khusus, sesuai dengan tujuan yang disyaratkan oleh Wakif dan dalam batasan hukum syari’at.44 Perkembangan pelaksanaan wakaf di Indonesia sebagian besar mengikuti mazhap Syafi’i yang antara lain pokok-pokok pandangannya meliputi ; a. Ikrar wakaf b. Harta yang boleh diwakafkan c. Kedudukan harta setelah diwakafkan d. Harta wakaf ditujukan kepada siapa e. Boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf45 a.
Ikrar wakaf. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, pelaksanaan perwakafan hanya dilakukan dengan secara lisan saja yang didasarkan pada adat kebiasaan keberagamaan yang bersifat lokal. Pernyataan lisan secara jelas menurut pandangan
44
As-Syafi’i
termasuk bentuk dari
Mundzir Qahaf, 2005, Manajemen Wakaf Produktif , Khalifa, Jakarta, h. 157. Departemen Agama RI, 2005, perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, h. 34. 45
51
pernyataan wakaf yang sah. Perwakafan secara lisan dipandang sah tidak berarti bahwa pelaksanaan perwakafan yang dilakukan secara tertulis itu tidak sah. Pernyataan secara tertulis dalam perwakafan justru dapat dipergunakan sebagai bukti yang kuat bahwa orang yang berwakaf itu benar-benar telah melakukan wakaf. b. Harta yang boleh diwakafkan. Harta benda yang diwakfkan itu dipandang sah apabila memenuhi syaratsyarat sebagai berikut; 1. Benda harus memiliki nilai guna. Maksudnya tidak sah hukumnya mewakafkan sesuatu yang bukan berwujud benda, misalnya yang berupa hak-hak, seperti hak pakai, hak lewat, hak irigasi. Tidak sah mewakafkan sesuatu benda yang tidak berharga menurut syara, yaitu benda yang tidak boleh diambil manfaatnya seperti benda yang memabukan maupun benda-benda yang haram lainnya. Tujuan wakaf adalah untuk mengambil manfaat dari benda wakaf tersebut serta untuk mendapatkan pahala atau keridhaan Allah SWT atas perbuatan tersebut. 2. Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan. Yang dijadikan sandaran dalamm melakukan wakaf terhadap harta adalah dilihat dari segi kekelan fungsi atau manfaat dari harta tersebut, baik harta tersebut berupa benda bergerak atau tidak bergerak. Pada umumnya perwakafan di Indonesia masih didominasi wakaf terhadap
52
harta yang tidak bergerak, misalnya tanah, bangunan untuk masjid/mushola, tempat pendidikan/ sekolah, rumah sakit, tempat pemakaman dan sebagainya. 3. Benda yang diwakafkan harus tertentu (nyata dapat diketahui) ketika terjadi akad wakaf. Penentuan harta wakaf tersebut dapat ditetapkan dengan jumlah, misalnya disebutkan jumlahnya seratus juta, atau dapat juga dengan menyebutkan nisbahnya terhadap benda tertentu misalnya sepertiga dari tanah yang dimiliki, dan sebagainya. Wakaf yang tidak menyebutkan secara jelas harta yang akan diwakafkan maka hukumnya tidak sah, misalnya hanya menyebutkan sebagian tanah miliknya atau sejumlah bukunya dan sebagainya. 4. Benda yang diwakafkan harus benar-benar menjadi milik tetap si wakif atau orang berwakaf, ketika terjadi akad wakaf. Benda yang belum menjadi miliknya tidak sah hukumnya untuk diwakafkan, meskipun harta itu nantinya akan menjadi miliknya, harta yang masih dijaminkan, uang arisan yang belum diundi dan sebagainya. c. Kedudukan harta setelah diwakafkan. Harta yang telah diwakafkan kedudukanya menjadi milik Allah SWT atau menjadi milik umum. Harta yang telah diwakafkan oleh wakif sudah lepas hak kepemilikannya dari wakif sejak wakaf diikrarkan, jadi Wakif sudah tidak mempunyai hak terhadap benda wakaf itu, maka si Wakif tidak dapat menarik kembali, membatalkan
dan
membelanjakannya
yang
dapat
mengakibatkan
53
perpindahan
hak
milik,
tidak
dapat
menjual,
menggadaikan,
menghibahkan, mewariskan. d. Harta wakaf ditujukan kepada siapa. Pertama harta wakaf dapat ditujukan kepada keluarga atau orang tertentu (wakaf ahli ), bahwa hasil harta wakaf itu hanya diperuntukan kepada keluarga yang ditunjuk oleh wakif. Kedua wakaf ditujukan kepada kepentingan umum atau masyarakat (wakaf Khairi) , hasil dari harta wakaf dapat dimanfaantkan untuk kepentingan masyarakat e. Boleh tidaknya tukar menukar terhadap harta wakaf. Menurut paham AsSyafii di Indonesia harta benda wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan apapun. Dampak dari keteguhan pendirian berdasarkan ajaran Mazhaf Syafi’I ini terhadap harta wakaf yang berupa bangunan masjid atau bentuk bangunan yang lain yang sudah rusak atau kurang layak untuk digunakan maka
masyarakat tidak lagi mau memanfaatkannya yang akibatnya
bangunan tersebut akan semakin tidak terurus dan terbengkelai. Pada hal jika harta wakaf itu dapat ditukarkan dengan harta yang lebih produktif maka hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. 2.3. Unsur-Unsur Wakaf Kesempurnaan suatu pelaksanaan perbuatan wakaf sangat sangat dipengaruhi oleh terpenuhinya unsur-unsur perbuatan wakaf. Menurut sebagian besar pandangan para ulama rukun wakaf itu meliputi; 1. Orang yang berwakaf (wakif).
54
2. Harta yang diwakafkan (maukuf). 3. Tujuan wakaf(maukuf a’laih) 4. Pernyataan wakaf (shighat).46 Unsur-unsur wakaf berdasarkan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah; 1. Wakif 2. Nazhir 3.
Harta benda wakaf
4. Ikrar wakaf 5. Peruntukan harta benda wakaf 6. Jangka waktu wakaf. Masing-masing unsur dari wakaf tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; 1. Wakif (orang yang melakukan wakaf). Wakif harus memenuhi syarat mempunyai kecakapan melakukan tabaru yaitu melepaskan hak milik tanpa imbangan materiil. seseorang dikatakan mempunyai kecakapan bertabaru apabila ia telah dewasa (baligh), berakal sehat , tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah dari harta benda wakaf.
46
Ahmad Azhar Basyir 1987, op cit, h. 8.
55
Yang menjadi titik berat dalam menentukan apakah seseorang dipandang cakap bertabaru atau tidak adalah adanya pertimbangan akal yang sempurna pada orang yang telah mencapai umur baligh. Dalam Fikih Islam dikenal ada dua pengertian untuk menentukan kedewasaan seseorang yaitu pengertian baligh dan rasyid . pengertian baligh dititik beratkan pada umur dan rasyid dititik beratakan pada kematangan pertimbangan akal. Akan lebih tepat kiranya apabila dalam penentuan kacakapan tabaru itu ditentukan juga adanya syarat rasyid. Tentang beragama Islam atau tidak beragama Islam, tidak menjadi syarat bagi wakif, sehingga bagi seorang penganut agama selain Islampun dibolehkan untuk berwakaf. 2. Nazhir. Nazhir adalah perseorangan, organisasi atau badan hukum yang memegang amanah untuk mengelola, mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsi dan tujuan wakaf. Adapun syarat-syarat bagi seorang Nazhir adalah a. Warga Negara Indonesia b. Beragama islam c. Dewasa d. Amanah e. Mampu secara jasmani dan rokhani f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
56
3. Harta benda wakaf (mauquf) . Harta benda yang diwakafkan dipandang sah apabila merupakan harta yang bernilai tahan lama untuk dipergunakan dan harta yang dikuasai dan dimiliki sah oleh wakif. Harta wakaf dapat berupa benda tidak bergerak, dan benda bergerak, seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Ikrar wakaf. Ikrar wakaf atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan secara tertulis, lisan atau dengan suatu isyarat yang dapat dipahami maksudnya. Pernyataan dengan tulisan atau lisan dapat dipergunakan menyatakan wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara isyarat hanya dipergunakan bagi orang yang tidak dapat menggunakan secara tulisan atau lisan. Untuk menjaga adanya kejelasan dalam pernyataan secara isyarat maka isyarat tersebut harus benar-benar telah dimengerti oleh pihak yang menerima wakaf. 5. Peruntukan harta benda wakaf. Peruntukan harta benda wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah. Peruntukan harta benda wakaf harus merupakan hal-hal yang termasuk dalam kategori ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya
57
termasuk hal yang dibolehkan menurut hukum Islam. Harta benda wakaf seperti diperuntukan sebagai; a. Sarana dan kegiatan ibadah b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat e. Memajukan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertntangan dengan syariat dan peraturan perundang-undangan. 6. Jangka waktu wakaf. Para fuqaha berbeda-beda pendapat tentang syarat permanen atau untuk selamanya dalam jangka waktu wakaf dan wakaf dalam jangka waktu tertentu. Diantara para fuqaha ada yang mencantumkan jangka waktu sebagai syarat, ada juga yang tidak mencantumkan sebagai syarat. Oleh karena itu ada fuqaha yang membolehkan wakaf untuk jangka waktu tertentu.
2.4
Landasan Dan Pengaturan Wakaf
2.4.1. Landasan AL-Qur’an dan Hadist Landasan amalan wakaf dapat dirujuk beberapa ketentuan dalam kitap suci Al-Qur’an dan Hadist yang antara lain adalah; A. Landasan Al Qur’an.
58
1. Qs Al-Baqarah ayat (267), disebutkan “ wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari usahamu yang baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu nafkahkan dari padanya, pada hal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan kamu akan mencicingkan mata padanya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. 2. Qs Ali-Imran ayat (92), artinya Kamu sekali-kali tidak smpai kepada kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai, dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. 3. Qs AN Nahl ayat (97), artinya, barang siapa yang berbuat kebaikan laki-laki atau perempuan dan ia beriman, niscayakan Aku beri pahala yang lebih bagus dari apa yang mereka amalkan dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dri apa yang telah mereka kerjakan. 4. Qs Al-Hajj (77), artinya, Wakai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
B. Landasan Hadist.
59
1. Sunnah Rasulullah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda apabila manusia meninggal dunia terputuslah (pahala) amal perbuatanya kecuali dari tiga hal, yaitu sedekah jariah yang mengalir terus menerus (wakaf), ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya,(HR Muslim)47 2. Sunnah Rasulullah dari Ibnu Umar ra, bahwa Umar bin al- Khathab ra memperoleh tanah (kebun) di Kaibar, lalu ia datang menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk. Umar berkata “ Hai Rasulullah SAW , saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda, bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar mensedekahkan dijual,
tidak
diwariskan
mensedekahkannya
dan
(tanahnya untuk dikelola), tidak tidak
untuk
dihibahkan.
Umar
(hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang
fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberimakan orang lain dengan tidak bermaksud memupuk harta. (HR Muslim). Setelah Umar bin al Khaththab mewakafkan tanahnya kemudian disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, 47
Elsi Kartka Sari, 2006, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, Grasindo, Jakarta, h. 56.
60
dan sahabat Nabi SAW lainnya seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekah, Utsman menyedekahkan harta di Khaibar, Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur, Muadz bin Jabal mewakafkan rumahnya, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah SAW. Dalam perkembangannya wakaf tidak hanya ditujukan kepada orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan untuk beasiswa bagi para pelajar mahasiswa dan sebagainya. Sikap antusias dari masyarakat terhadap pelaksanaan wakaf, menarik perhatian Pemerintah Negara untuk mengaturnya, bahwa pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyakat.48 2.4.2
Pengaturan Perwakafan di Indonesia
A. Pengaturan Perwakafan di Indonesia pada masa Penjajahan Belanda. Sebelum bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia sudah sering melakukan perwakafan. Praktek perwakafan ini selaras dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, seperti kerajaan Demak, kerajaan Pasai, kerajaan Mataram dan sebagainya. Pelaksanaan perwakafan yang berkembang di masyarakat dilaksanakan
48
Departemen Agama Ri, 2004, op cit , h. 11.
61
dengan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam. Pada masa pemerintahan Hinda Belanda telah diterbitkan berbagai peraturan tentang wakaf di Indonesia guna mengatur tentang harta wakaf yang begitu banyak berada di masyarakat. Adapun aturan-aturan tersebut adalah; 1. Surat Edaran Sekretaris Governemen Pertama Tanggal 31 Januari 1905 No. 435, sebagaimana termuat didalam Bijblad 1905 No. 6196, Tentang Toezicht op den bouw van Muhammedaansche bedehuizen. Dalam surat edaran ini meskipun tidak secara khusus mengatur tentang wakaf, tetapi pemerintah Kolonial Belanda tidak bermaksud melarang atau menghalang-halangi praktek wakaf yang dilakukan
oleh
umat
Islam
untuk
memenuhi
keperluan
keagamaannya. Akan tetapi untuk membangun tempat-tempat ibadah diperbolehkan apabila benar-benar dikehendaki oleh kepentingan umum.surat edaran tersebut ditujukan kepada kepala daerah di Jawa dan Madura kecuali daerah Swapraja, untuk melakukan pendataan dan pendaftaran tanah-tanah atau tempat ibadah Islam yang ada di Kabupaten masing-masing. 2. Surat Edaran dari Sekretaris Governemen Tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361 A, yang dimuat dalam bijblad 1931 Nomor 125/ A Tentang
Toezich
van
de
regeering
op
Muhammedansche
62
bedehuizen, vrijdagdiensten en wakafs. Dalam Surat Edaran ini pada garis besarnya memuat agar bijblad Tahun 1905 Nomor 6169 diperhatikan dengan baik. Untuk mewakafkan harta tetap diperlukan ijin Bupati, yang menilai permohonan itu dari segi tempat harta tetap itu dan maksud pendiriannya. Bupati memberi perintah supaya wakaf yang diijinkannya dimasukan kedalam daftar, yang dipelihara oleh ketua pengadilan agama. Dari semua pendaftaran diberitahukan kepada Asisten Wedana untuk bahan baginya dalam pembuatan laporan kepada kantor Landrente. 3. Surat Edaran Sekretaris Governemen Tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A sebagaimana termuat didalam Bijblad Tahun 1934 Nomor
13390
Tentang
Toezicht
van
de
regeering
op
Muhammedansche bedehuizen, vrijdag diensten en wakafs. Surat Edaran ini sifatnya hanya mempertegas apa yang disebutkan oleh Surat Edaran sebelumnya, yang isinya memberi wewenang kepada Bupati untuk menyelesaikan perkara, jika terjadi perselisihan atau sengketa tentang tanah-tanah wakaf tersebut. 4. Surat Edaran Sekretaris Governemen Tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A sebagaimana termuat didalam Bijblad 1935 Nomor 13480. Surat Edaran ini juga bersifat penegasan terhadap Surat-Surat Edaran sebelumnya, yaitu khusus mengenai tatacara perwakafan,
63
sebagai realisasi dari ketentuan Bijblad Nomor 6169/1905 yang menginginkan registrasi dari tanah-tanah wakaf tersebut. B. Pengaturan Perwakafan pada Negara Kesatuan Republik indonesia. Setelah Indonesia merdeka maka dibentuklah Departemen Agama pada Tanggal 3 Januari 1946 dan bidang wakaf mulai menjadi wewenang dari Departemen Agama. Wewenang Departemen Agama dibidang perwakafan ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 yuncto Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1950 serta berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 9 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 1952. Disebutkan dalam peraturan tersebut bahwa Departemen Agama dengan lembaga hierarkhi kebawah berkewajiban menyelidiki, menentukan, mendaftar dan mengawasi pemeliharaan harta wakaf (khusus harta tak bergerak yang berupa tanah dan bangunan masjid). Berdasarkan ketentuan tersebut berarti wewenang dari Departeman Agama terbatas pada hal-hal tersebut dan di dalamnya tidak terkandung maksud mencampuri atau menjadikan benda-benda wakaf sebagai tanah milik Negara. 49 Selanjudnya berdasarkan Surat Edaran Jawatan Urusan Agama Nomor 5/D/1956 Tentang Prosedur Perwakafan Tanah, disebutkan urusan perwakafan menjadi wewenang Kantor Urusan Agama, maka selanjudnya urusan perwakafan diserahkan kepada Kantor Urusan Agama. Dalam isi 49
Abdul Ghofur Anshori 2005, op cit, h. 43.
64
edaran ini ditegaskan pula bahwa Kantor Urusan Agama dianjurkan membantu orang-orang yang akan mewakafkan hartanya lengkap dengan prosedurnya sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Jawatan Urusan Agama Nomor 5/D/1956 tersebut. Selain itu dengan adanya peraturan ini juga untuk mempertegas dan menindaklanjuti dari peraturan-peraturan yang dikeluarkan pada masa Kolonial Belanda yang dirasakan belum memadahi dan belum memberikan kepastian hukum tentang kedudukan tanah-tanah wakaf di Republik Indonesia. Dalam
rangka
pembaharuan
hukum
agraria
maka
urusan
perwakafan tanah menjadi salah satu perhatian yang serius oleh pemerintah. Sejalan dengan perkembangan mayarakat dimana persoalan tanah merupakan hal yang sangat mendesak untuk diaturnya maka dibentuklah Undang-Undang Pokok Agraria yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau sering disingkat UUPA Pasal 14 ayat (1) dinyatakan bahwa pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya; a. Untuk keperluan Negara.
65
b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, social, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan. d. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu. e. Untuk
keperluan
memperkembangkan
industri,
transmigrasi
dan
pertambangan. Tanah untuk keperluan suci dan sosial diatur dalam Pasal 49 UUPA; 1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. 2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai. 3. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
66
Tanah sebagai obyek perwakafan diatur dalam ketentuan Pasal 49 ayat (3) UUPA yang dinyatakan bahwa “perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Dari ketentuan Pasal 49 ayat (3) UUPA maka dapat diketahui bahwa untuk melindungi perwakafan tanah milik yang selama ini telah berlangsung diperlukan adanya suatu peraturan perwakafan tanah milik sesuai dengan kebutuhan terhadap perkembangan
dan
perlindungan hukum. Sebagai tindak lanjut dari amanat UUPA Pasal 14 ayat (1 b) yang menyatakan bahwa untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ketentuan Pasal 49 ayat (3) bahwa perwakafan tanah mili8k dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Atas dasar ketentuan tersebut maka segera disusun dan disahkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 ini segera disahkan dengan dasar pertimbangan sebagai berikut; a. Bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama Islam, dalam rangka mencapai
67
kesejahteraan spiritual dan material menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. b. Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan, juga membuka kemungkinan timbulnya halhal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan. Maka dengan dasar pertimbangan tersebut, pada tanggal 17 Mei 1977 Pemerintah mensahkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Yang sering disebut PP Nomor 28 Tahun 1977 , dengan sistematika sebagai berikut; Bab I. Ketentuan Umum Bab II. Fungsi Wakaf (meliputi Pasal 2 sampai dengan Pasal 8), Bagian Pertama tentang Fungsi Wakaf. Bagian Kedua tentang Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Wakaf. Bagian ketiga tentang Kewajiban dan Hak-Hak Nazhir. Bab III. Tata Cara Mewakafkan dan Pendaftarannya (Pasal 9 sampai dengan Pasal 10). Bagian Pertama tentang Tata Cara Perwakafan Tanah Milik. Bagian kedua tentang Pendaftaran Wakaf Tanah Milik. Bab IV. Perubahan, Penyelesaian Perselisihan dan Pengawasan Perwakafan Tanah Milk.(Pasal 11 sampai dengan Pasal 13). Bagian Pertama tentang
68
Perubahan Perwakafan Tanah Milik. Bagian Kedua tentang Penyelesaian Perselisihan Perwakafan Tanah Milik. Bagian Ketiga tentang Pengawasan Perwakafan Tanah Milik. Bab V. Ketentuan Pidana (Pasal 14 sampai dengan Pasal 15). Bab VI. Ketentuan Peralihan (Pasal 16 sampai dengan Pasal 17) Bab VII. Ketentuan Penutup (Pasal 18). Untuk menindak lanjuti pelaksanaan PP Nomor 28
Tahun 1977,
terhadap hal-hal yang belum cukup diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 tersebut
maka akan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri Agama dan
Peraturan Mentei Dalam Negri sesuai dengan bidangnya masing-masing. Adapun berbagai peraturan pelaksanaan PP Nomor 28 Tahun 1977 antara lain adalah; 1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 Tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik. Peraturan ini dibentuk untuk keperluan pembuktian yang kuat, maka tanah yang diwakafkan perlu dicatat dan didaftarkan sesuai dengan ketententuan mengenai peraturan pendaftaran tanah. Perlu ditegaskan bahwa semua tanah yang diwakafkan harus didaftarkan kepada Kantor Sub Direktorat Agraria (Badan pertanahan Nasional) Kabupaten/Kotamadya setempat.
69
Terhadap tanah-tanah wakaf yang telah dibuatkan Akta Ikrar Wakaf maka PPAIW berkewajiban untuk mengajukan permohonan pendaftaran kepada Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya setempat, dalam waktu selambat-lambatnya 3 bulan sejak Akta Ikrar Wakaf dibuat. 2. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan ini dimaksudkan untuk melaksanakan Peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, didalamnya menegaskan bahwa setiap perwakafan tanah milik bentuk pelaksanaan ikrar wakaf harus dibuat secara tertulis dan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). 3. Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978 Tentang Pendelegasian Wewenang Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi/ Setingkat di serluruh Indonesia untuk Mengangkat/ Memberhentikan setiap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). 4. Istruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Instruksi ini dikeluarkan untuk sinkronisasi dan pengamanan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. Instruksi tersebut ditujukan kepada para Gubernur Kepala daerah seluruh Indonesia dan kepada para
70
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Seluruh Indonesia, untuk Pertama-tama melaksanakan dengan sebaik-baiknya ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik dan Peranturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun1977 Tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik, serta Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Kedua memerintahkan kepada Instansi dan Pejabat bawahannya untuk memtaati dan melaksanakan Instruksi ini serta segenap Peraturan Pelaksanaan Instruksi ini serta segenap Peraaturan Pelaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Agam dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan bidangnya masing-masing. Ketiga Mengamankan dan mendaftarkan perwakafan tanah milik yang terjadi sebelum berlakunya Per5aturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tanpa biaya apapun kecuali biaya pengukuran dan meterai.
Keempat
memberikan laporan tentang
pelaksanaan Instruksi ini kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. 5. Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1979 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978 Tentang Pendelegasian Wewenang Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi
/Setingkat
di
seluruh
Indonesia
untuk
Mengangkat/
71
Memberhentikan setiap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). 6. Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/75/78 Tentang Formulir dan Pedoman Pelaksanaan PeraturanPeraturan tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan ini lahir untuk ketertiban
pelaksanaan
administrasi
perwakafan
tanah
milik
danmemberikan pedoman peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978. 7. Surat Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor DII/5/ED/07/1981 Tanggal 17 Februari 1981 perihal Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik, yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia agar dapat diberikan bantuan terutama dalam hal biaya ukur dengan diberikan bantuan keringanan sebagaimana biaya ukur atas tanah milik instansi pemerintah atau pembebasan dari semua pembebanan biaya. Hal ini mengingat tanah wakaf tersebut semata-mata diperuntukan dalam kegiatan peribadatan dan keagamaan. 8. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 422 Tahun 2004 dan Nomor 3/SKB/BPN/2004 Tentang Sertifikasi Tanah Wakaf. Keputusan ini dikeluarkan dikarenakan masih banyaknya tanah wakaf di seluruh Indonesia yang belum bersertfikat, sehingga perlu dilakukan peningkatan usaha pensertifikatannya demi untuk tertib admihistrasi dan kepastian haknya.
72
Dengan berlakunya Peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 maka peraturan-peraturan dan atau ketetuan-ketentuan tentang perwakafan tanah milik sebagaimana tercantum dalam Bijblad-Bijblad
Nomor 6196 Tahun
1905, Nomor 12573 Tahun 1831, Nomor 13390 Tahun 1934, Nomor 13480 Tahun 1935 beserta ketentuan pelaksanaannya, sepanjang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dinyatakan tidak berlaku lagi. Kompilasi Hukum Islam merupakan pedoman dan landasan bagi para hakim guna penyelesaian perkara dalam praktek Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materiil didalam Hukum Islam Indonesia. Adanya perbedaan pendapat dikalangan para ulama pada suau persoalan hukum Islam yang berdampak kepada tidak adanya kesatuan hukum di dalam pelaksanaan tehnis yudisial peradilan Agama. Dengan tidak adanya kesatuan hukum dalam berbagai masalah yang menjadi kewenangan dari Peradilan agama maka landasan putusan peradilan agama akan menjadi simpang siur dan tidak ada kepastian hukum bagi pencari keadilan serta tidak adanya pegangan landasan ketentuan hukum yang sama bagi para hakim Peradilan Agama dalam memutus suatu perkara. Untuk mengatasi adanya
perbedaan landasan ketentuan hukum
diantara para hakim dalam memutus suatu perkara dipersidangan maka perlu
73
disusun
suatu
Kompilasi
Hukum
Islam.
Kompilasi
Hukum
Islam
dimaksudkan sebagai hukum materiil yang dapat dipakai sebagai pegangan dan pedoman para hakim dalam lingkungan Peradilam agama sebagai hukum terapan dalam penyelesaian perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Kompilasi Hukum Islam yang mengatur mengenai Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan. Dalam buku 3 Kompilasi Hukum Islam khusus mengatur tentang Perwakafan dengan sistematika sebagai berikut; Bab I Ketentuan Umum (Pasal 215). Bab II Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Wakaf ( dalam Pasal 216 sampai dengan Pasal 222). Bab III Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf (dalam Pasal 223 sampai dengan Pasal 224). Bab IV
Perubahan , Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf (dalam
Pasal 225 sampai dengan Pasal 227). Bab V
Ketentuan Peralihan ( Pasal 228).
Kompilasi Hukum Islam khususnya yang mengatur tentang wakaf secara garis besarnya mengandung substansi yang tidak jauh berbeda dengan ketentuan wakaf yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28
74
Tahun 1977. Unsur-unsur yang termuat didalam Kompilasi Hukum Islam banyak segi kesamaannya dengan unsur-unsur yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. Perbedaan yang jelas antara ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik dengan Buku ke III Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang perwakafan adalah terletak pada obyek wakaf. Yang menjadi obyek wakaf dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 adalah tanah milik, sedangkan yang menjadi obyek wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam adalah meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Hukum Perwakafan merupakan suatu hukum yang hidup dalam masyarakat maka adanya hukum perwakafan merupakan suatu kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat. Dengan pertimbangan tersebut maka bidang perwakafan seharusnya segera diatur dalam suatu undang-undang. Pembentukan undang-undang tentang wakaf itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hukum oleh masyarakat. Dalam rangka pembinaan dan perkembangan hukum nasional maka Oleh Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 27 Oktober 2004 telah dibentuk dan disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
75
Pembentukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut; a. Bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untk memajukan kesejahteraan umum. b. Bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas ditetapkanlah pembentukan undang-undang yang mengatur tentang wakaf sebagaimana yang dimuat di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf . Adapun sistematika Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah sebagai berikut; Bab I Ketentuan umum (Pasal 1) Bab II Dasar-Dasar Wakaf (meliputi Pasal 2 s/d 31). Bagian pertama
Umum (Pasal 2 s/d 3 ).
Bagian Kedua
Tujuan dan Fungsi Wakaf (Pasal 4 s/d 5)
Bagian Ketiga
Unsur Wakaf (Pasal 6).
76
Bagian Keempat
Wakif (Pasal 7 s/d 8).
Bagian Kelima
Nazhir (Pasal 9 s/d 14).
Bagian Keenam
Harta Benda Wakaf (Pasal 15 s/d 16).
Bagian Ketujuh
Ikrar Wakaf (Pasal 17 s/d 21).
Bagian Kedelapan Peruntukan Harta Benda Wakaf (Pasal 22 s/d 23). Bagian Kesembilan Wakaf dengan Wasiat (Pasal 24 s/d 27) Bagian Kesepuluh Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang (Pasal 28 s/d 31 ). Bab III Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf (Pasal 32 s/d 39 ) Bab IV Perubahan Status Harta Benda Wakaf (Pasal 40 s/d 41). Bab V Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf (Pasal 42 s/d 46). Bab VI Badan Wakaf Indonesia (Pasal 47 s/d 61). Bagian Pertama
Kedudukan dan Tugas (Pasal 47 s/d 50 )
Bagian Kedua
Organisasi (Pasal 51 s/d 52)
Bagian Ketiga
Anggota (Pasal 53 s/d 54 )
77
Bagian Keempat Pengangkatan dan Pemberhentian (Pasal 55 s/d 58) Bagian Kelima
Pembiayaan (Pasal 59)
Bagian Keenam
Ketentuan Pelaksanaan (Pasal 60)
Bagian Ketujuh
Pertanggungjawaban (Pasal 61 ).
Bab VII Penyelesaian Sengketa (Pasal 62) Bab VIII Pembinaan dan Pengawaasan (Pasal 63 s/d 66) Bab IX Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif (Pasal 67 s/d 68) Bagian Pertama Ketentuan Pidana (Pasal 67 ) Bagian Kedua Sanksi Administratif (Pasal 68 ) Bab X Ketentuan Peralihan (pasal 69 s/d 70 ) Bab XI Ketentuan Penutup (Pasal 71 ). Sebagai bentuk pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, maka oleh Pemerintah ditetapkan Peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf maka semua peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perwakafan masih tetap berlaku sepanjang tidak
78
bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
79
BAB III EFEKTIVITAS PENGELOLAAN HARTA TANAH WAKAF OLEH NAZHIR 3.1
Pengelolaan Harta Tanah Wakaf Oleh Nazhir Efektivitas pengelolaan harta tanah wakaf, pengelolaan ditinjau dari segi konsep adalah merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi; a. Perencanaan b. Pemanfaatan c. Pengembangan d. Pelestarian/pemeliharaan e. Pengawasan f. Penegakan hukum Bagian-bagian dari serangkaian kegiatan yang tercakup dalam pengelolaan ini dalam pelaksanaannya merupakan satu kesatuan yang merupakan sebuah sistem pengelolaan terhadap harta tanah wakaf. Sebagai sebuah sistem maka serangkaian bagian kegiatan yang tercakup dalam pengelolaan terhadap harta tanah wakaf itu merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan antara bagian yang satu atau unsur yang satu dengan bagianbagian yang lainnya.
80
Pelaksanaan serangkaian kegiatan pengelolaan terhadap tanah wakaf itu dilakukan untuk mencapai suatu tujuan agar harta tanah wakaf itu dapat menghasilkan nilai produktifitas ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan kegiatan pengelolaan harta tanah wakaf yang dilakukan oleh Nazhir sangat bergantung pada sinergi antara bagian kegiatan yang satu dengan kegiatan yang lainnya yang mencerminkan sebuah sistem dalam pengelolaan harta tanah wakaf. Dalam sebuah teori Sistem Hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System A Social Science Perspective bahwa sistem hukum itu meliputi substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum, yang ketiganya merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Bahwa efektifitas pelaksanaan suatu hukum itu tergantung pada ketiga unsur yang tercakup dalam sistem hukum yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum sebagai satu kesatuan
yang tidak
terpisah-pisahkan. Teori Sistem Hukum dari Lawrence M. Friedman tersebut didalamnya mengandung suatu pemikiran yang bersifat komprehensif merupakan suatu pola pemikiran yang tepat untuk diterapkan dalam sistem pengelolaan harta tanah wakaf, agar pengelolaan harta tanah wakaf itu dapat berjalan secara
81
efektif. Sehingga dengan suatu pengelolaan yang dilakukan secara efektif itu diharapkan dapat merealisasikan tujuan dan fungsi wakaf. Perwakafan di Indonesia sebagai satu sistem hukum yang mencakup kelembagaan antara lain Departemen Agama sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengatur tentang pelaksanaan perwakafan di Indonesia, di dalamnya terkait Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Lembaga Badan Pertanahan Nasional (BPN). Lembaga Pengadilan Agama. Bagian unsur sistem hukum yang lain adalah budaya hukum. Perwakafan sudah menjadi bagian dari budaya umat Islam di Indonesia, sehingga masyarakat Islam di Indonesia melaksanakan perwakafan tentang tanah milik telah dilakukan
dengan berdasarkan kesadaran dan keikhlasan. Kedua unsur
tersebut telah terpenuhi dan dapat berjalan di masyarakat. Sedangkan unsur substansi hukum sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf belum sepenuhnya terlaksana secara optimal. Sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pada Pasal 5 disebutkan bahwa wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum, belum dilaksanakan secara optimal. Agar tujuan dari substansi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf itu dapat terwujud maka, perlu dilakukan pengelolaan terhadap harta tanah wakaf secara optimal.
82
Adapun serangkaian kegiatan pengelolaan harta tanah wakaf yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan pelestarian, pengawasan dan penegakan hukum adalah sebagai berikut; 3.1.1
Perencanaan Pengelolaan Harta Tanah Wakaf. Perencanaan pengelolaan harta tanah wakaf harus dilakukan secara cermat, khususnya bagi Nazhir yang ditugasi untuk mengelola terhadap harta tanah wakaf. Adapun dalam kegiatan perencanaan pengelolaan harta tanah wakaf harus dilakukan dengan; 1. Pengelolaan harta tanah wakaf harus berdasarkan visi dan misi yang jelas. Visi pengelolaan harta tanah wakaf adalah untuk dapat mewujudkan nilai manfaat ekonomi harta tanah wakaf dengan cara melakukan pengelolaan terhadap harta tanah wakaf secara efektif dan efisien. Misi dalam pengelolaan harta tanah wakaf adalah agar dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat, maka harta tanah wakaf yang mempunyai nilai potensi dan manfaat ekonomi harus dikelola secara efektif dan efisien. 2. Melakukan pendataan terhadap harta tanah wakaf yang meliputi tentang a.
Jumlah harta tanah wakaf. Dalam hal ini jumlah harta tanah wakaf di Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar sebanyak 51 lokasi.
83
b. Luas harta tanah wakaf. Luas harta tanah wakaf di Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar kurang lebih seluas 16.669,89 m2. c. Kelengkapan dokumen. Dinyatakan bahwa dokumen Akta Ikrar Wakaf terpenuhi semuanya dan dokumen sertifikat harta tanah wakaf dari sebanyak 51 lokasi 7 lokasi diantaranya belum ada sertifikatnya. 3. Pengelolaan berdasarkan prinsip syari’ah Pengelolaan harta tanah wakaf harus sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah. Pengelolaan terhadap harta tanah wakaf semata-mata untuk mewujudkan hasil guna yang membawa kebaikan untuk kepentingan masyarakat. Dalam pengelolaan terhadap harta tanah wakaf tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syari’ah yaitu melarang terhadap segala usaha pengelolaan harta tanah wakaf yang dapat mendatangkan keburukan atau tidak boleh melakukan pengelolaan harta tanah wakaf yang dapat diklasifikasikan kedalam suatu usaha yang diharamkan menurut hukum Islam. Sebagai contoh misalnya mengelola harta tanah wakaf dengan dibangun sebuah gedung sebagai tempat lokalisasi, dibangung sebagai tempat
perjudian,
dibangun
sebagai
tempat
perusahaan
untuk
memproduksi obat-obatan terlarang, minuman keras dan sebagainya. Pengelolaan harta tanah wakaf harus diperuntukan guna kepentingan keagamaan, kepentingan sosial dan ekonomi agar dapat meningkatkan kehidupan kesejahteraan masyarakat. 4. Pengelolaan dilakukan secara produktivitas ekonomi.
84
Harta tanah wakaf yang mempunyai nilai dan manfaat ekonomi harus dikelola secara produktifitas ekonomi. 3.1.2
Pemanfaatan Harta Tanah Wakaf. Dilihat dari segi pemanfaatan dan pengelolaan terhadap 51 lokasi tanah wakaf yang berada di kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar yang dilakukan oleh Nazhir berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dapat disebutkan sebagai berikut: a. 8 lokasi dipergunakan untuk masjid. b. 26 lokasi dipergunakan untuk musholla/tempat ibadah. c. 9 lokasi dipergunakan untuk tempat pendidikan. d. 3 lokasi untuk toko/ruko e. 5 lokasi dipergunakan untuk fasilitas umum dan lain-lain.50 Dari data tersebut menunjukan bahwa harta tanah wakaf yang ada di Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar semuanya telah dimanfaatkan yang pengelolaannya dilakukan oleh Nazhir yang terkait, dengan demikian tidak ada tanah wakaf yang ada di Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar yang ditelantarkan.
50
Any Hani’ah. Ketua Tim Pendataan Tanah Wakaf Kota Denpasar, Wawancara Tanggal 1 Agustus 2011.
85
Pemanfaatan peruntukan tanah wakaf tersirat didalam ketentuan Pasal 22 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang dinyatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan sebagai; a. Sarana kegiatan ibadah b. Sarana dan kegiatan pendidikan sertta kesehatan c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan atau e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. Jika ditinjau dari ketentuan Pasal 22 UU 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf tersebut maka pemanfaatan peruntukan terhadap tanah wakaf yang dikelola oleh Nazhir itu secara formal sudah sesuai dengan yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf tersebut, karena semua harta tanah wakaf di Kecamatan Denpasar-Barat Kota Denpasar telah dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya. Namun apabila ditinjau dari segi jiwa semangat substansi dari pembentukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf sebagaimana yang terkandung didalam prase menimbang pada bagian (a) yang disebutkan bahwa “lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk
kepentingan ibadah dan untuk
86
memajukan kesejahteraan umum”, serta ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, yang disebutkan bahwa “wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum” itu belum sepenuhnya terwujud. Disebutkan bahwa dari sebanyak 51 lokasi harta tanah wakaf tersebut hanya 3 lokasi saja yang dikelola dengan berdasarkan potensi dan manfaat ekonomi. Dari semangat tersebut maka pelaksanaan pengelolaan dari aspek produktifitas ekonomi terhadap harta tanah wakaf yang dilakukan oleh Nazhir tersebut masih sangat sedikit yaitu baru sekitar 3%, dan pengelolaannya belum dilakukan secara optimal guna meningkatkan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat. Pada hal semangat dalam tujuan pembentukan UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf tersebut sangat jelas mengandung suatu tujuan agar harta benda wakaf yang mengandung potensi dan manfaat ekonomi itu harus dikelola secara produktif untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Pemanfaatan harta tanah wakaf dilakukan di dalam rangka untuk membantu mencapai tujuan mewujudkan kesejahteraan umum maka perlu diusahakan untuk menggali dan mengembangkan potensi dan manfaat produktivitas ekonomi yang terdapat dalam harta tanah wakaf. Sebagaimana diketahui bahwa jika dilihat dari segi lokasi harta tanah wakaf di Kecamatan
87
Denpasar Barat Kota Denpasar itu banyak yang mempunyai potensi dan manfaat ekonomi yang dapat dikembangkan oleh Nazhir. Upaya pengelolaan tanah wakaf sebagai salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, maka untuk mencapai sasaran peningkatan kesejahteraan masyarakat dipandang perlu meningkatkan peran lembaga wakaf sebagai lembaga keagamaan yang tidak hanya dipergunakan untuk menyediakan berbagai sarana tempat ibadah dan sosial, melainkan juga ditujukan untuk peningkatan kekuatan ekonomi masyarakat. Dengan cara peningkatan pengelolaan secara efektif dan efisien potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf, maka peran lembaga wakaf berpotensi untuk memajukan kesejahteraan umum. Di dalam upaya meningkatkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf, maka pengelolaan harta benda wakaf harus ditingkatkan dan dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf dengan berlandaskan pada prinsip syari’ah. Konsep ini memungkinkan pengelolaan benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan produktivitas ekonomi dalam arti luas, sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syariah. Pemanfaatan harta tanah wakaf secara produktifitas ekonomi harus dikelola secara professional, dengan mencari potensi nilai ekonominya .
88
Untuk menunjang usaha tersebut maka diperlukan adanya peningkatan kemampuan professional Nazhir dalam pengelolaan terhadap tanah wakaf. Obyek ruang lingkup wakaf dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik yang selama ini pelaksanaan perwakafan cenderung hanya terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, namun dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini obyek wakaf sudah diperluas dimana Wakif dapat juga mewakafkan sebagian harta kekayaan yang berupa benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yaitu yang berupa uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya. Penguwasaan kemampuan professional Nazhir untuk mengelola harta benda wakaf sangat diperlukan agar pemanfaatan harta wakaf itu dapat berkelanjutan dan menghindari terjadinya pelaksanaan pengelolaan pemanfaatan harta benda wakaf yang dilakukan secara habis pakai hanya pada waktu sesaat saja, misalnya sebagai contoh ada obyek wakaf uang pemanfaatannya hanya dibagi-bagikan begitu saja kepada yang memerlukan berarti uang wakaf itu akan habis saat itu, tetapi kalua di infestasikan dan hasil dari investasinya yang dimanfaatkan maka akan memberikan hasil yang berkelanjutan. A. Asas-Asas Pengelolaan Harta Tanah Wakaf
89
Pengelolaan pemanfaatan harta tanah wakaf yang berorientasi kepada pengembangan nilai produktivitas ekonomi guna peningkatan kesejahteraan umum, maka secara tehnis pengelolaan wakaf ini perlu diterapkan beberapa asas pengelolaan sebagai landasan.51 a. Asas manfaat. Berdasarkan keyakinan religius bahwa berwakaf memiliki suatu nilai manfaat yang bersifat abadi yang pahalanya mengalir terus menerus selama benda wakaf tersebut dapat bermanfaat yaitu; 1. Dapat dimanfaatkan oleh orang banyak. Contoh mewakafkan tanah untuk dibangun menjadi gedung sekolah, dimana gedung sekolah tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sarana penyelenggaraan pendidikan. 2. Dapat memberikan nilai manfaat yang lebih nyata sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf yang telah ditentukan oleh wakif, bahwa harta tanah wakaf yang telah diwakafkan tersebut sungguhsungguh memberikan manfaat kepada orang lain, sehingga wakif merasa ada kepuasan secara batiniah. 3. Dapat memberikan nilai manfaat secara immaterial yang lebih besar dari pada nilai materiilnya yaitu berupa pahala yang tak terhingga besarnya dan tak terbatas waktunya yang akan diperoleh
51
Abdul Manan II, op cit, h. 50.
90
oleh Wakif, selama harta tanah wakaf masih tetap dikelola dan dapat dimanfaatkan. 4. Tidak menimbulkan keburukan (mudharat) baik bagi masyarakat banyak maupun bagi wakif sendiri.
b. Asas pertanggungjawaban. Pelaksanaan pengelolaan harta benda wakaf mutlak diperlukan adanya pertanggungjawaban. Perwakafan di dalamnya mengandung aspek ibadah murni Ilahiyah dan aspek ibadah sosial insaniyah, oleh karenanya
pengelolaan
harta
tanah
wakaf
harus
dapat
dipertanggungjawabkan, yang antara lain adalah: 1. Tanggungjawab religius kepada Allah SWT Segala prilaku, perbuatan dan tindakan Nazhir dalam pengelolaan pemanfaatan harta tanah wakaf harus berdasarkan pada segala aturan-aturan Nya. Segala tindakan dan tugas yang dilakukan oleh para pihak sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan harta wakaf memiliki konsekwensi yang bersifat transendetal, yaitu harus dipertanggungjawakan di hadapan Allah SWT. Bagi Nazhir tanggungjawab pengelolaan pemanfaatan ini adalah merupakan suatu beban amanah yang tidak ringan karena Nazhir tidak hanya sekedar melaksanakan apa yang menjadi niat
91
Wakif, tetapi juga harus melaksanakan apa yang menjadi ketentuan Allah SWT yang secara vertikal tentu harus dapat dipertanggung jawabkan kepadaNya. Sedangkan bagi Wakif sendiri dari harta tanah wakaf yang telah disumbangkan, diharapkan adanya pemberian pahala yang secara terus menerus sepanjang masa atas amalan wakaf yang telah diberikan kepada masyarakat. 2. Tanggungjawab kelembagaan. Dalam pengelolaan pemanfaatan harta benda wakaf disertai adanya tanggung jawab kepada pihak yang memberikan wewenang pengelolaan, yaitu tanggung jawab kepada lembaga yang lebih tinggi sesuai dengan tingkat jenjang organisasi kenazhiran. Lembaga Nazhir ini yang merupakan sub organisasi pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang harus bertanggung jawab kepada lembaga yang ada di atasnya, yaitu bahwa sebagai Nazhir wajib melaporkan secara periodik semua pelaksanaan kegiatan yang menjadi tugas kewenangannya dan melaporkan dari semua hasil pengelolaan yang telah diperolehnya kepada Badan Wakaf Indonesia(BWI). 3. Tanggungjawab hukum. Pengelolaan pemanfaatan harta benda wakaf harus dapat dipertanggung
jawakan
secara
hukum
dalam
arti
bahwa
pengelolaan tersebut dilakukan dengan tetap berdasarkan prosedur
92
dan ketentuan hukum yang berlaku. Sebagai Nazhir atau sebagai orang yang diberikan wewenang dalam pengelolaan pemanfaatan harta tanah wakaf harus mampu mempertanggung jawabkan segala tindakannya, bahwa segala tindakan apa yang telah dilakukan dalam pengelolaan pemanfaatan harta tanah wakaf itu benar-benar sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jika kelak diketahui bahwa dalam melaksanakan amanah untuk mengelola harta tanah wakaf tersebut diketahui ternyata melanggar aturan hukum yang berlaku maka Nazhir sebagai pemegang amanah pengelola pemanfaatan harta tanah wakaf yang bersangkutan harus siap diproses secara hukum kepengadilan. 4. Tanggungjawab sosial. Dalam pengelolaan harta tanah wakaf itu bukan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu. Bahwa Nazhir sebagai pengelola pemanfaatan harta tanah wakaf harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat, dimana hasil pengelolaan harta tanah
wakaf
adalah
semata-mata
hanya
ditujukan
untuk
kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jadi sebagai Nazhir segala tindakannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, tidak melakukan tindakan yang tercela yang melanggar terhadap norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
93
5. Tanggungjawab moral. Pelaksanaan pengelolaan pemanfaatan harta tanah wakaf yang dilakukan oleh Nazhir semata-mata hanya ditujukan untuk kepentingan kebaikan kehidupan masyarakat. Nazhir sebagai pengelola harus berpegangan kepada norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat, maka segala prilakunya tidak boleh menyimpang dari norma-norma moral.
Secara moral setiap
prilaku Nazhir dapat dinilai baik buruknya oleh masyarakat pada setiap saat, maka kontrol masyarakat akan selalu menyertainya apakah tindakannya itu memang benar-benar bermoral atau tidak. 6. Tanggungjawab intelektual. Nazhir dalam melaksanakan pengelolaan pemanfaatan harta tanah wakaf untuk dapat mencapai tujuan yang sepenuhnya sangat diperlukan adanya penguwasaan pengetahuan kemampuan dan ketrampilan yang memadai. Nazhir sebagai pengelola pemanfaatan harta tanah wakaf agar dapat mewujudkan tujuan yang diharapkan maka bagi Nazhir harta tanah wakaf wajib memiliki bekal pengetahuan
yang memadai, kemampuan dan ketrampilan
professional yang memadai sesuai dengan dikelolanya. c. Asas profesionalitas.
bidang yang
94
Tugas Nazhir untuk pengelolaan pemanfaatan merupakan bidang yang paling komplek, karena yang dapat menentukan suatu harta tanah wakaf itu dapat bermanfaat dengan sebaik-baiknya atau tidak, pengelolaan itu dapat memenuhi keinginan sesuai harapan atau tidak adalah sangat bergantung pada pengelolaannya yang dalam hal ini dilakukan oleh Nazhir. Maka menejemen pengelolaan pemanfaatan harta tanah wakaf itu harus dilakukan dengan secara baik dan benar agar dapat menghasilkan manfaat yang sebasar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Selama ini Nazhir melakukan tugas dan kewenangan untuk mengelola memanfaatakan harta tanah wakaf itu pada umumnya semata-mata hanya berdasarkan kepercayaan, dimana Nazhir yang hanya dengan penguwasaan pengetahuan kemampuan ketrampilan seadanya dan hasil dari pengelolaan pemanfaatannya juga hanya bersifat sekedarnya. Sebagian besar Nazhir belum melakukan usaha pengelolaan pemanfaatan harta tanah wakaf itu benar-benar secara
professional
dan
optimal,
dengan
hasil
pengelolaan
pemanfaatan yang lebih besar dan lebih luas. Agar pengelolaan pemanfaatan harta tanah wakaf oleh Nazhir itu dapat memberikan hasil yang lebih optimal maka sangat diperlukan adanya suatu management yang lebih professional. Maka bagi seorang Nazhir untuk dapat memenuhi harapan pengelolaan pemanfaatan harta tanah wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf serta agar dapat
95
menghasilkan nilai produktifitas ekonomi yang optimal dalam mengelola pemanfaatan harta tanah wakaf guna dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka di dalam menejemen pengelolaan pemanfaatan terhadap harta tanah wakaf harus dipenuhi berbagai syarat sifat integritas pribadi, yang mutlak harus dimiliki bagi seorang Nazhir sebagai penunjang terhadap pelaksanaan tugas yang diembannya.. Adapun syarat-syarat sifat integritas pribadi yang harus dimiliki oleh seorang Nazhir adalah; 1. Harus amanah ( dapat dipercaya ). Nazhir harus dapat dipercaya dalam melakukan tugas pengelolaan, bahwa pola menejemen pengelolaan pemanfaatan harta tanah wakaf dipandang professional apabila seluruh bagian dari sistem yang digunakan itu dapat dipercaya baik input maupun autputnya. Pengelolaan pemanfaatan harta tanah wakaf sangat bergantung kepada sumber daya yang ada pada Nazhir, maka Nazhir harus memiliki kemampuan yang memadai.
Pengelolaan pemanfaatan harta tanah
wakaf sangat bergantung pada Nazhir, dimana suatu pengelolaan pemanfaatan harta tanah wakaf itu dapat memberikan hasil dan manfaat ekonomi yang optimal untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Untuk dapat mengarah pada tujuan
96
tersebut maka bagi seorang Nazhir harus memiliki syarat kriteria sebagai berikut; a. Standart pendidikan yang tinggi guna menunjang tugas Nazhir. Bahwa sebagai Nazhir tidak diragukan lagi terhadap penguwasaan pengetahuan yang memadai, memiliki wawasan yang luas, pemikiran yang tajam, dalam mengelola harta tanah wakaf. b. Memiliki
kemampuan
ketrampilan
yang
tinggi,
sehingga
diharapkan dapat menghasilkan produktivitas ekonomi yang tinggi dan kwalitas yang tinggi. c. Memiliki kesadaran moral yang tinggi. Bahwa untuk pengelolaan yang sebaik-baiknya diperlukan adanya landasan kwalitas moral yang tinggi. d. Pembagian kerja yang jelas. Bahwa di dalam lembaga Nazhir di dalamnya terdiri dari sekelompok orang, maka agar dapat bekerja secara serasi tidak terjadi tumpang tindih antara anggota Nazhir yang satu dengan yang lain maka harus ada sistem pembagian kerja yang jelas, tugas yang jelas. e. Memiliki kesadaran terhadap hak dan kewajiban. Bahwa masingmasing Nazhir menyadari apa yang menjadi haknya dan apa yang menjadi kewajibannya yang harus dilakukan. f. Memiliki rencana kerja yang jelas dan terarah, sehingga ada acuan yang nyata agar tidak terjadi kepincangan.
97
2. Shidiq (jujur). Kejujuran adalah sifat mendasar pada kepribadian
maupun
pada program yang menjadi tanggungjawabnya sebagai seorang Nazhir. Sebagai seorang yang diberikan tugas,
kewenangan
dan
tanggungjawab maka sifat pribadi yang jujur mutlak diperlukan. 3. Fathanah (cerdas/bijaksana). Kecerdasan sangat diperlukan untuk menciptakan suatu program yang dapat diterima oleh masyarakat dengan memberikan harapan kehidupan yang lebih baik dan lebih meningkat kepada masyarakat, dan mampu memenuhi keinginan masyarakat. 4. Tabligh (terbuka). Kesediaan dalam memberikan informasi yang benar tentang hasil dari pengelolaan dan penyaluran pemanfaatan harta benda wakaf yang telah ataupun yang sedang berjalan kepada masyarakat. d. Asas keadilan sosial. Hasil pengelolaan tanah wakaf wajib diberikan kepada yang berhak untuk menerimanya berdasarkan keadilan sosial. Bahwa di dalam pandangan Islam ditegaskan bahwa harta itu adalah milik Allah SWT dan diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki olehNya untuk dibelanjakan di jalan Allah SWT. Manusia diberikan hak oleh Allah SWT hanya untuk menguwasai saja, bukan sebagai pemiliknya.
98
Harta dalam konsep Islam adalah harta Allah yang telah dikuasakan kepada manusia, artinya bahwa harta itu adalah milik Allah SWT sedangkan manusia itu terikat dalam membelanjakan hartanya dengan ketentuan-ketentuan yang disyari’atkan oleh Allah SWT.52 Manusia wajib memelihara harta yang dikuasai itu dengan penuh tanggung jawab baik di dunia maupun di akhirat kelak. Manusia di dunia sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai wakil Tuhan (Khalifatullah) di bumi yang menerima amanatNya untuk mengelola kekayaan alam.53
Manusia di dunia adalah sebagai Khalifah Allah
SWT yang diberi wewenang untuk mengelola seluruh kekayaan alam semesta itu untuk dipergunakan untuk kepentingan seluruh umat manusia.54 Manusia menguwasai bumi, air dan kekayaan alam ini agar dikelola yang sebaik-baiknya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Manusia diberikan kewenangan untuk berusaha secara sungguh- sungguh dengan kemampuan sekuat tenaga untuk dapat memperoleh harta benda. Pemanfaatan harta benda yang dikuasainya
agar
dipergunakan
untuk
kepentingan
dirinya,
keluarganya dan untuk kepentingan masyarakat sekitarnya sesuai 52
Muhammad Mahmud Bably 1999, Al-Maal Fil Islam, terjemahan Abdul Fatah Idris, Kalam Mulia, Jakarta, h 35. 53 Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradikma, Yogyakarta, h 122. 54 Ibrahim, Guru Besar Fakultas Hukum Unud, Denpasar, (wawancara tanggal 11 September 2013).
99
dengan tuntunan yang telah ditetapakan oleh syari’at Islam dan hukum positif yang berlaku. Perwakafan mempunyai fungsi sosial dalam arti bahwa penggunaan hak milik oleh seseorang harus memberi manfaat secara langsung atau tidak langsung kepada masyarakat, jadi penggunaan harta oleh dirinya mempunyai dampak positif kepada masyarakat. Islam selalu menganjurkan agar selalu memelihara keseimbangan sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk sosial. Hakekat sifat kodrat manusia secara filosofis adalah sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial,55 dalam kedudukan manusia sebagai makhluk sosial maka manusia tidak lepas keterikatannya dengan manusia yang lain atau dalam tata kehidupan masyarakat . Keadilan sosial hendaknya di landasi dengan keimanan kepada Allah SWT. Dalam ajaran Islam melarang seseorang menimbun harta untuk kepentingan dirinya sendiri, sedangkan keadaan kondisi masyarakat di sekitarnya hidup dalam keadaan kesusahan dan kemiskinan. Dalam kitab Suci Al Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 19 dinyatakan “ dan di dalam harta benda mereka ada hak bagi orang yang meminta (fakir miskin) dan bagi orang-orang yang terlantar atau orang yang tidak punya “.
Islam selalu memberi petunjuk agar
manusia selalu berada dalam kebersamaan dan bertolong-menolong 55
Kaelan 2010, Pendikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, h 96.
100
dalam kebaikan, yang saling kasih mengasihi. Seseorang yang memiliki harta kekayaan yang berlebih hendaknya mendermakan sebagian hartanya secara iklas untuk kebajikan kaum fakir miskin sehingga terwujud kemakmuran secara adil dan merata. Islam juga melarang seseorang yang memiliki harta kekayaan melakukan perbuatan dengan menghambur-hamburkan harta kekayaannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Berdasarkan keyakinan bahwa apabila pengelolaan perwakafan dilaksanakan dengan baik maka akan dapat memberikan pengaruh dalam kehidupan sosial yang semakin positif dan semakin meningkat dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan ibadah perwakafan yang dikelola secara baik dapat membawa pengaruh besar dalam kehidupan kesejahteraan masyarakat, baik dalam bidang peribadatan,
pendidikan,
kesehatan
dan
kepentingan
ekonomi
masyarakat pada umumnya. B. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Harta Tanah Wakaf Menejemen pengelolaan harta benda wakaf dalam rangka untuk mewujudkan suatu kesejahteraan umum harus berdasarkan pada prinsipprinsip pengelolaan yang baik. Di dalam pelaksanaan pengelolaan harta tanah wakaf yang dilakukan oleh Nazhir juga harus berpedoman kepada pinsipprinsip menejemen pengelolaan harta tanah wakaf yang baik dan agar
101
terhindar dari kemungkinan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan. Adapun bebrapa prinsip pengelolaan yang baik antara lain adalah meliputi prinsip-prinsip; partisipasi, penegakan hukum, trasnparansi, responsif, orientasi kesepakatan, keadilan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, visi strategis.56 1. Prinsip partisipasi; Meskipun Nazhir itu yang diberi kewenangan penuh untuk mengelola harta benda wakaf maka di dalam pengambilan kebijakan-kebijakan yang mendasar sebaiknya dilibatkan partisipasi masyarakat, misalnya dalam perencanaan penukaran atau penjualan terhadap harta tanah wakaf. 2. Prinsip penegakan hukum; Penegakan hukum hakekatnya merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan.57 Prinsip penegakan hukum merupakan landasan yang tidak dapat dikesampingkan dalam pengelolaan harta benda wakaf termasuk tanah wakaf. Di dalam penegakan hukum yang pada hakekatnya mencakup juga tentang kewenangan untuk membuat aturan-aturan hukum guna mangatur kepentingan kehidupan masyarakat dan kewenangan untuk menegakan aturan yang berlaku. Dalam pengelolaan harta benda wakaf dan khususnya tanah, Nazhir
56
Trianto dan Titik Wulandari Tutik, 2007, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 326. 57 Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 192.
102
mempunyai kewenangan untuk membuat aturan tehnis sebagai landasan tata kelola yang jelas terhadap harta yang menjadi tanggung jawabnya untuk dikelola dengan suatu prosedur melalui Kementerian Agama. Fungsi membuat aturan yang mengikat kepada umum menurut Hans Kelsen bukan hanya kewenangan dari badan legislatif semata-mata.58 Sebuah lembaga wakaf memiliki kewenangan untuk membuat suatu aturan yang diperlukan, guna memperlancar tata kelola harta benda wakaf. 3. Prinsip transparansi; Dalam hal ini seorang Nazhir yang secara formal diberikan tugas dan kewenangan penuh untuk mengelola harta benda wakaf harus bersikaf transparan atau terbuka, sehingga Wakif maupun masyarakat dapat mengetahui secara jelas tentang segala usaha dan tindakan yang dilakukan oleh Nazhir dalam rangka pengelolaan harta benda wakaf. 4. Prinsip responsif; Nazhir dalam melakukan tugas dan kewenangan mengelola harta benda wakaf harus bersikaf responsif dalam arti Nazhir harus cepat tanggap terhadap peluang-peluang pengelolaan yang bersifat produktif, berbagai langkah-langkah yang perlu dilakukan, yang hasilnya guna membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat. 5. Prinsip orientasi kesepakatan; Dalam lembaga wakaf kedudukan Nazhir bukan sebagai pemilik harta benda wakaf, tetapi hanya diberi tugas dan kewenangan untuk mengelolanya, oleh karenanya dalam pengambilan 58
Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, h. 272
103
keputusan harus berdasarkan atas musyawarah untuk memperoleh kesepakatan dari berbagai pihak yang terkait dengan harta benda wakaf. 6. Prinsip kesetaraan dan keadilan; Pemanfaatan terhadap hasil harta benda wakaf harus dilakukan secara adil, siapa yang berhak atas hasil pengelolaan dari harta benda wakaf itu. Pemanfaat terhadap harta benda wakaf sangat luas,
antara lain untuk menunjang sarana peribadatan,
pendidikan, kesehatan, membantu fakir miskin dan kepentingan umum yang lainnya,
maka
harus
dilakukan
secara
proporsional
yang
berlandaskan kesetaraan keadilan. 7. Prinsip efektivitas dan efisiensi; Efektif dalam arti pengelolaan harta benda
wakaf
dapat
dipergunakan
untuk
memenuhi
kepentingan
masyarakat yang seluas-luasnya. dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Mampu memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Efisiensi dalam arti pemanfaatan hasil pengelolaan harta benda wakaf dilakukan dengan jalan yang sebaik mungkin jangan sampai terjadi suatu pemborosan atau bersifat mubadzir. 8. Prinsip akuntabilitas; Tugas dan kewenangan yang diberikan kepada Nazhir untuk mengelola harta benda wakaf harus dilakukan dengan penuh tanggungjawab dan dapat terkontrol, sehingga dapat menghindari kemungkinan adanya tindakan-tindakan penyimpangan.
104
9. Prinsip visi strategis; Dalam pengelolaan harta benda wakaf yang cukup besar, khususnya tanah wakaf yang begitu luas maka Nazhir harus memiliki rencana kedepan yang lebih mantab dan jelas, sehingga harta benda wakaf yang dikelolanya itu dapat semakin berkembang. 3.1.3 Pengembangan Harta Tanah Wakaf Di dalam kegiatan pengelolaan pengembangan harta tanah wakaf Nazhir
wajib
melakukannya
sesuai
dengan
tujuan,
fungsi
dan
peruntukannya yang telah ditentukan dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW). Pengelolaan pengembangan harta tanah wakaf oleh Nazhir harus dilakukan secara produktif yang hasilnya dapat memberikan manfaat secara ekonomi, guna memajukan kesejahteraan umum. Di dalam melakukan pengelolaan pengembangan harta tanah wakaf juga harus tetap dilaksanakan sesuai dengan prinsip syari’ah. Pengelolaan pengembangan harta tanah wakaf harus dilakukan secara produktif sesuai dengan potensi yang mungkin dapat dikembangkan, yang antara lain dapat dikembangkan sebagai tempat perindustrian, pertokoan, pasar swalayan, industri pertanian, penginapan dan sebagainya. Pengelolaan pengembangan terhadap harta tanah wakaf harus dilakukan secara optimal dan sungguh-sungguh sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. Pemberdayaan terhadap harta tanah wakaf hasilnya sekaligus dapat mengarah kepada pengembangan dalam pemanfaatan,
105
serta
dapat
memperbesar
jumlah
modal.
Pengembangan
modal
pengelolaan harta tanah wakaf secara langsung akan menjaga kelestarian harta tanah wakaf. 3.1.4 Pemeliharaan Harta Tanah Wakaf. Kegiatan pengelolaan pemeliharaan harta tanah wakaf maka eksistensi harta tanah wakaf harus dijaga keutuhannya, harus dijaga kelestariannya untuk selamanya. Harta tanah wakaf yang berstatus sebagai hak milik dapat memberikan manfaat kepada masyarakat untuk selamanya atau bersifat abadi, selama harta tanah wakaf itu masih memiliki potensi produktifitas ekonomi yang dapat dikelola secara efektif dan efisien. Dalam pemeliharaan terhadap harta tanah wakaf Nazhir memiliki tugas untuk menjaga keutuhannya, harta tanah wakaf jangan sampai beralih status kepemilikannya atau dialihkan kepemilikannya menjadi hak milik pribadi pihak lain. Berdasarkan ketentuan pasal 40 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf diwakafkan dilarang : a. Dijadikan jaminan b. Disita c. Dihibahkan
disebutkan bahwa harta benda wakaf yang sudah
106
d. Dijual e. Diwariskan f. Ditukar g. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Kecuali apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku
dan tidak
bertentangan dengan syari’ah. Apabila terjadi suatu perubahan penggunaan untuk kepentingan umum sesuai
RUTR
berdasarkan
ketentuan
perundang-undangan
maka
pelaksanaannya harus dilakukan setelah ada izin tertulis dari Menteri Agama atas dasar persetujuan dari Badan wakaf Indonesia. Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian tersebut maka harta benda wakafnya wajib ditukar dengan harta benda wakaf yang memiliki manfaat dan nilai tukar yang sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. 3.1.5
Pengawasan Harta Tanah Wakaf. Pengelolaan terhadap harta benda wakaf agar dapat berjalan secara efektif dan efisien maka diperlukan adanya pengawasan. Pengawasan terhadap pengelolaan harta tanah wakaf dilakukan oleh Pemerintah, Badan
107
Wakaf Indonesia (BWI), bersama-sama dengan masyarakat dengan maksud agar harta tanah wakaf yang dikelola oleh Nazhir itu tidak berpindah kepemilikannya kepada pihak ketiga, yang terjadi dengan melalui suatu proses perpindahan kepemilikan yang bertentangan dengan hukum. Nazhir memiliki kewajiban untuk mengawasi terhadap harta tanah wakaf yang dikelolanya, Nazhir berkewajiban untuk melindungi harta tanah wakaf yang dikelolanya, Nazhir juga berkewajiban untuk menjaga keutuhan harta tanah wakaf yang menjadi tanggungjawabnya. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pengelolaan harta tanah wakaf dapat dilakukan secara aktif maupun pasif. Pengawasan secara aktif dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan langsung terhadap Nazhir atas segala kegiatan yang
terkait dengan
pengelolaan harta tanah wakaf yang dijalankan. Pengawasan secara aktif tersebut dapat dilakukan sekurang-kurangnya satu kali dalam waktu satu tahun. Pengawasan secara pasif dilakukan dengan melalui pengamatan atas berbagai laporan hasil kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh Nazhir. Di samping itu dalam pelaksanaan pengawasan oleh Pemerintah dan masyarakat terhadap pengelolaan harta tanah wakaf yang dikerjakan oleh Nazhir dapat dilakukan melalui bantuan dari Jasa Akuntan Publik Independen.
108
3.1.6
Penegakan Hukum Harta Tanah Wakaf. Salah satu bagian dari sistem pengelolaan harta tanah wakaf adalah harus ada penegakan hukum, yang intinya adalah untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan Menurut Soerjono Soekanto bahwa penegakan hukum itu secara efektif dapat ditentukan oleh adanya 5 faktor:59 1. Faktor hukumnya sendiri 2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum 4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan 5. Faktor kebudayaan, yaitu cipta rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, maka pelaksanaan perwakafan di Indonesia secara juridis telah memiliki landasan hukum yang pasti, maka setiap pengelolaan harta tanah wakaf harus mengikuti segala ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dengan telah adanya
59
Soerjano Soekanto, 2008, loc cit.
109
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf tersebut maka undang-undang tentang wakaf ini telah menjadi hukum positf di Indonesia yang harus ditegakkan. Untuk pelaksanaan perwakafan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ditentukan bahwa untuk pelaksanaan perwakafana maka harus dipenuhi unsur-unsur wakaf sebagai berikut yaitu harus adanya; wakif, Nazhir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf, jangka waktu wakaf. a. Wakif. Yaitu pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Wakif tersebut meliputi wakif perseorangan, wakif organisasi, wakif badan hukum. Wakif perseorangan dapat melakukan wakaf apabila dipenuhi syaratsyarat; 1. Dewasa. 2. Berakal sehat 3. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum 4. Pemilik sah harta benda wakaf.
110
Wakif organisasi, apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan. Wakif badan hukum hanya dapat melakukan wakah apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan. b. Nazhir. Yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Nazhir wakaf meliputi Nazhir perseorangan, Nazhir organisasi, Nazhir badan hukum. Nazhir mempunyai tugas untuk; 1. Melakukan pengadministrasian terhadap harta benda wakaf. 2. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya. 3. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf. 4. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. c. Harta benda wakaf. Yaitu harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta memiliki nilai ekonomi menurut syari’ah. Harta benda
111
wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah. d. Ikrar wakaf. Yaitu pernyataan kehendak Wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nazhir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 orang saksi dan dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW). e. Peruntukan harta benda wakaf. Peruntukan harta benda wakaf harus sesuai dengan kehendak Wakif yang telah ditentukan dalam AIW. Yang antara lain harta tanah wakaf hanya dapat diperuntukkan; sebagai sarana dan kegiatan ibadah, sebagai sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan, sebagai bantuan kepada fakir miskin dan anak terkantar, yatim piatu, bea siswa, diperuntukan bagi kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, diperuntukan bagi kemajuan kesejahteraan lain yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. f. Jangka waktu wakaf. Yaitu berapa lama harta benda wakaf itu diwakafkan, khususnya terhadap harta benda wakaf yang berupa tanah milik maka jangka waktu berlakunya adalah untuk selamanya.
112
Wakaf dkalangan masyarakat Islam di Indonesia sudah menjadi kebiasaan dan untuk menjamin kepastian hukum maka wakaf telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini oleh masyarakat Islam Indonesia dianggap memiliki nilai dan manfaat yang amat penting, maka menurut Teori Keberlakuan Hukum dari Bruggink aturan yang mempunyai nilai amat penting, yang bermanfaat bagi masyarakat dan dapat diterima oleh masyarakat wajib untuk ditaati dan dilaksanakan.
113
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGELOLAAN HARTA TANAH WAKAF SECARA OPTIMAL
4.1
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengelolaan Harta Tanah Wakaf Di
Kecamatan Denpasar- Barat Kota Denpasar Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
dimaksudkan untuk mengatur tentang praktek pelaksanaan perwakafan di Indonesia itu agar dapat membantu memajukan kesejahteraan umum. Harta tanah wakaf yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi
guna dikelola
secara produktififitas ekonomi yang hasilnya dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Teori Keberlakuan Hukum dari Bruggink bahwa keberlakuan hukum itu meliputi; a. Keberlakuan faktual atau empiris. b. Keberlakuan normatif. c. Keberlakuan evaluatif. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf secara empiris telah berlaku, karena warga masyarakat telah mentaati mematuhi
114
terhadap ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf sebagai kaidah yang mengatur terhadap dirinya di dalam pelaksanaan perwakafan. Setiap warga masyarakat dalam pelaksanaan perwakafan selalu berpedoman kepada kaidah-kaidah yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dan ditegakkan oleh penguwasa sebagai penegak hukum. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf berlaku secara formal, karena di dalam pelaksanaannya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah merupakan bentuk penjabaran dari Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf berlaku secara evaluatif dimana di dalamnya mengandung suatu nilai-nilai yang amat penting bagi masyarakat, dapat diterima oleh masyarakat, sehingga UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf wajib dilaksanakan oleh masyarakat dan ditaati oleh masyarakat.
115
4.2.1
Faktor Pendukung Terhadap Pengelolaan Harta Tanah Wakaf Dari hasil penelitian dapat disebutkan ada beberapa faktor yang mendukung terhadap pengelolaan tanah wakaf di Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar; 1. Adannya harta benda wakaf yang banyak khususnya tanah wakaf yang cukup luas yaitu sekitar 16.669,89 m2 Tanah wakaf yang begitu luas merupakan suatu modal yang sangat potensial secara produkivitas ekonomi, maka harus dikelola diberdayakan dan dimanfaatkan yang sebaik-baiknya kesejahteraan umum masyarakat,
untuk menunjang meningkatkan
tanah wakaf yang memiliki potensi dan
manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien, baik sebagai tempat ibadah maupun untuk memajukan kesejahteraaan umum. Pemanfaatan tanah wakaf ini ditegaskan dalam ketentuan pasal 42 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, disebutkan bahwa Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tunjuan,
fungsi dan
peruntukannya. Dengan dilakukannya pengelolaan dan pengembangan terhadap harta tanah wakaf maka harta tanah wakaf yang ada benar-benar difungsikan sesuai dengan tujuan peruntukannya sehingga dapat menghindari adanya sikap pembiaran ataupun penelantaran terhadap tanah wakaf, yang seakan-akan tidak terurus. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan pengelolaan tersebut ditegaskan pula dalam penjelasan Pasal 45 Peraturan Pemerintah
116
Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, yaitu dijelaskan bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dapat dilakukan dengan cara membangun perkantoran, pertokoan, pasar swalayan, hotel, rumah sakit, apartemen, rumah persewaan, tempat wisata, dan atau usaha lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan Peraturan Perundang-Undangan. 2. Adanya kepastian hukum terhadap tanah wakaf. Untuk menjamin adanya keamanan dan kelestarian terhadap tanah wakaf maka setiap tanah wakaf harus memiliki kepastian hukum dalam arti setiap tanah wakaf harus dilengkapi dengan sertifikat sebagai bukti hak milik yang sah. Suatu tanah wakaf yang belum terdaftar dan belum bersertifikat wakaf akan sangat riskan terhadap terjadinya usaha-usaha pengalihan yang secara tidak sah atau bertentangan dengan hukum.status tanah wakaf yang belum dilengkapi dengan bukti kepemilikan yang berupa sertifikat maka terhadap tanah wakaf tersebut dapat menjadi obyek sengketa atau disalah gunakan oleh pihak yang lain seperti tanah wakaf diperjualbelikan oleh pihak lain secara melanggar hukum, tanah wakaf diubah menjadi tanah hak milik pribadi secara melawan hukum dan sebagainya.
117
Setiap tanah wakaf harus terdaftar pada insatansi yang terkait yaitu di Kantor Badan Pertanahan Nasional guna menjaga keamanan, kelestarian dan tertip administrasi,
sebagaimana ditegaskan didalam pasal 32 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang menegaskan bahwa Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepapa instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani. Adapun tatacara pendaftaran tanah wakaf diatur dalam pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf disebutkan; 1. Pendaftaran harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dilaksanakan berdasarkan Akta Ikrar Wakaf ( AIW) atau Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (APAIW). 2. Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan persyaratan sebagai berikut: a. Sertifikat hak atas tanah atau sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan atau tanda bukti pemilikan lainnya; b. Surat pernyataan dari yang bersangkutan bahwa tanahnya tidak dalam sengketa,perkara, sitaan dan tidak dijaminkan yang dketahui oleh Kepala Desa atau lurah atau sebutan lain yang setingkat yang diperkuat oleh camat setempat.
118
c. Izin dari pejabat yang berwenang sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan dalam hal tanahnya diperoleh dari instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD dan pemerintahan desa atau sebutan lain yang setingkat dengan itu. d. Izin dari pejabat bidang pertanahan apabila dalam sertifikat dan keputusan pemberian haknya diperlukan izin pelepasan/peralihan e. Izin dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik dalam hal hak guna bangunan atau hak pakai yang diwakafkan diatas hak pengelolaan atau hak milik. Usaha tersebut dilakukan guna memperoleh kepastian hukum terhadap tanah wakaf yang dilengkapi dengan bukti-bukti tertulis sebagai bukti otentik tentang telah terjadinya perwakafan. 3. Adanya Nazhir yang amanah/ yang terpercaya, jujur, adil dan profesional. Keberhasilan pengelolaan dan pemanfaatan tanah wakaf sangat bergantung kepada Nazhir maka pengelolaan tanah wakaf yang dilakukan oleh Nazhir yang dapat dipercaya, jujur, adil dan profesional merupakan suatu pendukung untuk dapat mewujudkan pemanfaatan tanah wakaf sesuai dengan fungsi dan tujuan yang telah ditentukan. Secara formal sebagai seorang Nazhir harus memenuhi syarat-syarat ; beragama Islam, mukallaf, memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan
119
hukum, baligh atau sudah dewasa dan aqil atau berakal sehat ditambah dengan memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf (professional) dan memiliki sifat amanah, jujur dan adil.60
Sedangkan secara normatif
sebagaimana yang ditentukan didalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf bahwa untuk dapat menjadi Nazhir apabila dipenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia b. Beragama Islam c. Dewasa d. Amanah e. Mampu secara jasmani dan rokhani f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Nazhir dalam pengelolaan terhadap tanah wakaf mempunyai posisi yang sangat sentral, jika ditinjau dari segi tugasnya Nazhir berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan manfaat dari harta tanah wakaf yang diperuntukan bagi orang-orang yang berhak menerimanya. Harta wakaf dapat berhasil dikelola sesuai dengan fungsi dan tujuannya atau sebaliknya tidak dapat berhasil sesuai dengan fungsi dan tujuannya adalah sangat bergantung pada peran Nazhir yang bersangkutan. Nazhir memiliki kewenangan mutlak terhadap harta tanah wakaf itu hanya sebatas untuk 60
Departemen agama RI 2005, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, h. 43.
120
dikelolanya dan bukan untuk dimiliki. Dengan adanya persyatan yang harus dimiliki oleh seorang Nazhir tersebut dimaksudkan agar Nazhir yang ditetapkan itu dapat melaksanakan tugas dan kewajiban dalam mengelola harta tanah wakaf secara maksimal untuk mencapai hasil yang optimal sesuai dengan harapan wakif maupun kaum muslimin pada umumnya. 4. Adanya administrasi yang tertib dalam mengelola wakaf. Administrasi pengelolaan tanah wakaf sangat diperlukan untuk mendukung pertanggungjawaban terhadap segala usaha yang telah dilakukan oleh Nazhir dan pemanfaatan hasil pengelolaan yang telah dilakukan. Administrasi merupakan salah satu bagian dari tugas Nazhir, sebagaimana ditentukan pada Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf bahwa Nazhir wajib mengadministrasikan, mengelola, mengembangkan, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf. 5. Adanya pembinaan dan pengawasan terhadap Nazhir. Pembinaan
terhadap
Nazhir
dilakukan
untuk
meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan Nazhir dalam pengelolaan harta tanah wakaf. Badan Wakaf Indonesia memiliki tugas dan kewenangan untuk membina Nazhir. Adapun tugas dan kewenangan Nazhir ditentukan pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf meliputi
121
a. Melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf. b. Melekukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf beskala nasional dan internasional. c. Memberikan persetujuan dan /atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf. d. Memberhentikan dan mengganti Nazhir e. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf. f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh oleh Nazhir pada pembinaan dan pelatihan dapat menunjang dalam pelaksanaan tugas melakukan pengelolaan secara professional. Dengan demikian akan dapat diperoleh hasil pengelolaan yang lebih optimal. Pengawasan terhadap pengelolaan harta tanah wakaf akan sangat mendorong pelaksanaan pengelolaan yang sebaik-baiknya serta dapat meminimalkan terjadinya penyimpangan. Adapun pengawasan terhadap harta benda wakaf ditegaskan dalam pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yaitu;
122
a. Pengawasan terhadap perwakafan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat , baik aktif maupun pasif. b. Pengawasan aktif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan langsung terhadap Nazhir
atas pengelolaan wakaf, sekurang-
kurangnya sekali dalam setahun. c. Pengawasan pasif dilakukan dengan melakukan pengamatan atas berbagai laporan yang disampaikan Nazhir berkaitan dengan pengelolaan wakaf. d. Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud ayat (1) pemerintah dan masyarakat dapat meminta bantuan jasa akuntan publik independen. 6. Adanya motivator, koordinator, fasilitator dan regulator oleh pemerintah. Peran Pemerintah bukanlah sebagai pengelola harta benda wakaf, Pemerintah hanya berfungsi sebagai motivator, koordinator, fasilitator dan regulator dalam pengelolaan harta benda wakaf khususnya tanah wakaf. Peran Pemerintah sebagai motivator dimaksudkan pemerintah dalam hal ini dilakukan oleh kementrian Agama mempunyai tugas untuk memberikan rangsangan atau stimulus, khususnya terhadap lembaga Nazhir yang ada agar memaksimalkan fungsi pengelolaan harta benda wakaf secara professional guna menunjang terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
123
Fungsi
Pemerintah
sebagai
koordinator
dimaksudkan
untuk
menciptakan bentuk hubungan kerjasma secara sinergi antara lembaga yang terkait dengan pengelolaan wakaf. Fungsi Pemerintah sebagai fasilitator dimaksudkan agar pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan dalam pensertifikatan dan pendaftaran harta benda wakaf khususnya tanah wakaf. Pemerintah berfungsi sebagai regulator dimaksudkan agar pemerintah memberikan pengaturan yang jelas dalam pengelolaan harta benda wakaf serta berbagai aturan tehnis pelaksaannya. Tugas Pemerintah dalam Negara kesejahteraan semakin bertambah luas karena Pemerintah sebagai penyelenggara tugas pelayanan publik harus memasuki berbagai aspek kehidupan masyarakat guna melayani kepentingan masyarakat yang sangat komplek, rumit dan luas.61 Mengingat betapa luasnya tugas Pemerintah tersebut maka Pemerintah perlu membatasi diri pada bidang-bidang tertentu khususnya dalam hal ini yang terkait di bidang pelaksanaan pengelolaan harta wakaf. 7. Adanya Undang-Undang wakaf yang bersifat progresif.
61
Gunter Teubner, 1986, Dilemmas of Law in the Welfare State, Walter de Gruyter Berlin,New York, h. 79.
124
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, undangundang ini dibentuk dalam rangka pengaturan dan pengelolaan wakaf yang secara efektif dan efisien guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pengaturan
tentang
wakaf
yang
beorientasi
terhadap
terwujudnya
kesejahteraan kehidupan masyarakat merupakan kebutuhan yang harus segera terpenuhi, untuk menunjang tujuan tersebut maka diperlukan adanya suatu hukum atau undang-undang yang bersifat progresif, yaitu hukum yang dapat berfungsi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. 4.2.2 Faktor Penghambat Pengelolaan Harta Tanah Wakaf Pengelolaan harta tanah wakaf sepenuhnya ditugaskan kepada Nazhir, kedudukan Nazhir sangat sentral dalam pengelolaan harta tanah wakaf, Nazhir memiliki kewenangan penuh dalam peleksanaan pengelolaan, pemberdayaan dan pengembangan harta tanah wakaf. Keberhasilan ataupun kegagalan pengelolaan harta tanah wakaf sangat bergantung kepada usaha yang dilakukan oleh Nazhir. Ada beberapa factor yang menjadi penghambat dalam pengelolaan harta tanah wakaf yaitu; 1. Adanya Nazhir yang kurang professional dalam mengelola harta tanah wakaf. Guna mengelola harta tanah wakaf hendaknya Nazhir telah memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang dapat diandalkan, serta kemampuan
125
menejerial yang memadahi guna menunjang tugasnya, namun syarat tersebut tidak selalu terpenuhi. Nazhir wakaf masih kurang professional merupakan salah satu hambatan dalam pengelolaan harta tanah wakaf. Nazhir dalam melaksanakan pengelolaan terhadap harta tanah wakaf hanya dilakukan dengan kemampuan ketrampilan yang seadanya dan tidak sesuai dengan kemampuan ketrampilan yang tepat untuk mengelola harta tanah wakaf, Nazhir tidak memiliki perencanaan pengelolaan yang
jelas, dan
kemampuan manajerial Nazhir yang kurang. 2. Adanya sikap bahwa tugas Nazhir hanya sebagai pekerjaan sampingan. Nazhir yang ditunjuk harusnya siap menjalankan tugas kenazhiran itu sebagai tugas utama, namun kebanyakan Nazhir sudah mempunyai tugas pokok lain yang harus ditunaikan misalnya sebagai Pegawai Negri, pegawai suwasta, pengusaha dan sebagainya. Adapun syarat harus adanya Nazhir dalam proses perwakafan itu hanya sebagai sarat formalitas saja. Nazhir kebanyakan dalam melakukan tugasnya hanya sebagai pekerjaan sampingan atau pekerjaan tambahan karena pada umumnya para Nazhir telah memiliki pekerjaan pokok. Nazhir wakaf melakukan tugasnya sekedar untuk memenuhi tugas dan tanggung jawabnya yang telah dipercayakan kepadanya oleh Wakif, Nazhir tidak sepenuhnya untuk menjalankan tugas kenazhiran itu sebagai pekerjaan yang diutamakan.
126
3.
Adanya kebiasaan pengangkatan Nazhir hanya berdasarkan kepercayaan dan kurang mengutamakan segi penguwasaan pengetahuan, kemampuan ketrampilan untuk mengelola harta tanah wakaf. Nazhir yang ditunjuk untuk mengelola harta tanah wakaf tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengelola harta tanah wakaf, Wakif
dalam
menunjuk
Nazhir
semata-mata
hanya
didasarkan
kepercayaan saja dan kurang melihat dari segi penguasaan pengetahuan, ketrampilan yang tepat guna membantu tugas-tugas kenazhirannya dalam pengelolaan harta tanah wakaf. Minimnya kemampuan pengetahuan dan ketrampilan Nazhir hal ini akan menjadi penghambat dalam pengelolaan harta tanah wakaf, 4. Pelaksanaan pelatihan Nazhir yang kurang intensip. Pelaksanaan pelatihan terhadap Nazhir harusnya dilakukan secara menyeluruh, namun di dalam prakteknya tidak/belum semua Nazhir mendapatkan kesempatan yang sama untuk diikutkan dalam pelatihan. Pembinaan dan pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah atau Badan Wakaf Indonesia belum sepenuhnya dilaksanakan, masih banyak Nazhir yang belum mendapatkan bimbingan dan pelatihan.62 Pelaksanaan pembinaan dan pelatihan hanya berdasarkan penunjukan.63
62 63
Tugiyo, Pegawai swasta, wawancara tanggal 10 September 2013. Any Hani’ah, Ketua Tim Pendataan tanah wakaf Kota Denpasar, Wawancara 11 September 2011.
127
Disebutkan dalam pasal 49 ayat (1 a) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf bahwa Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf. 5. Adanya pemahaman terhadap
tujuan dan fungsi wakaf yang masih
terbatas. Pandangan dari wakif ataupun Nazhir yang menganggap bahwa perwakafan semata-mata ditujukan untuk kepentingan sarana ibadah seperti masjid, mushola, sebagai tempat pendidikan, sebagai tempat pemakaman dan sebagainya, dan belum adanya pemahaman yang lebih luas bahwa harta tanah wakaf dapat dikelola guna kepentingan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. 6. Pengawasan yang kurang teratur/intensif Pemerintah
dan
masyarakat
harusnya
lebih
aktif
melakukan
pengawasan secara periodik terhadap kinerja Nazhir, mengevaluasi kinerja Nazhir , namun kewajiban tersebut kurang sepenuhnya dijalankan, sehinggga pengawasan terhadap kinerja Nazhir berjalan kurang intensif. Pengelolaan dan pemberdayaan sepenuhnya hanya dipercayakan kepada Nazhir dan tidak adanya pengawasan secara intensif terhadap usaha pengelolaan yang dilakukan oleh Nazhir. Pemanfaatan dari hasil pengelolaan harta tanah wakaf sepenuhnya dipercayakan kepada Nazhir.
128
7. Nazhir yang tidak melakukan pelaporan terhadap hasil pengelolaannya. Nazhir memiliki kewajiban untuk melaporakan tugas dan kewajiban pengelolaan harta tanah wakaf setiap tahun, namun tugas pelaporan itu tidak dilakukan oleh Nazhir.64 Tindakan Nazhir yang tidak mau menjalankan kewajibannya untuk melaporkan hasil usaha pengelolaan harta wakaf yang ditugaskan kepadanya maka akan menghabat bagi Badan Wakaf Indonesia dan Pemerintah sebagai pengawas.
64
Any Hani’ah, Ketua Tim pendataan tanah wakaf Kota Denpasar, wawancara 11 September 2011
129
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 1. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dalam pengelolaan harta tanah wakaf oleh Nazhir di Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar, telah berjalan secara efektif karena semua harta tanah wakaf sudah dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya dan tidak ada tanah wakaf yang diterlantarkan. 2. Pelakasanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dalam pengelolaan harta tanah wakaf secara produktifitas ekonomi guna memajukan kesejahteraan umum belum dilakukan secara optimal, yaitu baru sekitar 6% yang telah dikelola secara produktifitas ekonomi, hal ini disebabkan terutama oleh adanya beberapa faktor hambatan dalam mengelola harta tanah wakaf, khususnya adanya Nazhir yang kurang profesional. 5.2 Saran Bagi Wakif di dalam memilih Nazhir agar supaya dilakukan secara selektif, dengan mengutamakan pada pengangkatan seorang Nazhir
yang
memiliki
kemampuan
pengetahuan
ketrampilan
130
profesionalitas yang memadai guna menunjang tugas untuk mengelola harta tanah wakaf.
131
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku. Abdurahman, 1988, Himpunan peraturan perundang-undangan, Akademika Presindo, Jakarta. Ali Ahmad, 2002, Keterpurukan hukum di Indonesia, Kencana, Jakarta. Ali Ahmad, 2009, Menguak teori hukum (legal Theory) dan teori peradilan (Judicialprudence) termasuk interpretasi undang-undang (legis prudence), Kencana, Jakarta. Anshori Abdul Ghofur, 2005, Hukum dan praktek perwahafan di Indonesia, Pilar Media, Yogyakarta. Armia Muhammad Siddiq Tgk, 2009, Perkembangan pemikiran teori hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Azhari Tahir, 1992, Wakaf dan sumberdaya ekonomi, Al Hikmah, Jakarta. Bably Muhammad Mahmud, 1999, Al-Maal Fill Islam (terjemahan Abdul Fatah Idris), KalamMulia,Jakarta. Basyir Ahmad Azhar, 1987, Hukum Islam tentang wakaf, ijarah, syirkah, Al Ma’arif, Bandung. Brugink, 1999, Refleksi tentang hukum, Alih bahasa B Arif Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung. Darmodihardjo Dardji dan Sidarta, 2008, Pokok-pokok filsafat hokum, Gramdia, Jakarta. Departemen Agama RI, 2005, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Departemen Agama RI , Jakarta. Departemen Agama RI, 2005, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Jakarta. Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen Agama RI,2006, Pedoman pengelolaan dan pengembangan wakaf, Dep.Agama RI, Jakarta.
132
Friedman M. Lawrence, 1975, The legal system, a social science perspective, Russel Sage Fundation, New York. Hadikusumo Hilman, 1995, Metode pembuatan kertas kerja atau skripsi ilmu hokum, Mandar Maju, Bandung. Hutchinson Terry, 2002, Researching and writing in law, Lawbook Co. Riverwood, NSW. Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta. Kaelan, 2010, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta. Kelsen Hans,1973, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York. Manan Abdul, 2009, Aspek-aspek pengubah hukum, Kencana, Jakarta. Marzuki Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Mertokusumo Sudikno dan Pitlo A, 2005, Bab-bab tentang Hukum Adat, Cipta Aditya Bakti, Bandung. Muhammad Abdul Kadir, 2004, Hukum dan penelitian hukum, Citra Adiya Bakti, Bandung. Nasution Bahder Johan dan Sriwarjiyati, 1997, Hukum perdata Islam, Mandar Maju, Bandung. Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung. Qahaf Mundzir,2005, Managmen Wakaf Produktif, Khalifa, Jakarta. Praja S Juhaya & Muklisin Muzarie, 2009, Pranata ekonomi Islam Wakaf, Pustaka Dinamika, Yogyakarta. Prihartini Farida, dkk, 2005, Hukum Islam, Zakat dan Wakaf, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Papas Sinar Sinanti, Jakarta. Pringgodigdo, 1973 , Insiklopedi Umum, Yayasan Kanisius,Yogyakarta. Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana UNUD, 2008, Pedoman penulisan usulan penelitian tesis dan penulisan tesis Progran Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar.
133
Rahardja Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Cipta Aditya Bakti, Bandng. Rahardjo Satjipto, 2009, Hukum Progresif sebuah sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta. Trianto dan Titik Wulandari Tutik, 2007, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegraan, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Salman Otje dan Anton F Susanto, 2008, Teori hukum mengingat mengumpulkan dan membuka kembali, Refika Aditama, Bandung. Sari Elsi Kartika, 2006, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, Grasindo, Jakarta. Saroso dan Nico Ngani, 1984, Tinjauan Juridis tentang perwkafan tanah hak milik, Liberty,Yogyakarta. Soan Sholeh, 2004, Moral penegak hukum Indonesia dalam pandangan Islam, Agung Ilmu, Bandung. Soekanto Soerjono, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Baandung. Soekanto Soerjono dan Sri Mamuji, 2009, Penelitian hukum normatif suatu tinjauan singkat, Grafindo Persada, Jakarta. Sumitro Roni Hanitijo, 2005, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. Sunarso Siswanto, 2005, Wawasan Penegak Hukum di Indonesia, Cipta Aditya Bakti, Bandung. Usman Rachmadi, 2009, Hukum perwakafan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Wadjdy Farid dan Mursyid, 2007, Wakaf dan kesejahteraan umat, Pustaka Pelajar, Yaogyakarta.
Majalah Ilmiah. Manan Abdul, 2007, Hukum Wakaf Dalam Paradigma Baru di Indonesia, Varia Peradila, Nomor 225, Edisi Februari 2007, Departemen Hukum dan Ham,Jakarta.
134
Muchsin H, 2007, Isbath Wakaf sebagai upaya perlindungan hukum tanah wakaf, Varia Peradila, Nomor 264, Edisi Nopember 2007, Departrmen Hukum dan Ham, Jakarta. Tesis. Febriansyah Erfin, 2008, “Peran Persyarikatan Muhamadiyah sebagai Nazhir Menryt Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dalam Pengelolaan Tanah Wakaf di Yogyakarta”, (Tesis) Program Studi Magister (S2) Kenotariatan Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Resmiyati, 2004,”Perwakafan Tanah Milik di Kabupaten Ambarawa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor”. 28 Tahun 1977”, (Tesis) Program Studi Magister (S2) Kenotariatan Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Internet Gofar Abdullah, 2013, “Peranan Nazhir Dalam Pendayagunaan Tanah Wakaf, Studi Kasus di Kotamadya Palembang”, (Tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Prgram Pascasarjana Universita Indonesia, Jakarta. http//repository.ui.ac.id/contents/koleksi/16/73673b9fob696acda23228d6e1b7ec4f49 32f49a.pdf Diakses tanggal 27 September 2013. Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043. Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459. Udang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48. Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 105; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4667. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 38; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3107.
135
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
136
LAMPIRAN
Daftar Respoden 1. Nama
: Dra. Hj.Ani Hani’ah. MA.
Umur
: 50 tahun
Pekerjaan
: Pegawai Negri Sipil
Alamat
: Kantor Kementerian Agama Denpasar
2. Nama
: Gun Supardi S.Ag.
Umur
: 40 tahun
Pekerjaan
: Pegawai Negri Sipil
Alamat
: Jl. G. Talang, Denpasar
3. Nama
: H. IR Ashar
Umur
: 50 tahun
Pekerjaan
: PNS
Alamat
: Jl. Merpati gang V/5 Denpasar
4. Nama
: H.Tugiyo
Umur
: 60 tahun
Pekerjaan
: wiraswasta.
Alamat
: Jl. Merpati Gang VII/2 Denpasar.
137
5. Nama
: M Maskup
Umur
: 40 tahun
Pekerjaan
: Karyawan
Alamat
: Jl Resimuka Barat 23 Denpasar
6. Nama
: Mardiyono
Umur
: 45 tahun
Pekerjaan
: wiraswasta
Alamat
: Jl.Merpati gang V Denpasar
7. Nama
: Agus Wahyu P
Umur
: 50 tahun
Pekerjaan
: wiraswasta .
Alamat
: Jl. Merpati gang VII/2 Denpasar
8. Nama
: Udin
Umur
: 50 tahun
Pekerjaan
: wiraswasta
Alamat
: jl. G.Bromo XI/71 Denpasar
Daftar Informan 1. Nama
: Prof. Dr Ibrahim R. SH., MH.
Umur
: 59 tahun
Pekerjaan
: Pegawai Negri Sipil (dosen).
Alamat
: Jl. Gunung Rinjani No.26, Denpasar
138
2. Nama
: Adiwati SH., MH.
Umur
: 65 tahun
Pekejaan
: Pensiunan Dosen
Alamat
: Jl. Merpati, Gang Ayodyapura Nomor 5, Denpasar
3. Nama
: Abdul Munir S.Ag
Umur
: 40 tahun
Pekerjaan
: PNS
Alamat
: jl.Kapten Japa 83 B Denpasar.
4. Nama
: Syahrul Muharam SH
Umur
: 32 tahun
Pekerjaan
: Cakim
Alamat
: jl. Keboiwa 4 Denpasar
5. Nama
: Nur Hasanah SH
Umur
: 30 tahun
Pekerjaan
: PNS
Alamat
: Jl.g.Talang Denpasar.
139