BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Banyak program pembangunan ekonomi yang berlangsung saat ini difokuskan
pada
pengembangan
industrialisasi.
Salah
satu
di
antara
pengembangan bidang industrialisasi tersebut adalah pengembangan industri pertanian yang difokuskan pada komoditas kelapa sawit.Tanaman kelapa sawit merupakan komoditi perkebunan yang paling banyak dikembangkan di Indonesia. Berdasarkan data Kementrian Pertanian tahun 2014, tingkat perkembangan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat. Jika pada tahun 1980 luas areal kelapa sawit Indonesia sebesar 294,56 ribu hektar, maka pada tahun 2013 luas areal kelapa sawit Indonesia telah mencapai 10,01 juta hektar. Ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan rata-rata areal kelapa sawit Indonesia selama periode tersebut adalah sebesar 11,51% per tahun. Perkembangan tersebut tidak hanya mengantarkan Indonesia sebagai pemilik perkebunan kelapa sawit terluas di dunia, namun juga mengantarkan Indonesia sebagai produsen minyak sawit nomor satu di dunia. Pesatnya perkembangan kelapa sawit di Indonesia disebabkan oleh posisi kelapa sawit yang mempunyai multipliereffectyang sangat luas bagi perekonomian di negeri ini.
Terhadap devisa negara misalnya. Berdasarkan data dari
KementerianPertanian
dalam
Warta
Ekspor
Kementrian
Perdagangan
(2011),perolehandevisaIndonesia dari minyak sawitsejak tahun 2003-2007 menunjukkan
peningkatan.
bernilai1,06miliar
Tahun2003
nilai
dolarAS,naikjadi1,44miliardolar
ekspor
CPOIndonesia
AStahun2004,naik
lagijadi1,59miliar dolar AStahun2005,tahun2006naiklagijadi1,99miliardolar AS dan tahun2007mencapai3,74miliardolarAS. Di samping itu pengembangan kelapa sawit juga terbukti mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, menambah lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan serta mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah di sentra-sentra pengembangan kelapa sawit. Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bahwa kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan terpenting dalam pembangunan negara saat ini. Prospek 2baik yang ditunjukkan kelapa sawit membuat pihak pemerintah, swasta maupun masyarakat sama-sama menjadikan kelapa sawit sebagai “tiket” menuju kedaulatan ekonomi. Provinsi Riau misalnya. Di “Negeri Lancang Kuning” ini kelapa sawit merupakan primadona yang banyak diusahakan oleh masyarakat maupun badan usaha. Bahkan, daerah ini memiliki luas areal perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia, yakni seluas 2,3 juta hektar atau 20,96 % dari total luas perkebunan kelapa sawit nasional. Produksi perkebunan kelapa sawit Riau juga memberikan kontribusi terbesar terhadap produksi kelapa sawit nasional pada tahun 2013, yakni memberikan kontribusi sebesar 6,63 juta ton atau menyumbang 26,31% dari total produksi kelapa sawit nasional (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2014). Berbicara tentang pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit Riau, maka pembicaraan selanjutnya erat kaitannya dengan pemanfaatan lahan gambut. Karena pesatnya pengembangan kelapa sawit dan produksi kelapa sawit hanya dapat dicapai dengan meningkatkan produktivitas atau memperluas lahan perkebunan kelapa sawit. Namun, untuk di masa sekarang ini memanfaatkan
lahan mineral atau lahan ekonomis untuk pengembangan kelapa sawit dirasa sangat sulit. Ini dikarenakan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang dibarengi dengan semakin meningkatnya permintaan akan lahan. Untuk menyiasati hal tersebut, salah satu upaya yang menonjol dan banyak dipilih oleh pemerintah, masyarakat maupun swasta agar tetap dapat memperluas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau ini adalah dengan memanfaatkan lahan-lahan marginal seperti lahan gambut. Pilihan memanfaatkan lahan gambut untuk mengembangbiakkan kelapa sawit semakin penting bagi Provinsi Riau, mengingat kawasannya memang didominasi oleh lahan gambut. Data Dinas Perkebunan Provinsi Riau tahun 2009 menyebutkan bahwa dari 20,6 juta hektar total luas lahan gambut Indonesia, sekitar 4,1 juta hektar (45% daratan Riau) lahan gambut berada di Provinsi Riau. Selanjutnya
juga
disebutkan
bahwa
pemanfaatan
lahan
gambut
untuk
pengembangan perkebunan kelapa sawit Riau telah mencapai 817.593 hektar dari total luas perkebunan kelapa sawit Riau yang mencapai 2,3 juta hektar. Pemanfaatan lahan gambut untuk beberapa tahun belakangan ini memang sering diartikan sebagai kegiatan merusak lingkungan. Ini terkait dengan maraknya aktivitas pembakaran lahan di kawasan gambut. Akan tetapi, untuk di zaman sekarang ini, seiring dengan semakin kompleksnya kepentingan dan kebutuhan manusia terhadap lahan, membuat posisi gambut dapat saja diartikan menjadi banyak pengertian tergantung dari sudut mana orang memandangnya. Seorang petani sawit, pengusaha, pakar lingkungan, pemerintah dan bahkan seorang sosiolog memiliki pandangan yang berbeda dalam mengartikan lahan gambut.
Seorang pengusaha dapat saja mengartikan gambut sebagai sumber komoditas hasil hutan (kayu maupun nonkayu), media tanam yang dapat diekspor, sumber energi, atau lahan pengembangan bagi komoditas perkebunan yang lebih luas. Pakar lingkungan dapat saja mengartikan gambut sebagai pengatur air/hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman hayati, serta penyerap dan penyimpan karbon yang mampu meredam perubahan iklim global. Seorang petani dapat saja mengartikan lahan gambut sebagai prasarana untuk budi daya. Pemerintah dapat saja memandangnya sebagai potensi sumber daya alam yang dapat dikelola untuk kesejahteraan rakyatnya. Sementara seorang sosiolog dapat saja mengartikan lahan gambut sebagai lingkungan sosial di mana komunitas hidup dan mencari penghidupan (Najiyati, S., dkk, 2005) Gambut, memang sepotong kata yang boleh jadi tidak dimengerti maknanya oleh kebanyakan orang tetapi menjadi banyak arti bagi yang lainnya. Dengan predikat semacam ini, gambut terpaksa harus menampung banyak kepentingan dan harapan. Salah satunya yaitu kepentingan petani untuk membudayakan kelapa sawit di lahan gambut, dan harapan petani untuk hidup sejahtera dengan bertani kelapa sawit di lahan gambut. Seperti halnya yang terjadi di Desa Rokan Baru Kecamatan Pekaitan Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Hampir seluruh masyarakat di desa ini yang menggantungkan hidupnya dengan membudidayakan kelapa sawit di lahan gambut. Uniknya, dalam mengembangkan komoditas kelapa sawit tersebut, petani-petani sawit di desa ini ada yang tidak hanya bergantung pada hasil produksi kebun kelapa sawit milik mereka sendiri, melainkan mereka juga
bergantung pada hasil produksi kebun kelapa sawit milik petani lainnya dengan menjadi buruh tani. Fenomena petani yang menjadi buruh tani ini muncul karena adanya ketimpangan penguasaan lahan kelapa sawit di antara petani, sehingga petani yang memiliki lahan kelapa sawit sempit terpaksa menjadi buruh tani bagi petani kelapa sawit yang lahannya lebih luas. Sehingga, gambaran ini menunjukkan bahwa kelapa sawit tidak hanya menjadi sumber mata pencaharian masyarakat petani Desa Rokan Baru, tetapi juga menjadi basis terbentuknya pelapisan dalam hubungan-hubungan
sosial
(struktur
sosial)
yang
berlandaskan
pada
kepemilikan/penguasaan terhadap sumber daya agraria (lahan kelapa sawit). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sanderson dalam Wisadirana (2005), masyarakat agraris adalah masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada pertanian, baik sebagai pemilik lahan maupun bukan pemilik lahan. Sumber daya agrarian atau lahan digunakan secara berkesinambungan. Oleh karena itu, gambaran struktur masyarakat agraris yang merujuk pada peta hubungan sosial di kalangan anggota masyarakat agraris akan bertumpu pada posisi para petani dalam penguasaan sumber daya agraria, baik dalam penguasaan tetap maupun penguasaan sementara. Singkatnya, Berlandaskan pada pemikiran Sanderson di atas, adapun struktur masyarakat agraris di Desa Rokan Baru berdasarkan hasil observasi sementara peneliti di lapangan adalah adanya pelapisan-pelapisan sosial dalam masyarakat desa yang terdiri dari lapisan atas (petani pemilik), dan lapisan bawah (petani pemilik sekaligus buruh tani).Adapun yang dimaksud dengan masyarakat lapisan atas (petani pemilik) di desa ini adalah para petani yang menguasai
sumber daya agraria hanya melalui pola pemilikan tetap (baik petani pemilik yang lahan kelapa sawitnya diusahakan sendiri dan atau petani pemilik yang lahan kelapa sawitnya diusahakan oleh orang lain). Sedangkan petani lapisan bawah (pemilik sekaligus buruh tani) adalah para petani yang menguasai sumber daya agraria melalui pola pemilikan tetap dan untuk menambah penghasilan keluarganya, mereka juga menjalankan peranan sebagai seorang buruh tani bagi petani lainnya (Fadjar., dkk, 2008:209-233). Petani pemilik yang sekaligus menjadi buruh tani ini biasanya ditugaskan oleh petani pemilik yang berasal dari luar desa atau dari luar kota yang ada di Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Utara. Jauhnya jarak antara tempat tinggal dengan kebun kelapa sawit, membuat petani dari luar desa/kota sangat membutuhkan buruh tani yang berasal dari dalam desa untuk mengurusi proses produksi kebun kelapa sawit miliknya. Tugas buruh tani ini adalah memanen, memupuk, membersihkan, menjaga kebun dari pencurian buah sawit, hingga menjaga kebun kelapa sawit petani pemilik dari kebakaran lahan. Menjaga kebun kelapa sawit pemilik dari kebakaran merupakan tugas penting bagi buruh tani, mengingat lahan gambut sangat rentan dan mudah terbakar. Untuk menjalankan tugas-tugas tersebut, biasanya petani sawit dari luar desa/kota menugaskan buruh tani yang masih memiliki ikatan kekerabatan, pertemanan atau persaudaraan dengannya. Sehingga dalam perekrutan buruh, hubungan sosial ekonomi yang dibangun di antara keduanya lebih bersifat non formal, yang mana hubungan yang dibangun lebih fleksibel dibandingkan dengan hubungan yang bersifat formal. Ini dikarenakan dalam perekrutan lebih mengedepankan aspek kekerabatan atas kesepakatan dua pihak yang saling
membutuhkan, yang mana satu pihak mempunyai kedudukan lebih superior dan pihak yang lain mempunyai kedudukan inferior, dan dalam proses mencapai kesepakatan tidak ada perjanjian tertulis hitam di atas putih, melainkan adanya saling kepercayaan dan kesepakatan dua pihak yang saling membutuhkan. Hubungan yang diterapkan oleh petani sawit lahan gambut dengan buruh tani di Desa Rokan Baru ini lazim disebut dengan hubungan Patron-klien. Di mana yang bertindak sebagai patron adalah petani sawit lahan gambut yang berasal dari luar Desa Rokan Baru, dan yang berperan sebagai klien adalah buruh tani yang berasal dari dalam Desa Rokan Baru. Hubungan patron-klien adalah suatu kasus khusus dalam ikatan diadik (dua orang) yang menyangkut suatu persahabatan, di mana individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumbersumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan dan/atau keuntungan bagi klien yang sebaliknya membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk pelayanan pribadi kepada bapak (patron tadi)(James Scott, 1994). Penelitian mengenai hubungan patron-klien sebenarnya telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, dengan berbagai perbedaan hasil mengenai basis terbentuknya hubungan patron klien, norma, dan nilai, hingga kontinuitas hubungan antara patron dengan klien. Namun, untuk hubungan patron klien di antara petani kelapa sawit gambut dengan buruh tani masih sangat jarang dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas (2013 : 01-13), yang mengkaji hubungan antara majikan dengan buruh dalam industri makanan di Desa Sukoharjo. Keterbatasan pekerjaan alternatif, rendahnya mobilitas
masyarakat desa, dan adanya politik balas budi yang berkembang dalam industri ini, merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi berlangsungnya pola hubungan patron-klien dalam industri makanan tersebut. Dalam penelitian tersebut, Pamungkas juga melihat bahwa Hubungan pertukaran yang terjalin dalam bentuk pemberian upah yang diterima oleh masing-masing tenaga kerja pada tiap-tiap industri makanan sangatlah berbeda, dan bentuk jasa patron kolektif yang diterapkan oleh pemilik industri rumah tangga ini juga sangatlah berbeda. Adanya perbedaan tersebut dikarenakan adanya perbedaan kapasitas ataupun kemampuan produksi pada masing-masing industri makanan ini. Selanjutnya, Pamungkas juga melihat Adanya bentuk jaminan penghidupan kebutuhan subsistensi dasar terutama dengan adanya jaminan akan pekerjaan tetap dan adanya jaminan pemberian upah, jaminan atas krisis subsistensi, perlindungan yang diberikan oleh patron kepada klien ini dapat mengakibatkan hubungan patron-klien antara majikan dengan buruh ini dapat berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Penelitian mengenai hubungan patron klien lainnya juga dilakukan oleh Rustinsyah (2012: 92-209) yang berfokus pada hubungan antara pemelihara ternak dengan pemilik ternak, peternak kaya dengan buruh tetap, dan peternak dengan koperasi di Desa Telogosari Jawa Timur. Pola patron-klien antara pemelihara ternak dan pemilik ternak terjadi karena adanya ketimpangan ekonomi. Pemelihara ternak berusaha merawat ternak dengan baik agar memberikan keuntungan upah dengan sistem bagi hasil dan pinjaman uang dari pemilik ternak. Hubungan antara pemelihara ternak dan pemilik ternak umumnya
kuat dan tahan lama karena mereka saling membutuhkan untuk menjaga klien mereka. Untuk hubungan patron-klien antara peternak kaya dengan buruh tetap, Rustinsyah melihat bahwa hubungan di antara dua aktor tersebut tercipta karena adanya ketimpangan sosial ekonomi (kepemilikan modal, dan penyediaan lapangan pekerjaan) di antara keduanya. Meskipun hubungan antara peternak kaya dengan buruh tetap didasarkan pada hubungan yang saling membutuhkan, adakalanya hubungan di antara keduanya tidak bertahan lama karena buruh tetap bisa mandiri atau mampu memelihara ternak sendiri, baik milik orang lain maupun miliknya sendiri. sedangkan hubungan patron klien antara peternak dengan koperasi susu timbul karena adanya hubungan saling membutuhkan di antara keduanya yang disebabkan oleh kegiatan monopoli dalam pembelian susu. Hubungan antara peternak dengan koperasi susu berlangsung stabil dan cukup lama karena kuatnya kebutuhan antar aktor dalam kegiatan monopoli pembelian susu tersebut. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Kusumastanto., dkk (2014: 116135) melihat bahwa transformasi sosial ekonomi yang terjadi pada masyarakat nelayan Ujung Kulon membawa perubahan signifikan pada pranata ekonomi, di mana terjadi transformasi patronase dari berbasis moralitas menjadi berbasis norma ekonomi pasar. Pada pranata patronase berbasis moralitas, segala aktivitas ekonomi pertukaran dan transaksi ekonomi serta dasar pengambilan keputusan seluruh pelaku-pelaku ekonomi sepenuhnya didasarkan nilai-nilai moralitas ekonomi, sementara patronaseberbasis ekonomi pasar didasarkan pada normanorma ekonomi pasar. Kondisi ini berlangsung karena seluruh pelaku ekonomi
perikananyangterdiridarinelayan,juragan(pengusahaperikanan), pedagangdan lainlain tidak dapat menghindar dari tekanan norma ekonomi pasar. Pranata patronase tetap merupakan suatu alternatif pranata ekonomi nelayan yang dibangun untuk tetap bertahan dengan situasi krisis dan ketidakpastian serta mata pencaharian yang bersifat fluktuatif. Dengan kata lain pranata ekonomi patronase merupakan salah satu pranata ekonomi penopang sosial ekonomi nelayan, walaupun pasar menyediakan pilihan-pilihan ekonomi yang lain. Selanjutnya dalam penelitian tersebut, Kusumastanto., dkk, juga melihat keterjaminan ekonomi nelayan pada pranata patronase moralitas di masa lalu lebih memberikan jaminan keamanan ekonomi nelayan pada situasi krisis, karena patron memberikan jaminan atas penghidupan klien relatif lebih luas. Sebaliknya, pranata patronase berbasis norma ekonomi pasar kurang memberikan jaminan ekonomi pada masa krisis kepada nelayan. Pada situasi di mana pranata patronase tidak bisa sepenuhnya berfungsi sebagai institusi jaminan ekonomi nelayan, yang dilakukan nelayan untuk tetap bertahan pada situasi ekonomi yang kurang terjamin antara lainmengandalkan relasi ekonomi alternatifyang disediakan pasar di luar patronase.
Dari beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai hubungan patron klien di atas dapat terlihat bahwa konsep hubungan patron-klien terus berkembang, baik itu dilihat dari basis terbentuknya ikatan antara patron dengan klien, dimensi terjalinnya ikatan tersebut, hubungan pertukaran, nilai dan norma yang mengatur, bahkan kontinuitas hubungan antara patron dengan klien. Hal ini disebabkan karena kecenderungan hubungan patron klien ini dapat ditemukan secara meluas pada berbagai kehidupan masyarakat (baik itu pada kehidupan masyarakat pesisir,
industri, pertanian, bahkan pada kehidupan politik), yang secara substansial antara kehidupan masyarakat yang satu dengan kehidupan masyarakat lainnya memiliki perbedaan kebudayaan, nilai dan norma yang diakui, serta perubahan sosial, politik dan ekonomi yang terjadi di dalamnya. Terkait dengan hal itu, pola hubungan patron klien juga terjadi dalam aktivitas produksi perkebunan kelapa sawit di lahan gambut, di mana yang terlibat dalam hubungan ini adalah petani kelapa sawit yang berasal dari luar Desa Rokan Baru dengan buruh tani yang berasal dari dalam desa. Singkatnya, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola hubungan patron-klien dalam aktivitas produksi perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dan untuk mengetahui implikasi dari hubungan patron klien tersebut dan cara mengelolanya yang berpengaruh terhadap kontinuitas hubungan antara petani sawit lahan gambut dengan buruh tani.Ketertarikan peneliti muncul karena hubungan
patron-klien
ini mempengaruhi
perkembangan dan kemajuan
perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Sebab, dengan adanya hubungan yang baik akan mempengaruhi proses pelaksanaan produksi hasil perkebunan kelapa sawit. Tanpa adanya hubungan yang baik, maka proses produksi tersebut tidak akan berjalan dan berkembang. Selain itu, hubungan patron klien yang terjadi di Desa Rokan Baru juga terbentuk karena adanya hubungan saling membutuhkan yang sangat kuat antara si patron dengan si klien. Si patron sangat membutuhkan klien untuk mengurus semua aktivitas produksi perkebunan sawit gambutnya dan si klien sangat membutuhkan patron untuk mendapatkan jaminan dan perlindungan atas kebutuhan subsistensinya.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pola hubungan patron klien antara petani sawit lahan gambut dengan buruh tani di Desa Rokan Baru Kecamatan Pekaitan? 2. Bagaimana implikasi hubungan tersebut dan cara mengelolanya yang berpengaruh terhadap kontinuitas hubungan antara petani sawit lahan gambut dengan buruh tani?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menginterpretasikan pola hubungan patron klien antara petani sawit lahan gambut dengan buruh tani di Desa Rokan Baru Kecamatan Pekaitan. 2. Untuk mengetahui dan menginterpretasikan implikasi dari hubungan tersebut dan cara mengelolanya yang berpengaruh terhadap keberlanjutan hubungan antara petani sawit lahan gambut dengan buruh tani.
1.4. Manfaat Penelitian Setiap penelitian mampu memberikan manfaat, baik untuk diri sendiri, orang lain maupun ilmu pengetahuan. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1.4.1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa khususnya bagi mahasiswa Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara serta dapat memberikan sumbangan pengetahuan terkait dengan hubungan patron-klien antara petani sawit lahan gambut dengan buruh tani dalam produksi pertanian di Desa Rokan Baru Kecamatan Pekaitan. 1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian
ini
diharapkan
bermanfaat
bagi
penulis
agar
dapat
meningkatkan kemampuan akademis, terutama dalam hal pembuatan karya alamiah tentang hubungan patron-klien antara petani sawit lahan gambut dengan buruh tani dalam produksi pertanian di Desa Rokan Baru Kecamatan Pekaitan. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk pemerintah pusat maupun daerah sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat petani sawit lahan gambut.
1.5. Definisi Konsep Agar penelitian tetap pada fokus kajian dan supaya tidak menimbulkan penafsiran ganda di kemudian hari maka dibuat definisi konsep antara lain: a. Perkebunan Kelapa Sawit Adalah lahan yang ditanami kelapa sawit dan dengan penggunaan lahan terkait seperti prasarana, jalan, wilayah tepian tebing dan pencadangan konservasi.
b. Lahan Gambut Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang, konsep lahan gambut memiliki
banyak
pengertian.
Gillbert
(dalam
Suwondo,
2012)
mendefinisikan lahan gambut sebagai salah satu tipe ekosistem yang terbentuk pada kondisi anaerob (drainase buruk) di rawa pasang surut atau lebak dan mengandung bahan organik (> 50%) dari hasil akumulasi sisa tanaman. Sementara itu, Najiyati, S., dkk (2005) mendefinisikan lahan gambut sebagai ekosistem yang multifungsi, di mana sumber daya alam ini tidak hanya sekedar berfungsi sebagai pengatur hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman hayati, tempat budidaya, dan sumber energi; tetapi juga memiliki peran yang lebih besar lagi dalam perubahan iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia.Dalam penelitian ini, lahan gambut didefinisikan sebagai lingkungan sosial di mana komunitas hidup dan mencari penghidupan dengan membudidayakan kelapa sawit di rawa pasang surut atau lebak dan mengandung bahan organik. c. Pola Pola adalah standardisasi, penggolongan, organisasi atau arah dari perilaku (Soekanto, 1985 : 361). Pola dalam penelitian ini diarahkan pada tindakan (action) yang berulang-ulang dan telah tertata yang dalam kesehariannya dilakukan oleh petani sawit lahan gambut dan buruh tani.
d. Hubungan patron klien Hubungan patron klien yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hubungan yang bersifat vertikal antara petani lahan gambut dengan buruh tani. Di mana seorang individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (petani lahan gambut/pemilik lahan) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber
yang
dimilikinya
(modal,
pemasaran,
jaminan
pekerjaan/upah dan jasa lainnya) kepada buruh tani yang sebaliknya membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum (jasa atau tenaga kerja). e. Pola hubungan patron klien Pola hubungan patron klien adalah hubungan sosial ekonomi yang melibatkan dua aktor, di mana satu aktor memiliki peran yang lebih tinggi dibandingkan aktor yang lain. Aktor yang lebih tinggi (patron) ini kemudian memberikan bantuan yang diperlukan kepada aktor yang lebih rendah (klien), sehingga secara norma aktor yang lebih rendah tersebut merasa harus membalas kebaikan aktor yang kedudukannya lebih tinggi tersebut. f. Petani pemilik. Petani Pemilik adalah para petani pada lapisan ini menguasai sumber daya agararia hanya melalui pola pemilikan tetap ( baik petani pemilik yang lahannya diusahakan sendiri dan atau petani pemilik yang lahannya diusahakan oleh orang lain).
g. Petani Pemilik Sekaligus Buruh Tani Adalah para petani yang menguasai sumber daya agraria melalui pola pemilikan tetap. Selain itu untuk menambah penghasilan keluarganya, mereka juga menjalankan peranan sebagai seorang buruh tani.