BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Salah satu ciri yang esensial dari individu adalah melakukan kegiatan atau
berperilaku. Kegiatan individu merupakan manifestasi dari hidupnya, baik sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial. Manusia berinteraksi dengan sesamanya untuk menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Berinteraksi dengan lingkungan merupakan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial seperti diungkapkan oleh Plato bahwa manusia secara potensial (Fitrah) dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Untuk mewujudkan potensi tersebut, manusia harus berinteraksi dengan lingkungan manusiamanusia lain. Ungkapan tersebut ditujukan kepada manusia secara keseluruhan tidak dibatasi pada manusia tertentu. Kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya merupakan salah satu dari beberapa jenis permasalahan penyesuaian sosial yang dapat mengganggu kemajuan anak dalam sekolah. Penelitian oleh Gronlund, Hymel dan Asher (Ladd & Asher, 1985) mengindikasikan bahwa antara 6 hingga 11% anak dikelas tiga hingga kelas enam tidak mempunyai teman dikelasnya. Anak-anak ini merasa kesepian. Anak yang kesepian dapat kehilangan banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan teman-teman sebayanya dan untuk belajar berbagai
1
2
keterampilan yang penting untuk kehidupannya kelak, terutama keterampilan sosial. Anak yang tidak mampu membina pertemanan yang memuaskan juga akan merasa terpencil dan tidak bahagia (Asher et al., 1984 – dalam Bullock, 1998). Bagi anak-anak ini, sekolah akan merupakan tempat yang tidak menyenangkan, dan akibatnya mereka dapat sering membolos atau putus sekolah sama sekali (Kupersmidt, 1983 – dalam Burton, 1986). Perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan anak yang tidak berkebutuhan pendidikan khusus bersifat relatif, karena kenyataannya tidak selamanya ABK tidak mampu melakukan apa yang dilakukan oleh anak-anak lainnya, begitupun sebaliknya. Kondisi dilapangan seorang anak tunagrahita mendapat banyak kesulitan dalam mengekspresikan dirinya. salah satu kesulitan-kesulitan tersebut adalah dalam hal berinteraksi sosial dengan teman sebaya, bekerjasama, saling menghargai, saling menghormati dan lain sebagainya. Hal tersebut senada dengan pendapat Dentler dan Mackler (Robert Ingall, 1987) menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang positif antara IQ seseorang dengan penerimaan sosial oleh teman sebaya. Semakin tinggi IQ seorang anak, semakin popular dan diterima oleh kelompok teman sebaya. Penolakan teman sebaya terhadap anak tunagrahita karena kesulitan anak tunagrahita belajar keterampilan sosial yang diperlukan dalam pergaulan. Kesulitan-kesulitan ini dapat diatasi dengan tertuju kepada perilaku adaptif kearah positif dengan memberikan motivasi
3
yang dipakai sebagai reinforcement positif terhadap anak tunagrahita yang menunjukan perilaku yang diinginkan dan reinforcement negatif terhadap perilaku yang tidak diinginkan dalam aktivitas bermain, karena bermain merupakan suatu kegiatan yang dapat mengembangkan anak, dimana anak akan merasa senang dan nyaman. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh (Hant, 1970 dkk dalam Delphie,2005:6) “Bermain merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan yang tidak tergantung pada pemberian ganjaran dari luar sehingga hakekat bermain itu sendiri merupakan sesuatu yang utuh dan memberikan rangsangan sehingga mendominasi anak untuk memperlakukan suatu objek” Pelaksanaan penggunaan reinforcement positif dan negatif melalui aktivitas bermain dengan menggunakan Angklung sebagai metode untuk meningkatkan interaksi sosial yang dimiliki anak Tunagrahita sedang agar dapat bersosialisasi dengan teman sebaya dengan baik akan berlangsung secara efektif apabila direncanakan sesuai dengan kebutuhan anak. Hal ini disebabkan karena cara berfikir Anak Tunagrahita lebih cenderung kepada konsep yang konkrit sehingga memudahkan mereka untuk menyerap informasi secara mudah dan jelas. Dalam penelitian sebelumnya pengaruh bermain angklung terbukti dapat meningkatkan perkembangan sosial dan emosi pada anak tunagrahita ringan Angklung menjadi media pendidikan musik dasar karena melalui aktivitas bermain angklung sendiri mengandung unsur-unsur aktivitas sosial seperti
4
gotong royong, kerjasama, tenggang rasa dan diperlukan kekompakan dalam memainkan angklung untuk menghasilkan bunyi (Salomo Sihombing dalam Detik
Bandung,
Tersedia
dalam:
http://angklung-web-
institute.com/content/view/692/2/lang,en/). Menurut pendapat Sam Udjo Melalui aktivitas bermain angklung diperlukan kekompakan yang harmonis antara tiap orang yang memegang satu alat dengan nada tertentu sehingga harmonisasi bunyi angklung yang sahut-menyahut yang dimainkan oleh beberapa orang akan terdengar lebih indah dan unik. Demikian halnya dengan SD 9 Mutiara yang banyak terdapat angklung untuk pembelajaran musik. Pada prakteknya yang terjadi dilapangan ketika penulis melaksanakan observasi dengan anak-anak pada umumnya guru-guru disekolah kurang memperhatikan dampak atau perkembangan yang terjadi pada siswa dan angklungnya sendiri jarang untuk dimainkan. Berdasarkan paparan diatas, maka peneliti mencoba untuk mengadakan Penelitian mengenai penggunaan reinforcement positif dan negatif melalui aktivitas bermain angklung terhadap peningkatan keterampilan interaksi sosial dengan teman sebaya pada anak tunagrahita sedang.
B. Identifikasi Masalah Dari permasalahan yang muncul dari latar belakang diatas maka diidentifikasikan masalah sebagai berikut:
5
1. Anak tunagrahita sedang memiliki hambatan interaksi sosial dengan teman-teman sebayanya 2. Bermain angklung dapat meningkatkan perkembangan sosial dan emosi namun dalam kaitannya dengan interaksi sosial dengan teman sebaya masih memerlukan kajian lebih lanjut 3. Pemberian reinforcement positif dan negatif dapat meningkatkan interaksi sosial anak tunagrahita sedang 4. Penggunaan reinforcement positif dan negatif melalui aktivitas bermain angklung dapat meningkatkan interaksi sosial dengan teman sebaya anak tunagrahita sedang
C. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah pada upaya Pemberian Reinforcement Positif dan Negatif Melalui Aktivitas bermain angklung dapat meningkatkan interaksi sosial dengan teman sebaya pada anak tunagrahita sedang di SD 9 Mutiara - Bandung.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, rumusan masalah utama yang perlu dijawab melalui penelitian ini yaitu “Apakah Penggunaan Reinforcement Positif dan Negatif Melalui Aktivitas Bermain Angklung dapat meningkatkan interaksi sosial dengan teman sebaya sedang?”.
anak tunagrahita
6
E. Definisi Operasional Variabel Dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. 1. Variabel bebas Dalam
penelitian
ini
yang
menjadi
variabel
bebas
adalah
Reinforcement positif dan Negatif melalui aktivitas bermain angklung. Definisi Reinforcement positif dan Negatif melalui aktivitas bermain angklung dalam penelitian ini adalah pemberian penguatan sebagai motivasi melalui aktivitas bermain angklung dimana tiap anak memegang satu buah angklung yang mempunyai nada tersendiri dan secara tidak langsung anak diajarkan tentang sifat gotong royong atau kebersamaan dimana anak akan dituntut untuk mengenal teman-teman sekelompoknya dan kekompakan anak melalui aktivitas bermain angklung sehingga terdengar irama lagu yang indah. apabila anak melakukan suatu perilaku yang diharapkan ketika bermain angklung seperti keterlibatan anak ketika bermain angklung, merespon saran dari teman sebaya, mengingatkan teman yang lupa membunyikan angklung, meminta maaf apabila melakukan kesalahan maka akan diberikan reinforcement positif atau penguat berupa pujian, memberikan bentuk penghargaan yang diharapkan anak tunagrahita antara lain diberikan kesempatan bermain, reward (stempel lucu).
7
Akan tetapi apabila anak melakukan perilaku yang tidak diharapkan ketika bermain angklung maka akan diberikan reinforcement negatif dengan memberikan tanda ketika anak melakukan kesalahan seperti mengernyitkan dahi, memberi teguran dengan memanggil nama anak dengan nada tinggi
dan dihentikan jika anak sudah kembali kepada
aktivitas yang diharapkan menjadi lebih baik. 2. Variabel Terikat (Target Behaviour) Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat atau target behavior adalah keterampilan interaksi sosial dengan teman sebaya. Interaksi sosial teman sebaya dalam penelitian ini didefinisikan sebagai hubungan antar pribadi yang didalamnya memiliki unsur keterlibatan, memberi arahan dan petunjuk dalam kegiatan yang dijalankan bersama teman sebaya Adapun satuan ukuran yang digunakan dalam penelitian adalah persentase atau persen terjadinya tingkahlaku (perilaku sosial) berupa keterlibatan anak, memberikan arahan dan petunjuk dalam interaksi dengan teman sebaya Ketika jam istirahat dan pemberian reinforcement positif dan negatif ketika bermain angklung sebagai intervensinya.
F. Tujuan dan kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
8
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian reinforcement positif dan negatif pada saat bermain angklung terhadap peningkatan keterampilan interaksi sosial dengan teman sebaya pada anak tunagrahita sedang 2. Kegunaan Penelitian Temuan penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi yang bermanfaat tentang pemberian reinforcement positif dan negatif pada saat bermain angklung bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam peningkatan kemampuan sosial dan interaksi interpersonal siswa.
G. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah
Single Subject Research (
SSR.) Desain SSR ini merupakan bagian yang integral dari analisis tingkah laku (behavior Analitic). SSR
mengacu
pada
strategi
penelitian
yang
dikembangkan
untuk
mendokumentasikan tentang perubahan tingkah laku subjek secara individual dan
pengaruh suatu perlakuan yang diberikan kepada satu subjek. Perlakuan yang diberikan
kepada
subjek
dalam
penelitian
ini
adalah
penggunaan
Reinforcement positif dan Negatif melalui aktivitas bermain Angklung untuk meningkatkan keterampilan interaksi anak tunagrahita sedang dengan teman sebaya dengan menggunakan pola desain A-B-A. yang artinya satu desain
9
penelitian yang memiliki tiga tahap, yaitu (A1) adalah kondisi baseline sebelum diberi treatmen , (B) adalah intevensi dalam treatmen dan (A’) adalah pengulangan kondisi baseline setelah siberi treatmen. Desain A – B - A’ ini menunjukan adanya hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas yang lebih kuat dibandingkan dengan desain sebelumnya dan dengan adanya pengulangan kondisi baseline ini dimaksudkan sebagai kontrol untuk kondisi intervensi yang diberikan peneliti kepada individu sehingga keyakinan untuk menarik kesimpulan adanya hubungan fungsional antara variable bebas dan variable terikat lebih kuat.