BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Anjing adalah mamalia karnivora darat yang telah mengalami domestikasi dari serigala sejak 100.000 tahun silam, hal ini diperkuat dengan bukti genetik berupa penemuan fosil dan tes DNA (Vila et al., 1997). Anjing telah menjadi bagian dalam kehidupan manusia sejak manusia menerapkan sistem pedesaan, sekitar 12.000-15.000 tahun yang lalu ketika interaksi dengan anjing menjadi salah satu strategi tepat dalam bertahan hidup. Saat ini, anjing tetap memiliki peran penting dalam kehidupan manusia di seluruh dunia (Beck, 2000). Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh American Pet Products Manufacturer Association pada tahun 1999 menyatakan bahwa tujuan dari memelihara anjing adalah sebanyak 95% sebagai companion animal dan hampir setengah koresponden menyatakan “baik untuk kesehatan” sebagai alasan untuk memelihara anjing. Tiga perempat koresponden juga memilih “anjing seperti anak atau anggota keluarga” dan 64% diantaranya menyebutkan anjing sebagai penjaga. Bukti terbaru mengungkapkan bahwa anjing pertama kali didomestikasi di daerah Asia Timur, yaitu di Tiongkok, kemudian manusia pertama yang menginjakkan kaki di Amerika Utara diduga membawa anjing dari Asia. Berdasarkan hasil penelitian genetika, terdapat sedikitnya 14 anjing ras primitif yang berasal dari daratan Cina dan Jepang, diantaranya Chow-Chow, Sharpei, Akita, Shiba dan Basenji. Upaya mengawinsilangkan anjing dilakukan oleh
1
2
manusia secara selektif, dengan maksud memperoleh keturunan yang sesuai kebutuhan, sehingga lahirlah beragam ras anjing. Sampai saat ini, terdapat lebih dari 400 ras anjing di seluruh dunia dan salah satunya adalah Anjing Kintamani Bali yang berasal dari Indonesia (Dharmawan, 2009). Anjing Kintamani Bali adalah anjing yang berasal dari Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Kintamani merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 400 meter di atas permukaan laut, suhu udara di daerah Kintamani cukup sejuk dan sangat dingin di malam hari. Anjing Kintamani Bali memiliki penampilan yang elegan dengan ukuran anjing sedang dan sering dijadikan sebagai anjing penjaga. Anjing ini memiliki rambut yang tebal dan pada bagian leher dan ekor memiliki rambut yang lebih panjang, sehingga pada bagian ekor akan tampak seperti ekor tupai (Dharmawan, 2009). Pada tanggal 22 Februari 2006, Anjing Kintamani Bali telah ditetapkan sebagai anjing ras pertama Indonesia oleh organisasi peranjingan di Indonesia (PERKIN-Perkumpulan Kinologi Indonesia) dan kemudian pada tanggal 23 Februari 2012, Asian Kennel Union (AKU) mengakui anjing ini sebagai satusatunya anjing asli Indonesia yang menjadi anjing ras Asia. Anjing Kintamani Bali telah disiapkan untuk diajukan sebagai anjing ras dunia kepada badan otoritas peranjingan dunia Fédération Cynologique Internationale (FCI). Bila pengajuan ini berhasil maka Anjing Kintamani Bali akan sederajat dengan anjing ras lainnya di dunia (Darmadji dan Kristanto, 2012). Pengakuan AKU terhadap Anjing Kintamani Bali menjadikan anjing ini semakin diminati oleh masyarakat dan secara tidak langsung nilai ekonomi dari
3
anjing ini juga semakin meningkat. Meningkatnya nilai ekonomi akan memberikan peluang bagi masyarakat pembudidaya Anjing Kintamani Bali, terutama masyarakat di kawasan pelestarian Anjing Kintamani Bali di Desa Sukawana untuk lebih intensif membudidayakan anjing berpenampilan menarik ini. Peluang ekonomi yang menjanjikan ini tentunya harus didukung oleh pemerintah dan peran serta pihak swasta agar masyarakat pembudidaya mampu meningkatkan kesejahteraannya (Puja, 2007). Meningkatnya minat masyarakat terhadap Anjing Kintamani Bali harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dari Anjing Kintamani Bali sendiri, salah satunya adalah dengan mengetahui gangguan kesehatan yang dapat dialami oleh Anjing Kintamani Bali. Pengetahuan mengenai gangguan kesehatan pada Anjing Kintamani Bali dapat digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan kualitas sistem dan manajemen pemeliharaan pada Anjing Kintamani Bali. Salah satu gangguan kesehatan yang sering terjadi pada anjing adalah gangguan muskuloskeletal. Gangguan muskuloskeletal adalah cedera atau rasa sakit pada sendi, ligamen, otot, tendon, dan struktur lain yang menyokong tubuh yang dapat mempengaruhi aktivitas normal dari pasien. Gangguan ini dapat menyerang berbagai bagian tubuh, seperti leher, bahu, punggung dan ekstremitas (Shearer, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh O’Neill et al. (2014) dilaporkan bahwa gangguan muskuloskeletal merupakan gangguan yang memiliki prevalensi cukup tinggi di Inggris dengan jumlah kasus ketiga terbanyak setelah gangguan pencernaan dan gangguan kulit. Ras anjing yang memiliki prevalensi
4
paling tinggi terhadap gangguan muskuloskeletal adalah German Sheperd (16,7%), kemudian diikuti oleh Border Collie (16,4%), Labrador Retriever (16,2%), Staffordshire Bull Terrier (8,4%), Jack Russel Terrier (7,3%), Yorkshire Terrier (6,3%), dan Cocker Spaniel (3%). Gangguan muskuloskeletal dapat terjadi pada setiap ras anjing. Sama seperti ras lainnya, Anjing Kintamani Bali memiliki peluang untuk mengalami gangguan muskuloskeletal, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi gangguan muskuloskeletal pada Anjing Kintamani Bali untuk menambah data mengenai karakteristik Anjing Kintamani Bali, serta memperbaiki dan menciptakan sistem dan manajemen pemeliharaan yang tepat. Penelitian ini juga dibutuhkan sebagai salah satu prasyarat untuk mengajukan Anjing Kintamani Bali sebagai anjing ras dunia melalui FCI.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
masalah
sebagai
berikut:
berapakah
prevalensi
gangguan
muskuloskeletal pada Anjing Kintamani Bali yang dikembangbiakkan dan dipelihara oleh pembiak dan pecinta Anjing Kintamani Bali di Kotamadya Denpasar, Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar?
5
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
prevalensi
gangguan
muskuloskeletal pada Anjing Kintamani Bali yang dipelihara dan dibiakkan oleh para pembiak Anjing Kintamani Bali di Kotamadya Denpasar, Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat, khususnya para pembiak dan pecinta Anjing Kintamani Bali untuk meningkatkan kualitas pemeliharaan, sehingga nantinya mampu meningkatkan kualitas dari Anjing Kintamani Bali.
1.5 Kerangka Konsep Terdapat sekitar 400 ras anjing di seluruh dunia, akan tetapi tidak semua ras anjing tersebut telah diakui oleh kennel club. Berbagai pihak sedang berupaya untuk menambah daftar panjang berbagai jenis ras anjing yang telah diakui oleh kennel club sebagai anjing ras dunia. Sama halnya dengan Anjing Kintamani Bali yang merupakan anjing lokal jenis pegunungan yang berasal dari Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali (Puja, 2007). Anjing ini memiliki penampilan yang menarik dan telah banyak dikembangbiakkan oleh para pembiak dan pecinta Anjing Kintamani Bali di berbagai wilayah di Indonesia. Anjing Kintamani Bali memiliki penampilan yang indah dan karakteristik yang khas yang membedakannya dengan anjing lokal yang hidup di wilayah yang sama. Oleh karena karakteristik fisiknya tersebut, maka
6
dewasa ini Anjing Kintamani Bali banyak dipelihara oleh para penggemar hewan peliharaan (Puja, 2011). Pengupayaan Anjing Kintamani Bali menjadi anjing ras dunia sangat diperlukan. Apabila anjing yang berasal dari Kintamani ini telah ditetapkan sebagai anjing ras dunia, maka tidak hanya berpengaruh positif bagi perkembangan anjing Indonesia sendiri, tetapi diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi dan sosial. Sebagaimana kita ketahui bahwa terdapat kesenjangan nilai antara anjing ras dan anjing bukan ras. Hal ini dapat dipahami karena anjing ras merupakan kelompok anjing sebagai hasil intervensi manusia dengan berbagai kepentingan dan proses seleksi yang panjang sehingga mempunyai suatu keunggulan dan ciri yang dapat dibedakan dengan anjing lain (Puja, 2007). Setiap ras anjing memiliki karakteristik dalam berbagai aspek, anatomi dan penampilan, perilaku atau fisiologis tubuh, sehingga pengetahuan akan kerentanan suatu penyakit dan gangguan lain menjadi salah satu hal yang penting untuk diketahui, seperti kemungkinan terjadinya gangguan muskuloskeletal. Sampai
saat
ini
belum
ada
laporan
mengenai
prevalensi
gangguan
muskuloskeletal pada Anjing Kintamani Bali, maka dibutuhkan suatu langkah awal untuk mengumpulkan informasi mengenai segi kesehatan Anjing Kintamani Bali. Pada penelitian ini diamati dua faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi kejadian gangguan muskuloskeletal pada anjing, yaitu jenis kelamin dan umur.