BAB I PENDAHULUAN
I. A. LATAR BELAKANG MASALAH Desa secara umum lebih sering dikaitkan dengan pertanian. Menurut Egon.E. Begel, desa merupakan tempat pemukiman para petani, sebenarnya, faktor pertanian bukanlah ciri yang selalu harus terlekat pada setiap desa. Ciri utama yang terlekat pada desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal dan suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil. Dengan perkataan lain suatu desa ditandai oleh keterkaitan warganya terhadap suatu wilayah tertentu. Mengenai lingkungan sebagai faktor penentu karakteristik desa-kota, Smith dan Zopf membedakan 3 jenis lingkungan yaitu lingkungan fisik/unorganik, lingkungan biologik/organik, lingkungan sosio kultural. Lingkungan sosial-kultural dibagi lagi menjadi tiga kategori, yakni fisik, biososial dan psikososial (dalam Rahadjo, 1999). Secara garis besarnya dalam hal lingkungan fisik, masyarakat desa lebih langsung berhadapan dan dipengaruhi oleh lingkungan fisik dibandingkan dengan masyarakat kota. Tanah dan kekotoran yang untuk orang kota sinonim dengan bakteri, untuk orang desa bergumul dengan ”kekotoran” (lumpur) itu justru menjadi kehidupan bagi mereka (Rahadjo, 1999). Dalam hal lingkungan sosiokultural, perbedaan antara kehidupan masyarakat desa dan kota juga terlihat jelas pada ketiga katagori lingkungan sosiokultur dalam lingkungan psikososial, kota lebih memperlihatkan bangunan-bangunan fisik yang lebih banyak dan bervariasi.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan lingkungan biososial, kota lebih memperhatikan komposisi ras atau kebangsaan yang beragam dibanding dengan masyarakat desa. Dalam lingkungan psikososial, lingkungan perkotaan jauh lebih kompleks dibanding dengan perdesaan. Desa tidak jarang memberikan asosiasi yang romantik. Bagi penduduk kota yang tidak mengurangi hiruk pikuk, udara bercampur asap knalpot, siang yang membakar serta hidup yang sangat individualistis, desa merupakan firdaus yang menawarkan ketenangan, udara bersih, pohon yang rindang dan kehidupan yang sangat kekeluargaan.Tetapi asosiasi yang romantik itu akan perlahan lenyap apabila seseorang mendapat kesempatan untuk tinggal beberapa waktu didesa. Akan segera nampak bahwa sebagian besar penduduk desa di Indonesia dililit masalah yang sangat parah yakni kemiskinan (Hagul, 1992). Selain kemiskinan masih terdapat beberapa masalah pada masyarakat perdesaan. Masalah ini dapat disederhanakan menjadi 3 bagian yaitu pendapatan yang rendah, adanya kesenjangan yang dalam antara yang kaya dan yang miskin, dimana yang miskin adalah mayoritas, pastisipasi rakyat yang minim dalam usaha-usaha pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Keadaan yang demikian itu mempunyai sebab yang kompleks, namun kalau disederhanakan, maka sebab-sebab pokok adalah kurangnya pengembangan sumber daya alam, kurangnya pengembangan sumber daya manusia, kurangnya lapangan kerja dan adanya struktur masyarakat yang menghambat (Hagul, 1992). Masalah pokok dalam pedesaan tidak hanya mencakup pada 3 bagian sebagaimana yang telah disebut diatas masalah kesehatan juga terjadi pada
Universitas Sumatera Utara
masyarakat pedesaan. Masalah kesehatan dipedesaan dapat ditinjau dari dua segi, yakni
hal
kesehatan
sendiri
(substantial)
dan
hal
penyelenggaraannya
(management. Masalah kesehatan (substantial) dapat berupa berbagai jenis penyakit sedangkan masalah penyelenggaraan kesehatan meliputi masalah peningkatan, perlindungan, penemuan masalah, pengobatan dan pemulihan kesehatan pada perseorangan maupun pada kesehatan masyarakat. Dari hasil penelitian masalah kesehatan yang paling sering muncul adalah penyakit-penyakit infeksi (pernafasan, perut, kulit, dan lain-lain). Penyakit-penyakit infeksi, yang satu sama lain berbeda sifat mempunyai hubungan erat dengan lingkungan hidup yang kurang sehat dan daya tahan tubuh rendah. Daya tahan tubuh yang rendah dapat terjadi karena ketidakseimbangan pemenuhan gizi dan kebutuhannya, kemajuan ekonomi dapat mendorong perbaikan gizi sehingga dapat memperkuat daya tahan. Kemajuan ekonomi juga akan mendorong perbaikan lingkungan hidup yang mengurangi kejangkitan penyakit. Rendahnya kejangkitan penyakit dan tingginya daya tahan ini dapat meningkatkan taraf kesehatan pada masyarakat (O.M.S dalam Hagul, 1999). Masalah kesehatan yang menonjol di daerah pedesaan adalah tingginya angka kejadian penyakit menular, kurangnya pengertian masyarakat tentang syarat hidup sehat, gizi yang buruk dan keadaan hygiene dan sanitasi yang kurang memuaskan (Hagul, 1992). Fasilitas pelayanan kesehatan yang kurang didaerah pedesaan menyebabkan sebagian besar masyarakat masih sulit mendapatkan atau memperoleh pengobatan, selain itu hal penting yang mempersulit usaha pertolongan terhadap masalah kesehatan pada masyarakat desa adalah kenyataan
Universitas Sumatera Utara
yang sering terjadi dimana penderita atau keluarga penderita tidak dengan segera mencari pertolongan pengobatan. Perilaku yang menunda untuk memperoleh pengobatan dari praktisi kesehatan ini disebut dengan treatment Delay (Sarafino, 2006). Treatment delay adalah rentang waktu yang telah berlalu ketika individu mengalami simptom awal sampai individu memasuki pelayanan kesehatan dari praktisi kesehatan (Sarafino, 2006). Keadaan seperti ini merupakan keadaan yang umum di jumpai di negara-negara yang sedang berkembang khususnya di daerah pedesaan dimana tingkat pendidikan rendah dan kemiskinan merupakan keadaan yang umum dijumpai. Lebih dari separuh kematian anak terjadi karena penyakitpenyakit diare, saluran nafas dan kurang gizi merupakan keadaan-keadaan yang saling memperkuat satu dengan yang lain, kondisi seperti ini tidak hanya ditimbulkan oleh fasilitas kesehatan yang kurang, tetapi juga karena penderita atau keluarga penderita tidak segera mencari pertolongan pengobatan atau disebut sebagai treatment delay (Hagul, 1992). Hal ini didukung penelitian Michael A Koenig (2007), yang menyatakan bahwa dinegara yang sedang berkembang seperti India (Bangladesh) hanya 1/3 wanita yang dengan segera mencari pertolongan praksiti kesehatan dalam menangani masalah kehamilannya dan level memperoleh perawatan kesehatan ibu hamil lebih tinggi didaerah perkotaan daripada daerah pedesaan. Rendahnya penggunaan fasilitas kesehatan ini, seringkali kesalahan dan penyebabnya dikarenakan faktor jarak antara fasilitas tersebut dengan masyarakat yang terlalu jauh, tarif yang tinggi, pelayanan yang tidak memuaskan dan
Universitas Sumatera Utara
sebagainya. Faktor persepsi atau konsep masyarakat itu tentang sakit sering kali terabaikan, pada kenyataannya dalam masyarakat sendiri terdapat beraneka ragam konsep sehat-sakit yang tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan konsep sehat sakit yang diberikan oleh pihak provider atau penyelenggara pelayanan kesehatan. Timbulnya perbedaan konsep sehat sakit yang dialami masyarakat dengan konsep sehat-sakit yang diberikan oleh pihak penyelenggara pelayanan kesehatan karena adanya persepsi sakit yang berbeda antara masyarakat dan praktisi kesehatan. Perbedaan persepsi ini berkisar antara penyakit (disease) dengan illness (rasa sakit) (Notoatmodjo, 1993). Penyakit (disease) adalah suatu bentuk reaksi biologis terhadap suatu organisme, benda asing atau luka. Hal ini adalah suatu fenomena objektif yang ditandai oleh perubahan fungsi-fungsi tubuh sebagai organisme biologis, sedangkan sakit (illnes) adalah penilaian seseorang terhadap penyakit sehubungan dengan pengalaman yang langsung dialaminya. Hal ini merupakan fenomena subjektif yang ditandai dengan perasaan tidak enak. Berdasarkan batasan kedua pengertian tersebut tampak perbedaan konsep sehat sakit di dalam masyarakat. Secara objektif seseorang terkena penyakit, salah satu organ tubuhnya terganggu fungsinya, namun dia tidak merasa sakit. Kondisi ini menggambarkan seseorang mendapat serangan penyakit secara klinis tetapi orang itu sendiri tidak merasa sakit atau mungkin tidak dirasakan sebagai sakit, sehingga mereka tetap melakukan aktivitasnya sebagai mana orang sehat. Berdasarkan hal ini muncullah suatu konsep sehat masyarakat yaitu sehat adalah orang yang dapat bekerja atau menjalankan pekerjaannya sehari-hari dan konsep sakit yaitu suatu kondisi
Universitas Sumatera Utara
seseorang yang sudah tidak dapat bangkit dari tempat tidur dan tidak dapat menjalankan pekerjaannya sehari-hari. Masyarakat yang mendapat penyakit namun tidak merasa sakit (not perceived) akan membuat masyarakat tersebut tidak berbuat apa-apa terhadap penyakitnya termasuk menunda untuk mencari pertolongan dari praktisi kesehatan atau disebut dengan treatmen delay. Menurut Notoadmojo(1993) individu yang mengalami simtom penyakit namun tidak berbuat apa-apa terhadap penyakitnya, disebabkan karena dia merasa tidak sakit (not perceived). . Persepsi terhadap suatu penyakit dibahas dalam health belief model. Health belief model memberikan kerangka yang menjelaskan mengapa seorang individu melakukan dan tidak melakukan perilaku sehat. Health belief model melibatkan penilaian terhadap perceived threat pada symptom yang dialami, yaitu semakin individu merasa terancam dengan simptom penyakit yang ia alami maka semakin cepat individu mencari pertolongan medis (Becker & Rosenstock dalam Sarafino,2006). Hal ini didukung oleh kasus yang menyatakan bahwa anak remaja di Atlanta tidak merasa terancam dengan resiko HIV, maka mereka selama setahun lebih tidak mencari pertolonghan dari praktisi kesehatan (NEWSRx dalam Infotrac college edition, 2004). Seberapa besar ancaman yang dirasakan individu akan simptom penyakit yang dialaminya tergantung pada tiga faktor. Pertama, cues to action yang merupakan faktor pemicu agar individu segera mencari pelayanan kesehatan, hal ini dapat berupa nasihat dari teman atau keluarga , informasi dari media massa dan lain-lain (Sarafino, 2006). Kedua, perceived seriousness yaitu seberapa parah
Universitas Sumatera Utara
individu mempersepsikan konsekuensi organik dan sosial jika individu tidak segera melakukan pengobatan medis, jika individu mempersepsikan bahwa penyakit yang dialaminya memiliki konsekuensi yang serius maka individu tersebut akan mencari pertolongan medis (Sarafino, 2006). Penelitian Analee ( dalam questia.com) mendukung pernyataan ini, dimana dalam penelitiannya ditemukan bahwa individu akan melakukan tindakan pecegahan jika individu mempersepsikan penyakit yang ia alami memiliki konsekuensi yang serius. Ketiga, perceived susceptibility yaitu individu mengevaluasi kemungkinan akan berkembangnya symptom penyakit, semakin individu merasa penyakitnya beresiko maka akan mempersepsikannya sebagai ancaman dan melakukan tindakan pengobatan ( sarafino, 2006). Health belief model juga menyatakan bahwa individu menilai perceived benefit dan perceived barrier dalam memutuskan untuk mencari pertolongan dari praktisi kesehatan. Individu yang yakin bahwa pengobatan yang dilakukan oleh praktisi kesehatan dapat menyembuhkan atau menghentikan perkembangan dari penyakit maka akan meningkatkan kemungkinan untuk mencari pertolongan kesehatan. Penelitian membuktikan bahwa individu semakin antusias untuk mencari pengobatan jika pengobatan tersebut sangat menuntungkan bagi individu (Christine, Richard, Karen, Susan,dalam Infotac college edition, 2005). Dalam perceived barier individu akan menilai apakah pengobatan tertentu akan menimbulkan efek samping yang tidak menyenangkan, biaya yang mahal dan apakah sulit untuk memperolehnya (Sarafino,2006). Jumlah dari perceived benefit dan perceived barrier dikombinasikan dengan perceived threat akan menentukan
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan individu untuk mencari atau tidak mencari pertolongan dari praktisi kesehatan. Psikolog kesehatan dan bidang lain yang mempelajari mengenai kesehatan menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi individu untuk tidak segara mencari pertolongan kesehatan, yaitu ide dan kepercayaan individu mengenai suatu pelayanan kesehatan (sarafino, 2006). Individu terkadang menyatakan bahwa masalah kesehatan yang dialaminya merupakan hasil dari treatment medis. Kondisi ini dapat terjadi baik akibat kesalahan praktisi kesehatan atau efek samping dari treatment sebagaimana yang dapat muncul ketika individu dioperasi atau memperoleh pengobatan. Ketidakpercayaan terhadap praktisi kesehatan ini dapat timbul karena individu khawatir atau tidak yakin dengan informasi yang diberikan praktisi kesehatan dan individu merasa bahwa praktisi kesehatan melakukan diskriminasi terhadap suatu kelompok minoritas (Sarafino, 2006). Faktor emosi dan sosial juga mempengaruhi treatment delay. Faktor emosi dan sosial memiliki peran yang penting dalam pengambilan keputusan untuk mencari pertolongan kesehatan, dimana individu yang memiliki reaksi emosional yang kuat terhadap symptom penyakit yang dialami maka akan dapat menghambat untuk mencari pertolonganm kesehatan (Sarafino, 2006). Beberapa dapat mempersepsikan penyakit seperti kanker sebagai penyakit yang sangat serius dapat menghindari penanganan medis karena takut akan rasa sakit yang ditimbulkannya jika diberi treatment. Hasilnya, ancaman yang dialami individu tidak meningkatkan kescenderungan untuk menggunakan layanan kesehatan tetapi
Universitas Sumatera Utara
justru menurunkannya. Banyak individu menyatakan bahwa mereka tidak segera mencari pertolongan kesehatan karena takut akan rasa sakit yang akan dialami ketika menjalani pengobatan (Levin, Cleland, & dar dalam sarafino, 2006), selain itu rasa malu juga dapat menghambat individu untuk mencari pertolongan kesehatan (sarafino, 2006). Hasil penelitian oleh felicity young (2002) menyatakan bahwa perasaan malu pada diri pasien dapat meningkatkan treatment delay pada diri pasien. Faktor usia dan jenis kelamin juga berperan dalam penggunaan layanan kesehatan. Secara umum anak-anak dan orang tua lebih sering kontak dengan praktisi kesehatan daripada remaja atau orang dewasa (NCHS dalam sarafino, 2006). Anak-anak mengunjungi praktisi kesehatan untuk pemeriksaan kesehatan dan juga untuk vaksinasi. Praktisi kesehatan memiliki frekuensi kontak yang jarang pada individu yang berusia kanak-kanak akhir dan dewasa awal, tetapi meningkat mulai dari usia dewasa madya dan usia tua (Sarafino, 2006). Jenis kelamin juga mempengaruhi sering atau tidaknya individu menggunakan layanan kesehatan. Penelitian membuktikan bahwa wanita lebih sering kontak dengan praktisi kesehatan daripada pria (NCHS dalam Sarafino, 2006). Selain itu juga berperan dalam penggunaan layanan kesehatan, dari hasil survey NCHS (dalam Sarafino, 2006) persentase individu yang mencari layanan kesehatan meningkat seiring dengan tingginya pendapatan, lalu individu yang memiliki pendapatan yang rendah lebih sering berada di ruang unit gawat darurat untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Demikianlah latar belakang masalah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti tahapan treatment delay ditinjau dari health belief model pada masyarakat pedesaan.
I. B. PERUMUSAN MASALAH Secara lebih terperinci, masalah dalam penelitian ini dirumuskan dengan: 1. Apa tahapan treatment delay pada masyarakat pedesaan ditinjau dari health belief model ? 2. Pada tahapan treatment delay yang manakah paling banyak dimiliki oleh masyarakat pedesaan ? 3. Pada tahapan treatment delay yang menakah paling banyak dimiliki oleh masyarakat pedesaan jika ditinjau dari health belief model ?
I. C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan diadakannya penelitian ini adalah: 1. Memperoleh informasi mengenai hubungan health belief model dengan tahapan treatment delay. 2. Mengetahui seberapa besar health belief model dapat memprediksi tahapan treatment delay.
Universitas Sumatera Utara
I. D. MANFAAT PENELITIAN I. D. 1. Manfaat Praktis 1.
Memberikan informasi bagi praktisi kesehatan bahwa dalam memberikan pelayanan kesehatan sangat perlu diperhatikan belief masyarakat tersebut akan kesehatannya.
2.
Memberikan informasi bagi masyarakat agar tidak menunda dalam mencari layanan kesehatan dari praktisi kesehatan.
3.
Memberikan masukan bagi penyelenggaraan kesehatan di desa, agar tidak hanya fokus pada fasilitas kesehatan tetapi juga memperhatikan belief masyarakat sekitar akan kesehatan mereka dalam memberikan pelayanan kesehatan.
I. D. 2. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam bidang Psikologi khususnya psikologi klinis.
Universitas Sumatera Utara