BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Obesitas merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit kardiovaskuler
dan diabetes mellitus (DM). Permasalahan obesitas sekarang ini semakin banyak begitu pula dengan permasalahan kardiovaskuler dan DM (Marliyanti, 2010). Dewasa ini dari berbagai masalah kesehatan di masyarakat obesitas merupakan salah satu masalah yang sangat terlihat namun paling diabaikan. Obesitas adalah permasalahan yang muncul di seluruh dunia, bahkan WHO menyatakan obesitas merupakan suatu epidemik global yang memberikan kontribusi sebesar 35% terhadap angka kesakitan dan memberikan kontribusi sebesar 15-20% terhadap kematian sehingga merupakan masalah kesehatan yan harus segera ditangani (WHO, 2012). Prevalensi berat badan berlebih (overweight) dan obesitas meningkat tajam di seluruh dunia dan telah berada pada tingkat yang membahayakan. Menurut laporan WHO tahun 2010, 300 juta orang dewasa menderita obesitas dan diperkirakan lebih dari 700 juta orang dewasa akan mengalami obesitas pada tahun 2015. Di Amerika Serikat (AS), satu dari tiga orang penduduk menderita obesitas, di Inggris 16-17,3% penduduk menderita obesitas. Prevalensi obesitas meningkat tajam di kawasan Asia, di Korea Selatan 20,5% dari total penduduknya tergolong obesitas. Di negara Thailand, 16% penduduk mengalami overweight dan 4% mengalami obesitas. Indonesia sendiri masuk dalam 10 besar angka obesitas dunia (Kusoy, 2013).
1
2
Indonesia sekarang ini mengalami kejadian transisi epidemiologi dari penyakit menular dan infeksi kearah penyakit tidak menular (PTM). Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dapat diketahui bahwa penyakit jantung dan pembuluh darah adalah salah satu dari penyakit degeneratif yang sekarang sudah menduduki tempat nomor satu penyebab kematian di Indonesia (Mangat et al, 2010). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi penduduk dewasa usia 18 tahun keatas yang mengalami obesitas berdasarkan ukuran IMT sebesar 19,7% dari total seluruh penduduk Indonesia. Angka ini menunjukan peningkatan dari tahun 2007 yang hanya sebesar 6,1%. Provinsi Sulawesi Utara memiliki prevalensi penduduk dengan obesitas tertinggi 34,7% dan prevalensi obesitas terendah pada provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar 9,8%. Provinsi Bali adalah salah satu dari 18 provinsi yang memiliki angka obesitas diatas nasional. Hasil pengukuran lingkar perut secara nasional menunjukan 26,6% penduduk mengalami obesitas sentral. DKI Jakarta memiliki prevalensi obesitas sentral tertinggi yaitu 39,7% dan Nusa Tenggara Timur sebagai provinsi yang memiliki prevalensi obesitas sentral terendah sebanyak 15,2%. Provinsi Bali termasuk ke dalam 18 Provinsi yang memiliki angka prevalensi obesitas sentral diatas angka nasional (Iswara & Saraswati, 2015). Provinsi Bali memiliki delapan Kabupaten dan satu Kotamadya. Angka obesitas sentral tertinggi di Provinsi Bali yaitu Kota Denpasar 15,2% dan terendah Kabupaten Tabanan yaitu 12,6% (Riskesdas, 2009). Kabupaten Karangasem termasuk Kabupaten dengan angka obesitas sentral pada usia dewasa yang cukup
3
tinggi yaitu 12,8%. Studi yang dilakukan di Bali pada tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi sindrom metabolik didapatkan sebesar 18,2% dan obesitas sentral didapatkan sebesar 35% (Dwipayana & Suastika, 2011). Penyebab obesitas sangat kompleks dalam arti banyak sekali faktor yang menyebabkan obesitas terjadi. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya obesitas antara lain faktor lingkungan, genetik, psikis, kesehatan, obat-obatan, dan aktifitas fisik. Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup berarti, lingkungan ini termasuk pengaruh gaya hidup dan bagaimana pola makan seseorang termasuk salah satunya konsumsi alkohol dan minuman dengan kadar gula dan kalori yang tinggi (Aflah & Indriasari, 2014). Obesitas dapat diakibatkan oleh peningkatan asupan makanan dan penurunan aktifitas fisik. Berbagai penelitian yang dilakukan menemukan faktor risiko terjadinya obesitas antara lain konsumsi makanan, alkohol, riwayat merokok, dan aktifitas fisik (Istiqamah, 2013). Kemajuan teknologi, status faktor ekonomi, sedantary life style juga merupakan determinan faktor risiko yang penting. Obesitas sentral berhubungan dengan risiko kematian yang besar, seorang dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) normal tetapi dengan peningkatan lingkar perut mempunyai isiko kematian 20% lebih besar dari pada seseorang dengan IMT dan lingkar perut yang normal (Pujati, 2013). Alkohol sebagai salah satu faktor risiko terjadinya obesitas sekarang ini banyak dikonsumsi oleh penduduk di berbagai negara. Di Amerika Serikat, kira-kira 75% dari populasi penduduk dewasa mengkonsumsi minuman beralkohol secara teratur dan sekitar 10% dari populasi umum di Amerika Serikat tidak mampu membatasi konsumsi etanol yang dikenal
4
sebagai alkoholisme. Alkoholisme merupakan keadaan dimana seseorang tidak mampu lagi untuk membatasi konsumsi alkoholnya sehingga dapat mengalami gangguan fungsi organ dan meningkatkan toleransi terhadap efek alkohol serta ketergantungan fisiologis (Mukhibbin, 2012). Data Riskesdas bulan Desember 2007 menunjukan bahwa di Indonesia prevalensi konsumsi alkohol 12 bulan terakhir adalah 6,1% dan prevalensi minum alkohol dalam satu bulan terakhir adalah 4,4%. Lima belas Provinsi yang mempunyai prevalensi minum alkohol selama 12 bulan terakhir diatas prevalensi nasional adalah Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua. Prevalensi konsumsi alkohol di Provinsi Bali 12 bulan terakhir adalah 17,8% dan prevalensi konsumsi alkohol satu bulan terakhir adalah 13,9%. Kabupaten di Provinsi Bali dengan proporsi peminum alkohol 12 bulan terakhir tertinggi adalah Kabupaten Karangasem yang mencapai angka 10,7% dan terendah adalah Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung
sebesar 3,9%.
Proporsi konsumsi alkohol satu bulan terakhir yang tertinggi juga di Kabupaten Karangasem yang mencapai 9,1% dan terendah adalah Kabupaten Jembrana sebesar 2,1%. Berdasarkan laporan Riskesdas 2007, pola konsumsi alkohol pada semua kategori umur lebih banyak mengkonsumsi alkohol satu sampai tiga hari dalam sebulan dengan jenis minuman adalah minuman tradisional. Pria memiliki tingkat konsumsi lebih banyak dengan frekuensi yang lebih besar dibandingkan wanita. Angka konsumsi alkohol lebih tinggi pada daerah pedesaan sebesar 7,7% dan
5
konsumsi alkohol satu bulan terakhir adalah 5,5%, sedangkan di perkotaan prevalensi peminum alkohol 12 bulan terakhir sebesar 4,2% dan konsumsi alkohol satu bulan terakhir adalah 3,0%. Penduduk di daerah pedesaan sebagian besar (77,0%) lebih memilih minuman tradisional untuk dikonsumsi. Berdasarkan laporan kependudukan Desa Tegallinggah bulan Februari 2015 No: 045.2/149/Tegalinggah/Pen, jumlah penduduk Desa Tegallinggah 3.168 orang yang terdiri dari 1.532 orang pria dan 1.636 orang wanita. Dari 1.532 orang pria tersebut terdiri dari 732 orang pria dewasa usia 18-65 tahun, 300 orang pria usia lanjut (>65 tahun), dan 500 orang anak-anak. Sekitar 40% dari pria dewasa usia 18-65 tahun adalah peminum tuak. Berdasarkan pengamatan langsung ratarata mengkonsumsi tuak satu sampai dengan enam gelas dalam sekali minum. Berdasarkan laporan data Penyakit Tidak Menular (PTM) Puskesmas Karangasem II bulan Juli 2015 No: 443.42/138/PUSK, angka kejadian obesitas di Desa Tegallinggah sebesar 30% dari total penduduk dan pada pria dewasa angka kejadian obesitas 20% dari total pria dewasa. Tuak merupakan minuman tradisional yang dijumpai pada beberapa daerah di Bali dimana Kabupaten Karangasem adalah sebagai penghasil utama. Tuak sering juga disebut arak mentah. Kandungan utama dari tuak adalah karbohidrat dalam bentuk sukrosa yang tinggi selain kandungan air dan alkohol, jika dikonsumsi terus-menerus mengakibatkan asupan energi yang berlebihan. Tuak diproduksi secara tradisional sehingga sulit untuk mengetahui dan mengontrol kadar alkohol yang ada dalam minuman tersebut. Tuak hasil fermentasi nira aren yang diperdagangkan dan dikonsumsi masyarakat rata-rata mengandung alkohol empat sampai enam persen (Gaol, 2013).
6
Beberapa efek yang ditumbulkan akibat mengkonsumsi alkohol telah diteliti sebelumnya. Sebuah penelitian yang dilakukan di luar negeri mengemukakan bahwa pada 6,832 pria dewasa muda di Inggris peminum alkohol berat (>30 gram) menunjukkan berat badan dan indeks massa tubuh tinggi (Wannamethee & Shaper, 2013). Penelitian yang meneliti hubungan konsumsi alkohol dengan status gizi juga sudah pernah dilakukan di Indonesia. Sebuah hasil penelitian menyatakan tidak ada hubungan antara mengkonsumsi alkohol dengan status gizi pada pria dewasa usia 30-40 tahun, tetapi ditemukan efek negatif yang membahayakan kesehatan bahkan kematian jika dikonsumsi secara berlebihan. Penelitian lainnya menemukan ada hubungan yang signifikan antara kontrol diri yang negatif dengan prilaku mingkonsumsi minuman keras. Sebuah penelitian juga menemukan ada korelasi antara riwayat mengkonsumsi alkohol dengan kejadian hipertensi dan peningkatan body massa index (BMI). Konsumsi alkohol merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi selain faktor merokok dan berat badan berlebih (Aritonang, 2013; Mandagi, 2010; Indraprasti, 2008; Adnyani, 2014; Mukhibbin, 2012). Beberapa penelitian tersebut menemukan hasil yang konsisten. Penelitian terkait risiko-risiko yang berhubungan dengan konsumsi tuak masih terbatas. Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan baik diluar negeri maupun di Indonesia lebih banyak meneliti tentang risiko mengkonsumsi alkohol. Beberapa penelitian mengenai konsumsi minuman tradisional beralkohol jenis tuak pernah dilakukan di Indonesia. Sebuah hasil penelitian menemukan bahwa konsumsi minuman alkohol jenis tradisional seperti tuak lebih banyak dikonsumsi di daerah pedesaan. Penelitian lainnya menemukan bahwa konsumsi alkohol
7
terutama tuak di daerah pedesaan adalah bagian dari tradisi masyarakat baik pada perayaan pesta adat maupun kegiatan sehari-hari (Suhardi, 2012; Jannah, 2015). Kebiasaan minum tuak yang dijumpai di Desa Tegallinggah berbeda dengan daerah lainnya seperti Batak, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur. Pada daerah-daerah tersebut tuak hanya diminum dalam prosesi adat misalnya pernikahan atau kematian. Konsumsi tuak pada saat prosesi adat tidak lebih dari satu gelas. Pria dewasa di Desa Tegallinggah mengkonsumsi tuak dalam jumlah yang cukup banyak, mereka biasa mengkonsumsi satu sampai enam gelas tuak dalam sekali minum (satu gelas setara dengan 200 cc). Berdasarkan hasil observasi awal di lapangan, peneliti melihat pria dengan kebiasaan konsumsi tuak di desa Tegallinggah ada yang memiliki postur tubuh gemuk. Penelitian-penelitian terdahulu belum ada yang memberikan informasi tentang hubungan konsumsi tuak yang berkaitan dengan kejadian obesitas sentral pada pria dewasa. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis ingin mengetahui hubungan kuantitas, frekuensi, dan lama waktu konsumsi tuak dengan kejadian obesitas sentral. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas dapat diketahui kejadian
obesitas pada pria dewasa di Kabupaten Karangasem cukup tinggi yaitu sebesar 12,8%. Pada sisi lain adanya kebiasaan konsumsi tuak yang merupakan minuman tradisional beralkohol dengan kandungan glukosa dalam bentuk sukrosa yang tinggi oleh pria dewasa. Salah satu desa di Kabupaten Karangasem dengan konsumsi tuak yang cukup tinggi mencapai 40% dari populasi pria dewasa usia 18-65 tahun adalah Desa Tegallinggah.
8
1.3
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang ditemukan dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut: 1
Apakah ada hubungan antara kuantitas konsumsi tuak dengan kejadian obesitas sentral pada pria dewasa?
2
Apakah ada hubungan antara frekuensi konsumsi tuak dengan kejadian obesitas sentral pada pria dewasa?
3
Apakah ada hubungan antara lama konsumsi tuak dengan kejadian obesitas sentral pada pria dewasa?
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan Umum Untuk membuktikan hubungan antara konsumsi tuak dengan kejadian
obesitas sentral pada pria dewasa di Desa Tegallinggah, Karangasem. 1.4.2
Tujuan Khusus Membuktikan hubungan
1. Kuantitas konsumsi tuak dengan kejadian obesitas sentral pada pria dewasa. 2. Frekuensi konsumsi tuak dengan kejadian obesitas sentral pada pria dewasa. 3. Lama waktu konsumsi tuak dengan kejadian obesitas sentral pada pria dewasa.
9
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1
Manfaat Akademik
1. Bermanfaaat
bagi
ilmu
kesehatan
masyarakat
dalam
meningkatkan
pengetahuan mahasiswa tentang hubungan konsumsi tuak dengan kejadian obesitas sentral pada pria dewasa. 2. Digunakan sebagai acuan penelitian lebih lanjut tentang hubungan konsumsi tuak dengan kejadian obesitas pada pria dewasa. 1.5.2
Manfaat Praktis
1. Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat khususnya peminum tuak mengenai hubungan konsumsi tuak dengan kejadian obesitas sentral pada pria dewasa. 2. Dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam mengambil kebijakan berkaitan dengan pengawasan
dan pengendalian terhadap konsumsi minuman
tradisional beralkohol khususnya tuak.