BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bantaeng merupakan satu dari dua puluh empat kabupaten kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan data penduduk terkini Sulawesi Selatan berjumlah 8.034.776 jiwa1. Kabupaten Bantaeng berpenduduk lebih kurang 181.006 jiwa2, Bantaeng bersama dengan Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Maros, dan Kepulauan Selayar mayoritasnya dihuni etnis Makassar. Sedangkan, Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng-Rappang, Pinrang, Polewali-Mamasa, Enrekang, Luwu, Pare-pare, Kepulauan Pangkajene dan Maros dihuni oleh mayoritas etnis Bugis. Kabupaten Bantaeng saat ini dipimpin seorang ahli pertanian lulusan Kyushu University Tokyo Jepang, seorang guru besar dari Universitas Hasanuddin bernama H. M Nurdin Abdullah. Sejak periode pertama terpilih 20082013 sebagai Bupati hingga di masa periode keduanya, Nurdin Abdullah telah mempraktekkan sebuah model demokrasi baru, setidaknya di daerahnya di Bantaeng, yakni “demokrasi coffee break”. Sebuah model demokrasi yang coba keluar dari praktek-praktek yang terkesan kaku antara seorang politisi dan masyarakat (para pemilih). Apa yang dipraktekkannya melalui sebuah acara coffee break adalah sebuah upaya dari seorang Bupati yang mencoba mencari tahu kondisi kekinian masyarakatnya.
1 2
http://sp2010.bps.go.id/ Diakses pada tanggal 1- Juni- 2015, 22:43 WIB http://bantaengkab.bps.go.id/ Diakses pada tanggal 1- Juni- 2015, 22:43 WIB
1
Coffee break adalah sebuah acara yang dibuat oleh Bupati untuk memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat Bantaeng dari kalangan manapun untuk menyampaikan keluhkesah yang dirasakannya terhadap kabupaten Bantaeng. Tidak hanya sebatas itu yang dibicarakan bahkan sampai ke masalah pribadi pun dibicarakan dalam acara coffee break. Coffee break ini dilakukan di rumah pribadi Bupati Bantaeng pada hari senin sampai dengan hari jum’at dan dilakukan sehabis shalat subuh sampai dengan pukul 10.00 WITA. Pada saat menjalankan acara tersebut, Bupati menerima tamu (masyarakat) dan melakukan interaksi face to face terhadap tamu yang datang. Acara ini terbukti sangat efektif untuk memotong jarak yang jauh antara rakyat dengan pemimpin, untuk memangkas mahal dan lamanya proses birokrasi. Acara tersebut sangat membantu masyarakat karena dapat bertemu langsung dengan bupati dan menyampikan segala keluh kesah yang dialami oleh masyarakat. Dengan suguhan teh hangat dan kue bolu, masyarakat pun tidak merasa canggung untuk menceritakan tentang apa yang mereka keluhkan. Dalam acara coffee break, masyarakat bebas untuk masuk ke rumah Bupati tanpa adanya protokoler, tanpa pemeriksaan yang ketat dan tanpa diawasi. Disini juga masyarakat tidak diharuskan untuk berpakaian rapih untuk bisa masuk ke rumah Bupati Bantaeng. Acara coffee break yang diadakan oleh Bupati Bantaeng bukanlah satusatunya yang terjadi di Indonesia. Ada beberapa Bupati sudah mempraktekkan hal tersebut namun dengan cara yang berbeda-beda. Seperti yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur dan Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. 2
Kabupaten Bojonegoro yang dipimpin oleh Drs. Suyoto M. Si juga membuat suatu acara yang memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk menyampaikan keluhannya. Acara tersebut dilakukan di pendopo Kabupaten Bojonegoro dan dilakukan setiap hari jum’at sehabis melaksanakan shalat jum’at. Pertama-tama setiap keluhan yang disampaikan oleh masyarakat akan ditanggapi oleh dinas yang terkait dan setelah itu Bupati akan menanggapi setiap permasalahan yang disampaikan oleh masyarakat. Sedangkan, yang terjadi di Kabupaten Soppeng yang dipimpin oleh Drs. H. Andi Soetomo M. Si mempunyai cara yang berbeda untuk dekat dengan masyarakatnya. Setiap paginya, sebelum berangkat ke kantor, Puang Tomo (nama yang sering digunakan untuk menyapa Bupati Soppeng) menyempatkan diri untuk mampir di warung kopi dan meminum kopi bersama masyarakat yang ada pada saat itu. Namun, hal yang terjadi hanya sebatas menyapa masyarakat tanpa adanya dialog yang dilakukan oleh Bupati. Hal yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Soppeng tersebut jelas berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Bantaeng. Karena, dalam acara coffee break Bupati Bantaeng yang menanyakan dan menanggapi secara langsung setiap permasalahan yang disampaikan oleh masyarakat tanpa adanya perwakilan dari Bupati. Acara coffee break ini sangat membantu untuk menghilangkan jarak anatara Bupati dan masyarakatnya. Hal ini bisa dilihat dengan antusias masyarakat yang selalu memenuhi rumah Bupati. Hal tersebut dilakukan semata-mata hanya untuk membantu masyarakat secara langsung dan membangun suatu kedekatan dengan masyarakat. Adanya upaya untuk membantu 3
masyarakat secara langsung membuat hal ini menarik apabila dilihat dari segi komunikasi. Setiap harinya di coffee break Bupati menjalani proses komunikasi dengan masyarakat meskipun mereka memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Latar belakang budaya yang berbeda disini diartikan dengan antara Bupati dan masyarakat mempunyai pola komunikasi yang berbeda. Komunikasi ini tidak dapat dibilang mudah karena perbedaan budaya mampu membuat proses komunikasi rawan dengan adanya kesalahpahaman dan mutual understanding lebih sukar untuk dicapai. Meski demikian komunikasi harus terjalin untuk dapat membantu perkembangan kabupaten Bantaeng. Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada variasi langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok sosial. Pelintasan komunikasi tersebut menggunakan kode-kode pesan, baik secara verbal maupun secara nonverbal. Komunikasi dan budaya memiliki peran masing-masing bagaimana menjajaki makna, pola-pola tindakan dan bagaimana makna dan serta pola-pola itu diartikulasikan dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi antarmanusia (Liliweri, 2003; 12). Ketika seseorang melakukan kegiatan berkomunikasi dengan orang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda ia tidak dapat secara drastis merubah
cara
berkomunikasi
mereka.
Ketidaksamaan
bahasa
dalam
berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman antara komunikan dan 4
komunikator yang pada akhirnya dapat berujung pada konflik (cultural differences often cause misscommunication and conflict). Komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam acara coffee break, memunculkan proses akomodasi komunikasi. Akomodasi komunikasi adalah ketika dua orang saling berbicara, dan mereka seringkali meniru pembicaraan dan perilaku satu sama lain. Seringkali, mereka akan berbicara kepada orang lain dengan bahasa yang sama dengan lawan bicaranya, bertindak-tanduk mirip, dan bahkan berbicara dengan kecepatan yang sama. Sebagai gantinya, ia juga akan merespons dengan cara yang sama kepada lawan bicaranya. Adaptasi adalah inti dari teori akomodasi komunikasi yang diperkenalkan oleh Howard Giles. Proses adaptasi dalam teori komunikasi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu konvergensi dan divergensi. Konvergensi adalah ketika kita melakukan komunikasi, maka kita akan beradaptasi terhadap kecepatan bicara, jeda, senyuman, tatapan mata, perilaku verbal dan nonverbal lainnya. Konvergensi juga didasarkan pada ketertarikan. Biasanya, ketika para komunikator saling tertarik, mereka akan melakukan konvergensi dalam percakapan. Berbeda dengan divergensi, orang akan lebih cenderung mempertahankan identitas sosial masing-masing. Contohnya, individu mungkin tidak ingin melakukan konvergensi dalam rangka mempertahankan warisan budaya mereka (West dan Turner, 2008:227). Studi akomodasi komunikasi pun menarik perhatian penulis untuk mengkaji realitas yang ditampilkan saat ini karena kebanyakan pejabat dari daerah
5
lainnya seperti memberikan batasan untuk bertemu dengan masyarakatnya. Namun, berbeda yang dilakukan oleh Bupati Bantaeng justru memiliki keinginan dekat dengan masyarakatnya walaupun memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dari latar belakang yang berbeda tersebut, penulis menganggap hal ini mempunyai kekhasan tersendiri pada proses komunikasi yang dilakukan di acara coffee break yang melibatkan komunikasi antarbudaya yang dialami oleh bupati dan masyarakatnya. Ada beberapa penelitian yang mengkaji teori akomodasi komunikasi. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Muh. Resa Yudianto. S yang membahas tentang Akomodasi Organisasi Pada Adaptasi Etnis Bugis-Makassar dan Etnis Tionghoa dalam Organisasi (Studi Akomodasi Organisasi Pada Adaptasi Karyawan Berbeda Etnis di PT.Tirta Mulia Abadi Makassar). Tujuan dari penelian yang dilakukan oleh Muh. Resa adalah ingin melihat proses adaptasi budaya antara karyawan berbeda etnis Bugis-Makassar dan etnis Tionghoa dalam organisasi dan akomodasi organisasi PT. Tirta Mulia Abadi Makassar terkait dengan perbedaan latar belakang budaya anggota dalam organisasi. Subyek dalam penelitiannya adalah karyawan dan pimpinan perusahaan PT. Tirta Mulia Abadi Makassar. Semua data yang dibutuhkan dikumpulkan dari hasil observasi, wawancara, serta dokumen. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa meskipun diluar organisasi prasangka negatif yang cenderung divergen masih tetap ada namun dalam perusahaan adaptasi budaya antara karyawan etnis Bugis-Maakassar dan Tionghoa menunjukkan pola yang cenderung konvergen yang membuat anggota dalam organisasi berprilaku adaptif. Hal ini juga ditunjang oleh
6
perusahaan yang ikut berperan dalam membentuk budaya adaptif perusahaan melalui akomodasi organisasi sebagai strategi komunikasi organisasi mereka melalui program-program mengenai jenjang karir, evaluasi kinerja, dan progran gathering, yang dirancang khusus oleh perusahaan maupun atas inisiatif karyawan untuk membina dan mempererat hubungan emosional para karyawan. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Yoana Wida Kristiawati yang membahas tentang Akomodasi dalam Proses Pembelaajaran Bahasa Inggris (Studi Akomodasi Komunikasi Siswa dalam Kelas Bahasa Inggris di Stiching Help For Jogja). Tujuan dari penelitian yang dilakukan Yoana adalah untuk melihat akomodasi komunikasi siswa-siswi worker class di Stiching Help For Jogja saat mereka sedang mengikuti kelas bahasa Inggris bersama pengajar asing. Akomodasi komunikasi dalam penelitian ini dilihat dari tiga elemen yang dilihat dari teori akomodasi komunikasi yakni penggunaan bahasa, paralanguage, dan perilaku nonverbal. Subyek dalam penelitiannya adalah siswa-siswi kelas worker class di Stiching Help For Jogja yang terdiri dari penjaga toko, teknisi, serta tenaga lepas dan juga pengajar asing yang turut mengajar di dalam kelas. Semua data yang dibutuhkan dikumpulkan dari hasil observasi, wawancara, serta dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akomodasi komunikasi siswasiswi worker class di Stiching Help For Jogja pada awalnya cenderung divergen tapi seiring berjalannya waktu berubah menjadi konvergen. Faktor yang mempengaruhi akomodasi komunikasi mereka adalah motivasi dan power yang dimiliki pengajar asing. Lebih lanjut, elemen baahasa memiliki pengaruh yang
7
lebih besar dibandingkan dengan elemen lain dalam menentukan kecenderungan akomodasi komunikasi para siswa Stiching Help For Jogja. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terkait teori akomodasi komunikasi maka yang membedakan penelitian yang terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah penulis akan mengkaji secara komprehensif terkait akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh Bupati terhadap masyarakat Bantaeng dan yang menjadi objek dalam penelitian ini proses akomodasi Bupati dan masyarakat saat berinteraksi dalam acara coffee break. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada uraian dan realitas yang mengenai fenomena interaksi antarbudaya bupati dan masyarakat Bantaeng maka, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana akomodasi komunikasi Bupati terhadap masyarakat Bantaeng yang dilakukan dalam acara coffee break? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: Mengetahui akomodasi komunikasi yang dilakukan Bupati Bantaeng terhadap masyarakat Bantaeng yang dilakukan dalam acara coffee break. D. Manfaat Penelitian Setiap penelitian ilmiah pasti mempunyai manfaat baik secara langsung maupun tidak secara langsung dan baik dalam skala umum maupun dalam skala khusus.
8
Adapun manfaat penelitian ini yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat pada tataran praktis sebagaimana berikut ini: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam ranah kajian komunikasi pada umumnya dan khususnya pada tinjauan komunikasi antarbudaya antara bupati dan masyarakat Bantaeng. 2. Manfaat Praktis Dalam tataran praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru kepada masyarakat tentang bagaimana akomodasi komuniksi yang dilakukan oleh Bupati terhadap masyarakat Bantaeng. E. Kerangka Teori 1. Komunikasi Politik Galnoor menyebutkan bahwa komunikasi politik merupakan infrastruktur politik, yakni suatu kombinasi dari berbagai interaksi sosial dimana informasi yang berkaitan dengan usaha bersama dan hubungan kekuasaan masuk ke dalam peradabaan. Kerangka yang diberikan ilmu komunikasi bagi komunikasi politik adalah sebagimana digambarkan dalam paradigma Laswell: siapa, mengatakan apa, dengan saluran aapa, kepada siapa dan dengan akibat apa. Paradigma ini mengklain bahwa unsur-unsur komunikasi tersebut berlaku dalam setiap proses komunikasi, dan berlaku inheren dalam komunikasi politik. Walaupun dipandang sangat “berbau” mekanistik, dan
9
karenanya berimplikasi simplistik dan linier, penghampiran ini berjasa untuk menelaah komunikasi lebih lanjut (Arifin, 2011: 12). Sedangkan, menurut Dahlan (1999) dalam Cangara yang dimaksud dengan komunikasi politik adalah suatu bidang atau disiplin yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik (Cangara, 2011: 29). Dalam buku Introduction to Political Communication oleh Mc Nair dinyatakan bahwa komunikasi politik adalah murni membicarakan tentang alokasi suber daya publik yang memiliki nilai, apakah itu nilai kekuasaan atau nilai ekonomi, petugas yang memiliki kewenangan untuk memberi kekuasaan dan keputusan dalam pembuatan undng-undang atau aturan, apakah itu legislatif atau eksekutuif, serta sanksi- sanksi, apakah itu dalam bentuk hadiah atau denda (McNair, 1995: 3). Komunikasi politik tidak hanya berbicara mengenai mengenai kekuasaan, Doris Graber mengingatkan bahwa komunikasi politik tidak hanya retorika, tetapi juga mencakup simbol-simbol bahasa, seperti bahasa tubuh serta tindakan-tindakan politik misalnya boikot, protes, dan unjuk rasa. Dengan demikian, pengertian komunikasi politik dapat dirumuskn sebagai proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berfikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkahlaku khalayak yang menjadi target politik (Graber dalam McNair, 1995: 4).
10
Pengertian lain dari komunikasi politik dikemukakan oleh Dan Nimmo yang menyebutkan bahwa komunikasi politik adalah aktivitas komunikasi yang berhubungan dengan politik yang menyajikan konsekuensi aktual dan potensial yang mengatur manusia di bawah kondisi konflik (Nimmo, 2005: 12). Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan terkait komunikasi politik maka komunikasi politik dapat diartikan sebagai suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap aktivitas politik dan isi pesan dari komunikasi politik bermuatan komunikasi politik. Komunikasi politik memiliki beberapa unsur seperti disiplin komunikasi lainnya yaitu sumber (komunikator), pesan, media atau saluran, penerima, dan efek. Sumber atau komunikator politik adalah mereka yang dapat memberi informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau bobot politik. Misalnya, Presiden, Mentri, anggota DPR, MPR, KPU, Gubernur, Bupati/Walikota, fungsionaris Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan kelompok-kelompok penekan dalam masyarakat yang bisa mempengaruhi jalannya pemerintahan. Pesan politik ialah pernyataan yang dismpaikan baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik secara verbal maupun nonverbal, yang isinya menganung bobot politik. Saluran atau media politik ialah sarana yang digunakan oleh para komunikator dalam menyampaaikan pesan-pesan politiknya. Misalnya media cetak, media elektronik, media format kecil, saluran komunikasi kelompok, saluran komunikasi publik, dan saluran komunikasi sosial. Sasaran adalah anggota masyarakat yang diharapkan dapat
11
memberikan dukungan dalam bentuk pemberian suara (vote) kepada partai atau atau kandidat dalam pemilihan umum. Efek komunikasi politik yang diharapkan adalah terciptanya pemahaman terhadap sistem pemerintahan dan partai-partai politik, dimana nuansanya akan bermuara pada pemberian suara (vote) dalam pemilihan umum (Cangara, 2011: 31-33). Komunikasi politik dalam penelitian ini dilakukan oleh Bupati Bantaeng dalam acara coffee break yang diadakan di rumah pribadi Bupati dan melakukan interaksi secara langsung kepada masyarakat dengan menanyakan setiap permasalahan yang ingin disampaikan oleh masyarakat. 2. Komunikasi Antar Budaya Komunikasi yang terjadi diantara produsen pesan dan penerima pesan yang memiliki budaya berbeda dinyatakan sebagai komunikasi antar budaya. Komunikasi antarbudaya memiliki ciri khas dimana komunikasi ini melibatkan orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda mulai dari bahasa, kebiasaan makan, cara berpakaian, tingkahlaku, tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekonomi, politik dan teknologi. Hubungan antara budaya dan komunikasi penting dipahami untuk memahami komunikasi antarbudaya, oleh karena itu melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi (Mulyana & Rahmat, 2010: 24). Dalam hal ini budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna dan diwariskn dari generasi ke generasi, melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri, dalam
12
pola-pola bahasa dan bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku seperti gaya berkomunikasi dan objek materi (Sihabudin, 2011: 19). Menurut Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogwa, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya, misalnya antara suku bangsa, etnik, ras, dan kelas sosial (Samovar & Porter dalam Liliweri, 2003: 12). Secara general, komunikasi antarbudaya merujuk pada proses pertukaran makna melalui simbol-simbol di antara orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Gudykunst & Kim, 2003). Definisi ini pada dasarnya merujuk pada komunikasi antarbudaya yang dilakukan secara interpersonal atau antara dua orang yang berasal dari dua kelompok budaya yang berbeda. Adanya proses pertukaran makna juga menunjukkan bahwa komunikasi
tersebut
bersifat
dua
arah
atau
adanya
makna
yang
dikomunikasikan secara timbal balik. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall (dalam Gudykunst, 2003: 4) bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara “horizontal” dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Komunikasi membuat manusia menjalin interaksi dengan sesamanya sehingga peran, aturan, ritual, hukum, 13
dan pola lainnya pun terbentuk. Pembentukan ini terjadi tanpa adanya unsur kesengajaan tetapi hal tersebut merupakan hasil dari interaksi sosial itu sendiri. Jadi, dengan adanya komunkasi, budaya dapat disampaikan dari satu generasi ke generasi yang lain. Sebaliknya, pola-pola berpikir, berprilaku, kerangka acuan dari individuindividu sebahagian terbesar merupakan hasil penyesuain diri dengan caracara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial dimana mereka berada. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang dilekatkan pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat dikirimkan dan ditafsirkan. Singkatnya, keseluruhan prilaku komunikasi individu tergantung pada kebudayaanya. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan pondasi atau landasan bagi komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek komunikasi yang berbeda pula.3 Hubungan antara komunikasi dan budaya saling mempengaruhi satu sama lain. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas komunikasi. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya pendapat dari Samovar dan Porter yang mengatakan bahwa komunikasi yang terjadi diantara produsen pesan dan penerima pesan yang memiliki budaya yang berbeda lantas dinyatakan sebagai komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2002:12). Asumsi dasarnya adalah
3
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3785/komunikasilusiana.pdf;jsessionid=A59E29D833B503911ADA59E497A9AA21?sequence=1. Diakses pada tanggal 15-03-2015, 23:44 WIB
14
komunikasi merupakan suatu proses budaya. Artinya komunikasi yang ditujukan kepada orang atau kelompok lain adalah sebuah pertukaran budaya. Dalam proses pertukaran tersebut terkandung unsur-unsur kebudayaan, salah satunya adalah bahasa. Sedangkan bahasa adalah alat yang digunakan untuk berkomunikasi. Komunikasi antarbudaya mengacu pada berbagai aspek, baik itu budaya dalam suku tertentu, budaya dalam negara tertentu, atau bahkan budaya pada keluarga tertentu. Menurut Devito
ada beberapa model komunikasi
antarbudaya yaitu: komunikasi antarbudaya, misalnya antara orang Cina dan Arab. Komunikasi antar-ras yang berbeda, misalnya orang kulit hitam dan kulit putih. Komunikasi antarkelompok etnis yang berbeda, misalnya antara orang Indonesia keturunan India dengan orang Indonesia keturunan pribumi. Komunikasi antar kelompok agama yang berbeda, misalnya antara orang Katolik dengan Protestan atau Islam dengan Yahudi. Komunikasi antarbagsa yang berbeda, misalnya antara orang indonesia dan malaysia. Konmunikasi antarsubkultur yang berbeda, misalnya antara seniman dengan birokrat atau antara mahasiswa dengan aprat negara. Komunikasi antara suatu subkultur dan kultur dominn, misalnya antra kaum homoseks dan kaum heteroseks. Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda ntara pria dan wanita (Devito: 1997, 480). Seiring dengan perkembangan studi komunikasi antarbudaya, riset yang dilakukan tidak lagi hanya menyangkut budaya, ras, atau etnis. Penelitian mengenai komunikasi antarbudaya bisa dilakukan pada subyek- subyek 15
penelitian yang cakupannya lebih luas, mulai dari aspek sosial, politik, maupun ekonomi yang memungkinkan adanya kontak antar individu yang memiliki latar belakang yang berbeda. Fenomena dalam interaksi sosial yang dilakukan oleh Bupati terhadap masyarakat Bantaeng dalam acara coffee break pun bisa diteliti dan ditelaah dari sudut pandang komunikasi antarbudaya. Dalam penelitian yang dilakukan ini, penulis komunikasi antarbudaya yang terjadi antara Bupati dengan masyarakat Bantaeng yang mana antara Bupati dan masyarakat memiliki budaya yang berbeda. a) Teori Akomodasi Komunikasi Interaksi yang terjadi dalam acara coffee break memunculkan komunikasi antarbudaya
dan
didalamnya
Akomodasi
didefinisikan
terjadi
sebagai
proses
kemampuan
akomodasi untuk
komunikasi.
menyesuaikan,
memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Teori akomodasi komunikasi telah dirangkum oleh Howard Giles pada tahun 1973. Communication Accommodation Theory atau biasanya disebut CAT adalah teori komunikasi yang mengacu pada proses bagaimana komunikator mengakomodasi atau beradaptasi satu sama lain. Akomodasi komunikasi muncul berdasarkan pada motivasi individual dalam menentukan tindakan apa yang akan mereka lakukan karena akomodasi komunikasi adalah proses yang opsional (West dan Turner, 2008:217). Akomodasi komunikasi adalah teori yang mementingkan bagaimana orang mempersepsikan dan mengevaluasi apa yang terjadi di dalam sebuah percakapan. Persepsi adalah proses memperhatikan dan menginterpretasikan
16
pesan, sedangkan evaluasi merupakan proses menilai percakapan (West dan Turner, 2008:220). Ketika dua orang saling berbicara, mereka seringkali meniru pembicaraan dan perilaku satu sama lain. Seringkali, seseorang akan berbicara kepada orang lain dengan bahasa yang sama, bertindak-tanduk mirip, dan bahkan berbicara dengan kecepatan yang sama. Sebagai gantinya, ia juga akan merespons dalam cara yang sama kepada lawan bicaranya. Disisi, lain ketika kita berbicara dengan orang yang berbeda berdasarkan kelompok atau budaya, seseorang akan berusaha untuk menghindari menggunakan bahasa-bahasa yang unik. Untuk menghadapi perbedaan tersebut kita akan menyesuaikan gaya komunikasi kita. Communication Accomodation Theory (CAT) memberikan perhatian pada interaksi memahami antara orang-orang dari kelompok yang berbeda dengan menilai bahasa, perilaku nonverbal dan penggunaan paralinguistik individu (Gudykunst dan Moody, 2002:44). Melalui CAT pemahaman bahasa antar penutur dari kelompok yang berbeda menjadi bagian penting untuk terciptanya tujuan komunikasi.Tujuan inti dari CAT, untuk menjelaskan strategi penutur berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain selama berkomunikasi. Tujuan inti dari teori akomodasi komunikasi adalah untuk menjelaskan cara-cara dimana orang-orang yang berinteraksi dapat mempengaruhi satu sama lain selama interaksi. Teori akomodasi komunikasi berfokus pada mekanisme dimana proses psikologi sosial mempengaruhi perilaku yang diamati dalam interaksi. Akomodasi, menunjuk pada cara-cara dimana 17
individu-individu dalam interaksi memantau dan mungkin menyesuaikan perilaku mereka selama interaksi (Rohim, 2009:212). Komunikasi merupakan alat untuk membentuk identitas dan juga mengubah mekanisme. Identitas seseorang dibentuk saat berinteraksi sosial dengan orang lain. Orang tersebut mendapatkan pandangan serta reaksi orang lain dalam interaksi sosial dan sebaliknya, memperlihatkan rasa identitas dengan cara orang lain mengekspresikan diri dan merespons orang lain (Littlejohn dan Foss, 2009). Pada awalnya seseorang membawa identitasnya dalam berkomunikasi, namun seiring dengan adanya berbagai reaksi dari individu atau outgroup maka, ia akan berusaha untuk mengakomodasi baik secara sadar maupun tidak. Teori akomodasi komunikasi memiliki empat asumsi, yaitu: 1. Pengalaman-pengalaman dan latar belakang yang bervariasi akan menentukan sejauh mana orang akan mengakomodasi orang lain. Semakin mirip dan keyakinan kita dengan orang lain, maka kita tertarik dan mengakomodasi orang lain tersebut. 2. Cara dimana kita mempersepsikan tuturan dan perilaku orang lain akan menentukan bagaimana kita mengevaluasi sebuah percakapan. 3. Asumsi ketiga ini berkaitan dengan dampak yang dimiliki bahasa terhadap orang lain. Secara khusus, bahasa memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan status dan keanggotaan kelompok diantara para komunikator dalam sebuah percakapan.
18
4. Norma telah terbukti memainkan peranan dalam teori Giles. Dalam hal ini norma dimaksudkan dengan ketika berbicara dengan orang yang lebih muda harus menurut pada orang yang lebih tua dan mengindikasikan bahwa orang yang lebih bawah akan lebih mengakomodasi percakapan (West & Turner, 2008: 219). Komunikator akan memodifikasi pola komunikasi mereka berdasarkan keempat tahapan tersebut dalam upaya memudahkan pemahaman satu sama lain atau bisa juga untuk menegaskan perbedaan diantara mereka. Modifikasi sebagai bentuk akomodasi atau adaptasi untuk mencapai komunikasi yang efisien biasanya disebut dengan konvergensi. Sedangkan akomodasi yang cenderung mempertegas perbedaan ini sering disebut dengan divergensi. Konvergensi adalah strategi dimana individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain (Giles, Coupland, dan Justine dalam West dan Turner, 2008: 222). Orang akan beradaptasi terhadap kecepatan bicara, jeda, senyuman, tatapan mata, perilaku verbal dan non verbal lainnya. Penyesuaian ini telah dilihat dalam hampir semua perilaku komunikasi, termasuk aksen, kecepatan, kerasanya suara, kosakata, tatabahasa, suara, gerak tubuh dan fiturfitur lainnya (Littlejohn dan Foss, 2009:222).
Ketika orang melakukan
konvergensi, mereka bergantung pada persepsi mereka mengenai tuturan atau perilaku orang lainnya. Konvergensi ini tidak serta merta dilakukan komunikator, namun bergantung pada persepsi komunikator serta didasarkan pada ketertrikan terhadap lawan bicara. Giles dan Smith (dalam West & Turner, 2008: 223) percaya bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi 19
ketertarikan kita terhadap orang lain antara lain adalah kemungkinan akan interaksi berikutnya, kemampuan mereka untuk berkomunikasi, dan perbedaan status antara kedua komunikator. Ketika orang melakukan konvergensi, mereka bergantung pada persepsi mereka mengenai tuturan atau perilaku orang lainnya. Selain persepsi mengenai komunikasi orang lain, konvergensi juga didasarkan pada ketertarikan. Ketertarikan merupakan istilah yang luas dan mencakup beberapa karakteristik lainnya seperti kesukaan, karisma, dan kredibilitas. Misalnya, saat seseorang berbicara dengan suara rendah, maka komunikan saat merespon akan berusaha menyesuaikan agar terjadi kesamaan kekuasaan dalam interaksi tersebut. Disamping itu, orang yang berbeda budaya ketika melakukan interaksi seharusnya memberikan kekuasaan yang sama terhadap latar belakang budaya masing-masing agar tidak timbul sikap etnosentrisme atau menyebabkan orang lain pada akhirnya tidak percaya diri dengan latar belakang budayanya (Littlejohn dan Foss, 2009:222). Berbeda dengan konvergensi, pembicara yang melakukan akomodasi divergensi cenderung menonjolkan perbedaan verbal dan nonverbal di antara mereka sendiri dan orang lain (Giles dalam West & Turner, 2008: 225). Alihalih menunjukkan bagaimana dua pembicara mirip dalam kecepatan bicara, tindak-tanduk atau postur, divergensi adalah ketika tidak terdapat usaha untuk menunjukkan persamaan antara para pembicara. Dengan kata lain, dua orang berbicara dengan satu sama lain tanpa adanya kekhawatiran mengenai mengakomodasi satu sama lain (West & Turner, 2008:225- 226). 20
Dalam hal ini, divergensi tidak boleh disalahartikan sebagai suatu cara untuk tidak sepakat atau tidak memberikan respons pada komunikator yang lain. Divergensi tidak sama dengan ketidakpedulian. Ketika orang melakukan divergensi, mereka memutuskan untuk mendisosiasikan diri mereka dari komunikator dan percakapan tersebut. Alasan-alasan untuk divergensi dapat bervariasi salahsatunya adalah sebagai salahsatu cara bagi para anggota komunitas budaya yang berbeda untuk mempertahankan identitas sosial. Alasan kedua adalah berkaitan dengan kekuasaan dan perbedaan peranan dalam percakapan. Divergensi seringkali terjadi dalam sebuah percakapan ketika terdapat perbedaan kekuasaan diantara para komunikator dan ketika terdapat perbedaan peranan yang jelas dalam percakapan. Alasan yang terakhir adalah cenderung terjadi karena laawan bicara dalam percakapan dipandang sebagai “anggota dari kelompok yang tidak diinginkan, dianggp memiliki
sikap-sikap
yang
tidak
menyenangkan
atau
menunjukkan
penaampilan yang jelek (West & Turner, 2008: 226-227). Dalam interaksi dengan orang yang berasal dari budaya yang berbeda, akomodasi komunikasi baik yang divergensi maupun konvergensi bisa dilihat melalui bahasa baik verbal maupun nonverbal. Tiap bentuk akomodasi memunculkan ciri khas yang bisa dijadikan sebagai indikator apakah seseorang melakukan akomodasi konvergensi atau divergensi. Akomodasi yang konvergensi ataupun divergensi dapat dilihat dari tiga elemen yakni perilaku non verbal, bahasa, dan paralinguistik (Gallois, Giles,
21
Jones, Cargile & Ota: 1995). Perbedaan perilaku konvergensi dan divergensi digambarkan dalam tabel berikut: Tabel 1. Diagram Konvergensi dan Divergensi Nonverbal behavior
Convergence Ingroup rejection
Positive allocation bias
Outgroup rejection
Asimilation
Ethnophaulisms Negative allocation bias
Smiling gaze, gesture
Language
Outgroup laguange with native like pronunciation Language acquisition
Time Outgroup language with features of ingroup pronunciation
Divergence Crowd behavior
Ingroup language with slow speech rate
Symbols Ingroup language with normal speech rate
Conversation interruptions
Non-language acquisition
Conversation turn taking
Labels
Conflict Physichal boundaries Patronizing talk
Topic choice Code switching Language intensity Paralanguage
Accent, dialect, idioms, speech rate, pauses, utternce leght. Phonological variants can all be modified to signal convergence
Sarcsam, hostility, disagreement
Self-disclosure (quality and quantity) Language
Accent, dialect, idioms, speech rate, pauses, utternce leght. Phonological variants can all be modified to signal divergence
(diambil dari Gudykunst & Mody, 2002:227)
Namun, yang digunakan dalam penelitian ini hanya nonverbal dan bahasa saja karena ruang lingkup paralanguistik masuk kedalam kajian ilmu bahasa.
22
Tabel 2. Nonverbal behavior
Convergence Ingroup rejection
Divergence Outgroup rejection Crowd behavior
Positive allocation bias
Asimilation
Ethnophaulisms Negative allocation bias
Smiling gaze, gesture
Language
Outgroup laguange with native like pronunciation Language acquisition
Time Outgroup language with features of ingroup pronunciation
Ingroup language with slow speech rate
Symbols Ingroup language with normal speech rate
Conversation interruptions
Non-language acquisition
Conversation turn taking
Labels
Conflict Physichal boundaries Patronizing talk
Topic choice Code switching Language intensity
Sarcsam, hostility, disagreement
CAT menjelaskan proses bagaimana identitas dapat mempengaruhi perilaku komunikasi dan individu termotivasi untuk mengakomodasi (adanya pergerakan menuju atau menjauh dari orang lain) untuk mengethui hal tersebut CAT menggunakan bahasa, perilaku nonverbal, dan paralinguistik dan memiliki cara yang berbeda untuk mencapai tingkat yang diinginkan dari jarak sosial antara diri kita dengan lawan bicara kita. Hal tersebut dapat melihat sejauh mana komunikator merasa positif atau negatif terhadap identitas mereka yang dapat diwujudkan melalui perilaku komunikasi, dan teori CAT memberikan beberapa jenis akomodasi yang paling mendasar yaitu konvergensi dan divergensi (Gudykunst & Mody, 2002:229).
23
F. Kerangka Konsep Kerangka konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap suatu konsep lainnya dari masalah yang ingin diteliti. 1. Konvergensi Konvergensi adalah strategi dimana individu menyesuaikan perilaku komunikatif mereka untuk menjadi lebih mirip dengan lawan mereka. Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai cara sebagai berikut: a) Konvergensi yang non verbal i. Penolakan ingroup Adanya keinginan untuk membuka diri agar dapat berinteraksi dengan kelompok lain. Contoh: adanya keinginan Bupati untuk membuka diri dengan masyarakat Bantaeng dalam acara coffee break dikarenakan Bupati dan masyarakat yang ada di Bantaeng memiliki latar belakang budaya yang berbeda. ii. Asimilasi Penyesuaian (peleburan) terhadap sifat asli yang dimiliki dengan sifat lingkungan sekitar. Contoh: Bupati melakukan penyesuaian sifat dengan masyarakat Bantaeng. iii. Bias alokasi positif Seseorang yang melakukan konvergensi akan selalu membuat suatu persaman pola pikir dengan lawan bicaranya akibatnya komunikasi yang terjadi memiliki bias alokasi positif. Contoh: Pada saat Bupati berinteraksi dengan masyarakat, Bupati selalu
24
memunculkan
sebuah
persamaandalam
pola
pikir
dengan
masyarakat, akibatnya memunculkan bias alokasi yang positif terhadap komunikasi yang terjadi antara Bupati dan masyarakat. iv. Senyuman, Tatapan, Bahasa Tubuh Konvergensi yang nonverbal bisa dilihat dengan senyuman, tatapan mata, dan bahasa tubuh yang dilakukan oleh ingroup saat berinteraksi dengan kelompok lain. Contoh: Senyuman, tatapan mata, dan bahasa tubuh yang dilakukan oleh Bupati
saat
berinteraksi dengan masyarakat Bantaeng dalam acara coffee break. v. Waktu Beberapa faktor yang mempengaruhi ketertarikan seseorang dalam melakukan interaksi adalah adanya kemungkinan waktu untuk dapat melakukan interaksi berikutnya. Contoh: Adanya faktor yang mempengaruhi ketertarikan bupati pada saat berinteraksi dengan masyarakat Bantaeng. Ketertarikan Bupati dalam interaksi tersebut memungkinkan untuk meluangkan waktu untuk berinteraksi kembali. b) Konvergensi dalam Bahasa i. Bahasa outgroup dengan pengucapan/pelafalan seperti orang asli Strategi outgroup dalam menirukan pengucapan bahasa asli untuk dapat melebur dengan ingroup. Outgroup ditujukan kepada Bupati
25
yang masuk kedalam masyarakat Bantaeng. Contoh: Pada saat acara coffee break berlangsung
Bupati menirukan pengucapan
bahasa asli yang digunakan masyarakat Bantaeng. ii. Kelancaran Bahasa Konvergensi dalam bahasa dapat dilihat dengan kelancaran bahasa yang dilakukan oleh outgroup saat berinteraksi dengan ingroup. Contoh: Melihat kelancaran bahasa yang digunakan oleh Bupati yang menirukan bahasa dari masyarakat Bantaeng. iii. Pemilihan topik Konvergensi dalam bahasa juga dapat dilihat dari pemilihan topik yang digunakan oleh outgroup. Contoh: Pemilihan bahasa yang digunakan oleh Bupati dapat dilihat dari pemilihan topik pada saat berinteraksi dalam acara coffee break. iv. Peralihan Kode Untuk melakukan penyesuaian dengan lawan bicara saat berinteraksi, seseorang menggunakan kode untuk menyesuaikan topik yang telah dipilih. Contoh: Ketika Bupati berinteraksi dengan masyarakat, Bupati melakukan peralihan kode terhadap topik yang sudah dipilih. v. Intensitas Bahasa Dalam hal ini melihat intensitas untuk menggunaan bahasa yang telah dipilih saat berinteraksi. Contoh: Ketika Bupati berinteraksi
26
dengan masyarakat Bantaeng dan memilih untuk menggunakan bahasa yang sering digunakan oleh masyarakat. 2. Divergensi Divergensi mengacu pada cara di mana seseorang menonjolkan perbedaan komunikatif antara dirinya dan orang lain. Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai cara sebagai berikut: a) Divergensi yang nonverbal i. Penolakan Outgroup Melakukan penolakan dari outgroup untuk berinteraksi dengan kelompok
lainnya.
Contoh:
Bupati
menolak untuk
dapat
berinteraksi dengan masyarakat saat acara coffee break. ii. Ethnophaulisms Sebuah cercaan ras (sering fisik) yang mencemooh orang lain. Contoh: Pada saat Bupati berinteraksi dengan masyarakat, Bupati melakukaan cercaan fisik terhadap masyarakat Bantaeng. iii. Bias Alokasi Negatif Seorang divergen akan selalu memunculkan sebuah perbedaan dan hal tersebut berdampak negatif terhadap komunikasi yang sedang berlangsung. Contoh: Pada saat Bupati berinteraksi dengan masyarakat, Bupati selalu memunculkan sebuah perbedaan, akibatnya memunculkan dampak negatif terhadap komunikasi antara bupati dan masyarakat. iv. Simbol
27
Ketika melakukan komunikasi nonverbal terkadang seseorang menggunakan
simbol-simbol,
seperti
cara
berpakaian atau
aksesoris yang digunakan. Contoh: Bupati menggunakan simbolsimbol yang membedakan dirinya dengan masyarakat, seperti pakaian atau aksesoris yang digunakan Bupati pada saat acara coffee break. v. Perilaku Orang Banyak Seorang divergen akan tetap mempertahankan perilaku budayanya sendiri ketika berada di luar kelompoknya atau berada dilingkup orang banyak. Contoh: Ketika Bupati tetap mempertahankan perilaku suku Bugis pada saat berinteraksi dengan masyarakat Bantaeng dalam acara coffee break. vi. Konflik Ketika seseorang melakukan divergensi yang selalu menunjukkan adanya perbedan dengan lawan bicaranya maka dapat memicu terjadinya konflik saat berinteraksi. Contoh: Ketika Bupati menunjukkan perbedaan-perbedaan saat berinteraksi maka dapat memicu terjadinya konflik antara bupati dan masyarakat. vii. Batasan Fisik Seorang divergen akan memberikan batasan-batasan fisik atau menjaga jarak
pada saat berinteraksi. Contoh: Ketika Bupati
sedang berinteraksi dengan masyarakat, bupati memberikan batasan atau menjaga jaraknya dengan masyarakat.
28
b) Divergensi dalam bahasa i. Bahasa ingroup dengan tingkat berbicara yang lambat Pada saat divergen melakukan interaksi dengan kelompok lainnya maka ia akan tetap berbicara dengan cara yang lambat, hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan dengan kelompok lain. Contoh: Pada saat Bupati berbicara kepada masyarakat, Bupati akan berbicara dengan lambat dan hal tersebut memunculkan adanya perbedaan antara Bupati dan Masyarakat. ii. Giliran percapakan Seorang yang melakukan divergensi tidak akan menunggu gilirannya
saat melakukan percakapan dengan kelompok lain.
Contoh: Bupati tidak akan menunggu gilirannya saat melakukan percakpan dengan masyarakat dan akan lebih mendominasi sebuh percakapan. iii. Sarkasme, permusuhan, pertentangan pendapat Sarkasme adalah kata-kata yang dapat menyakiti hati orang lain. Seorang divergen akan memunculkan permusuhan karena adanya perbedaan pendapat. Contoh: Bupati menggunakan kata-kata yang menyakiti
hati
masyarakat
dalam
berinteraksi
sehingga
memunculkan adanya permusuhan antara bupati dan masyarakat karena adanya perbedaan pendapat. iv. Bahasa ingroup dengan tingkat berbicara yang normal
29
Pada saat divergen melakukan interaksi dengan kelompok lainnya maka ia akan tetap berbicara dengan cara yang normal dan hal tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya keinginan untuk melakukan penyesuaian tingkat bicara dengan kelompok lainnya. Contoh: Pada saat Bupati sedang berinteraksi, Bupati akan tetap berbicara dengan cara yang normal tanpa adanya penyesuaian dengan masyarakat. v. Kemahiran non-bahasa Divergensi dalam bahasa dapat dilihat dengan cara tidak mahirnya seseorang dalam menirukan bahasa kelompok lain. Contoh: Tidak mahirnya Bupati dalam menirukan bahasa yang sering digunakan oleh masyarakat. vi. Label Ketika seseorang melakukan komunikasi, ia telah membawa label yang ia ketahui tentang lawan bicaranya yang berbeda budaya. Contoh: Saat Bupati berinteraksi dengan masyarakat, Bupati telah memiliki pandangan atau label tentang masyarakat yang datang dalam acara coffee break. vii. Pembicaraan yang merendahkan Seorang divergen akan selalu berbicara dengan merendahkan lawan bicaranya yang berasal dari budaya yang berbeda. Contoh: Ketika Bupati berinteraksi dengan masyarakat, Bupati akan selalu merendahkan masyarakat yang berbeda budaya dengannya.
30
Dalam penelitian yang akan dilakukan, Bupati dan masyarakat Bantaeng memiliki pola komunikasi yang berbeda. Respons Bupati yang muncul dalam bentuk proses akomodasi komunikasi lantas dapat diamati dari nonverbal dan bahasa yang digunakan untuk mengetahui apakah Bupati melakukan akomodasi konvergensi atau divergensi. G. Metodologi Penelitian 1.
Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara ilmiah yang digunakan untuk melaksanakan
kegiatan penelitian. Artinya suatu upaya untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dihasilkannya (Hadi, 1989: 4).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yang
prorsesnya tidak hanya berfokus pada pengumpulan data atau penyusunan data akan tetapi lebih jauh pada analisa dan interpretasi atau penafsiran dari data tersebut. Menurut Taylor dan Bogdan (dalam Basrowi & Suwandi, 2008: 22) penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Dalam penelitian ini, peneliti akan mempelajari proses akomodasi yang dilakukan Bupati Bantaeng pada saat berinteraksi dengan masyarakat dalam program coffee break. 2.
Subyek dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan disebuah kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu
Kabupaten Bantaeng yang jaraknya kurang lebih 120 km dari Kota Makassar. Subyek penelitian yang diteliti adalah bupati dan masyarakat yang hadir dalam
31
coffee break di rumah Bupati Bantaeng. Sedangkan objek yang diteliti adalah proses akomodasi bupati terhadap masyarakat di coffee break saat mereka berinteraksi. Coffee break dipilih karena dalam program ini bupati memberikan kesempatan pada masyarakat untuk dapat berinteraksi dan menyampaikan keluh kesahnya secara langsung. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data dan informasi dalam penelitian ini ialah observasi dan dokumentasi. Observasi yang dimaksud disini adalah deskripsi secara sistematis tentang kejadian dan tingkah laku dalam proses akomodasi komunikasi Bupati terhadap masyarakat Bantaeng. Sedangkan dokumentasi adalah teknik pengumpulan data rekaman audio, daftar tamu dan foto-foto pada saat acara coffee break berlangsung. a. Observasi. Pengumpulan data dengan cara observasi dilakukan dengan peneliti datang langsung ke Kabupaten Bantaeng untuk mengamati proses akomodasi komunikasi pada saat Bupati Bantaeng mengadakan acara coffee break dengan masyarakat yang ada di Bantaeng. Hal-hal yang menjadi fokus observasi ialah kedua elemen yakni penggunaan bahasa nonverbal dan verbal pada saat Bupati dan masyarakat kabupaten Bantaeng melakukan interaksi dalam acara coffee break. Peniliti melakukan observasi secara langsung dan mencatat setiap bentuk akomodasi yang dilakukan oleh Bupati. b. Sebagai pelengkap dan untuk membantu analisis, teknik dokumentasi file- file yang berkaitan dengan penelitian diperlukan. Untuk
32
memberikan gambaran atas jalannya penelitian, serta penjelasan atas kejadian dan proses yang terjadi di tengah masyarakat. Maka dokumentasi foto dan rekaman audio digunakan untuk melengkapi data-data yang telah dikumpulkan. Untuk membantu jalannya penelitian, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan acara coffee break diperlukan seperti daftar tamu yang hadir karena masyarakat yang telah hadir di hari sebelumnya tidak menjadi informan pada hari berikutnya karena untuk menghindari adanya rekayasa.. 4. Teknik Analisis Data Setelah semua data terkumpul maka dilakukan analisis dengan menggunakan analisis data menurut Miles dan Hubermen, yang mana analisis ini dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. Aktivitas dalam analisis data ini yaitu dengan merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting untuk dicari tema dan polanya (data reduction), kemudian data disajikan dalam sebuah pola yang sesuai dengan kajian (data display), dan setelah itu ditarik sebuah kesimpulan yang menghasilkan sebuah hipotesis dan deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap menjadi jelas conclusion drawing atau verification (Sugiyono, 2005: 91-99). a. Reduksi Data (Data Reduction) Menurut S. Nasution dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Naturalistik bahwa reduksi adalah merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema polanya, sehingga
33
data lebih mudah untuk dikendalikan (Nasution, 1997: 129). Sedangkan menurut Sugiyono reduksi adalah merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Setelah semua data yang
telah terkumpul melalui observasi dan
dokumentasi, maka perlu difokuskan sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian, yaitu proses akomodasi Bupati terhadap masyarakat Bantaeng dalam acara coffee break. b. Penyajian Data (Data Display) Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaikan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaikan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut (Sugiyono, 2005: 341). Dari penjelasan tersebut, maka langkah selanjutnya setelah direduksi adalah mendisplaykan data, yaitu membuat uraian yang bersifat naratif, sehingga dapat diketahui rencana kerja selanjutnya berdasarkan yang telah dipahami dari data tersebut. Rencana kerja tersebut bisa berupa mencari polapola data yang dapat mendukung penelitian yang dilakukan, yaitu mencari dan menguraaikan proses akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh Bupati Bantaeng.
34
c. Penarikan Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapakan adalah temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada atau berupa gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remangremang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas. Kesimpulan ini masih sebagai hipotesis, dan dapat menjadi teori jika didukung oleh data-data yang lain (Sugiyono, 2005: 345). Dari penjelasan diatas, maka langkah penarikan kesimpulan ini dengan memberikan kesimpulan dari pola akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh Bupati Bantaeng terhadap masyarakat dalam acara coffee break. H. Limitasi Penelitian Limitasi penelitian merupakan batasan-batasan yang harus disertakan dalam melakukan penelitian sehingga peneliti terus berada dalam satu jalur dalam penelitian. Dengan memberikan batasan, maka penelitian yang dilakukan tidak akan keluar dari pembahasa yang sudah ditetapkan. Dalam penelitian ini limitasi penelitiannya adalah pertama, tempat penelitian adalah di rumah pribadi Bupati Bantaeng yang mengadakan acara coffee break. Oleh karena itu, maka data yang diperoleh berasal dari sana. Kedua, pembahasan yang ingin didapatkan dari penelitian ini adalah tentang akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh Bupati terhadap masyarakat Bantaeng dalam acara coffee break.
35