1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia dan perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa telah diakui oleh masyarakat. Dari masa ke masa, Pondok Pesantren yang berfungsi sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) telah banyak melahirkan ulama, tokoh masyarakat, muballigh, dan guru agama yang sangat dibutuhkan masyarakat. Hingga kini, Pondok Pesantren tetap konsisten melaksanakan fungsinya dengan baik, bahkan sebagian telah mengembangkan fungsi dan perannya sebagai pusat pengembangan masyarakat. Pendidikan pesantren bukanlah seperti madrasah atau sekolah yang menitik beratkan pengajaran tentang pengetahuan secara verbal. Pesantren (terutama yang salafiyah) pada umumnya tidak memiliki anggaran dasar dan tujuan pendidikan secara eksplisit. Ini disebabkan sifat kesederhanaan pesantren yang mewarisi sifat-sifat sang kiai (pendiri), yaitu semata-mata untuk ibadah dan tidak menghubung-hubungkannya dengan lapangan penghidupan, seperti jabatan dan status sosial di masyarakat.1 Pondok Pesantren merupakan salah satu lembaga yang telah mampu membawa pengaruh cukup besar, apalagi dengan adanya Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar yang diselenggarakan di Pondok Pesantren maka 1
Amin Haedari & Ishom El-saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta, Diva Pustaka, 2004, hlm. 81
2
pengaruhnya akan bertambah besar. Hal ini dikarenakan Pondok Pesantren memiliki sumber nilai dan norma-norma agama yang kuat yang merupakan kerangka acuan dalam berpikir, serta sikap ideal para santri sehingga pesantren sering disebut sebagai alat transformasi kultural, yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan, dakwah, kemasyarakatan bahkan sebagai lembaga perjuangan. Pesantren telah memberikan andil yang sangat besar, baik pada waktu membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah, maupun dalam rangka ikut serta mencerdaskan serta meningkatkan taraf hidup rakyat Negara Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di pesantren didasarkan atas ajaran Islam dengan tujuan ibadah untuk mendapatkan ridla dari Allah SWT, sehingga ijazah tidak terlalu dipentingkan dan waktu belajarnya juga tidak dibatasi. Para santri dididik untuk menjadi mukmin sejati, yaitu manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, mempunyai integritas pribadi yang kukuh mandiri, dan mempunyai kualitas intelektual. Setelah kembali ke kampung halamannya, seorang santri diharapkan dapat menjadi panutan dalam masyarakat, menyebarluaskan citra nilai budaya pesantrennya dengan penuh keikhlasan, dan menyiarkan dakwah Islam.2 Pondok Pesantren juga merupakan salah satu lembaga pendidikan yang diyakini mampu memadukan ilmu agama dengan ilmu umum sehingga suasananya lebih islami yang menjadikan manusia lebih tangguh dalam menghadapi arus kehidupan. Fenomena dan kecenderungan kehidupan di
2
Amin Haedari & Ishom El-saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren......, hlm. 83
3
Pondok Pesantren akhir-akhir ini sangat dipengaruhi oleh pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan segala dampaknya, baik yang bernilai positif maupun negatif. Hal itu pula yang telah mendorong terjadinya arus globalisasi yang mengalir di Pesantren sehingga membuahkan berbagai implikasi yang demikian luas di semua aspek kehidupan santri.3 Dari paparan di atas tampak bagaimana dunia pesantren dituntut proaktif untuk merekonstruksi eksistensi dirinya dalam konteks modernitas di satu pihak, dan di pihak lain untuk tetap mempertahankan cirri khas tradisinya. Persentuhan pesantren dengan masyarakat yang terus mengalami perubahan sosial yang cepat dari waktu ke waktu, secara langsung atau tidak menyebabkan perubahan paradigma pesantren, artinya pesantren tidak hanya sebagai lembaga keagamaan untuk tafaqquh fi al-din, akan tetapi pesantren adalah satu kesatuan integral yang tidak lepas dari realitas obyektif agar mampu menjawab tantangan zaman. Sebagai konsekuensinya, pesantren harus mengembangkan diri dengan mengasah kreatifitas berpikir dan ketrampilan santri, sehingga sekarang banyak bermunculan pesantren pertanian, pesantren peternakan, pesantren plus sekolah formal, dan lain-lain.4 Pondok Pesantren yang masih eksis mampu mempertahankan ciri khas salafiyahnya sekarang ini masih cukup banyak jumlahnya, baik yang besar maupun yang kecil seperi Ponpes Lirboyo Kediri, Ponpes Al-Anwar Sarang 3
Saeful Amin Ghafur, Pergulatan Pesantren Menuju Indonesia Baru, dalam Menggagas Pesantren Masa Depan, Yogyakarta, Qirtas, 2003, hlm. 191, Lihat juga Amin Haedari & Ishom El-saha, Op. Cit, hlm. 98 4 Miski Anwar, Tradisi Pesantren di Tengah Transformasi Sosial, Yogyakarta, Qirtaas, 2003, Cet. I, hlm. 80, Lihat juga Amin Haedari & Ishom El-saha, Op. Cit, hlm. 64
4
Rembang, Ponpes Kempek Cirebon, Salafiyah Kauman Pemalang, Ponpes Nurul Huda Al-Hasyimiyah Balapulang Tegal, termasuk Ponpes Al-Ma‟dar Jatimulya Suradadi Tegal, dan beberapa pesantren lainnya. Dalam level praktik di lembaga pendidikannya, pandangan para kyai tentang hakekat pendidikan, secara teoritis dapat dibagi dua kelompok, yakni para kyai yang memiliki pandangan tekstualis dan kontekstualis. Mereka yang berpikiran tektualis cenderung mempertahankan bentuk pesantrennya (kurikulum pendidikannya) secara tradisional, salafiyah. Kurikulum yang dikembangkan tetap merujuk kepada sistem lama, sedangkan mereka yang berfikiran kontekstualis cenderung berupaya mengadakan pembaharuan bagi pelaksanaan pendidikan di pesantrennya, seperti melaksanakan kegiatankegiatan yang tidak sekedar aspek-aspek ilmu keagamaan saja.5 Jika dilihat corak pemikiran para kyai sebagai pendiri dan pemilik pesantren, secara murni tidak ada yang murni berpikiran tekstualis, terbukti umumnya
semua
pesantren
telah
memberikan
perhatian
berupaya
memberikan ilmu pengetahuan yang dapat mempersiapkan santri untuk bekal kehidupan di dunia dan di akhirat kelak berupa keterampilan-keterampilan kerja. Dalam kata lain, tidak ada pesantren yang hanya menitikberatkan pada pendidikan keagamaan saja. Perbedaannya hanya terdapat pada segi penekanan atau aksentuasi saja. Misalnya terdapat Kyai yang lebih mengutamakan pendidikan keagamaan untuk bekal kehidupan akhirat,
5
Iu Rusliana, Dinamika Ilmu Agama dengan Ilmu Umum di Pesantren Salafi dan Modern, Penelitian Jurnal, Mimbar Studi Vol. 36, UIN Sunan Gunungjati Bandung, 2012, hlm. 102-103
5
sementara ada yang memandang perlu adanya keseimbangan. Pandangan ini akan tercermin pada corak pendidikan (kurikulum) pesantren masing masing.6 Sejalan dengan pandangan ontologis di atas, maka pandangan kyai tentang hakekat ilmu pengetahuan ini ditemukan ada yang lebih menekankan supremasi ilmu-ilmu keagamaan di atas ilmu-ilmu pengetahuan umum, ada pula yang memandang secara berimbang. Bahkan secara lebih rinci, dapat dilihat terdapat kyai yang lebih mengunggulkan satu cabang ilmu tertentu, seperti tasawuf, fikih, teologi, qur`an, hadis dan sebagainya. Inilah yang kemudian melahirkan adanya pendidikan formal berupa madrasah atau sekolah sampai perguruan tinggi di lingkungan pesantren. Perkembangan
pesantren
salafiyah
terutama
yang
tetap
mempertahankan ciri khas salafiyah dengan tidak mendirikan sekolah atau madrasah formal sama sekali, jumlahnya semakin sedikit. Hal ini terjadi selain karena adanya dialektika ilmu agama dan ilmu umum terjadi di lingkungan pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam, juga karena semakin gencarnya arus informasi dan kebutuhan dunia pendidikan formal, baik dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan maupun masyarakat luas sebagai pengguna. Untuk mempertahankan eksistensinya dengan tetap mempertahankan ciri salafiyah, beberapa pondok pesantren kemudian memasukkan pendidikan agama atau umum dengan mendirikan lembaga pendidikan formal seperti
6
Iu Rusliana, Dinamika Ilmu Agama dengan Ilmu Umum di Pesantren Salafi....., hlm. 102
6
sekolah dan madrasah dari tingkat dasar sampai menengah (SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA) ke dalam lingkungan pesantrennya. Lain halnya dengan apa yang dilakukan oleh Ponpes Al-Ma‟dar, dalam rangka mempertahankan eksistensi dan mempertahankan ciri salafiyahnya, maka pada tahun 2003 Ponpes Al-Ma‟dar kemudian mulai merekonstruksi kurikulumnya agar dapat disetarakan dengan sekolah atau madrasah formal. Dengan merekonstruksi kurikulumnya yaitu menyususn kembali kurikulum salafiyah plus beberapa mata pelajaran umum yang menjadi satu kesatuan kurikulum Ponpes salafiyah, diharapkan ada peningkatan mutu dan hasil belajar para santrinya. Rekonstruksi kurikulum antara kurikulum pesantren salafiyah dengan beberapa mata pelajaran umum yang dilakukan Ponpes Al-Ma‟dar tersebut adalah turunan dari visi pesantren yang berbunyi: Membentuk insan muslim yang tangguh dalam ilmu pengetahuan agama dan umum, sehat jasmani dan rohani, serta mampu secara mandiri dalam beramal dan berkarya untuk mencapai ridlo Allah.
B. Fokus Penelitian Dengan beberapa penjelasan sebagaimana tersebut di atas penulis tertarik untuk mengadakan kajian penelitian di Pondok Pesantren AlMa‟muriyah Darussalam yang disingkat Ponpes Al-Ma‟dar Jatimulya Suradadi Tegal dengan judul penelitian “Rekonstruksi Kurikulum Ponpes
7
Salafiyah Bagi Peningkatan Mutu Dan Hasil Belajar Santri (Studi Kasus di Ponpes Al-Ma’dar Jatimulya Suradadi Kab. Tegal)”. Ketertarikan penulis melakukan penelitian di Ponpes Al-Ma‟dar karena Ponpes Al-Ma‟dar merupakan salah satu dari sedikit pesantren salafiyah yang benar-benar tidak memiliki lembaga pendidikan formal baik berupa sekolah maupun madrasah. Sehingga kurikulum yang ada di pesantren ini masih bersifat lokal khas salafiyah yang non formal. Dari kekhasan kurikulumnya kemudian Ponpes Al-Ma‟dar berupaya merekonstruksi kurikulumnya agar dapat disetarakan dengan sekolah atau madrasah formal sesuai tingkatannya. Upaya rekonstruksi kurikulum Ponpes Al-Ma‟dar dilaksanakan sejak tahun 2003 dan membawa hasil yang positif terthadap peningkatan mutu dan hasil belajar para santrinya. Fokus penelitian ini adalah pada bagaimana rekonstruksi kurikulum di pesantren salafiyah Al-Ma‟dar itu dapat meningkatkan mutu dan hasil belajar santri. Alasan mengapa penulis memilih penelitian ini karena untuk membuktikan fakta yang sebenarnya tentang pendapat, anggapan, atau fenomena yang sudah berlangsung lama bahwa lulusan pesantren salafiyah yang menggunakan kurikulum khas salafiyah, tidak bisa melanjutkan pendidikan dan diterima dalam dunia kerja formal. Apakah benar lulusan pesantren salafiyah selamanya tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan tidak dapat diterima untuk melamar pekerjaan formal? Dalam penelitian ini yang menjadi ruang lingkup studi meliputi ; 1. Lingkup territorial (batas wilayah studi)
8
Lokasi sasaran penelitian ini adalah Pondok Pesantren Salafiyah AlMa‟dar yang beralamat di dukuh Gemahsari desa Jatimulya RT. 03 RW. 03 kecamatan Suradadi kabupaten Tegal provinsi Jawa Tengah. 2. Lingkup substansi Substansi hasil penelitian “Rekonstruksi Kurikulum Ponpes Salafiyah bagi Peningkatkan Mutu Dan Hasil Belajar Santri (Studi Kasus di Ponpes AlMa‟dar Jatimulya Suradadi Kab. Tegal)” ini meliputi ; a. Rekonstruksi Kurikulum Pondok Pesantren Salafiyah pada Pondok Pesantren Salafiyah Al-Ma‟dar b. Mutu dan hasil belajar santri program kesetaraan wajar Dikdas di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Ma‟dar. Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut ; 1. Bagaimana rekonstruksi kurikulum pondok pesantren Salafiyah di Pondok Pesantren Al-Ma‟dar? 2. Mengapa
kurikulum
di
pondok
pesantren
Salafiyah
Al-Ma‟dar
direkonstruksi? 3. Bagaimana pengaruh rekonstruksi kurikulum Ponpes Salafiyah bagi peningkatkan mutu dan hasil belajar santri pada Pondok Pesantren AlMa‟dar?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut ;
9
a. Untuk mengetahui lebih jauh dan mendalam proses rekonstruksi kurikulum Ponpes Salafiyah di Ponpes Al-Ma‟dar b. Untuk mengetahui alasan apa yang mendasari rekonstruksi kurikulum Ponpes Salafiyah di Ponpes Al-Ma‟dar dilakukan. c. Untuk lebih mendalami rekonstruksi kurikulum seperti apa yang dapat meningkatkan mutu dan hasil belajar santri pondok pesantren salafiyah di Pondok Pesantren Al-Ma‟dar.
D. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan dan manfaat terutama bagi dunia pendidikan Islam, yaitu: 1. Secara teoretik substantif a. Memunculkan konsep yang utuh tentang rekonstruksi kurikulum Ponpes Salafiyah dan mengetahui bagaimana proses pelaksanannyaannya. b. Memperkaya khazanah keilmuan dalam Pendidikan Islam, khususnya bagi program studi Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam. 2. Secara Praktis Empirik a. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dan sebagai masukan bagi para pengelola pondok pesantren. b. Dapat dijadikan dasar dalam mengkoordinasikan berbagai unsur yang ada seperti pelaku/ketenagaan, perangkat keras dan perangkat lunak yang dapat menunjang keberhasilan program dalam rangka rekonstruksi kurikulum pada Pondok Pesantren Salafiyah Al-Ma‟dar.
10
c. Dapat dijadikan landasan dalam implementasi kurikulum pesantren salafiyah hasil dari rekonstruksi kurikulum di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Ma‟dar.
E. Kajian Teori 1. Rekonstruksi Kurikulum Rekonstruksi berasal dari bahasa Inggris construction artinya bangunan, pembuatan, tafsiran, susunan atau bentuk. Kemudian mendapat awalan re yang berarti kembali atau ulang. sehingga reconstruction mempunyai maksud; membangun kembali, membuat kembali, penafsiran ulang, penyusunan ulang, atau membentuk kembali.7 Secara harfiah kurikulum berasal dari bahasa Latin, curriculum yang berarti bahan pengajaran. Ada pula yang mengatakan kata tersebut berasal dari bahasa Perancis courier yang berarti berlari.8 Beberapa teori dari para ahli tentang kurikulum diantaranya; Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.9 Menurut Muhaimin, kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang semula digunakan dalam bidang olah raga, yaitu currere yang berarti 7
Kamus 2.04, Inggris-Indonesia-Indonesia-Inggris, Offline,http://ebsoft.web.id S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 9. Lihat juga Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2005, hlm. 175 9 BSNP, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Model Silabus Mata Pelajaran, Jakarta, BP Cipta Jaya, 2006, hlm. 5 8
11
jarak tempuh lari, yakni jarak yang harus ditempuh dalamkegiatan berlari mulai dari start hingga finish. Pengertian ini kemudian diterapkan dalam bidang pendidikan. Dalam bahasa Arab, istilah kurikulum diartikan dengan manhaj, yakni jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik/guru dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan,keterampilkan dan sikap serta nilai-nilai. Menurut Al-Khauli sebagaimana dikutip oleh Muhaemin menjelaskan al-manhaj sebagai seperangkat rencana dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.10 Kata kurikulum selanjutnya menjadi suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh dari awal sampai akhir program pelajaran untuk mencapai suatu gelar atau ijazah.11 Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow and Crow sebagaimana yang dikutip oleh Abudin Nata bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis, sebagai syarat untuk menyelesaiakan suatu program pendidikan tertentu.12 Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran 10
yang disiapkan berdasarkan rancangan yang
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010, hlm. 1 11 Dasim Budimansyah, Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran PKn, Jakarta: UT, 2009, mdl. 1, hlm. 4 12 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2005, hlm. 175
12
sistematik dan koordinatif dalam rangka mencapai tujuan tujuan pendidikan yang ditetapkan. Menurut Langgulung, kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olah raga, dan kesenian baik yang berada di dalam maupun di luar kelas yang dikelola oleh sekolah.13 Dari beberapa pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa kurikulum pada hakikatnya adalah rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang pendidikan tertentu, dan dengan menguasainya seseorang dapat dinyatakan lulus dan berhak memperoleh ijazah. Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Menurut Mauritz Johnson kurikulum “prescribes (or at least anticipates) the result of in struction”. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan, memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta proses pendidikan. Di samping kedua fungsi itu, kurikulum juga merupakan suatu bidang studi, yang ditekuni oleh para ahli atau spesialis kurikulum, yang menjadi sumber konsep-konsep atau memberikan landasan teoritis bagi pengembangan kurikulum berbagai institusi pendidikan14 Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan,juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum 13
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta,... hlm. 175 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012, hlm. 4 14
13
merupakan kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Anggapan ini telah ada sejak zaman Yunani Kuno, dalam lingkungan atau hubungan tertentu pandangan ini masih dipakai sampai sekarang, yaitu kurikulum menurut Robert S. Zais sebagaimana dikutip oleh Nana Syaodih … a racecourse of subject matters to be mastered”. Banyak orang tua bahkan juga guru-guru, kalau ditanya tentang kurikulum akan memberikan jawaban sekitar bidang studi atau mata-mata pelajaran. Lebih khusus mungkin kurikulum diartikan hanya sebagai isi pelajaran. Pendapat-pendapat yang muncul selanjutnya telah beralih dari menekankan pada isi menjadi lebih memberikan tekanan pada pengalaman belajar. Menurut Caswel dan Campbell dalam buku mereka yang terkenal Curriculum Development sebagaiman dikutip oleh Nana Syaodih, kurikulum … to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers.15 Nana Syaodih, merumuskan tentang teori kurikulum, yaitu sebagai suatu perangkat pernyataan yang memberikan makna terhadap kurikulum sekolah, makna tersebut terjadi karena adanya penegasan hubungan antara unsur-unsur
kurikulum,
karena
adanya
petunjuk
perkembangan,
penggunaan dan evaluasi kurikulum. Bahan kajian dari teori kurikilum adalah hal-hal yang berkaitan dengan penentuan keputusan, penggunaan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kurikulum, dan lain-lain.16
15 16
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,... hlm. 4 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek..., hlm. 26-27
14
Perkembangan teori kurikulum tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan kurikulum yang telah dimulai pada tahun 1890 dengan tulisan Charles dan Mc Murry, tetapi secara definitive berawal pada hasil karya Franklin Babbit tahun 1918. Babbit sering dipandang sebagai ahli kurikulum yang pertama, ia perintis pengembangan praktik kurikulum. Babbit adalah orang pertama yang mengadakan analisis kecakapan atau pekerjaan sebagai cara penentuan keputusan dalam penyusunan kurikulum. Dia jugalah yang menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengidentifikasi kecakapan pekerjaan dan kehidupan orang dewasa sebagai dasar pengembangan kurikulum. Menurut Babbit, inti teori kurikulum itu sederhana, yaitu kehidupan manusia. Kehidupan manusia meskipun berbeda-beda pada dasarnya sama, terbentuk oleh sejumlah kecakapan pekerjaan. Pendidikan berupaya mempersiapkan kecakapan-kecakapan tersebut dengan teliti dan sempurna. Kecakapan-kecakapan yang harus dikuasai untuk dapat terjun dalam kehidupan sangat bermacam-macam, bergantung pada tingkatannya maupun jenis lingkungan. Setiap tingkatan dan
lingkungan
kehidupan
menuntut
penguasaan
pengetahuan,
keterampilan, sikap, kebiasaan, dan apresiasi tertentu. 17 Dalam
perkembangan
teori
kurikulum
Ralph
W.
Tylor
sebagaimana dikutip oleh Nana Syaodih mengemukakan empat pertanyaan pokok yang menjadi inti kajian kurikulum:18 1. Tujuan pendidikan yang manakah yang ingin dicapai oleh sekolah? 17 18
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek..., hlm. 28 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek..., hlm. 29
15
2. Pengalaman pendidikan yang bagaimanakah yang harus disediakan untuk mencapai tujuan tersebut? 3. Bagaimana mengorganisasikan pengalaman pendidikan tersebut secara efektif? 4. Bagaimana kita menentukan bahwa tujuan tetsebut telah tercapai? Sayyed Hossein dalam bukunya Islam and the Challenge of the 21 Century dalam Muhaimin, mengemukakan sejumlah tantangan yang dihadapi oleh Dunia Islam pada abad ke-21, yaitu ; (1) krisis lingkungan; (2) tatanan global; (3) post modernism; (4) sekularisasi kehidupan; (5) krisis ilmu pengetahuan; (6) penetrasi nilai-nilai non Islam; (7) citra Islam; (8) sikap terhadap peradaban lain; (9) feminism; (10) hak azazi manusia; dan (11) tantangan internal. Di lain pihak, Sachiko Murata & William Chittik, dua guru besar di State University of New York, Amerika Serikat (dalam The Vision of Islam, 1994), mengemukakan bahwa obat untuk mengatasi berbagai problem masyarakat, seperti kelaparan, penyakit, penindasan, polusi dan berbagai penyakit social lainnya, adalah to return to God through religion. Jika mencermati pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh para pemikir dan ilmuwan sebagaimana tersebut di atas, sebenarnya kurikulum di pesantren salafiyah sudah mampu sebagai solusi dari permasalahan-permasalahan sosial, karena kurikulum yang ada dan diterapkan di pesantren salafiyah adalah kurikulum yang mengedepankan pembentukan pribadi yang sholih-sholihah. Melalui ilmu-ilmu ke-Islaman
16
yang dipelajari para santri mampu mengetahui kedudukan dirinya sebagai hamba Allah yang dituntut untuk mengabdi kepada-Nya dan menjadi manusia yang mampu sebagai kholifah baik untuk dirinya, keluarga, dan masyarakat. Hanya saja kemudian timbul permasalahan, sebagai realita kebijakan bahwa para santri lulusan pesantren salafiyah ijazahnya tidak memiliki civil effect yang sama dengan lembaga pendidikan formal. Hal ini disebabkan kurikulum yang berlaku di pesantren salafiyah adalah kurikulum yang bersifat khusus atau lokal yang sudah menjadi ciri dan budaya pesantren salafiyah. Sehingga santri lulusan pesantren salafiyah walaupun memiliki pengetahuan dan kemampuan, tidak bisa mutasi atau melanjutkan ke pendidikan formal pada jenjang yang lebih tinggi dan tidak bisa memasuki di dunia kerja formal yang mempersyaratkan ijazah pendidikan formal. Inilah kemudian mengapa pesantren salafiyah melakukan reorientasi kurikulumnya, yang mempunyai makna pesantren salafiyah melakukan penataan ulang akan tujuan tujuan yang hendak dicapai dari kurikulumnya, bukan hanya berorientasi pada pengetahuan agama secara khusus tetapi juga memperhatikan pengetahuan umum yang bersifat formal sebagai bekal bagi lulusanya agar mempunyai kesetaraan dengan lulusan pendidikan formal (SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA). Dengan demikian, rekonstruksi kurikulum sebagaimana yang dilakukan oleh pondok pesantren Al-Ma‟dar adalah menyusun kembali rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun
17
secara sistematis, sebagai syarat untuk menyelesaiakan suatu program pendidikan dan mendapatkan ijazah. 2. Pondok Pesantren Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri. Sedang pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu kata pondok mungkin juga berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti hotel atau asrama.19 Pengertian pesantren secara terminology, dapat dikemukakan beberapa pendapat yang mengarah pada definisi pesantren. Abdurrahman Wahid, memaknai pesantren secara teknis; a place where santri (student) live, sedangkan Abdurrahman Mas‟oed menulis; “the word pesantren stems from “santri” which means one who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refer to a place where the santri devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge”. Kata pesantren berasal dari kata “santri” yang berarti orang yang mencari pengetahuan Islam, yang pada umumnya kata pesantren mengacu pada suatu tempat, di mana santri menghabiskan kebanyakan dari waktunya untuk tinggal dan memperoleh pengetahuan.20 Secara terminologis, pondok pesantren merupakan institusi sosial keagamaan yang menjadi wahana pendidikan bagi umat Islam yang ingin mendalami ilmu-ilmu keagamaan. Pondok pesantren dalam terminologi
19
Amin Haedari & Ishom El-saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta, Diva Pustaka, 2004, hlm. 1 20 Nawawi, Sejarah dan Perkembangan Pesantren, dalam Jurnal Studi Islam dan Budaya Ibda‟, Vol. 4, No. 1, Th. 2006,hlm. 1-2
18
keagamaan merupakan institusi pendidikan Islam, namun demikian Pesantren mempunyai icon sosial yang memiliki pranata sosial di masyarakat. Hal ini karena pondok pesantren memiliki modalitas sosial yang khas, yaitu: 1) ketokohan Kyai, 2 ) santri, 3) independent dan mandiri, dan 4) jaringan sosial yang kuat antar alumni pondok pesantren.21 Di antara sekian banyak lembaga pendidikan yang ada ataupun pernah muncul di Indonesia, pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous. Pendidikan pesantren memilikin kultur khas yang berbeda dengan budaya di sekitarnya, sehingga ia disebut sebagai sub kultur yang bersifat idiosyncratic.22 Dalam konteks keilmuan, keberadaan pesantren merupakan perwujudan dari egalitarianisme Islam dan lapangan keilmuan. Dengan pesantren, setiap muslim yang mempunyai latar belakang sosial yang berbeda memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan, bukan sembarang pengetahuan, tetapi pengetahuan agama yang pada segi-segi tertentu dipandang
memiliki
aura
sakralitas.
Pendidikan
pesantren
yang
mewujudkan egalitarianisme Islam dan lapangan keilmuan tadi betul-betul merupakan pendidikan yang merakyat. Pendidikan pesantren pada dasarnya adalah pendidikan lillahi ta’ala. Orang tua atau santri tidak perlu membayar apa-apa; kalaupun “membayar”, jumlah yang diberikan sangat minim. Bahkan sering terjadi 21
Iu Rusliana, Dinamika Ilmu Agama dengan Ilmu Umum di Pesantren Salafi...., hlm. 100 Amin Haedari & Ishom El-saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta, Diva Pustaka, 2004, hlm. 2 22
19
„uang sekolah‟ dibayar dengan pengabdian kepada kyai, apakah dengan menjadi asistennya untuk mengajar,atau bekerja di lahan pertanian sang kyai. Dengan demikian, basis kekuatan eksistensial pesantren, pada satu pihak terletak pada corak dan paham keislaman masyarakat jawa itu sendiri. Pada pihak lain, basisi eksistensial pesantren terletak pula pada integrasi lembaga ke dalam struktur-struktur sosial yang ada, khususnya struktur politik tradisional Jawa.23 Ada beberapa ciri yang secara umum dimiliki oleh pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus sebagai lembaga sosial yang secara informal itu terlibat dalam pengembangan masyarakat pada umumnya. Zamakhsyari Dhofir mengajukan lima unsur pondok pesantren yang melekat atas dirinya yang meliputi; pondok, masjid, pengajian kitabkitab klasik, santri dan kyai.24 Sejatinya penyelenggaraan pendidikan di pesantren memiliki nilai khusus dan nilai lebih, dibandingkan dengan pendidikan pada lembagalembaga pendidikan pada umumnya, karena pendidikan di pesantren mempunyai orientasi yang lebih dalam menanamkan sistemetika kepada para santri. Secara lebih detail, A. Mukti Ali, mantan menteri agama menjelaskan cirri-ciri pesantren sebagai berikut; a. Adanya hubungan yang akrab antara murid (santri) dengan kiai dan seluruh jajaran mudarris. Hal ini dimungkinkan karena mereka tinggal satu pondok. 23
Amin Haedari & Ishom El-saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren...., hlm. 86 Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES, 1994, hlm. 44 24
20
b. Tunduknya santri pada kiai. Para santri menganggap bahwa menentang kiai selain dianggap kurang sopan juga bertentangan dengan ajaran agama. c. Hidup hemat dan sederhana benar-benar dilakukan dalam kehidupan pesantren. d. Semangat menolong diri sendiri amat terasa dan kentara dipesantren. Hal ini disebabkan santri mencuci pakaiannya sendiri, membersihkan kamar tidurnya sendiri dan bahkan tidak sedikit dari mereka yang memasak makanannya sendiri. e. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaran sangat mewarnai pergaulan di pesantren. f. Disiplin sangat ditekankan dalam kehidupan pondok pesantren. g. Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah satu pendidikan yang diperoleh di pesantren.25 Pondok Pesantren pada umumnya tergambar pada cirri khas yang biasanya dimiliki oleh Pondok Pesantren, yaitu adanya pengasuh Pondok Pesantren (kyai/ajengan/tuan guru/buya/tengku/ustadz), adanya masjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan tempat belajar, adanya santri yang belajar, serta adanya asrama sebagai tempat tinggal santri. Disamping empat komponen tersebut, hampir setiap pesantren juga menggunakan kitab kuning (kitab klasik pada abad pertengahan) sebagai sumber kajian. Seiring dengan perkembangan zaman, penyelenggaraan pendidikan di 25
Lihat Pesantren, 19-20, No. 2/Vol. IV/1987, Lihat juga Amin Haedari & Ishom El-saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah,....hlm. 81-82
21
pesantren juga mengalami perubahan dan perkembangan, sehingga ada pesantren yang disebut Khalafiyah dan ada yang disebut Salafiyah.26 Dalam pengelolaan pendidikan pesantren, kyai/pendiri pesantren mempunyai hak penuh secara otoritatif dan bertanggung jawab atas perkembangan pesantren. Sementara dalam hal sistem pendidikan pesantren, pesantren memiliki hak konsultatif dengan pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama dan atau Departemen Pendidikan Nasional. Penjabarannya sebagai berikut;27 i. Pesantren tipe pertama atau yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan sendirinya menjadi bagian integral dari sistim pendidikan nasional. Oleh karenanya dalam hal kurikulum, akreditasi, supervise, dan ujian mereka di bawah bimbingan Departemen Agama (untuk MI, MTs, MA, PTAI) dan Departemen Pendidikan Nasional (untuk SD, SLTP, SLTA, dan PTU). ii. Pesantren tipe kedua dan ketiga yang menyelenggarakan kurikulum lokal dengan ada tambahan beberapa kurikulum umum menjadi bagian integral dalam program wajib belajar 9 tahun yang diselenggarakan Departemen Agama. Karenanya,kurikulum (materi umum), supervise dan ujian akhir pesantren tipe ini di bawah bimbingan Departemen Agama. Mereka berhak mendapatkan bantuan fasilitas dan guru dari pemerintah, apabila diperlukan.
26
Kementerian Agama RI, Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada Pondok Pesantren Salafiyah, Dirjen Pendis, 2011, hlm. 7 27 Amin Haedari & Ishom El-saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren...., hlm. 14
22
iii. Pesantren tipe keempat yang masih mempertahankan sistim pendidikan wetonan dan sorogan saja masuk dalam kategori pendidikan luar sekolah (nonformal education). Salah satu ciri dan bentuk pesantren yang paling menonjol adalah wataknya yang sangat ditentukan oleh Kyai yang sekaligus menjadi pimpinannya, di samping masyarakat yang mendukung pesantrennya. Pada pesantren tradisional (salaf), kurikulumnya banyak juga yang belum dalam bentuk dokumen tertulis, tetapi masih terbatas pada pengertian “hiden curriculum” yang bersumber dari pengalaman- pengalaman yang dimiliki oleh kiainya (teacher experience).28 Atas dasar ini, tidak heran jika masalah-masalah seperti: pembobotan mata pelajaran, penjenjangan kelas, alokasi waktu, penentuan usia belajar dan lain-lain belum ditemukan di pesantren model salaf. Kegiatan proses pembelajaran dilakukan dengan prinsip bahwa Kyai tidak melakukan penambahan terhadap materi pelajaran yang diberikannya jika materi lama belum dikuasai oleh santri.29 3. Tipologi Pesantren Salafiyah Pesantren merupakan institusi sosial keagamaan yang menjadi wahana pendidikan bagi umat Islam yang ingin mendalami ilmu-ilmu keagamaan (Rafiq Zainul Mun‟im, 2009). Secara umum, pesantren memiliki tipologi yang sama, yaitu sebuah lembaga yang dipimpin dan diasuh oleh kiai dalam satu komplek yang bercirikan: adanya masjid atau 28 29
Iu Rusliana, Dinamika Ilmu Agama dengan Ilmu Umum di Pesantren Salafi..., hlm. 99 Iu Rusliana, Dinamika Ilmu Agama dengan Ilmu Umum di Pesantren Salafi...,hlm. 100
23
surau sebagai pusat pengajaran dan asrama sebagai tempat tinggal santri, di samping rumah tempat tinggal kiai, dengan “kitab kuning” sebagai buku pegangan. Menurut Mustofa Bisri (2007: 11) di samping ciri lahiriah tersebut, masih ada ciri umum yang menandai karakteristik pesantren, yaitu kemandirian dan ketaatan santri kepada kiai yang sering disinisi sebagai pengkultusan.30 Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, terutama karangan-karangan ulama yang menganut faham Syafi‟iyah, merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utama pengajaran ini ialah untuk mendidik calon-calon ulama. Para santri yang tinggal di pesantren untuk jangka waktu pendek (misalnya kurang dari satu tahun) dan tidak bercita-cita menjadi ulama, mempunyai tujuan untuk mencari pengalaman dalam hal pendalaman perasaan keagamaan. Kebiasaan semacam ini terlebih-lebih dijalani pada waktu bulan Ramadhan, sewaktu umat Islam diwajibkan berpuasa dan menambah amalan-amalan ibadah, antara lain sembahyang sunat, membaca al-Qur‟an dan mengikuti pengajian. Para santri yang tinggal sementara ini janganlah kita samakan dengan para santri yang tinggal bertahun-tahun di pesantren yang tujuan utamanya ialah untuk menguasai berbagai-bagai cabang pengetahuan islam. Dalam struktur pendidikan Islam tradisional di Jawa, pengajaran pembacaan al-Qur‟an diberikan dalam pengajian dan merupakan dasar dari 30
Marzuki, at Al, Tipologi Perubahan dan Model Pendidikan Multikultural Pesantren Salaf, dalam Jurnal UNY,
[email protected],diakses tanggal 7 Maret 2013, hlm. 2-3
24
pendidikan awal. Walaupun memang benar bahwa pesantren-pesantren kecil mengajari pembacaan al-Qur‟an, namun pengajaran ini bukan tujuan utama system pendidikan pesantren. Kebanyakan pesantren sekarang ini secara formal menentukan syarat bahwa calon santri harus sudah menguasai pembacaan al-Qur‟an. Sekarang, meskipun kebanyakan pesantren telah memasukkan pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren mendidik calon-calon ulama, yang setia kepada faham Islam tradisional.31 Pesantren salaf adalah pesantren yang memiliki karakteristik khusus, yakni salaf (tradisional). Ada beberapa ciri pesantren salaf atau tradisional, terutama dalam hal sistem pengajaran dan materi yang diajarkan. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau sering disebut dengan kitab kuning, karena kertasnya berwarna kuning, terutama karangankarangan ulama yang menganut faham Syafi‟iyah. Semua ini merupakan pengajaran
formal
yang
diberikan
dalam
lingkungan
pesantren
tradisional.32 Abdurrahman Wahid mencatat bahwa ciri utama dari pengajian pesantren tradisional ini adalah cara pemberian pengajarannya yang ditekankan pada penangkapan harfiah (litterlijk) atas suatu kitab (teks) tertentu. Pendekatan yang digunakan adalah menyelesaikan pembacaan 31
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994, hlm. 50 32 Marzuki, at Al, Tipologi Perubahan...., hlm. 3
25
kitab (teks) tersebut, untuk kemudian dilanjutkan dengan pembacaan kitab (teks) lain.33 Sistem individual dalam sistem pendidikan Islam tradisional disebut system sorogan yang diberikan dalam pengajian kepada muridmurid yang telah menguasai pembacaan Al-Quran. Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren tradisional adalah sistem bandongan atau seringkali juga disebut sistem weton. Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500 orang) mendengarkan seorang guru membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memerhatikan bukunya atau kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru.34 Pondok Pesantren khalafiyah atau ashriyah adalah pondok pesantren yang mengadopsi sistem madrasah atau sekolah, kurikulumnya disesuaikan dengan kurikulum pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama, melalui penyelenggaraan SD, SMP, dan SMA, atau MI, MTs, dan MA. Bahkan ada pula yang sampai ke tingkat perguruan tinggi
33
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2007, hlm. 71 34 Marzuki, at Al, Tipologi Perubahan...., hlm. 3, Lihat juga Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren..., 1994, hlm. 28
26
Pondok Pesantren salafiyah, yaitu pondok pesantren yang masih tetap mempertahankan sistem pendidikan khas pondok pesantren, baik kurikulum maupun metode pendidikannya. Bahan ajar meliputi ilmu-ilmu agama Islam, dengan mempergunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab, sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing santri. Pembelajaran dengan cara bandongan dan sorogan masih tetap dipertahankan tetapi sudah banyak yang mempergunakan system klasikal. 35 Selain adanya Kyai dan pelajaran kitab-kitab klasik, elemen penting yang harus ada dalam suatu lembaga pesantren adalah santri. Menurut tradisi pesantren, terdapat dua kelompok santri yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren, sedangkan santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa disekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren santri kalong bolak-balik (nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan antara pesantren kecil dapat dilihat dari komposisi santri kalong. Semakin besar sebuah pesantren, akan semakin besar jumlah santri mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.36 Pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dan kyai merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren. Ini berarti bahwa suatu lembaga pengajian yang telah berkembang hingga memiliki kelima 35 36
Kementerian Agama RI, Petunjuk Teknis Penyelenggaraan...,. hlm. 8 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren;...., hlm. 52
27
elemen tersebut, akan berubah statusnya menjadi pesantren. Di seluruh Jawa, orang biasanya membedakan kelas-kelas pesantren dalam tiga kelompok, yaitu pesantren kecil, menengah, dan pesantren besar. Pesantren yang tergolong kecil biasanya mempunyai jumlah santri di bawah seribu dan pengaruhnya terbatas pada tingkat kabupaten. Pesantren menengah biasanya mempunyai santri antara 1.000 sampai dengan 2.000 orang, memiliki pengaruh dan menarik santri-santri dari beberapa kabupaten. Pesantren besar biasanya memiliki santri lebih dari 2.000 orang yang berasal dari berbagai kabupaten dan propinsi. Beberapa pesantren besar memiliki popularitas yang dapat menarik santri-santri dari seluruh Indonesia.37 Dari beberapa uraian mengenai elemen dan kriteria pondok pesantren sebagaiman tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa Ponpes Al-Ma‟dar termasuk pada kategori pesantren kecil, karena mempunyai jumlah santri di bawah seribu dan pengaruhnya terbatas pada tingkat kabupaten. Tesis
ini
menguraikan
penelitian
yang
berkaitan
dengan
rekonstruksi kurikulum Ponpes Salafiyah di Ponpes Al-Ma‟dar yang meliputi desain kurikulum lama, proses rekonstruksi kurikulum Ponpes Salafiyah dan desain kurikulum baru. Kurikulum lama merupakan kurikulum awal sebelum dilakukan rekonstruksi kurikulum. Proses rekonstruksi kurikulum adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
37
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren;...., hlm. 44
28
para pemangku kepentingan dari awal hingga menghasilkan suatu desain kurikulum baru. Dari uraian tersebut, maka dapat dibuat kerangka berfikir secara konseptual sebagai berikut : Tabel 1.1. Konsep rekonstruksi kurikulum Rekonstruksi Kurikulum Ponpes Salafiyah
Desain Kurikulum Lama
Proses dan Tahapan Rekonstruksi Kurikulum
Desain Kurikulum Baru
Multi Interest : Filosofis, Psikologis. Sosiologis (sosial dan budaya), dan Organisatoris.
Multi Aktor : Pimpinan Ponpes, Pengasuh Ponpes, Pengurus Yayasan, Dewan Asatidz, Orang tua santri, Tokoh Agama dan Tokoh masyarakat
Tabel 1.2. Konsep proses rekonstruksi kurikulum PONDOK PESANTREN SALAFIYAH
PROGRAM WAJAR DIKDAS 9 TAHUN
REORIENTASI KURIKULUM
LULUSAN (SETARA SD/MI, SMP/MTs)
KURIKULUM KHAS SALAFIYAH
29
Penulis berpendapat bahwa adanya program wajib belajar pendidikan
dasar
yang
dicanangkan
pemerintah
yang
kemudian
ditindaklanjuti oleh Departemen Agama RI dengan menjadikan pondok pesantren salafiyah sebagai salah satu pola wajar dikdas, menunjukkan posisi tawar pondok pesantren salafiyah masih cukup strategis dalam upaya secara bersama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa dan dalam rangka membentuk manusia Indonesia yang seutuhnya. Hal ini juga merupakan hasil kompromi dengan mengambil jalan tengah menggabungkan dua model kurikulum yaitu kurikulum khas pesantren salafiyah sebagai kurikulum formalnya yang bersifat lokal tetap berjalan sebagaimana lazimnya dan kurikulum nasional yang berupa beberapa mata pelajaran tertentu. Sehingga dengan demikian kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan, terutama pesantren salafiyah yang memang memegang tradisi kuat untuk selalu mempertahankan ciri tradisionalnya tetap eksis dan Kementerian Agama sebagai wakil pemerintah yang bertanggung jawab membina dan melayani seluruh warga Negara juga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. 4. Mutu Pendidikan Mutu secara harfiah berarti kualitas atau derajat kepandaian, sedangkan lulus berarti “dapat masuk dan keluar” atau “berhasil dalam ujian”38. Mutu atau kualitas adalah tingkat baik buruknya sesuatu; kadar,
38
S. Wojowasito, Kamus Bahasa Indonesia, Bandung: Shinta Dharma, 1972, hlm. 195
30
derajat atau taraf (kepandaian, kecakapan, dsb).39 Dalam kamus Oxford mutu atau kualitas diartikan sebagai the standard of something as measured against other thing of a similar kind,40 yang artinya secara bebas adalah standar sesuatu sebagai pengukur yang membedakan suatu benda dengan yang lainnya. Di sini keberadaan mutu tersebutlah yang menjadikan suatu benda itu berbeda. Perbedaan yang terdapat pada benda ini menjadikan benda ini istimewa dan spesial dibandingkan dengan benda lainnya yang masih tergolong sama. Kepuasan merupakan satu kata yang cukup representatif ketika kita berbicara tentang mutu atau kualitas. Mutu adalah barang atau jasa yang memiliki nilai sangat bagus dan berharga. Secara fisik barang yang bermutu dicerminkan dengan kata-kata baik, indah, benar, istimewa, dan lain sebagainya. Dalam sebuah organisasi nonprofit biasanya mutu dapat dilihat dari pelayanan yang diberikan kepada pelanggan oleh seseorang atau sebuah organisasi sehingga pelanggang merasa puas, tanpa adanya keluhan atas pelayanan yang didapat dari organisasi tersebut. Setiap orang dapat mengartikan mutu sesuai persepsi masingmasing. Hal ini dikarenakan mutu belum memiliki arti yang tetap sehingga para pakar masih mengartikan mutu sesuai persepsi dan bidangnya. Berikut merupakan beberapa pengertian mutu berdasarkan kriteria yang berbeda-beda:1) Melebihi dari yang dibayangkan atau diinginkan, 2) Kesesuaian antara keinginan dan kenyataan pelayanan, 3) Sangat cocok 39 40
KBBI Offline Versi 1.1 Concise Oxford Englihsh Dictionary (Eleventh Edition)
31
dalam pemakaian, 4) Selalu dalam perbaikan dan penyempurnaan terus menerus, 5) Dari awal tidak ada kesalahan, 6) Membanggakan dan membahagiakan pelanggan, dan 7) Tidak ada cacat atau rusak.41 Beberapa ahli telah mendefinisikan mutu sebagaimana berikut ini: 1. Joseph Juran, sebagaimana dikutip Suyadi memiliki pendapat bahwa quality is fitness for use. Secara bebas mutu di sini diartikan sebagai kesesuaian atau enaknya barang itu digunakan (mutu produk).42 Contoh sederhana dari mutu seperti ini adalah ketika kita membeli suatu produk dan produk itu sesuai dengan yang kita inginkan maka kita menilai produk itu bagus atau baik. Misalnya baju yang kita beli memiliki mutu jika ketika kita memakai baju tersebut merasa puas karena terlihat baik dan bagus sesuai keinginan kita meskipun mahal. Berbeda dengan sebaliknya, apabila baju yang kita beli tidak cocok maka kita akan menilai baju atau produk tersebut tidak bermutu. Pengertian yang dikemukakan Juran ini merupakan definisi mutu dalam arti sempit dari segi konsumen atau pelanggan. Ditinjau dari pandangan produsen, mutu merupakan kata yang cukup rumit untuk didefinisikan karena mutu dari segi produsen bergantung pada beberapa hal berikut: merancang, memproduksi, mengirimkan atau menyerahkan barang
41
Engkoswara dan Aan Komariah, Administrasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010, hal.
304 42
Suyadi Prawirosentono, Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu Total Quality Management Abad 21 Studi Kasus dan Analisis. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004, hal. 5
32
kepada konsumen, pelayanan pada konsumen, dan penggunaan barang (jasa) tersebut oleh konsumen.43 Mutu dari sisi produsen dapat diartikan sebagai yang diungkapkan Suyadi adalah, “Mutu suatu produk adalah keadaan fisik, fungsi, dan sifat suatu produk bersangkutan yang dapat memenuhi selera dan kebutuhan konsumen dengan memuaskan sesuai nilai uang yang telah dikeluarkan.”44 Dalam pengertian yang lebih luas, Juran mengartikan mutu sebagai kinerja organisasi secara keseluruhan yang difokuskan secara sinergi pada kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Di sinilah mutu dipersepsikan sebagai total quality management.45 2. Philip B. Crosby mendefinisikan mutu sebagai kesesuaian dengan apa yang disyaratkan atau distandarkan (Conformance to requirement).46 Secara sederhana sebuah produk dikatakan berkualitas apabila produk tersebut sesuai dengan standar kualitas yang telah ditentukan yang meliputi bahan baku, proses produksi, dan produk jadi.47 3. W. Edwards Deming menyatakan bahwa kualitas atau mutu adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen.48 4. Armand V. Fiegenbaum, mendefinisikan mutu sebagai kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction).49 43
Suyadi Prawirosentono, Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu...., hlm. 5 Suyadi Prawirosentono, Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu...., hlm. 6 45 Engkoswara dan Aan Komariah, Administrasi Pendidikan...., hlm. 304 46 Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengembangkan Budaya Mutu, Malang: UIN-Maliki Press, 2010, hlm. 78 47 Umiarso dan Imam Gojali, Manajemen Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan, Jogjakarta: IRCiSoD, 2011, hlm. 121 48 Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengembangkan...., hlm. 78 49 Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengembangkan...., hlm. 78 44
33
5. Goetssch dan Davis, mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.50 6. Edwar Sallis, mutu dipandang sebagai sebuah konsep yang absolut sekaligus relatif. Dalam artian absolut, mutu sama halnya dengan sifat baik, cantik, dan benar, merupakan suatu idealisme yang tidak dapat dikompromikan. Sesuatu yang bermutu bagian dari standar yang sangat tinggi dan tidak dapat diungguli. Adapun mutu itu relatif dipandang sebagai sesuatu yang melekat pada sebuah produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggannya. Karena itu, produk atau layanan dianggap bermutu bukan karena ia mahal dan eksklusif, tetapi karena memiliki nilai, misalnya keaslian produk, wajar, dan familiar.51 Dari beberapa definisi mutu menurut para ahli di atas, dapat memperjelas mutu sebagai; a) kesesuaian dengan standar yang ada. Sebagai contoh dalam sebuah organisasi memproduk sebuah produk atau barang akan dikatakan bermutu jika barang atau produk tersebut sudah sesuai dengan standar yang ada. Dalam organisasi nonprofit misalnya, didunia pendidikan memiliki beberapa standar. Organisasi pendidikan itu dikatakan bermutu jika organisasi tersebut telah memenuhi standar-standar yang ada, b) mutu adalah apa saja yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen. Kalau dillihat dari definisi di atas, keinginan konsumen yang selalu berubah-berubah akan 50 51
Engkoswara dan Aan Komariah, Administrasi Pendidikan....., hlm.304 Umiarso dan Imam Gojali, Manajemen Mutu Sekolah di Era Otonomi,...., hlm. 122
34
memengaruhi mutu suatu produk sesuai dengan yang dikehendaki konsumen. Dapat disimpulkan mutu di sini bukanlah hal yang tetap, melainkan hal yang selalu berubah-ubah mengikuti keinginan pelanggan. Suatu produk atau jasa dikatakan berkualitas apabila produk tersebut benar-benar membuat pelanggan puas, c) mutu itu merupakan hal yang dinamis karena berusaha untuk memenuhi harapan-harapan pelanggan, dan d) mutu dapatdipandang dari dua sisi, yaitu sisi di mana mutu sebagai nilai-nilai universal yang absolut dan bersifat tetap, sisi yang lain memandang mutu sebagai nilai-nilai yang dapat berubahberubah atau relatif karena berusaha memenuhi dan memuaskan para pelanggan. Di sinilah produsen benar-benar dituntut untuk selalu mengikuti apa yang menjadi harapan dan keinginan pelanggan yang selalu berkembang dan tentunya berbeda satu individu dengan individu lainnya mengenai penilaiannya terhadap produk atau jasa yang ditawarkan. Definisi mutu yang dikemukakan oleh para tokoh di atas, juga dapat menuntun setidaknya ada beberapa hal yang menjadi indikator dari sebuah kualitaas atau mutu. Antara lain: pertama, kesesuaian untuk pemakaian, kedua, kesesuaian dengan standar, ketiga, kesesuaian dengan kebutuhan pasar, keempat, kepuasan pelanggan,
35
kelima, kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Berdasarkan
beberapa
indikator
di
atas
penulis
mencoba
mendefinisikan mutu sebagai kondisi dinamis mengenai produk, dan jasa yang menuntut untuk pemenuhan standar, kebutuhan, harapan, dan keinginan pelanggan yang cocok untuk digunakan dan menjadikan pelanggan merasa puas. Jadi mutu adalah derajat kepandaian (kepahaman) yang dimiliki oleh santri setelah melaksanakan pembelajaran dan berhasil dalam ujian. Indikatornya adalah memiliki pengetahuan sejumlah mata pelajaran khas pesantren
salafiyah
seperti;
pengetahuan
tentang
isi
al-Qur‟an,
pengetahuan tentang pokok-pokok ajaran yang harus diimani (rukun iman), pengetahuan tentang pokok-pokok ajaran yang harus dilaksanakan (rukun Islam), pengetahuan tentang hukum-hukum Islam, pengetahuan tentang sejarah Islam, pengetahuan tentang ilmu umum yang meliputi; Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam, Matematika, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa Inggris dan Keterampilan lain. 5. Hasil belajar Hasil belajar berasal dari dua suku kata hasil dan belajar. Hasil berarti sesuatu atau barang yang dikeluarkan (dibuat atau diadakan)52, sedang belajar berarti menuntut ilmu (kepandaian). Sedangkan belajar
52
S. Wojowasito, Kamus Bahasa Indonesia...., hlm. 97
36
sering didefinisikan sebagai perubahan yang secara relatif berlangsung pada masa berikutnya yang diperoleh kemudian dari pengalamanpengalaman. Belajar merupakan satu kegiatan yang terjadi di dalam diri seseorang yang sukar untuk diamati secara langsung.53 Belajar dan mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Beajar merujuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subyek dalam belajar. Sedangkan mengajar merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan seseorang guru sebagai pengajar. Dua konsep belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu kegiatan. Diantara keduannya itu terjadi interaksi dengan guru. Kemampuan yang dimiliki siswa dari proses belajar mengajar saja harus bisa mendapatkan hasil bisa juga melalui kreatifitas seseorang itu tanpa adanya intervensi orang lain sebagai pengajar. Belajar mengajar atau boleh dikatakan proses pembelajaran adalah sebuah interaksi yang bernilai normatif,yaitu suatu proses yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan. Proses belajar mengajar akan berhasil bila hasilnya mampu membawa perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai-nilai dalam diri anak didik.54 Menurut Sudjana hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Menurut Horwart Kingsley sebagaimana yang dikutip Sudjana dalam bukunya membagi tiga
53
Muhammad Fathurrahman at all, Belajar dan Pembelajaran; Meningkatka Mutu Pembelajaran Sesuai Standar Nasional, Yogyakarta: Teras, 2012, hlm. 223 54 Muhammad Fathurrahman at all, Belajar dan Pembelajaran;.....,hlm. 1
37
macam hasil belajar mengajar : (1). Keterampilan dan kebiasaan, (2). Pengetahuan dan pengarahan, (3). Sikap dan cita-cita.55 Dengan demikian, hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh siswa berkat adanya usaha atau fikiran yang mana hal tersebut dinyatakan dalam bentuk penguasaan, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupa sehingga nampak pada diri indivdu penggunaan penilaian terhadap sikap, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri individu perubahan tingkah laku secara kuantitatif.
F. Penelitian yang relevan Peneliti mengakui bahwa penelitian tentang Pesantren Salafiyah bukan merupakan kajian yang pertama kali dilakukan. Hal ini disebabkan karena Pesantren Salafiyah adalah termasuk lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan agama islam yang sangat tua dan memiliki keunikan serta ciri khas tersendiri, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pondok pesantren memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, juga tidak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai salah satu penopang pilar utama pendidikan di bumi Nusantara ini. Dari pesantren telah banyak melahirkan para ulama dan tokoh nasional, juga tidak sedikit karyakarya yang dihasilkan, baik yang berhubungan dengan masalah kependidikan maupun yang lainnya. 55
Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensido Offset, 2004, hlm 22
38
Hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri untuk melakukan penelitian tentang pondok pesantren. Sehingga penulis berkeyakinan bahwa telah ada beberapa hasil penelitian terdahulu baik berupa skripsi, tesis, jurnal ilmiah maupun disertasi yang berkaitan tentang kurikulum pondok pesantren salafiyah. Namun, hasil penelitian terdahulu sepanjang yang diketahui oleh penulis, masih belum ada yang mencoba melakukan penelitian tentang reorientasi kurikulum pesantren salafiyah, kemudian penulis juga belum menemuakan hasil penelitian yang mampu menjawab atas problema mutu lulusan dan hasil belajar santri pesantren salafiyah. Sehingga kesan bahwa lulusan
pesantren
salafiyah
merupakan
golongan
terpelajar
yang
terpinggirkan masih sangat terasa gemanya sampai sekarang. Lebih parah lagi sosialisasi yang telah dilakukan oleh steak holders baik yang ada di pemerintahan
maupun di kalangan pesantren sendiri terhadap kebijakan
pondok pesantren salafiyah sebagai pola Wajardikdas 9 Tahun, masih sangat minim dan kurang mendapat respons. Telah banyak tulisan baik tulisan melalui penelitian ilmiah maupun tulisan dalam bentuk buku bacaan atau artikel yang menjelaskan tentang rekonstruksi kurikulum ponpes salafiyah dan atau setidaknya pada bagiannnya memuat tema kurikulum salafiyah. Beberapa hasil penelitian terdahulu baik berupa skripsi, tesis, jurnal ilmiah maupun disertasi yang berkaitan tentang kurikulum pondok pesantren salafiyah di antaranya adalah:
39
1. Marzuki, Miftahuddin, dan Murdiono, Penelitian Jurnal, Tipologi Perubahan dan Model Pendidikan Multikultural Pesantren salaf, UNY Yogyakarta, 2011 2. Syaiful Munir, Penelitian Tesis, Manajemen Kurikulum Pembelajaran Pesantren dalam Meningkatkan Pendidikan Dakwah (Studi Kasus di Pesantren Pengembangan dan Dakwah Nurul Haromain Pujon Malang), Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 2010 3. Hanunah Nafi‟iyah, Penelitian Tesis, Relevansi Kurikulum Pondok Pesantren dengan Era Globalisasi (Studi di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo), UIN Malang, 2009 4. Moh. Anas, Penelitian Tesis, Tradisi Pengajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren pada Era Modern (Studi tentang Metode Pengajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Al-Kamal Mojosari Mojokerto), IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008 5. Moh. Slamet Untung, Penelitian Jurnal dalam Forum Tarbiyah, Rekonstruksi Manajemen Pendidikan Pesantren, STAIN Pekalongan, 2011 6. Sovia Widiawati, Penelitian Skripsi Peran Pondok Pesantren Khaudlul Ulum terhadap Perkembangan Pendidikan Masyarakat Pesantren Khaudlul Ulum Desa Bojongsari Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen, UNNES Semarang, 2011 7. Parlindungan, Wijaya Kusuma, Djoko Suhartono, Implementasi Kebijakan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Pada Pondok
40
Pesantren Salafiyah Di Kabupaten Kubu Raya, Jurnal Tesis, Universitas Tanjungpura Pontianak, 2013 8. Iu Rusliana, Dinamika Ilmu Agama dengan Ilmu Umum di Pesantren Salafi dan Modern, Penelitian Jurnal, Mimbar Studi, UIN Sunan Gunungjati Bandung, 2012 9. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES, 1982 Tabel 1.3. Persamaan, Perbedaan dan Orisinalitas Penelitian No. 1.
Peneliti
Persamaan
Marzuki,
Pondok
Membahas ;
Miftahuddin, dan
Pesantren
- Tipologi Perubahan
Murdiono,
Salaf sebagai
Penelitian Jurnal
obyek
UNY Yogyakarta,
penelitian
2011 2.
3
Perbedaan
Pesantren Salaf - Model Pendidikan
Orisinalitas Penelitian - Fokus Penelitian pada Rekonstruksi Kurikulum
Multikultural
yaitu
Pesantren Salaf
menyusun
- Manajemen
upaya
kembali
Syaiful Munir,
Kurikulum
Penelitian Tesis
Pembelajaran
Kurikulum
rancangan
Universitas Islam
Pesantren
Pendidikan
pengajaran yang
Negeri (UIN)
sebagai obyek
Pesantren
isinya sejumlah
Malang, 2010
penelitian
mata
pelajaran
dengan
yang
disusun
Meningkatkan
secara
Pendidikan Dakwah
sistematis,
- Hubungannya
Hanunah
Kurikulum
Fokus penelitian pada
sebagai
Nafi‟iyah,
Pondok
bagaimana Relevansi
untuk
Penelitian Tesis
Pesantren
Kurikulum Ponpes
menyelesaia kan
dengan Era
suatu
UIN Malang, 2009
syarat
program
41
4.
pendidikan dan
Moh. Anas,
Pondok
Fokus penelitian pada
mendapatkan
Penelitian Tesis
Pesantren
Tradisi Pengajaran
ijazah
IAIN Sunan
sebagai obyek
Kitab Kuning di
dengan
Ampel Surabaya,
penelitian
Pondok Pesantren
pendidikan
pada Era Modern
formal.
2008 5.
Globalisasi
Moh. Slamet
Pondok
Fokus penelitian pada - Tujuannya agar
Untung, Penelitian
Pesantren
rekonstruksi
ada peningkatan
Jurnal Forum
sebagai obyek
manajemen
terhadap
Mutu
Tarbiyah, STAIN
penelitian
pengelolaan
dan
Hasil
pendidikan secara
Belajar Santri
Pekalongan, 2011
umum. 6.
- Produk
dari
Sovia Widiawati,
Pondok
Peran terhadap
penelitian;
Penelitian Skripsi
Pesantren
Perkembangan
Memperoleh
UNNES
sebagai obyek
Pendidikan
pemahaman
Semarang, 2011
penelitian
Masyarakat
makna dan teori bahwa
7.
setara
adanya
Parlindungan, dkk,
Obyek kajian
Implementasi
Reorientasi
Jurnal
Pondok
Kebijakan Program
Kurikulum
Universitas
Pesantren
Wajib Belajar
Pesantren
Tanjungpura
Salafiyah
Pendidikan Dasar 9
Salafiyah yang
Tahun Pada Pondok
berupa Struktur
Pesantren Salafiyah
Kurikulum dan
Tesis,
Pontianak, 2013
Muatan 8.
Iu Rusliana,
Pondok
Dinamika antara Ilmu
Kurikulum yang
Penelitian Jurnal,
Pesantren
Agama dengan Ilmu
diperbarui dapat
UIN Sunan
salafiyah dan
Umum di Pesantren
meningkatkan
Gunungjati
modern
Salafi dan Modern
Mutu dan Hasil
Bandung, 2012
sebagai obyek
Belajar
penelitian
Pesantren
Santri
42
9.
Buku
Ilmiah
Pondok
Membahas Tradisi
Zamakhsyari
Pesantren
pesantren secara
Dhofier,
sebagai obyek
umum yang meliputi
penelitian
ciri, sifat, sikap,
Pesantren,
:
Tradisi Studi
tentang
kehidupan dan
Pandangan Hidup
amalan kyai dan
Kyai.
santri di pesantren
Salafiyah.
Penulis di sini sifatnya bisa dikatakan melanjutkan penelitian terdahulu, yang pernah dilakukan oleh para peneliti yang sifatnya masih sangat umum dan mencoba melakukan penelitian yang sekiranya belum dilakukan oleh para pakar dalam dunia pendidikan khususnya kurikulum pesantren salafiyah, untuk menemukan dan memahami model kurikulum pesantren salafiyah, serta mampu merelevansikan “rekonstruksi kurikulum” dengan “mutu dan hasil belajar santri” sesuai dengan perkembangan pendidikan modern, agar bisa berdaya guna dan berdaya saing. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kajian tesis ini memiliki sudut pandang yang berbeda, sehingga keaslian kajian ini dapat dipertanggungjawabkan.
G. Metodologi Penelitian 1. Metode (Jenis dan Pendekatan) Penelitian Penelitian ini, jika dilihat dari lokasi sumber data56 termasuk kategori penelitian lapangan (field research).57 Dan ditinjau dari segi sifat-
56
Data berasal dari bahasa Latin, yang merupakan bentuk jamak dari kata “datum”, yang berarti keterangan-keterangan suatu fakta. Talizuduhu Ndraha, Research, Teori, Metodologi, Administrasi, Jakarta: Bina Aksara, 1981, hlm. 76
43
sifat data maka termasuk dalam penelitian kualitatif (qualitative research)58 Berdasarkan pada latar belakang penelitian yang dikemukakan pada bab pendahuluan, maka penelitian ini berusaha mengungkap serta menjawab dari focus penelitian. Agar hal yang diteliti dapat terungkap dengan baik dan jelas, maka diperlukan suatu pengamatan dan wawancara yang mendalam guna memperoleh data yang lebih banyak dan rinci. Untuk itu digunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini, dengan karakteristik pokok dari pendekatan ini ialah: 1) Penelitian dengan latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity), 2) Peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain, merupakan alat pengumpul data, 3) Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, 4) Analisis data dilakukan secara induktif, 5) Lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori substantive yang berasal dari data, 6) Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, 7) Lebih mementingkan proses dari pada hasil, 8) Adanya batas yang ditentukan oleh focus, 9) Adanya criteria khusus untuk keabsahan data, 10) Desain tidak disusun secara ketat namun disesuaikan di lapangan dan bersifat sementara, 11) Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.
57
Penelitian lapangan adalah untuk mencari dimana peristiwa-peristiwa yang menjadi obyak penelitian berlangsung, sehingga mendapatkan informasi langsung dan terbaru tentang masalah yang berkenaan, sekaligus sebagai cross checking terhadap bahan-bahan yang telah ada. Ibid, hlm. 116, Lihat juga Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian, Yogyakarta, Teras, 2009, hlm. 180 58 Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengadakan analisis data secara induktif, bersifat diskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, membatasi studi dengan focus, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak (peneliti dan subyek penelitian). Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 1999, cet. X, hlm. 27, Lihat juga Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian, Yogyakarta, Teras, 2009, hlm. 180
44
Selain itu penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang atau perilaku yang diamati. Berdasarkan definisi ini, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif merupakan upaya dalam menjawab permasalahan dengan mendiskripsikan data sebagaimana adanya, dari sudut pandang subyek sendiri yang tidak terlepas dari setting kajian. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field study research) yang tujukan untuk mempelajari secara intensif latar belakang keadaan sekarang dan interaksi sosial, individu, kelompok, lembaga dan masyarakat.59 Adapun sifat penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis.60 Bagi peneliti, metode deskirpitif analitis ini digunakan untuk menemukan fakta tentang fenomena kelompok atau individu, kemudian menginterpretasikannya secara tepat. Dengan metode ini peneliti akan memaparkan secara sistematis materi-materi pembahasan yang berasal dari berbagai sumber, kemudian dianalisis secara cermat dan tepat guna memperoleh hasil kesimpulan dari kajian tentang manajemen motivasi Islami. Sedangkan pendekatan yang akan peneliti tempuh dalam penelitian ini adalah pendekatan ilmu manajemen dan psikologi Islam.
59
Husaini Usman & Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hlm. 5. 60 Penelitian deskriptif adalah studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi tepat. Sedangkan analisis ditujukan untuk menguji hipotesis-hipotesis dan mengadakan interpretasi yang lebih dalam tentang hubungan-hubungan. Dalam penelitian analitis, analisis dikerjakan berdasarkan data ex post facto. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009, hlm.89.
45
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yang menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang berorientasi pada fenomena atau gejala yang bersifat alami. Mengingat orientasinya demikian, maka sifatnya mendasar dan naturalistis atau bersifat kealamian, serta tidak bisa dilakukan di laboratorium, melainkan di lapangan atau dapat disebut juga naturalistic inquiry atau field study61. 2. Latar Seting Penelitian Adapun latar seting penelitian ini akan mengambil lokasi di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Ma‟muriyah Darussalam yang disingkat “AlMa‟dar” di desa Jatimulya RT. 03 RW. 03 kecamatan Suradadi kabupaten Tegal. Sedangkan waktu yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah selama kurang lebih 4 – 6 bulan. 3. Sumber Data (Subjek dan Informan) Penelitian Penelitian ini disifatkan sebagai suatu pendekatan studi multi situs (multi citus approach), yang merupakan satu bentuk pendekatan penelitian kualitatif yang dipentingkan adanya tempat atau situs ganda, sehingga arahnya lebih banyak untuk mengembangkan teori yang diangkat dari beberapa latar penelitian, dengan generalisasi yang luas dan umum penerapannya. Ini berarti data yang diperoleh dan dikumpulkan dalam rangka studi kasus dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi. Dengan kata lain, tujuan dari studi multisitus adalah mengembangkan
61
Mohammad Ali, Strategi Penelitian Pendidikan, Bandung: Angkasa, 1993, hlm. 159
46
pengetahuan yang mendalam mengenai suatu obyek terkait, yang berarti studi multi situs harus disifatkan sebagai suatu penelitian eksploratif dan diskriptif sebagaimana yang telah dikemukakan.62 Memperhatikan jenis penelitian tersebut, maka sumber data yang diperoleh meliputi sumber data primer dan sumber data sekunder. a. Sumber data primer Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kyai, ketua yayasan, dan para guru/ustadz dan karyawan serta orang lain yang mengetahui tentang pemberian reorientasi kurikulum ponpes salafiyah, dalam hal ini bisa masyarakat sekitar ataupun wali santri yang bertempat tinggal tidak jauh dari lokasi. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan pengasuh dan pimpinan pondok pesantren, penanggungjawab program Wajardikdas, para ustadz/guru, dan para santri atau peserta Wajardikdas pesantren salafiyah Al-Ma‟dar Jatimulya Suradadi Tegal. Pemilihan sumber data ini berdasarkan asumsi bahwa merekalah yang terlibat secara langsung kegiatan dalam rangka reorientasi kurikulum, pelaksanaan dan evaluasi dari pengembangan kurikulum melalui pola Wajardikdas 9 Tahun. b. Sumber data sekunder Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan tertulis berupa kitab-kitab dan buku-buku atau bahan kepustakaan,
62
Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian, Yogyakarta, Teras, 2009, hlm. 182
47
yakni kitab suci Al-Qur‟an dan Al-Hadits, kitab-kitab kuning (turats), buku-buku mata pelajaran umum dan buku-buku pedoman dalam rangka
reorientasi
kurikulum
seperti;
buku
petunjuk
teknis
penyelenggaraan program Wajardikdas, buku perangkat administrasi penyelenggaraan program Wajardikdas, standar pelayanan minimal dan implementasi kurikulum, artikel, buku atau jurnal ilmiah, ensiklopedi dan terbitan ilmiah yang membahas masalah-masalah yang relevan dengan penelitian ini. Sumber
data
sekunder
lain
adalah
foto,
baik
foto
pengasuh/pimpinan, penanggungjawab, ustadz/guru, maupun santri atau peserta, dan segala aktifitas maupun sarana dan prasarana yang ada pada kegiatan reorientasi kurikulum melalui program Wajardikdas di pondok pesantren Al-Ma‟dar Jatimulya Suradadi Tegal, yang dapat memberikan gambaran yang nyata pada aspek-aspek yang diteliti, misalnya tempat dilaksanakannya pembelajaran dan ujian. 4. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama peneliti melakuan studi pustaka untuk membentuk konsep awal tentang reorientasi kurikulum ponpes salafiyah. Selanjutnya adalah penjajagan ke lokasi dalam rangka memperoleh gambaran secara umum tentang setting yang akan diteliti. Tahap berikutnya adalah melakukan eksplorasi, dimana dalam tahap ini peneliti mengumpulkan data secara lebih mendalam dan terarah dengan fokus penelitian, serta
48
berusaha mencari sumber-sumber data atau informasi yang mempunyai pengetahuan, pemahaman, serta kepedulian yang tinggi terhadap permasalahan yang sedang diteliti. Hasil yang didapat dari studi pustaka dan yang ditemukan di lapangan bersifat saling melengkapi. Karakteristik penelitian ini menggunakan latar alami sebagai sumber data dan peneliti sebagai instrument kunci. Fenomena yang alami tersebut maknanya dapat dimengerti secara baik apabila digunakan multi instrument. Tujuannya adalah agar data yang terkumpul dan kesimpulan yang diperoleh, tidak hanya dari satu sumber tetapi dari berbagai sumber. Maka untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, dilakukan teknik-teknik pengumpulan data yang relevan, antara lain; observasi non partisan, wawancara mendalam dan dokumentasi. 1) Observasi Cara observasi non partisan ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang lebih rinci dan lengkap dengan menggunakan pengamatan secara seksama dengan cara melibatkan diri pada komunitas tanpa berpartisipasi dalam focus penelitian yang sedang diteliti. Observasi diklasifikasikan menjadi tiga cara yaitu; (1) bertindak sebagai partisan dan nonpartisan, (2) dilakukan secara terus terang, dan (3) dilakukan dengan latar alami. Sedangkan menurut keterlibatannya, dibagi dalam lima tingkatan yaitu; (1) partisipasi lengkap (complete participation), (2) partisipasi aktif (active participation), (3) moderat partisipasi
49
(moderate participation), (4) partisipasi pasif (passive participation), dan (5) non partisipasi (non participation).63 Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini diusahakan mempelajari memahami perilaku orang yang terlibat didalamnya dengan cara masuk secara aktif bersama-sama dengan partisan. 2) Wawancara Untuk mendapatkan data yang memiliki kredbilitas (credbility), maka peneliti menggunakan bentuk sampling internal. Adapun yang dimaksud dengan sampling internal adalah putusan yang diambil peneliti mengenai data apa yang diperlukan, dari siapa data tersebut dapat diperoleh, dengan membuat pilihan atas dasar kualitas data yang dihasilkan dari informan penting (informan kunci) yang mempunyai banyak pengalaman di latar yang diteliti, atau mempunyai pemahaman yang mendalam mengenai apa yang terjadi dengan menggunakan teknik sampling bola salju atau snowball sampling. Snowball sampling atau dalam istilah lain disebut network sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang lengkap, maka mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data.
63
Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian,..., hlm. 184-185
50
Dengan demikian jumlah sampel sumber data akan semakin besar, seperti bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi besar. 64 Teknik wawancara mendalam merupakan suatu percakapan yang dilakukan
untuk
mendapatkan
pendapat,
persepsi,
perasaan,
pengetahuan dan pengalaman penginderaan dari informan (pengasuh dan
pimpinan
pondok
pesantren,
penanggungjawab
program
Wajardikdas, para ustadz/guru, dan para santri atau peserta) mengenai masalah-masalah yang diteliti. Tujuan wawancara mendalam adalah untuk memperoleh konstruksi yang terjadi sekarang tentang orang, kejadian, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, pengakuan dan kerisauan.65 Tahap-tahap dalam wawancara adalah meliputi; (1) Menentukan siapa saja yang diwawancarai; pada tahap ini peneliti menentukan dimana dan siapa saja data penelitian akan dikumpulkan (2) Melaksanakan
persiapan
wawancara;
tahap
ini
mencakup
pengenalan karakteristik dari seluruh subyek penelitian. Semakin “elit” subyek penelitian semakin penting untuk mengetahui informasi mereka, dan lebih banyak akan lebih baik. (3) Gerakan awal; tahap ini menunjukkan dimulainya kegiatan penelitian yang dimulai dengan semacam “warming up” yaitu mengajukan pertanyaann-pertanyaan yang bersifat “grand tour”. 64
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2007, cet. Ke-3, hlm. 103. 65 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan,...., hlm. 183
51
(4) Melakukan wawancara dan memelihara agar supaya menjadi terarah dan produktif, dimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan lebih bersifat spesifik‟ (5) Menghentikan wawancara dan melakukan rangkuman hasil wawancara, yaitu merangkum seluruh hal-hal yang dikatakan oleh responden dan mengecek kembali kepada responden yang bersangkutan barangkali responden masih ingin menambah demi memantapkan apa yang telah dikonfirmasikan. Dalam penelitian ini juga dilakukan wawancara tidak terstruktur. Dalam wawancara tak terstruktur terlebih dahulu disiapkan secara garis besar pertanyaan-pertanyaan yang memuat hal-hal pokok sebagai pedoman. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data-data yang jelas dan rinci dari focus masalah yang ada dalam penelitian. Strategi yang ditempuh dengan mempertimbangkan agar setiap informan dapat secara leluasa dalam menyampaikan informasi dan tidak merasa tertekan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Dari seluruh rangkaian kegiatan wawancara ini selalu menggunakan catatan-catatan dan juga alat perekam. 3) Dokumentasi Teknik dokumentasi dimaksudkan untuk melengkapi data dari hasil wawancara dan observasi, seperti berbentuk surat-surat, gambar/foto dan catatan-catatan lain yang berhubungan dengan focus
52
penelitian. Teknik dokumentasi didapatkan dari sumber non manusia, artinya sumber ini terdiri dari rekaman dan dokumen. Pada penelitian ini, teknik dokumentasi dilakukan peneliti dengan cara
mengobservasi
data-data
pendukung berupa
daftar
hadir
santri/peserta, surat-surat undangan, materi pengajaran dan informasi lain yang diharapkan dapat menggambarkan secara detail segala sesuatu yang menjadi focus penelitian. 5. Pemeriksaan Keabsahan Data Untuk memeriksa keabsahan dan kebenaran data, maka dilakukan dengan cara observasi partisipatif secara terus menerus, mencari kasuskasus yang bertentangan, melibatkan informan untuk me-review guna mendapatkan umpan balik, mendiskusikan data dengan ahli pendidikan pada
pesantren
salafiyah
(pengasuh/pimpinan,
penanggungjawab,
ustadz/guru atau santri/peserta), memeriksa kembali catatan lapangan, dan mencocokkan data pada obyek penelitian66 yaitu pada pesantren salafiyah Al-Ma‟dar Jatimulya Suradadi Tegal. Langkah awal yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi persoalan pokok (domain) yang ada di lapangan. Namun demikian, karena peneliti telah membawa seperangkat teori dan konsep ke dalam penelitian ini, maka dengan berbekal konsep itu diharapkan dapat lebih memudahkan peneliti menemukan domain. Keberhasilan peneliti dalam menemukan persoalan pokok akan menuntun dalam mengeksplorasi 66
Mtthew B. Mills dan A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis, terjm. Tjetjep Rohendi Rohidi dengan judul Analisis Data Kualitatif, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992, hlm. 438-453
53
persoalan yang lebih spesifik dan lebih mendalam. Demikian selanjutnya, melangkah maju bertahap sampai informasi tidak memiliki variasi lagi. Peneliti akhirnya akan melakukan triangulasi data baik dengan sumber, dengan metode pengumpulan data yang lain atau juga dengan teman sejawat yang menguasai permasalahan yang diteliti untuk memastikan bahwa interpretasi dan analisis yang dilakukannya telah sesuai dengan informasi yang didapat di lapangan dan kaidah ilmiah dalam penelitian tidak dilanggarnya. Forum group discussion juga akan dilakukan untuk memverifikasi data antar informan. Semua itu dilakukan untuk memenuhi tuntutan penelitian ilmiah dalam wujud kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas dan konfirmabilitas.67 Teknis pemeriksaan keabsahan data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan uji kredibilitas data dengan menerapkan triangulasi, baik triangulasi sumber yang dilakukan dengan mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber, maupun triangulasi teknik yang dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.68 6. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan deskriptif analitik.69 Analisis data ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu;
67
Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996, hlm. 126-129 . 68 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif,...., hlm. 372-373. 69 Soretarlinah Sukadji, Menyusun dan mengevaluasi Laporan Penelitian, Jakarta; Unversitas Indonesia Press, 2000, hlm. 198, Tujuan metode penelitian deskripfif analitik adalah untuk mengkaji gagasan maupun fakta primer mengenai suatu ruang lingkup permasalahan (obyek
54
pertama, pemrosesan satuan (unityzing) dengan penandaan jenis informan (pengasuh/pimpinan, penanggungjawab, ustadz/guru, atau santri/peserta), penandaan jenis lokasi (mushalla, ruang kelas/ruang belajar, ruang aula), dan penandaan teknik pengumpulan data (wawancara, pengamatan, atau dokumentasi). Kedua, kategorisasi yaitu menyusun kategori dan memasukkan data ke dalam kategori yang telah dibuat. Misalnya kategori asal-usul, atau kepemimpinan, atau pembelajaran, atau evaluasi dan ujian. Ketiga, menyuguhkan dan mendiskripsikan serta menganalisis data (analyzing) yang muncul dari kategori-kategori tersebut, sehingga terwujud
suatu
model
atau
teori-teori
yang
meliputi
asal-usul,
perkembangan, kurikulum awal, apa dan mengapa dilakukan rekonstruksi kurikulum, siapa yang terlibat, bagaimana prosesnya, landasan bagi rekonstruksi kurikulum, konstruk kurikulum hasil rekonstruksi, respon terhadap rekonstruksi kurikulum, model pembelajaran, serta evaluasi atau ujian bagi santri/peserta pesantren salafiyah Al-Ma‟dar Jatimulya Suradadi Tegal.
penelitian), yang terfokus untuk mendiskripsikan, membahas (analitik) dan mengkritisi gagasan primer yang dikonfrontasikan dengan gagasan primer lain dalam upaya melakukan studi yang berupa perbandingan, hubungan atau pengaruh dan pengembangan suatu model. Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Imiah Kefilsafatan dan Keagamaan Mencari Paradigma Kebersamaan”, dalam Tradisi Baru dalam Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Mastuhu dan Deden Ridwan (ed.),Bandung; Pusjarlit dan Nuansa, 1998, hlm. 45,Lihat juga Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian, Yogyakarta, Teras, 2009, hlm. 186-187
55
H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada penelitian ini terdiri atas tiga bagian, yaitu : Bagian Awal, Bagian Isi, dan Bagian Akhir. 1. Bagian Awal meliputi : Halaman Judul, Halaman pengesahan, Motto dan persembahan, kata pengantar, daftar isi, dan daftar lampiran. 2. Bagian Isi terdiri atas lima bab. Bab I : Pendahuluan, berisi
Latar
Belakang
Masalah, Fokus
Penelitian dan Rumusan Masalah, Tujuan penelitian dan dan Manfaat Penelitian. Bab II : Kajian Teori, pada bab ini
memuat kajian tentang teori-
teori yang relevan yang menjadi landasan teori dalam penulisan penelitian yang mencakup pengertian Rekonstruksi Kurikulum, Pondok Pesantren, Tipologi Pondok Pesantren Salafiyah, Kerangka berpikir secara konseptual reorientasi kuriulum, Mutu dan Hasil belajar, dan memuat tulisan atau karya tulis terdahulu yang mengkaji tentang Pondok Pesantren Salafiyah baik yang berkaitan dengan tradisi, dinamika, manajemen, model pendidikan maupun kurikulum Pondok Pesantren Salafiyah untuk dapat diketahui sudut pandang penelitian yang berbeda. Bab III : Metode Penelitian,
pada bab ini membahas tentang
Metode Penelitian (jenis dan pendekatannya), Latar Seting Penelitian, Sumber Data Penelitian (subyek dan irforman), Teknik Pengumpulan Data, Pemeriksaan Keabsahan Data dan Analisis Data.
56
Bab IV : Hasil Penelitian,
berisi
tentang
gambaran
umum
pondok pesantren, sejarah berdirinya pondok pesantren, letak geografis, visi dan misi, struktur kepengurusan pondok pesantren, keadaan guru/ustadz dan karyawan, keadaan santri pondok pesantren, Kurikulum awal sebelum direkonstruksi, Daftar mata pelajaran, tata tertib, system pembelajaran, kegiatan pendidikan, keadaan sarana dan prasarana, Proses rekonstruksi kurikulum dijalankan, Dasar-dasar filosofi dilakukannya rekonstruksi kurikulum, Kurikulum hasil dari rekonstruksi kurikulum pondok pesantren salafiyah, Indikator-indikator yang menunjukkan mutu dan hasil belajar santri, faktor penghambat dan faktor pendukung dan solusi yang ditawarkan. Bab V : Penutup, berisi
tentang
Kesimpulan yang memuat
jawaban atas permasalahan yang dibahas, Saran-saran Penutup. 3. Bagian Akhir berisi ; Daftar Pustaka, Lampiran-lampiran dan Daftar Riwayat Hidup.
dan Kata