1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan sekadar untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Mereka umumnya melakukan kegiatan ekonomi secara tradisional dan informal (BPS Jakarta, 2005). Di Indonesia, munculnya dilema ekonomi informal adalah sebagai dampak dari makin kuatnya proses modernisasi yang bergerak membias, menuju sifat-sifat yang dualistis. Bias pembangunan secara makro akan menumbuhkan sistem ekonomi lain yaitu sektor informal, yang sebagian besar terjadi di negara-negara sedang berkembang. Fenomena dualisme ekonomi yang menumbuhkan sektor informal ini menunjukkan adanya keterpisahan secara sistemis-empiris antara sektor formal dan informal dari sebuah sistem ekonomi nasional. Hal ini sekaligus memberikan legitimasi ekonomi dan politik bahwa perekonomian suatu negara mengalami stagnasi dengan tingkat pengangguran sangat tinggi dan ketimpangan sosial-ekonomi yang cukup besar. Kebanyakan kota di dunia ketiga yang pesat perkembangan ekonominya, sering tidak diimbangi oleh kesempatan kerja. Oleh karena persoalan kesempatan kerja dan angka pengangguran yang menggelembung mengakibatkan sebagian dari mereka masuk ke sektor informal. Fakta yang ada menunjukkan bahwa migrasi desa ke kota berakibat penurunan pendapatan riil nasional karena adanya
1
2
nilai produksi sosial marginal (social marginal product) dan sebagian migran lebih rendah di kota dibandingkan dengan wilayah desa yang ditinggalkan. Meskipun demikian terdapat hubungan yang sangat erat (simbiosis mutualisme) antara sektor formal dengan sektor informal, di samping adanya hubungan yang erat antara sub-sub sektor informal (Mustafa, 2008). Menurut pendapat Rachbini (1991), ketika di kota tersedia kesempatan kerja di sektor formal, maka sebagian besar kaum migran akan terserap di sana. Tetapi, berhubung arah investasi yang terjadi di Indonesia tidak berpihak pada kaum urban dan tidak ramah terhadap tenaga kerja migran yang tidak atau
kurang berpendidikan,
menyebabkan
informal
perkembangan
sektor
menjadi
tak
maka hal itu terhindarkan
(Alisjahbana, 2006). Peran sektor informal di kota sangat strategis sebagai katup pengaman pengangguran. Di berbagai kota besar, ketika situasi krisis melanda Indonesia dan pengangguran terjadi di mana-mana, maka peluang satu-satunya yang dapat menyelamatkan kelangsungan hidup jutaan korban PHK dan pengangguran dari desa adalah sektor informal. Di Provinsi Bali, sektor informal juga memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2010, total penduduk yang bekerja pada sektor informal mencapai 1.359.418 orang atau 60,96 persen. Jumlah tersebut besarnya dua kali lipat dibandingkan tenaga kerja yang bekerja pada sektor formal yaitu 870.552 orang atau sebesar 39,04 persen. Penduduk yang bekerja pada sektor formal di Bali didominasi oleh penduduk laki-laki dengan jumlah 525.049 orang sedangkan penduduk perempuan sebesar 345.503 orang.
3
Pada sektor informal jumlah penduduk laki-laki yang bekerja sebesar 691.671 orang dan jumlah perempuan sebesar 667.747 orang, seperti tersaji pada Tabel 1.1 Tabel 1.1 Jumlah Penduduk yang Bekerja pada Sektor Formal dan Informal Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Bali Tahun 2010
Sektor
Laki-laki (orang)
Jenis Kelamin Perempuan Total (orang)
(orang)
Persentase (%)
Formal 525.049 345.503 870.552 39,04 Informal 691.671 667.747 1.359.418 60,96 Total 1.216.720 1.013.250 2.229.970 100,00 Sumber : Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Bali, 2010 (Data diolah)
Proporsi jumlah penduduk yang bekerja pada sektor informal lebih besar daripada sektor formal di Provinsi Bali karena latar belakang penduduk Bali berada dalam golongan masyarakat miskin, sehingga pendidikan yang dimiliki rendah. Adanya kemampuan yang bisa dibilang terbatas mau tidak mau untuk mencukupi kebutuhan hidupnya masyarakat Bali mempunyai satu-satunya pilihan yang ada hanya bekerja di sektor informal. Penduduk yang berasal dari daerah pedesaan yang tidak memiliki potensi untuk dikembangkan memilih untuk berurbanisasi ke daerah kota. Sesampainya di kota, penduduk yang memiliki kemampuan terbatas tidak tertampung di sektor formal sehingga mereka cenderung masuk dalam sektor informal. Menurut penjelasan UU. No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, disebutkan bahwa usaha kecil (termasuk pedagang informal) merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan
4
berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya (Rachmadi, 2001). Bahkan pedagang informal, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Kelompok pedagang informal mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor penerimaan retribusi daerah seiring dengan kebutuhan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam mengembang usaha ini masyarakat atau pedagang tentunya mengalami kendala-kendala
antara
lain
rendahnya
tingkat
pendidikan
formal
dan
keterampilan dalam berusaha, pengalaman berdagang yang minim, masalah modal dagang, perilaku konsumtif (konsumerisme), kebanyakan dari mereka belum mempunyai modal sendiri (sumber modal sebagian dari rentenir, dan sebagian dari barang-barang yang dijajakan adalah barang-barang komisi). Hal pokok tersebut merupakan faktor yang berkaitan dengan masalah pemberdayaan sektor informal, khususnya pengelolaan pedagang kecil, yakni masalah pengelolaan unsur manusia (pelatihan), pengelolaan unsur uang (modal kerja), pelatihan dan penyuluhan terhadap masyarakat tentang usaha yang akan dikembangkan dan pengelolaan unsur metode (manajemen usaha) dalam upaya meningkatkan pendapatan pedagang. Kabupaten Badung sebagai kabupaten yang Pendapatan Asli Daerahnya tertinggi di Propinsi Bali menunjukkan perkembangan aktivitas ekonomi yang pesat. Hal ini didukung oleh industri pariwisata yang menunjukkan daya tahan
5
yang baik dan mampu melalui beberapa krisis di negeri ini. Disamping itu pengembangan ibukota Kabupaten Badung yang baru yaitu Mangupura mampu memunculkan aktivitas ekonomi baru yang sedikit demi sedikit terpisah dari Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan Propinsi Bali. Infrastruktur yang ada misalnya jalan darat yang menghubungkan Kabupaten Badung dengan kabupaten lainnya di Propinsi Bali cukup memadai. Pelabuhan penyeberangan laut yaitu Gilimanuk di Kabupaten Jembrana dan Padangbai di Kabupaten Karangasem mampu melancarkan arus transportasi yang menyebabkan banyaknya pendatang yang ingin mencari pekerjaan di Propinsi Bali utamanya di wilayah Kabupaten Badung. Hal ini juga akan menyebabkan bertambahnya angkatan kerja di Badung, baik yang langsung mendapat pekerjaan maupun yang masih mencari pekerjaan. Walaupun angka pencari kerja tidak mengalami peningkatan yang sangat drastis, namun ternyata sektor formal baik negeri maupun swasta tidak mampu menampung animo pencari kerja baik yang berasal dari Kabupaten Badung maupun dari luar kabupaten Badung sehingga pencari kerja yang tidak tertampung di sektor formal akan memasuki kerja di sektor informal. Prospek dan perkembangan Sektor Informal yang meningkat dari tahun ke tahun ternyata tidak sejalan dengan permasalahan yang dihadapi oleh sektor informal, baik permasalahan intern maupun ekstern. Permasalahan intern yang dihadapi antara lain: banyaknya pesaing usaha yang sejenis, belum adanya pembinaan yang memadai dan akses kredit yang masih sukar dan terbatas. Sedangkan permasalahan ekstern yang dihadapi sektor informal antara lain:
6
lemahnya dalam struktur permodalan, lemah dalam struktur organisasi dan manajemen, terbatasnya komoditi yang dijual, tidak adanya kerja sama antar pelaku sektor informal, pendidikan rendah dan kualitas Sumber Daya Manusia yang kurang memadai (Firdausy, 1995). Perdagangan di sektor informal ini kurang dapat berkembang kearah usaha yang lebih besar walaupun mempunyai daya jual yang cukup tinggi, hal ini disebabkan adanya keterbatasan kemampuan dalam pengelolaan usaha yang masih bersifat tradisional, tambahan modal kredit dari pihak ketiga yang masih kecil dan informasi tentang dunia usaha sangat terbatas, jumlah dan kualitas tenaga kerja yang terbatas, sifat kualitas barang yang dijual hanya sebatas kebutuhan untuk barang dagangan saja. Karena itu yang harus dicapai dalam usaha sektor informal ini dalam peningkatan pendapatan usaha harus didukung oleh penguasaan terhadap usaha tersebut. Dalam meningkatkan pendapatannya, sektor informal akan mendapat kesulitan dalam mewujudkannya tanpa dukungan dan bantuan dari pihak-pihak terkait, bagaimanapun mereka menghadapi keterbatasan-keterbatasan yang kadang kala tidak dapat mereka pecahkan sendiri. Ketiadaan akan dukungan yang diberikan terhadap pedagang sektor informal ini oleh pemerintah merupakan kendala bagi usaha mereka untuk lebih maju dan berkembang. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa pedagang sektor informal mempunyai peranan yang besar dalam meningkatkan pendapatan regional sehingga mempengaruhi perkembangan perekonomian suatu daerah khususnya Kabupaten Badung. Perkembangan perekonomian tersebut tercermin dalam
7
peningkatan PDRB Kabupaten Badung pada setiap tahunnya. Seperti tersaji pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Badung atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 – 2009 (Jutaan Rupiah)
No.
Lapangan Usaha Utama
1
Pertanian
2006 643.519,20
Pertambangan dan Penggalian
9.715,01
798.998,22 9,08 12.055,42
881.093,76 8,41 14.464,17
0,14
0,15
0,14
0,14
182.621,75
198.035,03
224.425,67
254.973,74
2,61
2,57
2,55
2,43
143.382,70
165.929,66
193.406,97
236.428,72
2,05
2,15
2,20
2,26
383.973,44
443.031,68
519.441,72
649.203,83
5,48
5,75
5,90
6,20
2.815.368,11
3.024.626,55
3.427.697,13
3.973.530,83
9,19
%
3.
Industri Pengolahan %
4.
Listrik, Gas dan Air Bersih %
5.
Bangunan %
6.
Perdagangan, Hotel dan Restoran
7.
Pengangkutan dan Komunikasi
40,19
39,27
38,95
37,92
1.987.076,66
2.180.396,94
2.576.961,19
3.283.790,98
28,37
28,31
29,29
31,34
188.579,00
209.715,04
230.517,15
274.061,73
2,69
2,72
2,62
2,62
650.410,32
734.345,50
815.711,65
910.843,17
9,29
9,54
9,27
8,69
7.004.646,19
7.701.192,62
100,00
100,00
%
%
8.
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan %
9.
Jasa-Jasa %
PDRB
2009
733.449,43 9,52 11.662,79
%
2.
PDRB Distribusi Persentase PDRB 2007 2008
%
8.799.215,12 10.478.390,93 100,00
100,00
Sumber : Badung dalam Angka, 2010
Berdasarkan Tabel 1.2 terlihat bahwa terdapat peningkatan persentase PDRB dari tahun ke tahun pada sektor-sektor yang banyak memerlukan tenaga kerja informal yaitu antara lain sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Sektor-sektor yang persentase PDRB-nya relatif tetap antara lain sektor pertambangan dan penggalian serta sektor
8
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sementara sektor yang mengalami penurunan persentase PDRB adalah sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa.
Tabel 1.3 Penduduk Kabupaten Badung Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama tahun 2009 dan 2010
Sektor Lapangan Usaha
Tahun 2009 Jumlah Persentase
Tahun 2010 Jumlah Persentase
(jiwa)
(%)
(jiwa)
(%)
1. Pertanian 52.772 2. Pertambangan dan 172 Penggalian 3. Industri 20.617 4. Listrik, Gas dan Air 1.372 Minum 5. Bangunan & 22.467 Konstruksi 6. Perdagangan, Hotel & 71.627 Restoran 7. Pengangkutan dan 12.933 Komunikasi 8. Keuangan 9.124 9. Jasa-jasa 36.007 Jumlah 227.091 Sumber : Badung dalam Angka, 2010
23,24 0,08
49.706 198
21,46 0,09
9,08 0,60
31.596 1.076
13,64 0,46
9,89
20.256
8,75
31,54
67.958
29,34
5,70
16.269
7,02
4,02 15,86 100,00
9.022 35.547 231.628
3,90 15,35 100,00
Berdasarkan Tabel 1.3 menunjukkan bahwa tenaga kerja di Kabupaten Badung cenderung memilih sektor perdagangan, hotel dan restaurant sebagai mata pencaharian mereka. Yaitu mencapai jumlah 71.627 orang atau 31,54 persen untuk tahun 2009 dan 67.958 orang atau 29,34 persen pada tahun 2010 dan merupakan sektor utama mata pencarian tenaga kerja di Kabupaten Badung. Diikuti sektor pertanian sejumlah 52.772 orang atau 23,24 persen tahun 2009 dan 49.706 orang atau 21,46 persen tahun 2010. Secara keseluruhan terdapat
9
penurunan persentase tenaga kerja pada masing-masing sektor kecuali sektor industri pengolahan dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Hal ini disebabkan karena mulai berkembangnya industri di Kabupaten Badung utamanya industri kecil dan semakin majunya dunia transportasi dan komunikasi. Pekerja yang masuk pada sektor jasa-jasa juga cukup banyak yaitu 36.007 orang atau 15,86 persen tahun 2009 dan 35.547 orang atau 15,35 persen tahun 2010. Permasalahan yang terjadi adalah bahwa perluasan kesempatan kerja di kota Mangupura melalui adanya pembangunan di berbagai sektor tidak selamanya mampu menyerap seluruh tenaga kerja imigran yang semakin bertambah besar jumlahnya. Pertumbuhan pasar tenaga kerja formal serta meningkatnya proporsi pekerja formal telah mengangkat isu-isu baru berkaitan dengan perlindungan sosial. Pemecahan masalah yang paling sederhana muncul dari pemikiran sekelompok masyarakat kecil untuk bertahan hidup antara lain dengan “berjualan” mencari sedikit keuntungan melalui menjajakan berbagai jenis barang, makanan dan minuman. Unit-unit usaha sektor informal menurut lapangan usahanya meliputi sub sektor industri pengolahan, bangunan, angkutan, perdagangan, jasa, dan pembantu rumah tangga. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka yang bekerja di sub sektor perdagangan, terdapat beberapa variasi tempat usaha berjualan misalnya: ada yang membangun atau menjadikan sebagian rumahnya sebagai kios, ada yang menggunakan los atau koridor pasar, mendirikan tenda menggelar dagangannya, atau ada juga yang berkeliling dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Dengan demikian pedagang sektor informal ada yang merupakan pedagang kaki lima dan
10
ada juga yang disebut dengan pedagang tradisional. Pedagang tradisional di sini merupakan bagian dari pedagang sektor informal juga mirip dengan pedagang kaki lima, tetapi kelebihannya adalah sudah memiliki tempat berjualan tertentu berupa warung yang terletak di depan rumah, atau di samping jalan raya yang dekat dengan pemukiman penduduk. Jenis barang yang dijual adalah lebih banyak makanan dan minuman. Karakteristik pedagang tradisional hampir sama dengan pedagang kaki lima, yang membedakanya adalah tempat berjualan. Pada Tabel 1.4 berikut disajikan jumlah pedagang sektor informal yang dirinci berdasarkan tempat usahanya di 6 kecamatan se-kabupaten Badung Tahun 2010 yaitu 12.836 pedagang.
Tabel 1.4 Jumlah Pedagang Sektor Informal Berdasarkan Tempat Usahanya di Kabupaten Badung 2010 (unit)
No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6
Petang Abiansemal Mengwi Kuta Utara Kuta Kuta Selatan Jumlah
Bangunan Khusus Usaha 161 444 646 404 242 525 2421
Tempat Usaha Pedagang Sektor Informal Usaha Bangunan Los/ Dagang Kaki Campuran Koridor Keliling Lima 226 262 143 62 623 721 394 171 906 1049 573 249 566 656 358 156 340 394 215 94 736 853 465 203 3397 3.935 2.148 935
Jumlah 856 2353 3423 2139 1284 2781 12836
Sumber : Badung Dalam Angka, 2010 (Data diolah)
Dari Tabel 1.4 tersebut tampak bahwa sebagian besar pedagang sektor informal yang mencapai 3.935 pedagang menggunakan los atau koridor sebagai tempat berjualan, baik yang berada di pasar atau tempat umum lainnya. Sementara sisanya ada yang menggunakan bangunan campuran yaitu sebagian dari rumah
11
yang digunakan untuk tempat berjualan sebanyak 3.397 pedagang. Sementara 2.421 pedagang menggunakan tempat khusus untuk berdagang yang berupa warung atau kios. Pedagang kaki lima sejumlah 2.148 orang dan pedagang yang berjualan keliling tercatat 935 orang. Pedagang yang tempat usahanya menggunakan los/koridor, bangunan khusus usaha dan bangunan campuran sebagai tempat berdagang di kabupaten Badung kebanyakan merupakan pedagang tradisional dengan barang dagangan utama yang dijual adalah makanan dan minuman, bahan pangan (palen-palen), dan keperluan upacara yadnya. Teori ekonomi neoklasik mengatakan, bahwa jika suatu permintaan komoditas atau jasa dapat menentukan permintaan tenaga tersebut, maka pada pedagang tradisional ini penciptaan kesempatan kerja didorong oleh penawaran jasa tenaga itu sendiri (supply induced employment creation). Dilain pihak kehadiran pedagang tradisional sebagai bagian dari sektor
informal, perlu
dipandang dalam konteks yang hakiki, yaitu sebagai sarana mencari nafkah bagi golongan ekonomi lemah
tanpa mengancam serta tidak merugikan golongan
kaya. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan nasional yaitu meningkatkan taraf hidup masyarakat secara adil dan merata (Arief, 1990). Pedagang sektor informal meliputi dua jenis yaitu: pedagang yang bergerak dan pedagang yang tidak bergerak. Pedagang yang tidak bergerak adalah pedagang yang memiliki tempat tertentu, baik menyewa maupun milik rumah tangga sendiri.
12
Prospek sektor informal terus berlangsung disertai dengan pesatnya penambahan tenaga kerja yang masuk ke sektor tersebut mengindikasikan perlunya studi yang mendalam mengenai perkembangan, prospek dan faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja sektor informal, serta kemampuan bertahan di era ini menarik untuk dikaji lebih mendalam. Dalam penelitian ini, ada beberapa variabel yang mempengaruhi pendapatan pedagang sektor informal, antara lain investasi, modal kerja, curahan jam kerja, lama usaha dan jumlah anggota rumah tangga. Variabel investasi masuk dalam penelitian ini karena secara teoritis investasi mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan berhasil tidaknya suatu usaha yang telah didirikan. Modal kerja secara teoritis
mempengaruhi jumlah barang atau produk
yang
akan
diperdagangkan sehingga akan meningkatkan pendapatan.. Variabel curahan jam kerja atau jam kerja secara teoritis mempengaruhi pendapatan usaha dimana semakin tinggi jam kerja yang diluangkan untuk membuka usaha maka probabilitas pendapatan yang diterima pedagang sektor informal akan semakin tinggi. Variabel lama berusaha secara teoritis dalam buku tidak ada yang membahas bahwa lama berusaha merupakan fungsi dari pendapatan.
Namun
dalam
aktifitas
sektor
informal,
dengan
semakin
berpengalamannya seorang pedagang maka semakin bisa meningkatkan pendapatan usaha. Dan jumlah anggota rumah tangga mempengaruhi pendapatan usaha karena semakin banyak jumlah anggota rumah tangga pedagang maka pedagang akan semakin berusaha untuk memperoleh pendapatan yang tinggi.
13
1.2 Pokok masalah Dari latar belakang yang sudah diuraikan maka yang menjadi pokok masalah adalah sebagai berikut. 1) Apakah investasi, modal kerja, curahan jam kerja, lama usaha dan jumlah anggota rumah tangga secara simultan berpengaruh terhadap pendapatan pedagang sektor informal di Kabupaten Badung? 2) Bagaimanakah pengaruh investasi, modal kerja, curahan jam kerja, lama usaha dan jumlah anggota rumah tangga secara parsial terhadap pendapatan pedagang sektor informal di Kabupaten Badung? 3) Variabel manakah diantara investasi, modal kerja, curahan jam kerja, lama usaha dan jumlah anggota rumah tangga yang berpengaruh dominan terhadap pendapatan pedagang sektor informal di Kabupaten Badung?
1.3 Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui pengaruh investasi, modal kerja, curahan jam kerja, lama usaha dan jumlah anggota rumah tangga secara simultan terhadap pendapatan pedagang sektor informal di Kabupaten Badung. 2) Untuk mengetahui pengaruh investasi, modal kerja, curahan jam kerja, lama usaha dan jumlah anggota rumah tangga secara parsial terhadap pendapatan pedagang sektor informal di Kabupaten Badung. 3) Untuk mengetahui diantara variabel investasi, modal kerja, curahan jam kerja, lama usaha dan jumlah anggota rumah tangga yang berpengaruh
14
dominan terhadap pendapatan pedagang sektor informal di Kabupaten Badung.
1.4 Manfaat Penelitian 1) Secara Teoritis Sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui variable-variabel yang mempengaruhi pendapatan pedagang sektor informal khususnya di Kabupaten Badung. 2) Secara Praktis Sebagai masukan bagi pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten Badung dalam mengambil keputusan mengenai kebijakan pada sektor informal khususnya pedagang.