1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Kemandirian Kekuasaan Kehakiman – atau juga kekuasaan kehakiman yang
bebas dan merdeka – merupakan isu yang penting sejak ditemukannya konsep pembagian kekuasaan. Baron Montesquieu membagi kekuasaan dalam negara menjadi tiga cabang, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sebagaimana yang diketahui, bahwa cabang kekuasaan yudikatif berfungsi untuk menegakkan dan mengkontrol proses yudisial ataupun hukum di setiap negara di dunia.1 Oleh karena itu, cabang kekuasaan ini sudah selayaknya tidak dipengaruhi oleh apapun kecuali hukum lewat peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menjadi penting karena untuk dapat melindungi hak asasi manusia ― yang merupakan cita dari konstitusi negara manapun ― hukum yang adil menjadi satu hal yang tidak dapat ditawar lagi (indispensable) meski besar kekuasaan itu sendiri yang ingin mengintervensi hukum.2 Menurut Pasal 1 UUD 1945, Negara Indonesia merupakan negara hukum yang menganut kedaulatan rakyat, kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan cita-cita sekaligus kewajiban. Meninjau lebih jauh mengenai spesifikasi negara hukum, baik Indonesia maupun Jerman lebih mendekati model konsep Rechtsstaat.
1
2
John Locke dalam Ahmad Suhelmi, 2001, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, Gramedia, Jakarta, hlm. 8. Jimly Asshiddiqie, 2012, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 198.
2
Konsep ini pertama kali mengemuka pada akhir abad ke-18.3 Rechtsstaat menggambarkan konsep negara yang diatur oleh hukum. Dalam konsep ini, setiap kegiatan administratif harus diatur oleh hukum (Administration by Law). Secara teoretis, penekanan konsep ini ada pada seberapa jauh hukum itu ditaati, bukan pada seberapa baik hukum itu mampu melindungi kebebasan dan hak warga negara.4 Negara bermodel Rechtsstaat ini biasanya dibedakan dengan model lainnya yaitu Rule of Law temuan Albert Venn Dicey, yang berkarakter judge made law.5 Negara hukum yang dibangun dalam konsep Rechtsstaat, setidaknya, harus memiliki ciri:6 1. 2. 3. 4.
Perlindungan Hak Asasi Manusia; Pemisahan kekuasaan; Pemerintahan berdasarkan Undang-undang; dan Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.
Indonesia termasuk merupakan negara yang memiliki ciri-ciri tersebut meski lebih spesifiknya Indonesia merupakan Negara Hukum Pancasila. Pancasila adalah cita hukum dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia dan juga sebagai pemandu yang berfungsi menguji dan memberi arah hukum positif di Indonesia.7 Keberadaan Pancasila merupakan faktor utama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimana mekanisme penyelenggaraan negara Indonesia haruslah didasarkan dan diukur dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu 3
4
5 6 7
Heuschling, 2002, “Rule of Law (and Rechtsstaat)”, hlm. 29, dalam Martin Krygier, International Encyclopedia of the Behavioral Science, 2nd edition, Elsevier, hlm. 4. Noriho Urabe, “Rule of Law and Due Process: A Comparative View of the United States and Japan”, Law and Contemporary Problem, Vol. 53, No. 1, January 1990, hlm. 62. Ibid. Jimly Asshiddiqe, tanpa tahun, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, hlm. 2. A. Hamid S. Attamimi, 1992, Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP-7 Pusat, Jakarta, hlm. 24.
3
sendiri.8 Dengan kata lain, Pancasila menjadi dasar seluruh peraturan perundangundangan yang mengatur segala segi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum dan pedoman tertinggi serta kaidah dasar Negara Hukum Pancasila di Indonesia.9 Pada falsafah hukum yang berdasarkan Pancasila, Indonesia juga turut mencita-citakan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai manifestasi dari konsep pemisahan kekuasaan yang ada di ciri negara hukum tersebut.10 Negara lain yang menganut konsep Rechtsstaat adalah Jerman. Bahkan negara inilah konsep Rechtsstaat lahir dan berkembang. Para ilmuwan belum bersepakat mengenai waktu pasti pembentukan kebangsaan Jerman. Namun, Perjanjian Verdun yang dilakukan tahun 843 M membagi Kerajaan Romawi di Jerman menjadi barat, tengah, dan timur. Hal ini menjadi awal terbelahnya kerajaan menjadi wilayah yang nantinya disebut Jerman dan yang lainnya disebut Perancis. Jerman pertama kali memiliki konstitusi pada tahun 1848, meskipun belum diterapkan.
Konstitusi
ini
dibentuk
atas
prakarsa
Raja
Prussia
yang
mengumpulkan para ahli dalam wadah yang bernama the parliament of professor untuk membentuk konstitusi. Hal ini dilatarbelakangi krisis ekonomi di Eropa pada masa itu. Namun, konstitusi ini tidak pernah berhasil diterapkan.11
8
9
10 11
Yudi Latief, 2011, Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Akuntualitas Pancasila, Kompas Gramedia, Jakarta, hlm. 41. Dahlan Thaib, 1991, Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, hlm. 76-77. Lihat Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945. Ibid., hlm. 169.
4
Selanjutnya, pada 1871 Jerman kembali memiliki konstitusi baru. Konstitusi ini membentuk Jerman menjadi kerajaan federal dengan memiliki parlemen (Reichtag) dan dewan federal (Bundesrat). Setelah berlalunya Perang Dunia I, Jerman memiliki konstitusi baru yang sangat demokratis di tahun 1919 (Konstitusi Weimar). Inflasi dan depresi besar-besaran membuat masyarakat Jerman memilih NAZI hingga partai ini menjadi mayoritas di parlemen. Chancellor (ketua parlemen) yang akhirnya memegang pemerintahan ialah Adolf Hitler. Sejarah kemudian mencatat bahwa Hitler menyingkirkan lawan-lawan politiknya dan menciptakan tatanan pemerintah fasis yang bertolak belakang dengan Konstitusi Weimar.12 Sekarang, Jerman menggunakan Basic Law (Das Grundgesetz für die Bundesrepublik Deutschland) yang terbentuk pada 23 Mei 1949. Konstitusi ini disusun oleh parlemen Jerman Barat bersama sekutu―Prancis, Britania Raya, dan Amerika Serikat. Konstitusi yang sekarang dipengaruhi oleh Konstitusi Weimar (1919) dan juga oleh Amerika, sehingga punya nilai demokratis yang cukup tinggi. Konstitusi Jerman juga menjadi panutan bagi beberapa negara lain seperti Spanyol dan Yunani.13 Sebagai negara hukum yang berciri Rechtsstaat, kekuasaan kehakiman di Indonesia dapat diperbandingkan dengan kekuasaan kehakiman di Jerman terutama mengenai hal status hukum jabatan hakim karena di negara hukum Rechtsstaat, batasan kewenangan hakim beserta dengan status hukum yang disematkan pada jabatan hakim dengan jelas ditentukan oleh hukum tertulis dan 12 13
Ibid. Ibid.
5
tidak sebebas konsep judge made law di negara hukum dalam konsep Rule of Law. Selain itu, Jerman yang terbentuk jauh sebelum Indonesia tentu punya pengalaman lebih dalam konteks menjalankan konsep Rechtsstaat yang menjadikannya mungkin memiliki hal-hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan kemandirian kekuasaan kehakiman. Selain itu, sistem hukum civil law (hukum sipil) yang dianut baik oleh Indonesia dan Jerman memungkinkan struktur lembaga-lembaga negara di Indonesia memiliki kesamaan dengan struktur lembaga-lembaga negara di Jerman terutama dalam struktur di dalam pengadilan (yudikatif). Di Indonesia, terdapat kekuasaan kehakiman mulai dari yang terendah yang terletak pada daerah-daerah (pengadilan negeri pada kabupaten/kota dan pengadilan tinggi pada provinsi) hingga pengadilan ke tingkat tertinggi yakni MA (Mahkamah Agung) dan MK (Mahkamah Konstitusi), serta badan peradilan lainnya yakni KY (Komisi Yudisial). Sedangkan di Jerman, terdapat kekuasaan kehakiman tertinggi yakni Mahkamah
Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht) beserta
dengan kekuasaan
kehakiman yang ada di daerah-daerah atau negara bagian (Lander of the Ministry of Justice). Pada Negara Indonesia dan Jerman memiliki tiga karakteristik yang tentu saja merupakan karateristik civil law itu sendiri pula. Karateristik yang pertama adalah adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada presiden sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang terutama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial. Inkuisitorial maksudnya, bahwa dalam sistem itu, hakim mempunyai peranan besar dalam mengarahkan dan memutuskan perkara. Hakim aktif dalam
6
menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti.14 Hakim dalam civil law berusaha mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapinya sejak awal. Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem hukum civil law berupa peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi.15 Negara penganut civil law juga menempatkan konsitusi tertulis pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan perundangan dan diikuti UU dan peraturan lain di bawahnya – Indonesia dengan UUD NRI Tahun 1945 dan Jerman dengan das Grundgesetz für die Bundesrepublik Deutschland – . Kekuasaan kehakiman di suatu negara apapun di dunia perlu mewujudkan terciptanya kondisi dimana kekuasaan kehakiman tersebut berdiri bebas dan merdeka agar dalam hal melaksanakan semua tugas dan kewenangan yang telah ditentukan, suatu kekuasaan kehakiman tersebut terbebas dari campur tangan pihak lain yang tentu saja dapat mempengaruhi hakim dalam melakukan putusan atas suatu perkara hukum. Untuk mewujudkan kondisi kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka tentu tidak mudah. Ada berbagai faktor yang menjadi acuan tercipta atau tidaknya kekuasaan kehakiman yang merdeka di suatu negara.16 Dalam penelitian hukum ini, status hukum jabatan hakim diangkat menjadi salah satu poin penting untuk mewujudkan suatu kemandirian kekuasaan kehakiman pada suatu negara. Status hukum jabatan hakim mempengaruhi banyak hal mengenai kekuasan kehakiman pada suatu negara. Status hukum jabatan 14
15 16
Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum (Civil law, Common Law, Hukum Islam), Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 24-28. Ibid. Dominggus Silaban, “Sejarah Status Kekuasaan Kehakiman di Indonesia”, http://dominggussilaban.blogspot.co.id/2014/11/sejarah-status-kekuasaan-kehakiman/, diakses 15 Juli 2016.
7
hakim dapat mempengaruhi bagaimana mekanisme rekrutmen calon hakim, mengenai sistematika penggajian dan juga mempengaruhi bagaimana negara memperlakukan hakim sesuai dengan status hukum yang disematkan pada jabatan hakim itu sendiri. Sebab, berawal dari ketentuan yang jelas maka implementasi serta perlakuan-perlakuan yang jelas sesuai dengan hukum dan ketentuan dapat dilaksanakan di lapangan. Berangkat dari hal ini pulalah suatu kekuasaan kehakiman yang berdiri bebas, mandiri dan merdeka dapat terwujud dimana lewat adanya suatu ketentuan terhadap jabatan hakim yang jelas maka terciptalah kebijakan dan perlakuan terhadap kekuasaan kehakiman yang berdasarkan hukum dan ketentuan yang jelas serta tindak laku kekuasaan kehakiman dalam melakukan tugas, kewajiban, kewenangan atau bahkan pemenuhan hak yang dapat dipenuhi dan sesuai dengan dasar hukum ataupun ketentuan yang berlaku.17 Jabatan hakim memegang peranan penting sebagai perwujudan kekuasaan yudisial yang mandiri dan bebas dari intervensi ketika menghasilkan ataupun membuat putusan. Dari sinilah dapat diketahui ada atau tidak mandirinya kekuasaan kehakiman di suatu negara. Jabatan hakim adalah pelaku sentral dalam mewujudkan cita negara hukum, maka dari itu, negara perlu memberikan apa yang menjadi haknya yakni penghormatan secara hukum, politik, sosial dan ekonomi.18 Pemilihan negara Jerman sebagai obyek studi perbandingan dalam penulisan hukum ini tidak lepas dari berhasilnya Jerman dalam mewujudkan
17 18
Ibid. Takdir Rahmadi, Disampaikan pada Seminar: “Kedudukan Hakim Sebagai Pejabat Negara” Diselenggarakan Oleh Balitbangdiklatkumdil Mahkamah Agung RI) pada tanggal 26 November 2015.
8
kemandirian kekuasaan kehakiman, bagaimana Jerman begitu memperhatikan dan menekankan pada status hukum yang jelas yang tentu saja banyak mempengaruhi kualitas kekuasaan kehakiman dan kemandirian kehakiman di Jerman dalam melakukan berbagai aktivitas dan kebijakan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Jerman dalam konstitusinya memiliki ketentuan yang jelas dan kompleks mengenai status hukum yang disematkan pada jabatan hakim. Sedangkan pada konstitusi maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak diatur secara lanjut, lengkap dan kompleks mengenai status hukum jabatan hakim sebagaimana yang ada di Jerman. Imbas daripada kekosongan aturan mengenai status hukum hakim di Indonesia ini mempengaruhi mekanisme rekrutmen hakim di Indonesia serta perlakuan-perlakukan terhadap hakim yang tidak sesuai dengan status hakim sebagai pejabat negara di Indonesia, mulai dari penggajian, sistematika golongan dan kenaikan pangkat yang tidak sesuai dengan status pejabat negara yang disematkan pada jabatan hakim. Dengan tidak adanya suatu ketentuan yang lebih lanjut, jelas dan kompleks mengenai status hukum jabatan hakim di Indonesia maka penulis mengambil suatu studi perbandingan dengan kekuasaan kehakiman di negara Jerman yang akan dibandingkan dengan kekuasan kehakiman di Indonesia perihal status hukum jabatan hakim. Lewat pemahaman mengenai segala seluk beluk status hukum jabatan hakim yang ada di Jerman, penulis mengambil sebuah contoh dan pedoman yang mungkin dapat diimplikasikan pada kekuasaan kehakiman di Indonesia baik itu secara teori maupun teknisnya secara keseluruhan terutama mengenai status hukum jabatan hakim serta implementasi hukum dan perlakukan-
9
perlakuan yang dilaksanakan di lapangan yang sesuai dengan status hukum yang disematkan pada jabatan hakim. Maka disinilah sisi positif daripada komparasi atau perbandingan dalam materi kuliah Perbandingan Hukum Tata Negara yang mana dapat diambil keuntungan dengan cara membandingkan dua entitas atau lebih dari contohcontoh dari negara lain untuk dipelajari dan menjadi masukan yang sangat penting bagi keberlangsungan konstitusi di Indonesia pula. Hal inilah mendasari minat penulis untuk membandingkan pengaturan mengenai hal status hakim tersebut di Indonesia dengan di Jerman dalam bingkai kemandirian kekuasaan kehakiman. Hal inilah jugalah yang mendasari minat penulis untuk membandingkan pengaturan mengenai status hukum hakim tersebut di Indonesia dengan di Jerman dalam perwujudan kemandirian kekuasaan kehakiman. B.
Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah perbandingan mengenai status hukum jabatan hakim pada kekuasaan kehakiman negara Indonesia dan Jerman ?
C.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh Penulis dalam melakukan penelitian
ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian yakni tujuan objektif dan tujuan subjektif. 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui dan memahami secara lebih mendalam mengenai mengenai status hukum jabatan hakim pada kekuasaan kehakiman negara Indonesia dan status hukum jabatan hakim pada kekuasaan kehakiman
10
negara Jerman, serta studi perbandingan antara kedua status hukum jabatan hakim pada kekuasaan kehakiman negara tersebut. 2. Tujuan Subjektif Sebagai salah satu persyaratan akademis untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D.
Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan Penulis di perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada serta melalui internet, tidak ditemukan penelitian lain yang serupa dengan penelitian ini yaitu mengenai perbandingan mengenai status hukum jabatan hakim pada kekuasaan kehakiman negara Indonesia dan Jerman. Namun demikian, ada penelitian hukum lain yang memiliki kajian yang berkaitan dengan objek penelitian hukum ini, yaitu: 1. Karya Bonar C. Pasaribu dengan judul “Penerapan Prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc dalam Kerangka Negara Hukum Indonesia”, yang berasal dari skripsi Fakultas Hukum UGM tahun 2011. Perumusan masalah dalam tulisan tersebut yaitu: Bagaimana penerapan prinsip independensi kekuasaan kehakiman pada Pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc dalam kerangka negara hukum Indonesia?19 Terdapat beberapa perbedaan yang fundamental antara penelitian ini dengan penelitian di atas. Pada fokus penelitian di atas menekankan pada prinsip independensi yang terapkan pada lembaga yudikatif di Indonesia yakni 19
Bonar C. Pasaribu, 2011, Penerapan Prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc dalam Kerangka Negara Hukum Indonesia, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 15.
11
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc, sedangkan dalam penelitian ini memfokuskan independensi kekuasaan kehakiman dalam kajian yang lebih luas yakni antar negara Jerman dan Indonesia serta studi perbandingan yang dilakukan terhadap keduanya. 2. Karya Abraham Adi Atmawinugraha dengan judul “Mekanisme Pemilihan Calon Hakim Konstitusi oleh Mahkamah Agung”, yang berasal dari skripsi Fakultas Hukum UGM tahun 2014. Perumusan masalah dalam tulisan tersebut yaitu: Bagaimana pelaksanaan pemilihan calon Hakim Konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung?20 Perbedaan dengan penelitian hukum ini adalah kajian yang dilakukan lebih kompleks dan lebih universal serta melakukan perbandingan dengan negara lain dalam hal tata pelaksanaannya yakni salah satunya mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim di negara Jerman dan Indonesia.
E.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan dalam dunia
ilmu pengetahuan terutama dalam hal kaitannya dengan fokus hukum tata negara yang membahas mengenai Perbandingan Hukum Tata Negara. Lewat aktivitas perbandingan 2 (dua) entitas hukum ini maka diharapkan mampu memberikan masukan untuk dijadikan acuan dan pedoman untuk negara Indonesia terutama bagi seorang profesi hakim dan bagaimana kejelasan ketentuan mengenai status hukum jabatan hakim yang sesuai dengan implementasi di lapangan. Nilai-nilai 20
Abraham Adi Atmawinugraha, 2014, Mekanisme Pemilihan Calon Hakim Konstitusi oleh Mahkamah Agung, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 10.
12
yang dipandang baik dan mampu membentuk sistem pengadilan di Indonesia yang lebih transparan, terstruktur dan independen terutama dalam hal mengenai status hukum jabatan hakim pada kekuasaan kehakiman di Indonesia.