1
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah Benign Prostatic Hyperplasia(BPH) merupakansalah satu penyakit degeneratifpada priadan banyakditemuidi dunia.BPH seringkalidisertai dengan gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS), walaupun jarang menimbulkankomplikasi yang mengancam nyawa, namun gangguan saluran kemih bagian bawah dapat mengubah kualitas hidup penderita secara signifikan. BPH secara histologis, pada pria berusia 41-50 tahun secara 20%, 50% pada usia 51-60 tahun,dan >90% pada usia di atas 80 tahun.Di dunia, menurut data dari World Health Organization(WHO), berkisar antara 0,5-1,5/100.000 pendudukdunia, dengan angka kematian yang sangat jarang(WHO,1995). Penelitianlain menunjukkan bahwa 90% pria berusia di antara45 dan 80 tahunmenderitagejala salurankemihbagian bawah (AUA Guideline,2010). Pada catatan medis RSUP Sanglah yang belum dipublikasikan,selama tahun2013 terdapat103 penderitadgn BPH yang menjalanioperasi,diantara1161 total keseluruhanpenderitaurologiyang menjalani operasi.
2
Faktor-faktorresiko terjadinyaBPH masih belum jelas, beberapa penelitian mengarah pada predisposisi genetik atau perbedaan ras. Kira-kira50% laki-lakiberusiadibawah60 thn yang menjalanioperasi BPH memilikifaktor keturunanyang kemungkinanbesar bersifat autosomal dominan, dimana penderita dengan orang tua yang menderita BPH memilikiresiko 4x lipat lebih tinggi dibandingkandengan yang normal. (Cooperberg, 2013). Lower UrinaryTract Symptoms (LUTS) adalah keluhanyang sering ditemui pada penderita BPH. Keluhan ini yang seringkali membawa penderitauntukberobatke rumahsakit. DerajatLUTS dapat dinilaidengan menggunakanInternationalProstate Symptom Score (IPSS) yang telah digunakansejak tahun 1992. BPH seringkalidisertai dengan prostatitis kronisyang asimptomatik.Prostatitis kategoriIV ditemukanpada 45-98% dari spesimen jaringan prostat yang diperiksa secara histologi pasca operasi BPH. (Yalcinkaya, 2011). Diagnosis prostatitis menggambarkan kombinasi dari penyakit infeksi (prostatitis bacterial akut dan kronis), sindroma nyeri panggul kronik, dan inflamasi asimptomatik. Penegakan diagnosis prostatitis seringkali terlambat dan umumnya ditemukan secara tidak sengaja setelah penderita menjalani operasi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi pada jaringan kelenjar prostat (Krieger, 2008).
3
Prevalensiprostatitis di dunia bervariasiberkisarantara 2% hingga 13% (Bartoletti2007; Ejike 2008; Ferris 2010; Krieger2008; Liang 2009; Mehik 2000; Nickel 2001; Rizzo 2003; Wallner 2009), sementara di Amerika Serikat angka prevalensiprostatitis yang terdiagnosa berkisar antara 5 – 12 juta orang (Pepin, 2005). Di AmerikaSerikat pada tahun 1992 hingga 2000, didapatkan 17,98 juta kunjungan penderita yang berusia 30 hingga 50 tahun, 8.021.396 diantaranyaadalah penderita prostatitis,biaya total diagnostikserta manajemenmenghabiskan84 juta dollardenganper penderitaberkisarantara3017 dollarhingga 6534 dollar (McNaughton-Collins 2007; Pontari 2007; Clemens, 2009). Terdapat kontroversimengenai outcome tindakanoperatif penderita BPH yang disertaidengan prostatitis. Beberapastudi menyatakanadanya BPH yang disertai dengan prostatitis dapat mengakibatkangejala LUTS yang menetap walaupuntelah dilakukantindakanoperasi (Jonas, 2011), sehingga penegakkandiagnosis prostatitissangat pentingdilakukansejak dinipada penderitadengan BPH. Namunpenelitianlain menyatakantidak ada perbedaanbermaknayang berkaitandengan gejala subyektif pada penderita BPH yang disertai dengan prostatitis kronis. (Yalcinkaya, 2011) Penyebab dari prostatis antara lain adalah, Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, Ureaplasma urealyiticum and Mycoplasma genitalium(Mahony, 1997) .
4
Prosedur diagnosa prostatitis awalnya hanya berdasarkankultur urine yang memberikan hasil P. aeruginosa atau E. coli. Penemuan DNA hibridisasi dan amplifikasi asam
nucleic dapat mendeteksi N.
gonorrhoeae,dilanjutkandenganditemukannyapolymerasechainreaction (PCR) maka etiologi lain prostatitis dapat ditegakkan (Lee, 2007). PCR sebagai penunjangdiagnostikprostatitismerupakanmetode satu langkah menggunakansatu tube sample jaringanyang secara simultan dapat mendeteksiberbagaimacam bakteridan viruspenyebabprostatitis. Metode PCR merupakanmetode yang lebih sensitif dibandingkanmetode tradisionalyang lain, sehingga metode ini secara ekonomis lebih baik dibandingkan metode yang lain (Lee, 2007).
1.2Rumusan Masalah Apakah polymerase chain reaction (PCR) memiliki positivity rate lebih tinggi dibandingkankultur urine dalam mendiagnosis etiologi bakterial prostatitis?
1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui positivity rate polymerase chain reaction (PCR) dibandingkan kultur urine dalam mendiagnosis etiologi bakterial
5
prostatitis 1.3.2 Tujuan Khusus Mengetahui positivity rate polymerase chain reaction (PCR) dalam mendiagnosisetiologibakterialprostatitis Mengetahui positivity rate kultur urine dalam mendiagnosis etiologi bakterialprostatitis Membandingkandistribusijenis kumanetiologiprostatitisberdasarkan hasil polymerase chain reaction (PCR) dan kultur urine
1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademis Pengetahuantentang polymerase chain reaction (PCR) dibandingkan kultururinedalam mendiagnosisetiologi bakterialprostatitissehingga dapat memperdalam pengetahuan tentang prostatitis Mengetahui pola mikroorganismepenyebab bakterial prostatitis di RSUP Sanglah Denpasar. 1.4.2 Manfaat Praktis Memberikangambaran etiologi bakterial prostatitis sehingga dapat mendiagnosisdan melakukan intervensi terapi yang lebih baik.