BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Bencana seolah tak pernah berhenti melanda Indonesia. Terjadinya berbagai bencana yang masif dan beruntun di seluruh wilayah Indonesia, membawa dampak negatif terhadap tingkat kesejahteraan maupun kesenjangan sosial ekonomi masyarakat. Bencana juga menimbulkan berbagai kerusakan terhadap alam dan lingkungan hidup, terutama bencana yang disebabkan oleh tingkah laku manusia. Hewitt dan Oliver–Smith (2002) dalam Abdullah, (2008) mengklasifikasikan bencana sebagai bencana alam (atmosfir, hidrologi, geologi dan biologi), bencana teknologis (barang yang berbahaya, proses destruktif, mekanis dan produktif), dan bencana sosial (perang, terorisme, konflik sipil dan penggunaan barang, proses, dan teknologi yang berbahaya). Lebih detil ke bencana alam, Mirza (2007) dalam tesisnya menyimpulkan, bencana alam (disaster) secara spesifik dari kausalitasnya dipengaruhi oleh 2 aspek yaitu hazard (bahaya yang ditimbulkan) dan vulnerability (kerentanan). Dikatakan bencana apabila gejala alam yang terjadi menimbulkan pengaruh perubahan kerusakan dan kehancuran pada sarana dan pembangunan fisik serta mengancam dan menyebabkan korban jiwa. Selain itu, seiring dengan perkembangan konsep bencana, terjadi penambahan terhadap unsur atau faktor bencana, yaitu unsur impact (dampak) yang ditimbulkan baik terhadap perubahan alam berikutnya tak langsung maupun langsung terhadap kehidupan manusia. Salah satu bencana alam yang kerap menyapa Indonesia adalah bencana alam gempa bumi atau yang lebih sering disebut gempa saja. Menurut Sukandarrumidi (2010), gempa 1
merupakan sentakan asli pada kulit bumi sebagai gejala penggiringan aktivitas tektonik maupun vulkanik dan kadang-kadang runtuhan secara lokal. Yang dapat dirasakan pada saat gempa terjadi adalah getaran bumi tempat kita berada saat itu. Bumi bergoyang ke samping dan ke atas, dan itulah gelombang gempa yang sampai di tempat kita berdiri. Pada umumnya pada saat gempa datang kita tidak tahu dari arah mana datangnya gempa itu sehingga kita tidak tahu ke arah mana harus lari untuk menyelamatkan diri. Secara histografi, Indonesia merupakan wilayah langganan bencana alam gempa bumi dan tsunami. Pasca meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1815 dan Gunung Krakatau yang menimbulkan tsunami besar di tahun 1883, setidaknya telah terjadi 17 bencana tsunami besar di Indonesia selama hampir satu abad (1900-1996). Wilayah Indonesia dikepung oleh lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Sewaktu-waktu lempeng ini akan bergeser patah menimbulkan gempa bumi. Selanjutnya jika terjadi tumbukan antar lempeng tektonik dapat menghasilkan tsunami, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera. Sejarah gempa di Indonesia cukup panjang. Selain dikepung tiga lempeng tektonik dunia, Indonesia juga merupakan jalur The Pasicif Ring of Fire (Cincin Api Pasifik), yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Cincin Api Pasifik membentang diantara subduksi maupun pemisahan lempeng Pasifik dengan lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, lempeng Amerika Utara dan lempeng Nazca yang bertabrakan dengan lempeng Amerika Selatan. Ia membentang dari mulai pantai barat Amerika Selatan, berlanjut ke pantai barat Amerika Utara, melingkar ke Kanada, semenanjung Kamsatschka, Jepang, Indonesia, Selandia Baru dan kepulauan di Pasifik Selatan. Indonesia terletak pada lajur sumber gempa yang membentang sepanjang tidak kurang dari 5.600 km, mulai dari Andaman sampai busur Banda Timur. Lajur ini kemudian menerus ke wilayah Maluku hingga Sulawesi Utara. Daera-daerah di sepanjang pantai barat Sumatra, pantai selatan Jawa, NTB, dan NTT 2
serta Maluku merupakan daerah rawan gempa dan tsunami. Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah gempa bumi dengan kekuatan diatas 4 pada skala Richter yang terbanyak, yaitu rata-rata lebih dari 400 kali per tahun. Ada pula sebagian dari wilayah Indonesia yang termasuk dalam wilayah Monsoon Asia. Karena pada musim hujan, hujan turun dengan derasnya, maka setiap tahun terjadi banjir yang menimbulkan korban banjir. Menurut laporan WALHI, antara tahun 2006-2008 sedikitnya telah terjadi 840 peristiwa bencana alam. Sedang periode sebelumnya, antara 1998 hingga 2003 tercatat sebanyak 647 bencana (Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003) Dan data bencana dari Bakornas Penanggulangan Bencana antara tahun 2003-2005 tercatat terjadi 1.429 bencana (RAN PRB 2006-2009; UNDP – 2006). Artinya, antara 1998 hingga 2008 terdapat indikasi peningkatan peristiwa bencana.Pada periode 1998-2003 rata-rata peristiwa bencana masih berkisar 108 bencana per tahun, tapi pada periode 2003-2005 rata-rata peristiwa bencana naik menjadi 476 bencana per tahun. Dan pada periode 2006-2008 ratarata
peristiwa
bencana
menjadi
420
bencana
per
tahun
(http://www.id.emb-
japan.go.jp/oda/id/whatisoda_04g.htm, diakses 11 Maret 2009). Salah satu daerah yang sering menjadi menjadi langganan gempa bumi adalah pulau Sumatera. Pulau Sumatera termasuk dalam jalur patahan aktif yang paling sering menjadi pusat gempa. Tercatat sejak lima tahun terakhir sebelum jalur barat pulau Sumatera telah mengalami sepuluh kali gempa bumi dengan skala diatas 7 skala richter, yaitu pada Desember 2004, Maret dan April 2005, Agustus 2007, 12 dan 13 September 2007, Oktober 2007, 20 dan 25 Februari 2008 serta 2 dan 30 September 2009 (Data sekunder diolah dari berita-berita Kompas).
3
Gambar 1. Daerah sebaran bencana alam Indonesia (Sumber: Satkorlak Penanggulangan Bencana 2009) Ketika sebuah bencana alam terjadi, struktur masyarakat yang ada di dalam wilayah yang terkena bencana alam pun akan berubah. Terjadi perubahan sosial dan budaya akibat dari rusaknya sistem lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Fungsi-fungsi sosial yang rusak dapat memberikan implikasi besar dalam jangka waktu yang lama pada tatanan kehidupan sosial masyarakat pasca bencana alam. Bantuan kemanusiaan dan proses rekonstruksi dapat membawa berbagai akibat negatif dan posistif atau menyebabkan sesuatu yang asing bagi masyarakat yang daerahnya terkena bencana alam karena berdatangannya banyak agen yang membantu proses rekonstruksi. Perbedaan dalam menyikapi situasi pasca bencana bagi setiap masyarakat berbedabeda. Terutama pada proses-proses struktural yang memungkinkan masyarakat untuk mengembangkan suatu proses adaptasi terhadap lingkungan sosial yang berubah yang meliputi seluruh lapisan masyarakat. Bencana mendorong budaya dan masyarakat suatu lingkungan untuk mengalami transformasi.
4
Hofmann dan Oliver-Smith (1999) menyatakan bahaya bencana alam dapat menyebabkan perubahan organisasi dan struktur masyarakat, serta mempengaruhi sistem religi, ekonomi-politik, kekerabatan dan asosiasi. Bencana juga mempengaruhi perubahan teknologi, sikap dan pengelolaan lingkungan serta konstruksi fisik dan ekologi kultural. Masyarakat pasca bencana alam mengalami masalah yang beragam karena bencana itu sendiri juga beragam, dihasilkan dari berbagai kekuatan dan memproduksi berbagaidampak dalam skala dan kronologi yang berbeda-beda. Secara ekstrim, perubahan yang terjadi pada struktur dan relasi sosial masyarakat pasca bencana bisa mengarah pada krisis moralitas atau melahirkan moralitas sosial jenis baru (Durkheim, 1893/1964 dalam Ritzer dan Goodman, 2004). Quarantelli (2002) berargumen dengan menganalogikan pendapat Durkheim yang menyatakan bahwa kriminalitas fungsional terhadap masyarakat. Merujuk pada teori Durkheim bahwa kriminalitas (sebagai salah satu produk krisis moralitas) yang ditimbulkan lebih dominan merusak daripada solidaritas sosial. Quarantelli beralasan bahwa kepanikan sosial dan perpecahan sosial dalam bencana alam menghasilkan fungsi sosial yang sama, mengingatkan kembali masyarakat akan pentingnya aturan hukum dan norma-norma dalam kehidupan masyarakat. Kenyataan di lapangan, selain sosial disorder dan chaos, penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan sosial pada masyarakat yang terkena bencana alam setelah beberapa dekade, mengalami perubahan, misalnya angka kriminalitas pada daerah pasca bencana menurun drastis, kepanikan jarang terjadi dan masyarakat yang menjadi korban menjadi lebih dekat secara emosi dan fisik dengan kerabat dan teman-teman yang memberikan efek kesehatan mental yang positif. (Quarantelli, 2002 dalam Webb, 2007). Dalam level analisis organisasi sosial, bencana alam juga mengubah struktur kerja mereka menjadi lebih fleksibel dan adaptif sejauh yang diperlukan (Dynes, 1970, dalam 5
Webb, 2007). Dalam level komunitas yang lebih luas, penelitian empiris menyebutkan bahwa pengalaman komunitas masyarakat yang terkena bencana alam meningkatkan kepedulian sosial, terutama meningkatkan sifat altruistik masyarakat untuk bersama mengatasi trauma pasca bencana alam dengan pola terapi komunitas. Bencana alam juga menjadi inspirasi kreatif masyarakat pada level individu, fleksibilitas pada level organisasi, dan solidaritas pada level komunitas masyarakat (Fritz, 1961 dalam Webb, 2007) Senada dengan rangkaian tesis di atas, Sukandarrumidi (2010) menyatakan bahwa bencana alam pasti menimbulkan penderitaan bagi masyarakat. Keadaan kehidupan sosial masyarakat berubah menjadi kurang menguntungkan dan memerlukan bantuan warga masyarakat lain yang kebetulan tidak mengalami bencana. Selain itu dampak positif gempa terhadap sistem kemasyarakatan adalah menghilangkan sekat-sekat agama, suku golongan serta tingkat pendidikan. Secara umum, dampak bencana alam terhadap kehidupan masyarakat dapat dikurangi apabila setiap anggota masyarakat menyadari betapa pentingnya hidup berdampingan, bergotong royong, saling membantu dan menghilangkan rasa saling curiga. Ketika bencana alam terjadi, media massa menjadi salah satu unsur utama yang mengabarkannya kepada dunia luar melalui teks beritanya. Sebagai contoh ketika terjadi bencana gempa Padang 2009. Bencana yang menelan cukup banyak korban jiwa dan benda ini memiliki kekuatan 7,6 Skala Richter dan terjadi di lepas pantai Sumatera Barat pada pukul 17:16:10 WIB tanggal 30 September 2009. Gempa ini terjadi di sekitar 50 km barat laut Kota Padang. Gempa menyebabkan kerusakan parah di beberapa wilayah di Sumatera Barat seperti Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat. Menurut data Satkorlak PB, sedikitnya 1.117 orang tewas akibat gempa ini yang 6
tersebar di 3 kota dan 4 kabupaten di Sumatera Barat. Korban luka berat mencapai 1.214 orang, luka ringan 1.688 orang, korban hilang 1 orang. Sedangkan 135.448 rumah rusak berat, 65.380 rumah rusak sedang, dan 78.604 rumah rusak ringan (data sekunder diolah dari berita-berita Kompas). Gempa yang terjadi pada sore hari ini ramai mengisi kolom-kolom berita pada berbagai media massa baik cetak maupun elektronik. Salah satunya adalah Harian Kompas. Secara rutin, setiap harinya Harian Kompas menyajikan berita dan perkembangan situasi pasca gempa terutama dalam bulan-bulan awal (lebih intensif di bulan pertama) setelah kejadian gempa. Berita mengenai gempa bumi nyaris mengisi hampir seluruh halaman harian Kompas. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai. Berger dan Luckmann menyebutkan bahwa konstruksi yang dilakukan media massa tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan. Seperti ungkapan McLuhan, bahwa media adalah pesan (medium is message), menunjukkan bahwa media tidak bebas nilai. Media membawa kepentingan (Altheide, 1985). Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat bergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari suatu realitas. Peristiwa yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda karena ada perbedaan cara melihat atau cara membingkai. Dalam suatu kejadian gempa bumi, media terkadang melakukan peliputan yang lebih dititik beratkan pada kepentingan tertentu. Perubahan struktur masyarakat dan dampak sosial yang ditimbulkan suatu bencana alam menjadi bahan pemberitaan yang menarik untuk disajikan. Konflik dalam masyarakat seringkali muncul ketika suatu struktur masyarakat mendapat tekanan seperti yang diungkapkan oleh Setyarto (2012) bahwa bencana alam 7
letusan gunung merapi telah menimbulkan konflik horizontal dan vertikal di masyarakat. Senada dengan itu, Millah (2008) juga menyatakan bahwa bantuan rekonstruksi bencana menimbulkan konflik vertikal dalam masyarakat. Dalam jurnalisme, mengangkat peristiwa sosial yang menimbulkan konflik menjadi suatu berita adalah suatu konstruksi yang lazim dilakukan karena konflik merupakan realitas sosial yang mengandung nilai berita sehingga mampu menarik audiens. Karena itu seringkali peristiwa bencana alam yang menimbulkan konflik diangkat dalam liputan media massa sebagai salah satu daya tarik berita dan dikonstruksikan sedemikian rupa yang dipengaruhi oleh sistem kekuasaan dimana media tersebut berada. 2. Rumusan Masalah
Atas dasar pemaparan diatas, didapatkan rumusan masalah sebagai berikut: Pertama, bagaimana fokus pemberitaan Harian Kompas terhadap situasi konflik pasca bencana alam. Kedua, bagaimana Harian Kompas mengulas konflik yang terjadi pada masyarakat pasca bencana alam gempa bumi di Padang melalui konstruksi teks beritanya 3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui fokus pemberitaan Harian Kompas terhadap situasi pasca bencana alam, dan untuk mengetahui cara Harian Kompas mengulas konflik dan atau solidaritas yang terjadi pada masyarakat pasca bencana alam gempa bumi di Padang melalui konstruksi teks beritanya 4. Tinjauan Pustaka
Kajian bencana secara akademik dalam ilmu-ilmu sosial masih minim di Indonesia dan sebagian besar merupakan kajian rekonstruksi kemiskinan (Arnold, 2006), manajemen 8
resiko bencana (Djohanputro, 2007) serta rekonstruksi masyarakat melalui penguatan modal sosial berbasis komunitas (Sihombing, 2007). Salah satu kajian bencana gempa bumi adalah kajian mengenai ketahanan individu pasca gempa bumi Yogyakarta 2006 yang dipengaruhi nilai-nilai budaya jawa. Nilai-nilai budaya jawa ini antara lain kerukunan, kesadaran terhadap takdir, dan harmonisasi manusia dengan alam, menjadi modal sosial bagi masyarakat yang kerabatnya menjadi korban bencana alam baik terluka parah ataupun meninggal dunia (Herujatmiko 2011). Serta yang senada dengan ketahanan individu adalah resiliensi perempuan dalam mengahadapi kehidupan pasca bencana gempa bumi dan tsunami tahun 2004. Disebutkan di sana bahwa perempuan Nias sebagai korban bencana atau penyintas/survival bencana alam mampu bertahan dengan meregulasikan perasaan mereka secara spiritual dan sosial yang sebagian besar berbasis modal sosial sehingga mampu bertahan dan melanjutkan kehidupan seperti biasa (Simatupang, 2009). Sementara itu, Perkasa, 2011 dalam penelitiannya tentang bencana alam mengungkapkan belum optimalnya upaya untuk mewujudkan suatu koordinasi yang baik di dalam manajemen bencana terkait penyaluran bantuan di Kota Padang pasca gempa 2009 yang disebabkan oleh buruknya koordinasi antara BPBD Kota Padang, dengan pemerintah pusat maupun satkorlak Provinsi dan tidak adanya sinergi yang kuat antara NGO/LSM dan donatur dengan pemerintah dari tingkat pusat hingga tingkat daerah (Perkasa, 2011). Selain itu, yang sering diangkat dalam penelitian mengenai bencana alam adalah persoalan bantuan rehabilitasi fisik pasca bencana alam seperti yang diungkapkan oleh Millah (2008). Dijelaskan di sana bahwa adanya bantuan rehabilitasi fisik yang antara lain beruba rehabilitasi perumahan telah memicu timbulnya konflik vertikal antara masyarakat dan pemerintah yang berujung rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan 9
didirikannya kelompok baru oleh masyarakat untuk mengurus bantuan secara mandiri. Beberapa penelitian yang telah dijelaskan di atas memperlihatkan bahwa dari sekian banyak penelitian yang dilakukan mengenai bencana alam belum ada yang membahas melalui sudut pandang analisis wacana melalui pemberitaan media massa surat kabar harian yang sekaligus menjadi dasar keaslian penelitian yang akan dilakukan kali ini. 5. Perspektif Teoritik
a. Analisis Wacana Dalam konteks kehidupan sosial politik, kata wacana (discourse) adalah salah satu kata yang banyak disebut selain reformasi, demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil dan lingkungan hidup, akan tetapi, seperti umumnya banyak kata, semakin tinggi disebut dan dipakai kadang bukan makin jelas tetapi makin membingungkan dan rancu. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan atau diskursus. Kata wacana dipakai oleh banyak kalangan, namun pemakaian istilah ini seringkali diikuti dengan beragam istilah dan definisi sesuai disiplin ilmu masing-masing. Banyak ahli juga memberikan definisi dan batasan yang berbeda mengenai wacana, bahkan kamus juga mempunyai definisi yang berbeda-beda. (Eriyanto, 2001:1). Berikut beberapa definisi tentang wacana Tabel 1: Definisi-definisi wacana Wacana: 1. Komunikasi verbal, ucapan, percakapan; 2. Sebuah perlakuan formal dan subjek dalam ucapan atau tulisan; 3. Sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih daro kalimat. (Collins Concise English Dictionary,1988) Wacana: 1. Sebuah percakapan khusus yang alamiah formal dan pengungkapannya diatur pad aide dalam ucapan dalam tulisan; 2. Pengungkapan dalam bentuk sebuah nasihat, risalah dan sebagainya, sebuah unit yang dihubungkan ucapan atau tulisan 10
(Longman Dictionary of the English Languange, 1984) Wacana: 1. Rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; 2. Kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar diatas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis (JS Badudu,2000) Analisis wacana memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam wacana seperti percakapan, wawancara, komentar dan ucapan-ucapan (Crystal, 1987) Wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan tujuan sosialnya (Hawthorn, 1992) Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan disini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau represenatsi dari pengalaman (Roger Folwer, 1977) Wacana; kadangkala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktek regulative yang dilihat dari sejumlah pernyataan (Foucault, 1972) (Sumber; Eriyanto, 2001:2) Merujuk pada tulisan Sara Mills dalam Sobur (2001) pengertian wacana juga dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni wacana dilihat dari level konseptual teoritis, konteks penggunaan, dan metode penjelasan. Berdasarkan level konseptual teoritis, wacana diartikan sebagai semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan mempunyai efek dalam dunia nyata. Sementara dalam konteks penggunaannya, wacana berarti sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori konseptual tertentu. Sedangkan dilihat dari metode penjelasannya, wacana merupakan suatu praktik yang diatur untuk menjelaskan sejumlah pernyataan. Selain itu, Foucault (1969) menyebut wacana sebagai sebuah kumpulan pernyataan yang berfokus pada topik yang spesifik. Kemudian bahkan Foucault juga memberikan
11
gambaran lain bahwa wacana sebagai sebuah kelompok kontrol dalam setiap pernyataan yang dioperasikan oleh aturan dan mekanisme internal yang ada dalam wacana itu sendiri. Ciri utama wacana menurut Foucault selanjutnya ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan pandangan yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubunganhubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajiannya mengenai penjara, seksualitas dan kegilaan, Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar dan salah bukanlah konsep yang abstrak yang datang dari langit, tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-wacana yang berkaitan dengan bidang-bidang psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan pada umumnya. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan sedangkan wacana-wacana lainnya akan terpinggirkan. Oleh karena itu, dalam analisis sebuah wacana kita perlu melihat bagaimana produksi wacana atas suatu hal diproduksi dan bagaimana reproduksi itu dibuat oleh kelompok atau elemen tertentu. Untuk itu diperlukan suatu cara yang sesuai untuk membongkar makna pesan yang tersurat maupun tersirat dalam sebuah wacana. Dalam salah satu tulisannya Littlejohn (2002) menawarkan salah satu cara dalam melihat bagaimana sebuah pesan diorganisasikan,digunakan dan dipahami yaitu dengan analisis wacana (discourse analysis). Analisis wacana merupakan salah satu alternatif dari analisis isi, selain analisis isi kuantitatif yang dominan dan lebih dulu dikenal. Jika analisis isi kuantitatif lebih menekankan
pada
pertanyaan
(apa/what),
analisis
wacana
lebih
melihat
pada
(bagaimana/how) dari pesan atau teks. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan.
12
b. Bahasa dan Kuasa Media Bahasa adalah salah satu ciri paling khas pada manusia yang membedakannya dengan mahluk yang lain dan bagi manusia bahasa merupakan alat komunikasi yang amat penting. Dengan bahasa manusia dapat menyampaikan berbagaiberita, pikiran, pendapat dan pengalaman. Manusia juga dapat menerima dan menyampaikan pengetahuan, harapan, dan pesan-pesan melalui bahasa. Penggunaan bahasa dalam setiap aktivitas manusia sehari-hari merupakan perwujudan bahasa sebagai alat atau media interaksi antar manusia. Manusia tidak lepas dari bahasa karena bahasa adalah alat yang dipakainya untuk membentuk pikiran, perasaan, keinginan dan perbuatannya. Bahasa juga digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Selain itu bahasa juga dipakai untuk melibatkan sikap individu dan hubungan sosial sebagai perwujudan dari fungsi interaksional. Selain memiliki fungsi interaksional, bahasa juga memiliki fungsi instrumental, personal, imperatif, informatif, heuristik dan regulatoris. Fungsi regulatoris ini memungkinkan masyarakat menggunakan bahasa untuk mengatur dan mengontrol perilaku individu yang satu dengan yang lain dalam kelompok sosial (Halliday 1978 dalam Sobur 2001). Sementara Leech (1977 dalam Sobur 2001) menyebutkan fungsi bahasa yaitu informatif, ekspresif, direktif, estetis dan fatis. Dari kelima fungsi tersebut, informatif merupakan fungsi bahasa yang utama. Dalam melakukan tindak berbahasa, sebenarnya pemakai bahasa tidak dapat menggunakan fungsi-fungsi bahasa tersebut secara terpisah. Bahasa yang disampaikan sama esensialnya dengan apa yang tidak disampaikan. Dan bahasa pula adalah salah satu alat yang digunakan oleh media dalam menyampaikan pemberitaan Namun bahasa yang digunakan media cenderung melalui konstruksi ulang berkaitan dengan hal-hal yang dianggap representatif dari realitas itu sendiri dengan menggunakan strategi-strategi tertentu hingga sampai pada pencitraan yang diinginkan. Dengan demikian 13
opini yang berkembang di masyarakat adalah hasil dari upaya yang dilakukan media dalam membingkai
dan
memformulasikan
persoalan
pada
berita
yang
disampaikannya.
Sebagaimana Eriyanto (2001:5) menyatakan bahwa bahasa dalam konteks media dipahami dalam paradigma yang diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang mempunyai tujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yaitu tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Menurut Sobur,media mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas satu ide atau gagasan dan bahkan satu kepentingan dan citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Foucault dalam Eriyanto (2001) menyatakan bahwa kuasa tidak dimaknai dalam term yang sebenarnya seperti halnya seseorang yang memiliki kekuasaan tertentu, melainkan dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup dengan banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Foucault meneliti kekuasaan lebih kepada individu atau subyek yang kecil. Strategi kuasa berlangsung di tempat yang terdapat susunan, aturan serta sistem-sistem regulasi, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar melainkan menentukan susunan, aturan-aturan dan hubungan-hubungan itu dari dalam sebagai contoh seperti hubungan sosial, ekonomi, keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas kesehatan, pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pada media massa, kekuasaan dirumuskan dalam berbagai cara karena secara umum media massa mempunyai posisi strategis dalam menunjukkan kekuatan kepada masyarakat. Media mempunyai kemampuan dalam menjalankan peran ideologisnya sehingga dapat menjadi nilai dominan dalam masyarakat. Roger Fowler (1996: 105-106) dalam Eriyanto 2001 menyatakan 14
‘Power’ can mean many things, including money, knowledge and status, but here I am thinking specifically of an asyimmetrical relationship between people such that one person has the ascribed authority to control the other’s actions and liberties, and not vice vers. The construction of such relationships can be observed in the structrure of text, and newspapers are not exempt from the reproduction of asymmetrical relationships. Media massa menimbulkan depersonalisasi dan dehumanisasi manusia. Media massa bukan hanya menyajikan realitas kedua tetapi juga distorsi dan manipulasi berita hingga menimbulkan citra dunia yang keliru. Dengan cara itu, media massa membentuk citra khalayaknya ke arah yang dikehendaki media tersebut. c. Media Massa dan Konstruksi Realitas. Pers merupakan kekuatan (agen) yang menghadirkan kembali (merepresentasikan) realitas sosial. Kita tidak dapat dan tidak sempat mengecek peristiwa yang disajikan media. Kita cenderung memperoleh informasi itu semata-mata bersandarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Akhirnya kita membentuk citra tentang lingkungan sosial berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa. Kita cenderung memandang dunia dengan apa yang ditampilkan oleh media tertentu yang sering kita lihat. Karena media massa dapat menonjolkan situasi atau orangtertentu diatas situasi atau orang lain. Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, sudah tentu media massa mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang timpang, bias dan tidak cermat hingga kadang menimbulkan streotip tentang masalah tertentu. Disinilah perlunya analisis wacana kritis untuk membongkar konstruksi apa yang ada di balik realitas berita di media massa Para kritikus sosial sering memandang komunikasi massa dalam media sebagai ancaman terhadap nilai dan rasionalitas manusia. Ernest Van Den Hagg (1968) dalam Moh. Agus Suhadi (2002) menyatakan bahwa
15
“all mass media in the end alienate people from personal experience and, though appearing to offset it, intensify their moral isolation from each other from reality and from themselves. Onemay turn to the mass media when lonely or bored. But mass media, once they become a habbit, impair the capacity for meaningful experience”. Burhan Bungin (2000) menyatakan substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas terkonstruksi juga membentuk opini massa. Massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis. Konstruksi sosial media massa adalah mengkoreksi substansi kelemahan dan melengkapi konstruksi sosial atas realita dengan menempatkan segala kelebihan media massa dan efek media. Media juga menghadirkan sebuah hiper realitas yang ditandai dengan simulasi dan puncaknya adalah simulakrum. Simulasi, di mana terdapat pencampuran antara realitas dan perwakilan realitas. Akibatnya, masyarakat tidak akan bisa membedakan mana realitas sesungguhnya. Sedangkan simulakrum adalah situasi di mana masyarakat tidak tahu asal-usul atau akar persoalan yang diberitakan. Media massa berada di tengah realitas sosial yang saratberagam kepentingan,konfilk dan fakta yang kompleks. Medianya sendiri mengandung banyak kepentingan. Mulai dari kepentingan pemodal sampai dengan kepentingan kelangsungan kerja bagi karyawannya, sehingga dirinya tidakmungkin berdiri statis di tengah-tengah, namun akan bergerak dinamis di antara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain (Sobur, 2001:30-33). Media mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai “pabrik” yang dapat membentuk opini publik. Oleh karena itu, Koran tidak pernah dan tidak akan lebih banyak memberikan kebenaran atau kenyataan apa adanya. Ia lebih banyak menampakan fiksi. Ia menciptakan peristiwa, menafsirkan dan mengarahkan terbentuknya kebenaran. Seluruh isi media cetak adalah realitas yang telah di konstruksikan. 16
Geye Tuchman (1988) dalam Imam Setyobudi mengatakan, pembuatan berita maupun artikel lepas di media massa cetak tidak lebih dari penyusunan realitas-realitas yang sudah terseleksi dan terpilah hingga membentuk sebuah bangunan cerita (Sobur, 2001:88). Keberadaan bahasa tidak lagi semata alat untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan dapat menentukan citra yang akan muncul di benak khalayak. Realitas atau isu apapun yang disajikan kepada khalayak pembaca tentang suatu peristiwa ataukah realitas menjadi sudah ditentukan oleh cara bagaimana media menterjemahkan suatu peristiwa atau realitas. Fenomena sosial-budaya yang sudah diproses melalui media menjadi tidak steril lagi dan memang tidak ada yang steril. Namun yang perlu ditekankan disini, cara penterjemahan media sebagai wujud kuasa media terhadap kebudayaan harus dipahami sebagai sesuatu yang sudah dikonstruksi terlebih dahulu. Hal ini memberikan pemahaman tentang betapa besar kekuasaan media massa dalam mengkonstruksi realitas. Kita setiap hari disuguhi berita hasil konstruksi media massa. Berita hasil pemaknaan media atas dunia. Kita mengetahui dunia hanya lewat jendela atau frame yang dipasang media dan dunia tersebut dianggap sebagai dunia yang sebenarnya serta menggunakan pengetahuan dalam kehidupan berdasarkan pemahaman kita terhadap dunia hasil konstruksi media. d. Konsepsi Konflik dalam Struktur Masyarakat Kemajemukan struktur masyarakat dalam suatu wilayah berpotensi menimbulkan konflik. Pendapat Weber juga Simmel (dalam Ritzer dan Goodman, 2004) yang senada bahwa konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial dan tidak dapat dihindari dalam masyarakat. Karena di dalam masyarakat itu sendiri terjadi berbagai macam proses-proses asosiatif dan disasosiatif yang menyusun struktur sosial masyarakat. Struktur sosial yang 17
majemuk dan perbedaan berbagai macam situasi lingkungan sosial telah melahirkan pertentangan, perbedaan dan kepentingan yang berbeda dalam masyarakat. Karakteristik masyarakat, dalam hal ini dikatakan Dahrendorf (1986) bahwa setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan yang mana perubahan sosial itu ada dimana-mana, setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik yang mana konflik itu juga ada di mana-mana, dan setiap elemen dalam suatu masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan yang mana setiap masyarakat juga didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain. Dilihat dari sumbernya, Nyi, (1973) dalam Rakhmat (1986) seperti yang dikutip Utsman (2007) menyatakan ada 5 sumber konflik, yaitu: (1) Kompetisi, satu pihak berupaya meraih sesuatu, dengan mengorbankan pihak lain; (2) Dominasi, satu pihak berusaha mengatur yang lain sehingga merasa haknya dibatasi dan dilanggar; (3) Kegagalan, menyalahkan pihak tertentu bila terjadi kegagalanpencapaian tujuan; (4) Provokasi, satu pihak sering menyinggung perasaan pihak yang lain; (5) Perbedaan nilai, terdapat patokan yang berbeda dalam menetapkan benar salahnya suatu masyarakat Setiap masyarakat yang tunduk pada proses perubahan yang ada, di mana di dalamnya terdapat disensus akan konflik dan sumbangan dari setiap unsur masyarakat terhadap disintegrasi sehingga terdapat paksaan beberapa orang anggota dalam setiap masyarakat terhadap masyarakat lain ikut memacu konflik sejalan dengan teori konflik yang dikemukakan Dahrendorf (1986).Secara faktor, konflik juga sering diakibatkan oleh terjadinya proses perubahan sosial yang tidak merata dialami oleh masyarakat dalam suatu struktur, serta faktor kepentingan yang berbeda yang dapat mengarah pada benturan kepentingan.(Utsman, 2000)
18
Selain itu, Coser (1956) mendefinisikan konflik sebagai perselisihan mengenai nilainilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, di mana pihak-pihak yang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga merugikan atau menghambat lawan mereka. Coser menggunakan istilah konflik untuk menunjuk suatu keadaan di mana sekelompok orang yang teridentifikasi baik berdasarkan suku, etnis, bahasa, kebudayan, agama, ekonomi, politikataupun kategori lain terlibat pertentangan secara sadar dengan satu atau lebih kelompok lain, karena kelompok-kelompok itu mengejar atau berusaha mendapatkan tujuan-tujuan yang bertentangan. Pertentangan itu bisa berupa perjuanagan terhadap nilai-nilai yang diyakini kebenarannya ataupun klaim terhadap status, kekuasaan dan sumber-sumber yang terbatas ketersediaannya yang dalam prosesnya ditandai oleh adanya pihak-pihak yang terlibat untuk saling menetralisasi, mencederai dan bahkan hingga mengeliminasi pihak lawan. Pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yanag diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan pihak lawan. Sejalan dengan Coser, Jary dan Jary (1991:111 dalam Miall dkk 1999) menyebutkan bahwa konflik bisa saja terjadi karena perebutan atas akses atau kontrol atas sumber daya yang jarang atau minimum jumlahnya. Konflik semacam ini bisa terjadi antara negara dan masyarakat. Masyarakat yang merasa dirugikan kepentingan-kepentingannya akan menyulut konflik yang biasanya diwarnai dengan kekerasan. Karena memang sepanjang sejarah konflik, munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang tidak puas karena terganggunya
19
kepentingan-kepentingan mereka yang pada akhirnya menjadi beringas.Sebagai contoh, kasus konflik nelayan pesisir pantai Kumai, Kalimantan Tengah (Utsman, 2007). Adanya keterbatasan penyaluran aspirasi dan demokrasi juga menjadi salah satu penyebab konflik vertikal. Seperti yang terjadi pada peristiwa kerusuhan 1997 – 1998 di Indonesia. Kurangnya keterbukaan suatu kebijakan antara pemerintah dengan masyarakat yang mengakibatkan kemampetan emosi, dapat menimbulkan amuk oleh masyarakat (Walter Ong, 1982 dalam Utsman, 2007). Siahaan (2001) mengatakan bahwa berdasarkan pada konsep konflik Galtung, bahwa kekerasan terjadi manakala terdapat potensi yang tidak dapat diaktualisasikan ke dalam ranah publik, yaitu ada kesenjangan antara yang potensial dan yang aktual (Utsman, 2007) Webster (1966) dalam Pruitt dan Rubin (1986) menyatakan istilah konflik dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan”—yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi kemudian arti kata tersebut berkembang dengan masuknya berbagai ketidaksepakatan dan oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain. Hingga saat ini, konflik dapat juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik itu sendiri. Randall Collins (1975) dalam Ritzer dan Goodman (2004) menjelaskan konflik dengan sudut pandang mikro yaitu stratifikasi dan organisasi sesungguhnya bersandar pada interaksi kehidupan sehari-hari. Collins menyatakan bahwa konflik tidak saja dapat berfokus pada ideologi. Collins juga tidak menilai konflik sebagai sesuatu yang baik atau buruk, namun secara realistis lebih pada konflik sebagai satu-satunya proses utama dalam perubahan sosial. Collins lebih melihat konflik dari sudut pandang individu ketimbang masyarakat dengan menggunakan akar teoritis fenomenologi dan etnometodologi. Ketika banyak teoritisi 20
konflik yang percaya bahwa struktur sosial bersifat eksternal dan memaksa aktor. Sebaliknya Collins melihat struktur sosial sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari aktor yang mengkonstruksinya dan yang pola-pola interaksinya menjadi unsur dasar. Collins menyatakan struktur sosial sebagai pola interaksi ketimbang sebagai entitas eksternal dan koersif. Karena itu Collins melihataktor akan terus-menerus menciptakan dan menciptakan kembali organisasi sosial. Sementara itu Pruitt dan Rubin (1986) dalam Teori Konflik Sosial,memberi batasan pengertian konflik sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Karena dalam konflik yang timbul dalam suatu masyarakat juga mempunyai beberapa fungsi positif seperti: pertama, konflik adalah awal dari suatu proses perubahan sosial. Kedua, konflik dapat memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi dalam suatu masyarakat. Ketiga, menurut Coser (1956) konflik dapat menciptakan solidaritas dan mencegah disintegrasi dalam suatu kelompok (Ritzer dan Goodman, 2004) e. Pendekatan analisis wacana kritis Analisis wacana merupakan metode yang sistematis dan teliti untuk menghimpun informasi mengenai struktur, fungsi dan proses suatu pesan. Analisis wacana tidak hanya menyelidiki aspek tekstual tetapi juga konteks dari lahirnya teks dan proses kognisis yang memproduksi dan mereproduksi suatu wacana. Analisis wacana lebih melihat pada “bagaimana” dari pesan atau teks komunikasi. Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frase, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana juga memfokuskan pada pesan yang tersembunyi (laten). Banyak sekali teks komunikasi—pidato, berita, film, 21
pernyataan—disampaikan secara implisit. Makna suatu pesan dengan demikian tidak dapat hanya ditafsirkan sebagai apa yang nampak secara nyata dalam teks, tetapi harus dianalisis dari makna yang tersembunyi. Pretense dari analisis wacana adalah pada muatan, nuansa dan konstruksi makna yang laten. Analisis wacana dalam perkembangan selanjutnya sering disandingkan dengan kata ‘kritis’ hingga sering disebut sebagai analisis wacana kritis atau critical discourse analysis (CDA). Secara teoritis, kemunculan analisis wacana ini sendiri berakar dari kajian bahasa yang diambil dari kerangka kerja teori Glossematik yang dipelopori oleh Luis Hjemslev. Kajian bahasa dibagi dalam dua daerah vertikal dan horizontal. Dalam garis vertikalnya kajian bahasa dibedakanantara substansi dan bentuk sementara dalam garis horizontalnya kajian bahasa membedakan antara isi dan ekspresi. Kajian bahasa yang membahas isi dan ekspresi ini kemudian dipopulerkan oleh Ferdinand de Saussure. Salah satu kekuatan dari analisis wacana adalah kemampuannya untuk melihat dan membongkar praktik ideologi dalam media. Bagaimana media dan bahasa yang dipakai dijadikan kelompok dominan sebagai alat untuk merepresentasikan realitas sehingga realitas yang sebenarnya menjadi terdistorsi. Menurut AS Hikam (1996) dalam Eriyanto (2001), perbedaan pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana ini dibedakan dalam tiga pandangan, yang akan diringkas sebagai berikut, pertama, pandangan yang diwakili oleh kaum positivism empiris, yaitu bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek dalam dirinya. Pengalamanpengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyatan22
pernyataan yang tematis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah permisalan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dikeluarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Oleh karena itu, tata bahasa, kebenaran sintaksis adalah bidang utama dari aliran ini tentang wacana. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa dan pengertian bersama. Kedua, disebut pandangan konstruktivitisme. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan empiris-positivisme yang memisahkan subjek dan bahasa. Dalam pandangan ini, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai penyampai pernyataan dan menganggap subjek sebagai unsur sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Artinya, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Oleh karena itu analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan sesuatusertadalampengungkapannya itu dilakukan diantaranya dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur dari sang pembicara. Ketiga, disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis AS Hikam (dalam Eriyanto 2001) 23
pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenisjenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadipada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa. Batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Dengan pandangan ini, wacana melihat bahasa selalu terlihat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana yang ketiga disebut juga analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/CDA). Ini untuk membedakan dengan analisis dalam kategori yang pertama dan kedua. Pandangan kritis ini dipengaruhi oleh ide dan gagasan Marxis yang melihat masyarakat sebagai suatu sistem kelas. Masyarakat hanya dilihat sebagai suatu sistem dominasi, dan media adalah salah satu bagian dari sistem dominasi tersebut. Sehingga media adalah alat kelompok dominan memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok yang tidak dominan. Oleh karena itu, pandangan ini percaya bahwa 24
wartawan yang bekerja dalam suatu sistem produksi berita bukanlah bukan pula bagian dari sistem yang stabil, tetapi merupakan praktik ketidak seimbangan dan dominasi. Paradigma kritis terutama bersumber dari pemikiran Sekolah Frankfurt. Ketika Sekolah Frankfurt itu tumbuh, di Jerman tengah berlangsung proses propaganda besarbesaran oleh Hitler. Media dipenuhi oleh prasangka, retorika dan propaganda. Media menjadi alat dari pemerintah untuk mengorbankan semangat perang. Ternyata media bukanlah entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh kelompok dominan. Dari Sekolah Frankfurt ini lahirlah pemikiran yang berbeda yang kemudian dikenal sebagai aliran kritis 6. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Penelitian ini memakai metode analisis wacana (discourse analysis). Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenaipemakaian bahasa, di samping itu, wacana bisa dipakai sebagai statement/pernyataan baik dalam bentuk lisan maupun tertulis yang tidak netral. Hal ini dikarenakan setiap pernyataan itu selalu berisi kepentingankepentingan tertentu yang disampaikan oleh pihak penutur dalam konteks yang lebih luas, dengan demikian wacana selalu terikat dengan kontekssosial dan konteks sejarah. Dalam melaksanakan pemetaan terhadap berbagai teks, di mana kajian yang memakai content analysis hanya mampu menyentuh pada tingkat permukaan serta sekadar mampu mengungkap makna-makna yang bersifat manifest. Maka untuk menyingkap makna yang tersembunyi serta berada di bawah permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan metode seperti semiotika, analisis wacana atau hermeneutika. 25
Menurut Eriyanto (2001), analisis wacana adalah salah satu alternatif dari analisis isi selain analisis kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Kalau analisis isi konservatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa”, analisis wacana melihat pada “bagaimana” dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks. Lebih khusus lagi, analisis wacana yang dimaksud dan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis wacana dalam pengertian kritis (critical discourse analysis) terutama untuk melihat bagaimana analisis kritis wacana ini dipakai dalam membedah isi media. Dalam mengambil posisi seperti ini, tentu saja yang akan dilihat adalah bagaimana teks berita tidak dapat dilepaskan dari relasi-relasi kuasa. Kuasa adalah aspek yang inheren dalam teks berita: untuk mendefinisikan dan merepresentasikan sesuatu, bahkan memarjinalkan sesuatu (gagasan, kelompok, orang). Dalam analisis wacana kritis sendiri ada beberapa model analisis yang kesemuanya berangkat dari pemikiran teori wacana Foucault dan Althusser. Beberapa model analisis yang dimaksud
biasanya
lebih
dikenal
sebagai
model
analisis
para
tokoh
yang
mengembangkannya, diantaranya adalah Rofer Fowler dkk, Theo Van Leeuwen, Sara Mills, Teun A Van Dijk dan Norman Fairclough. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan paradigma kritis dan dipaparkan dengan cara deskriptif-analitis yang dikembangkan Teun A Van Dijk. Maka ada beberapa pendekatan yang ditawarkan dari analisis wacana ini. Salah satunya yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kognisi sosial (socio cognitive approach).
26
Pendekatan ini dikembangkan oleh pengajar di Universitas Amsterdam, Belanda, dengan tokoh utamanya Teun A. Van Dijk. Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Di sini harus jug adilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Van Dijk melihat wacana sebagaistruktur tiga dimensi yang terdiri dari teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Perbedaan mendasar dari model analisis Van Dijk dengan model analisis lainnya adalah dalam analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Analisis Van Dijk di sini menghubungkan analisis tekstual yang memusatkan perhatian melulu pada teks ke arah analisis yang komprehensif bagaimana teks berita itu diproduksi, baik dalam hubungannya dengan individu wartawan maupun dari masyarakat. Sementara itu dalam model analisis Norman Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual yang selalu melihat bahasa dalam ruang tertutup dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, analisis harus dipusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu. Fairclough mengemukakan bahwa ada tiga level (sekaligus dimensi) analisis yang dapat dilakukan untuk 27
melakukan analisis wacana, yaitu level teks, praktik diskursif dan praktik sosio-kultural. Fairclough membangun suatu model yang mengintegrasikan secara bersama-sama analisis wacana yang didasarkan pada linguistik dan pemikiran sosial dan politik dan secara umum diintegrasikan pada perubahan sosial sehingga analisis model Fairclough lebih dikenal sebagai analisis model perubahan sosial (Eriyanto 2001). Lebih khusus lagi karena analisis Fairclough memperlihatkan keterpaduan antara (a) analisis teks, (b) analisis proses produksi, konsumsi dan distribusi teks, serta (c) analisis sosio kultural yang berkembang di sekitar wacana tersebut, maka secara umum model analisis Fairclough digunakan untuk menganalisis wacana politik umumnya dan analisis wacana kritis tentang politik khususnya (Hamad 2004) Model analisis Sara Mills lebih melihat pada bagaimana posisi aktor-aktor ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan akan menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Secara umum model analisis Sara Mills ini sering digunakan dalam menganalisis wacana tentang perempuan sehingga kemudian lebih dikenal sebagai perspektif feminis. Theo Van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana. Bagaimana suatu kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemaknaannya, sementara kelompok lain yang posisinya rendah cenderung untuk terus menerus sebagai objek pemaknaan dan digambarkan secara buruk. Di sisi lain, model analisis wacana Roger Fowler dkk (Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress dan Tony Trew) memandang bahasa sebagai praktik sosial, melalui mana 28
suatu kelompok memantapkan dan menyebarkan ideologinya. Fowler dkk terutama menganalisis fungsi dan struktur bahasa untuk mengetahui praktik ideologi dan menggambarkan bagaimana realitas dunia dilihat yang kemudian dapat memberi kemungkinan seseorang untuk mengontrol dan mengatur pengalaman pada realitas sosial. Untuk menegaskan urgensi penelitian ini lebih memilih menggunakan model analisis Van Dijk dibandingkan model analisis lainnya adalah titik kritis model analisis Van Dijk yang menjembatani elemen makro yang berupa struktur sosial dengan elemen mikro yang diistilahkan dengan kognisi sosial, yaitu bagaimana sebuah teks berita di produksi oleh wartawan dan media, karena dalam hal ini harus melihat secara keseluruhan struktur sosial masyarakat tempat teks tersebut diambil dan bagaimana struktur masyarakat tempat teks tersebut di produksi yang dipengaruhi oleh dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang terbentuk dapat mempengaruhi terhadap teks tertentu. b. Obyek Penelitian Penelitian ini memusatkan objek kajiannya pada teks pemberitaan konflik pasca bencana alam gempa bumi dalam harian Kompas edisi bulan Oktober, tahun 2009. c. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah eksemplar Harian Kompas edisi bulan Oktober, tahun 2009 yang menyajikan berita konflik pasca bencana alam. Pertimbangan penggunaan sumber data karena bencana gempa bumi yang melanda Sumatera barat dan sekitarnya terjadi pada tanggal 30 September 2009. Maka Harian Kompas yang terbit pada edisi bulan Oktober 2009 diperkirakan menyajikan laporan mengenai situasi pasca gempa yang komprehensif. 29
Berikut adalah tabel pemberitaan tentang gempa bumi di Padang yang terdapat dalam Harian Kompas Edisi Oktober 2009 Tabel 2 Berita-berita gempa bumi Padang di Harian Kompas Hari/ Tanggal
No
1
Kamis 1 Oktober 2009
Headline
2
3
Jum’at 2 Oktober 2009
Kelompok Artikel/ Kolom
Nusantara
Hal.
Judul
1
porak poranda, 75 orang lebih tewas, ratusan bangunan runtuh
1
Gempa bumi, tiba sudah giliran Padang
27
4
1
5
1
6
1
Waspadai gelombang tinggi di selat sunda, gempa Sumatera Barat tidak pengaruhi gelombang Evakuasi terkendala, gempa Jambi menyusul, korban menjadi 529 orang Gempa Sumatera masih menyisakan misteri (gempa Padang dan gempa Jambi tidak berhubungan, gempa Padang di palung laut Sumatera, sementara gempa Jambi di daratan Patahan Sumatera) Proses evakuasi, sebuah harapan di tengah puingpuing 30
Rangkuman Isi berita tentang kejadian gempa berskala 7,6 Skala Richter pada pukul 17:16, situasi tambah kacau diikuti sejumlah kebakaran dan aliran listrik padam Gempa sudah di prediksi terutama setelah gempa besar Bengkulu di tahun 2007, namun magnitude gempa di luar prakiraan yang 8,8 SR
7
8
9
10
11
1
Gempa Sumatera
Opini
Opini
Dana kemanusiaan kompas mulai aktif Bantuan mulai mengalir dari Partai Politik, BEM Universitas, Keluarga besar daerah-daerah, perusahaan dll angkutan gratis dari perusahaan pelayaran untuk membawa bantuan
2
6
6
Ilmu Pengetahuan 13 dan Teknologi
Hidup Bersama Gempa (Subandono Diposaptono), enam upaya komprehensif untuk mitigasi
Masyarakat Sadar Bencana (Jonatan Lassa),
Inovasi, pangan darurat untuk korban bencana.
31
Masyarakat Sadar Bencana (Jonatan Lassa), membangun budaya sadar resiko bencana untuk menjamin komitmen pengurangan resiko bencana secara berkelanjutan juga harus dibangun secara politik, untuk itu Indonesia memerlukan legislator yang mampu memainkan peran kontrolnya guna mengoreksi kesadaran naïf kekuatan eksekutif yang kerap menyembunyikan kegagalan kebijakan public dengan menyalahkan alam. Inovasi, pangan darurat untuk korban bencana. Bidang Teknologi Pangan Fungsional BPPT telah menemukan
12
Nusantara
13 Sabtu 3 Oktober 2009
14
ImunoYoi, makanan praktis bergizi lengkap dan seimbang serta dapat menambah daya tahan tubuh dengan harga murah untuk korban bencana, 100 gr setara dengan 500 kkal, saying belum dilirik oleh pemerintah. Sementara itu LIPI telah menemukan toilet portable bernama biotoilet sebagai kebutuhan sanitasi pokok korban bencana dan BPPT menemukan alat pengolah limbah menjadi air bersih yang telah diuji cobakan pada saat terjadi gempa bumi Yogyakarta 2006. Lebih dari 500 rumah rusak,gempa juga dirasakan di Bengkulu. Dampak gempa, Bandara dan pelabuhan dalam kondisi baik, kerusakan hanya pada alat navigasi. Gambar-gambar tentang suasana gempa
15
24
Headline
1
15
1
16
1
Padang – Solok macet parah, aliran listrik normal Mitigasi bencana, bertindaklah, belum terlambat (perbedaan kejadian dua gempa antara gempa padang dan gempa jambi) Kehidupan Inisiatif dan kreatifitas bangkitkan 32
17
2
18
2
19
3
20
3
21
3
22
3
23
6
kota Padang (jualan es kopi untuk esok hari sebagai pembangkit semangat, hrga lebih mahal optimism melihat peluang. Perdagangan telah dimulai meski dengan barang-barang seadanya yang bisa diselamatkan dari gempa Bantuan medis berdatangan, korban patah tulang terbanyak. Pasca bencana hampir semua ruangan RS tidak bisa difungsikan. Dukacita dunia untuk Indonesia. Bantuan dari beberapa Negara telah dikirim. Bantuan bencana. Yang sudah terkumpul di rantau segeralah dikirim (hingga hari kedua, beberapa daerah seperti wilayah Cubuda Air Utara dan Cubuda Air Tengah yang berbatasan dengan wilayah kabupaten Padang Pariaman belum tersentuh bantuan) Kejengkelan masyarakat Pariaman karena bantuan turunnya ke Padang, padahal katanya pusat gempa dan kerusakan terparah di Padang Pariaman. Mengharap bantuan dari para perantau untuk dapat membangun kembali rumah yang roboh. Gempa dan (wakil) Rakyat (Pari Subagyo) 33
24
Iptek
13
25
23
26
26
Minggu 4 Oktober 2009 27
Headline
1
28
1
29
2
30
2
Tafsir irasional yang mengaitkan berbagai bencana dan wakil rakyat yang semuanya Penanganan Bencana – Bersiap menghadapi bencana (kearifan nenek moyang kita yang hidup di negeri rawan bencana telah luntur dimakan zaman, mencontek bangsa asing demi symbol modernisasi padahal untuk itu ada seperangkat aturan dan persyaratan yang harus diikuti, sebagai contoh adalah rumah-rumah kayu bergaya panggung yang relative aman dari gempa dan banjir) Foto-foto tentang gempa Padang Perdagangan tenang, pedagang asal Sumatera Barat kumpulkan sumbangan Berita-berita gempa di halaman pertama Cuma setengah lembar Ketersediaan air bersih, listrik dan BBM dipulihkan Evakuasi korban, Biarkan timbunan ini jadi kuburan mereka Kolom khusus membahas gempa Sumatera halaman 2-3 full Wapres: Terbuka terima bantuan, Bantuan dari berbagai daerah terus mengalir Pasca Bencana, Pariwisata Sumatra Barat 34
Senin, 5 Oktober 2009
Selasa, Oktober 2009
31
2
32
3
33
3
34
16
35
Headline
1
36
1
37
1
38
15
39
1
42
Semua Harus Siap Siaga, Bencana Gempa Akan Terus Terjadi
Evaluasi Skala Nasional menyangkut kondisi geologis dan kondisi bangunan di setiap wilayah
Korban Gempa, 3 Dusun Akan Jadi Kuburan Masal Padang Terang, Pariaman Pulih 320 KK terancam kelaparan, Jalur PadangSolok Longsor
Di Kanagarian Gunung Padang alai , kecamatan 5 Koto Timur, Pariaman
Pasca Gempa, Hilang Rejeki dari Allah Jika Kami Tak Bekerja
40
41
Terpukul Korban Gempa, Trauma Bencana Yang Tidak Boleh Diabaikan Korban Gempa, Adakah Yang Bisa Bantu? (Bantuan Tersendat) Relawan, Dibalik Gempa Bumi Padang (kesulitan mencari makan) Foto-foto longsor akibat gempa di Gunung Tigo, Kecamatan Patamuan, Padang Pariaman. Tabel Gempa Bumi di Indonesia dan Peta Resiko Gempa di Indonesia
IPTEK
Nusantara
13
Multi Bencana, Setelah Gempa, bencana lain mengancam
22
Santri Probolinggo Donorkan Darah, Kantor Pos Solo Gratiskan Pengiriman barang 35
Rangkaian ancaman bagi penduduk di daerah rawan gempa dan efek domino gempa bumi akibat segmen patahan yang berdekatan
bantuan
Pasca Gempa, Semua berjalan lambat di Patamuan
43
44
45
Rabu, 7 Oktober 2009
46
Metropolitan
26
4
Headline
1
48
49
IPTEK
Umum
Distribusi bantuan bermasalah warga mulai marah, di kelurahan Kuranji, Kota Padang, Lurah Mengancam barang yang ada di posko akan dinaikkan ke mobil karena selama ini bantuan tiba terus di posko utama dan didistribusikan, tetapi tak seorangpun warga yang mendapat bantuan.
Birokrasi berbelit dan Pendistribusian di Tingkat kecamatan.kelurahan kurang transparan Terjadi Penjarahan Oleh Warga (Minggu Dini Hari) di Posko Padang Pariaman Gempa Padang, Perantau Jawa Khawatir Kehilangan Pekerjaan Warga Setujui Kuburan Masal, Distribusu Bantuan Buruk, Warga Kekurangan
14
Bangunan Tahan Gempa, Ringan, Murah, Tahan Gempa
15
Laporan IPTEK Ninok Leksono Ayo belajar geologi dan jadi ahli gempa 36
Masa rekonstruksi di mulai awal November 2009. Rumah Adat Minang yang konstruksinya dari kayu dan berdinding anyaman bamboo atau susunan papan berdasarkan pada kearifan lokal. Agar bangsa saling mengingatkan untuk selalu siaga menghadapi
50
Nusantara
22
Kuburan Massal, Kami ingin membuat pusara yang layak
51
52
Metropolitan
25
Kamis, 8 Oktober 2009
53
Headline
1
Jumat, 9 Oktober 2009
54
Headline
1
55
Lingkungan dan Kesehatan
13
56
IPTEK
14
57
Umum
15
58
Opini
6
Sabtu, 10 Oktober 2009
59
60
100 tenda untuk korban gempa, Vaksin dan serum anti tetanus dikirim dari Bandung
Nusantara
22
23
pergerakan lempeng tektonik Berencana negirim tukang batu dan tukang kayu juga untuk membantu rehabilitasi bangunan rumah dan fasilitas umum Masyarakat tidak menyerah mengevakuasi dan mencari sanak saudara yang tertimbun, ada juga yang datang dari luar kota
Gempa sumbar, Pedagang Tanah Abang galang bantuan Heli kurang dimanfaatkan, sebagian bantuan masih menumpuk di posko utama Pasca Bencana, Warga pesisir selatan butuh selimut dan tenda Pemisahan Puing sangat mendesak, Reruntuhan gempa bisa menjadi sumber penyakit Mitigasi Bencana, Jalur Evakuasi dilupakan Bencana Alam, Rehabilitasi di Sumbar ditargetkan November Petaka dan Kesehatan Mental (Nalini Muhdi) Warga berharap segera di relokasi, Rawan longsor, sejumlah warga di Patamuan, Padang Pariaman diungsikan Bencana Gempa, Warga belum berani membangun kembali 37
Efek ketakutan Seismik akibat gempa
Minggu, 11 Oktober 61 2009
62
Senin, 12 Oktober 2009
Rabu, 14 Oktober 2009
Kamis, 15 Oktober 2009
Tren, Desain dan Perjalanan
63
64 Selasa, 13 Oktober 2009
Nusantara
Politik dan Hukum
65
3
Akibat Gempa, Rel KA rusak di 19 titik, kerugian gempa Sumbar lebih dari 2,1 Trilyun
14
Desain, Pengawasan Lebih Ketat Pada Bangunan banyak)
1
Penanganan Tidak Sistematis, Kepala daerah Tidak Dilatih Manajemen Bencana
5
Jajak Pendapat Kompas
1
66
Pendidikan dan Kebudayaan
12
67
IPTEK
13
68
69
70
Nusantara
Nusantara
Terdapat banyak kesalahan konstruksi bangunan dan fondasi di Padang, hingga bangunan hancur lebih
Kesan lambat di Sumbar
Bencana, Tim Penyelamat Gerak Cepat Tidak Disiapkan Bantuan Teknis Untuk Daerah Gempa, Diteliti, Bangunan Yang Masih Bisa Digunakan Bencana Tsunami, Menyiapkan Aceh dan Padang
22
Antisipasi Tetanus, Relokasi Khusus Untuk Daerah Rawan Longsor
22
Rehabilitasi, Mengurangi Bahaya di maninjau nan elok
23
Gempa Sumbar, “Karano anak ambo harus basakolah juo” 38
Dinkes Pemprov Sumbar mendistribusikan vaksin tetanus toksoid untuk mengantisipasi penyebaran penyakit pasca gempa, focus di 5 kabupaten/kota Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kabupaten agam, kabupaten Pasaman Barat, dan Kota Padang disejumlah daerah yang mengalami longsor akibat gempa, struktur tanah banyak berubah Potret semangat kuat orangtua menyekolahkan
anaknya di sumbar meski terkena bencana dan hidup seadanya Jumat, 16 Oktober 2009
71
1
72
Sabtu, 17 oktober 73 2009 Minggu, 18 Oktober 74 2009 Senin, 19 Oktober 2009 Jumat, 23 Oktober 2009 Senin, 26 Oktober 2009 Selasa, 27 Oktober 2009
Rabu, 28 Oktober 2009
75
76
77
40
Uang lauk pauk belum dibagikan Badan kesbanglinmas sumbar: 135.454 bangunan rusak berat 65.382 bangunan rusak sedang 78.603 bangunan rusak ringan Negara dan korban bencana (Paulinus Yan Ollah)
Opini
7
Trend an Kunsultan
18
Bencana dan pertolongan psikologis
Nusantara
22
Longsor mengancam, aparat sulit verifikasi. Data uang lauk pauk
Nusantara
22
Nusantara
22
78
1
79
Lingkungan dan Kesehatan
13
80
Nusantara
22
Pascagempa, permukiman baru harus penuhi syarat Sulit, relokasi korban gempa, dipertimbangkan untuk transmigrasi lokal Pascagempa, mengembalikan senyum anak-anak sumbar Rp 6,4 Trilyun untuk sumbar Dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi gempa Fase tanggap darurat 130 Oktober Fase rekonstruksi dan rehabilitasi 1 November – 2 tahun Pasca bencana, pembagian uang lauk pauk tersendat 39
memanfaatkan struktur sosial adat minangkabau yang melibatkan tokoh adat (ninik mamak) cerdik pandai dan alim ulama dalam memutuskan kebijakan
Jumat, 30 Oktober
Minggu, 1 November 2009
81
Nusantara
82
83
23
1
Nusantara
23
Bantuan diselewengkan
dari hasil identifikasi sementara, pelaku penyelewengan diantaranya pejabat ditingkat kecamatan, kelurahan hingga dusun
Jumlah bantuan dana kemanusiaan kompas per 30 Oktober 2009 = 11.241.770.556 Pasca gempa, Kelapa, Gotong royong dan solidaritas
Sumber: Eksemplar Harian Kompas Oktober 2009 d. Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis tiga dimensi dari Teun A. Van Dijk. Sebuah teks menurut Van Dijk dapat dilihat sebagai piramida atau sebagai rangkaian dari makna yang umum ke makna yang lebih khusus. Tingkatan itu adalah sebagai berikut: 1. Struktur Makro (tematik) merupakan makna umum dari suatu teks yang dapat
dipahami dengan melihat topic dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa. 2. Superstruktur (skematik) merupakan kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan
elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh. 3. Struktur Mikro (semantik, sintaksis, stilistik, retoris), merupakan makna wacana yang
dapat diamati melalui unsur-unsur linguistik seperti kata, kalimat, proposisi dan metafora. Dimensi wacana Van Dijk yang kedua adalah kognisi sosial.Model Van Dijk ini sebenarnya adalah sebuah cara berpikir yang dipengaruhi oleh psikologi sosial. Perhatian utamamodel ini adalah pada proses psikologis yang menyertai proses produksi atas wacana 40
berita. Proses wacana tersebut meliputi sebuah representasi sosial yang oleh Van Dijk disebut dengan kognisi sosial. Dimensi ini menunjukkan bagaimana produksi makna dihubungkan dengan teks. Asumsi dasar dari pendekatan kognisi sosial disini adalah bahwa pada dasarnya suatu teks tidak mempunyai makna. Pendekatan kognisi sosial ini memandang bahwa makna suatu teks terbentuk dari proses kesadaran mental pemakai bahasa. Oleh karena itu untuk memahami suatu teks dibutuhkan penelitian terahadap kesadaran sosial dan strategi komunikator dalam memproduksi suatu teks. Makna suatu teks secara strategis dikonstruksikan dan direpresentasikan ke dalam memori sebagai suatu representasi teks. Selain itu kognisi sosial juga memerlukan sistem strategi mental yang terbagi di antara khalayak. Sistem ini tercakup dalam pemahaman, produksi atau representasi “objek” sosial, seperti situasi-situasi, interaksi, kelompok-kelompok dan institusi-institusi. Ini merupakan gambaran personal yang unik yang merujuk pada teks, dinamakan dengan event model. Event modelmenggambarkan apa yang dimengerti oleh seseorang mengenai suatu peristiwa dalam tema sebuah teks. Untuk selanjutnya seseorang baru benar-benar bisa memahami suatu teks bila ia mampu membangun sebuah model mental dari suatu peristiwa. Model ini tidak hanya memberikan informasi yang disampaikan melalui representasi teks, tetapi juga informasi-informasi lain tentang suatu peristiwa. Informasi ini tidak diberikan dalam sebuah teks karena pembaca dianggap sudah mengetahuinya, atau dianggap tidak relevan untuk disertakan dalam teks tersebut. Selain itu ada yang dinamakan context model, yaitu sebuah model mental spesifik tentang konteks komunikasi yang digunakan untuk mengontrol informasi-informasiyang terdapat dalam event model yang relevan untuk dimasukkan ke dalam teks. Sebuah context model bisa menjadi bias apabila cenderung mempunyai perspektif tertentu terhadap suatu 41
peristiwa. Satu lagi hal yang dilakukan oleh model ini adalah mengatur aspek interaktif dan komunikatif dari wacana yang menghubungkan wacana dengan situasi dan struktur sosial. Salah satu elemen yang sangat penting dalam proses kognisi sosial selain model adalah memori. Lewat memori kita bisa berpikir tentang sesuatu dan mempunyai pengetahuan tentang sesuatu pula. Dalam setiap memori terkandung di dalamnya pemasukan dan penyimpanan pesan-pesan, baik saat ini maupun dahulu yang digunakan terus menerus oleh seseorang dalam memandang suatu realitas. Kognisi sosial yang menjadi dasar-dasar model tersebut sangat dipengaruhi oleh ideologi, yaitu kerangka interpretasi yang bersifat fundamental. Di dalam ideologi ini terdapat norma-norma dasar, nilai-nilai dan prinsip-prinsip lain yang disesuaikan dengan realisasi tujuan dan kepentingan kelompok. Ideologi tersebut adalah kognisi sosial utama dari sebuah kelompok, sebuah wujud kesadaran sosial. Hubungan ideologi dan penggunaaan bahasa adalah tidak langsung karena ideologi beroperasi melalui sikap-sikap dan modelmodel sebelum mereka menjadi nyata dalam tindakan atau wacana. Kognisi sosial menjelaskan bagaimana komunikator merepresentasikan kepercayaan dan ideologi yang digunakan sebagai strategi pembentukan teks. Selain itu kognisi sosial juga merupakan suatu proses komunikasi wacana oleh khalayak yang kemudian membentuk suatu prasangka.Jadi, semua hubungan antara wacana dan masyarakat dimediasi kognisi sosial. Sebuah analisis wacana sebenarnya harus melihat hubungan antara wacana, kognisi dan masyarakat. Tidak ada tindakan atau praktek sosial yang yang dapat berlangsung tanpa kognisi dan wacana, hal ini berlaku juga untuk relasi kelompok akan kekuasaan dan dominasi Satu lagi dimensi dalam analisis wacana adalah konteks. Konteks disini adalah latar belakang, waktu, tempat, situasi suatu peristiwa yang melahirkan suatu teks tertentu. Konteks 42
digunakan untuk menggambarkan keadaan dan kondisi sosial, politik dan sejarah pada saat terjadinya kegiatan, proses atau peristiwa tertentu. Hanya dalam situasi konteks kita dapat mengerti, menjelaskan, menafsirkan dan menggambarkan wacana. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada diluar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipasi dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan sebagainya. Wacana disini kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Disini, dibutuhkan tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa di sini, memasukkan konteks karena bahasa selalu berada dalam konteks dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi dan sebagainya. Melalui dimensi konteks dapat dilihat hal-hal yang tidak terlihat dalam teks. Apabila seseorang tidak mengetahui konteks suatu wacana, maka akan sulit baginya untuk secara benar memberikan deskripsi, kesimpulan ataupun penilaian. Sedangkan konteks adalah sesuatu yang mungkin saja tidak melibatkan kata-kata dan pada kenyataannya dapat menggantikan ekspresi kata-kata, yang dimaksud dengan konteks disini adalah sesuatu yang lebih luas daripada “kata-kata yang melingkupi kata-kata”, lebih banyak tidak diwujudkan dalam kata-kata. Konteks hadir sebelum sebuah teks lahir dan untuk menafsirkan konteks tersebut ada seperangkat konsep yang bisa digunakan untuk mengidentifikasikannya, sebagai berikut: 1. Medan wacana (field discourse), termasuk didalamnya adalah
Yang sedang terjadi 43
Sifat tindakan sosial yang sedang berlangsung
2. Pelibat wacana (tenor of discourse), termasuk didalamnya adalah:
Orang-orang yang ikut mengambil bagian
Sifat orang-orang yang ikut mengambil bagian
Kedudukan dan peran mereka yang terlibat
Jenis-jenis hubungan peranan yang terdapat diantara para pelibat
3. Sarana wacana (mode of discourse), termasuk didalamnya addalah:
Bagian yang diperankan oleh bahasa, hal yang diharapkan oleh para pelibat diperankan bahasa dalam situasi ini
Saluran yang digunakan, apakah dituturkan, dituliskan atau gabungan keduanya
Teknik Pengolahan data dalam penelitian ini pada dasarnya adalah menggunakan teknik analisis wacana, yakni menganalisis data wacana teks berita pasca gempa bumi Padang dalam Harian Kompas tanpa memandang rubrikasi yang spesifik. Wacana teks diurutkan dengan korpusutama bencana alam gempa bumi, diteruskan dengan menemukan hal-hal turunan kausalitasyang berkaitan dengan kejadian bencana alam. Setelah diperoleh gambaran kasar, analisis kemudian di fokuskan pada wacana teks mengenai konflik yang ditimbulkan bencana alam terkait. Masing-masing korpus data merupakan unit tekstual atau unit wacana yang disajikan berdasarkan kualifikasi data yang telah dilakukan. Deskripsi data disajikan secara kualitatif yang merupakan paparan objektif tentang nilai kewacanaan korpus data berdasarkan hasil analisis data. Urutannya adalah analisis dari eksemplar Harian Kompas edisi 1 – 30 Oktober 2009. Struktur wacana yang dikemukakan Van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut:
44
Tabel 3.Struktur Wacana Van Dijk Struktur wacana Hal yang diamati Struktur Makro Tematik (Apa yang dikatakan?) Superstruktur Skematik (bagaimana pendapat disusun dan dirangkai Struktur Mikro Semantik (Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita) Struktur Mikro
Sintaksis (Bagaimana pendapat disampaikan?) Struktur Mikro Stilistik (Pilihan kata apa yang dipakai?) Struktur Mikro Retoris (Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan) Sumber: Diadaptasi dari Eriyanto (2001)
Elemen Topik/Tema Skema
Unit analisis Teks Teks
Latar, Detail, Maksud, Pengandaian (penganggapan), nominalisasi Bentuk kalimat, Koherensi, Kata ganti Kata kunci (keyword), Leksikon Grafis, Interaksi, ekspresi, metafora
Paragraf, kata Kalimat, proposisi Kata Kalimat, proposisi
Dalam pandangan Van Dijk, segala teks bisa dianalisis dengan menggunakan elemen tersebut. Meski terdiri atas berbagai elemen, semua elemen itu merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai struktur wacana dan elemen-elemen wacana yang akan digunakan untuk menganalisis teks berita dalam Harian Kompas. 1. Tematik mengenai apa yang digambarkan teks berita dalam Harian Kompas. Dengan
topik kita bisa mengetahui masalah atau ide/gagasan umum dan tindakan yang diambil oleh komunikator dalam mengatasi suatu masalah yang disampaikan kepada pembacanya. Elemen Tematik merupakan makna global (global meaning) dari suatu wacana. Tema merupakan ide sentral yang mempunyai fungsi kontrol untuk menentukan apa yang dikemukakan dalam teks. Tema berhubungan dengan bagaimana suatu peristiwa atau suatu hal dimaknai oleh komunikator dan tematik ini baru dipahami ketika kita membaca keseluruhan teks. 2. Skematik: mengenai penyusunan dan perangkaian pendapat teks berita dalam Harian
45
Kompas, Kerangka untuk menyusun pendapat teks berita dalam Harian Kompas. Struktur skematik ini melihat bagaimana distribusi fakta atau informasi penting dalam sebuah format media secara keseluruhan dan dalam sebuah teks berita tertentu. Skematik memberikan tekanan mana yang didahulukan dan bagian mana yang bisa kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting. Bagian yang ingin ditonjolkan cenderung diletakkan pada judul atau head berita, sedangkan bagian yang ingin disembunyikan dibagian tengah atau akhir struktur teks. Struktur skematik dibagike dalam dua kategori. Pertama, summary yang umumnya ditandai dengan dua elemen yakni judul dan lead. Elemen skema ini merupakan elemen yang dipandang paling penting. Judul dan lead umumnya menunjukkan tema yang ingin ditampilkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Lead ini umumnya sebagai pengantar ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum masuk dalam isi berita secara lengkap. Kedua, story, yakni isi berita secara keseluruhan, mempunyai dua sub kategori. Pertama berupa situasi yakni proses atau jalannya peristiwa. Kedua, komentar yang ditampilkan dalam teks. Subkategori situasi terbagi menjadi dua bagian. Pertama, episode atau kisah utama dari peristiwa tersebut, yang kedua latar untuk mendukung episode yang disajikan kepada khalayak. Sedangkan sub kategori komentar terdiri atas dua bagian. Pertama, reaksi atau komentar verbal dari tokoh yang dikutip oleh wartawan. Kedua, kesimpulan yang diambil oleh wartawan dari komentar berbagai tokoh (Eriyanto: 2001). Situasi adalah proses atau jalannya peristiwa yang terdiri dari dua bagian, yaitu episode atau kisah utama dari peristiwa tersebut dan latar untuk mendukung episode yang disajikan kepada khalayak. 3. Semantik, mengenai makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Pada dimensi 46
semantik yang dilihat adalah bagaimana makna uang ditunjukkan dalam suatu teks. Untuk mengamati makna pada level semantik ini dilakukan pengamatan terhadap hubungan antar kalimat, proporsi yang membentuk makna tertentu. Struktur semantik ini meliputi latar, detail, maksud, pengandaian dan nominalisasi. 4. Sintaksis, mengenai bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih dalam teks
berita. Adalah pola penyusunan kata dan frase ke dalam sebuah kalimat. Analisis dilakukan dengan melihat bagaimana kalimat disusun dari kata, frase dan klausa dan melihat bagaimana struktur kalimat dan struktur teks secara umum mempunyai tendensi-tendensi kebahasaan tertentu yang dimanfaatkan untuk menonjolkan atau menghilangkan makna-makna tertentu. 5. Stilistik, mengenai pilihan kata yang dipakai dalam teks berita. Struktur ini memakai
kata-kata sebagai unit analisisnya. Dengan melihat kata-kata yang digunakan dalam suatu teks dapat dilihat sikap apa yang dimiliki dan ditunjukkan oleh komunikator. 6. Retoris, mengenai cara menyampaikan pandapat dalam teks berita. Dengan melihat
struktur retoris ini maka akan bisa dilihat bagaimana cara Harian Kompas menyatakan pendapat dan sikapnya. Dimensi ini digunakan komunikator untuk memberikan tekanan tertentu pada isi teks, sehingga secara kuat makna yang ingin ditekankan bisa sampai pada komunikan. Perangkat retoris ini terdiri dari gaya, interaksi, ekspresi dan metafora. Struktur teks, kognisi sosial dan konteks sosial dari Van Dijk adalah kerangka yang digunakan dalam menganalisis penelitian ini. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur dari teks. Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks di produksi oleh individu atau kelompok pembuat teks dalam hal ini wartawan Harian 47
Kompas dan dewan redaksi. Cara memandang suatu realitas sosial melahirkan teks tertentu. Konteks sosial melihat bagaimana suatu teks dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat atas suatu wacana.
48