BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keotentikan seni dan artefak budaya Bali sedang mengalami pertarungan dengan pengaruh budaya asing yang kian deras mengilfitrasi tatanan sosial budaya Bali. Tantangan ini merupakan dampak dari meleburnya batas-batas geografi, ekonomi, politik dan budaya dalam satu paradigma “one world” yang disebut dengan globalisasi (Wolf, 1982). Secara konseptual globalisasi dipahami sebagai intensifikasi hubungan sosial diseluruh dunia, dimana peristiwa yang terjadi di suatu daerah di tempat yang lain akan mempengaruhi kondisi dalam negeri dan sebaliknya (Giddens, 1990). Bagi masyarakat Bali, globalisasi membawa dampak modernisasi, dalam hal ini Vickers (1989) mengamati terjadinya perubahan bentuk atau struktur masyarakat Bali secara perlahan-lahan menuju sebuah entitas masyarakat modern. Bali yang modern, ditandai dengan perubahan struktur masyarakat Bali yang agraris menjadi industrialis (Howe, 2005:9). Selain itu, secara langsung maupun tidak langsung modernisasi membawa perubahan dalam sikap dan pandangan hidup baik dalam aspek sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai universal lainnya seperti demokrasi, kesetaraan gender, persamaan hak dan seterusnya. Dalam konteks globalisasi terjadi perluasan dan pendalaman integrasi pasar, barang, jasa dan finansial antara negara-negara di dunia. Arus barang dan jasa serta manusia yang tanpa batas dipacu oleh perkembangan atau revolusi teknologi informasi, komunikasi dan transportasi
1
2
yang saat-saat ini menjadi tantangan bagi Bali. Menurut Appadurai (2001) globalisasi membawa perubahan-perubahan melalui ideologi, modernisasi melalui teknologi dan media, serta kapitalisasi dalam berbagai sektor kehidupan. Wujud dari kapitalisasi sektor kehidupan di Bali adalah berupa upaya menjadikan artefak budaya Bali sebagai komoditi atau dalam istilah cultural studies disebut dengan komodifikasi budaya (Barker, 2004 :17). Globalisasi di Bali berkaitan erat dengan pariwisata, yang mana menurut Picard (2006) sejarah pariswisata di Bali tidak terlepas dari aspek budaya Bali yang kaya dan otentik. Sejak tahun 1930-an Bali mulai dikenal sebagai destinasi wisata yang mengundang decak kekaguman oleh turis internasional (Zoete dan Spies, 1973). Secara khusus Bali dianugrahi kekayaaan budaya dan keindahan bentang alam, sehingga sektor pariwisata menjadi andalan untuk mendulang dollar
dalam
rangka
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
Adapun
pertumbuhan ekonomi Bali sejak tahun 1960-an sebagaian besar sudah bertumpu pada sektor pariwisata. Picard (2006) melihat bahwa kemajuan pariwisata dapat memberikan benefit pada kebudayaan Bali itu sendiri, sedangkan Geriya (1996) menilai kemajuan pariwisata Bali memberikan dampak positif dan negatif. Pariwisata memberikan manfaat ekonomis serta mengembangkan kebudayaan Bali melalui revitalisasi yang koheren dengan proses komodifikasi. Di lain sisi menurut Geriya, pariwisata mendorong unsur-unsur kebudayaan tertentu diproduksi secara masal, komersialisasi dan orientasi materialisme, sehingga bergerak kearah gejala distorsi seni budaya.
3
Kapitalisasi sektor kehidupan masuk ke Bali bersamaan dengan berkembangnya sektor pariwisata. Menurut Suastika (2007) ikon-ikon kesenian Bali saat ini mengalami komodifikasi terutama karena adanya industrialisasi pariwisata. Komodifikasi artefak budaya didorong oleh motif keuntungan ekonomi, yang mana kuntungan terbesar dinikmati oleh pemodal dari luar: „Yes, the temples are beautiful, but the stomachs are empty’ said one Balinese; another ‘Bali is a paradise. Yes, I answer, but for whom?‟ (Pollmann 1990: 14, 17). Menurut Geertz (1963: 140) keinginan membawa objek-objek seni Bali ke pasar modern sudah menjadi kebijakan atau policy penguasa sejak jaman kolonial Belanda. Dampaknya pada saat sekarang ini adalah terjadinya komodifikasi secara ekstensif terhadap semua objek seni di Bali dimulai dari tarian, patung, seni lukis, kain tenun dan seterusnya. Komodifikasi seni budaya Bali dituduh sebagai penyebab distorsi pada tatanan masyarakat Bali :”…the commodification of Balinese culture leads to accusations of immorality and cosmic imbalance; and the smiling face is often a mask hiding turbulent emotions” (Wikan dalam Howe, 2005). Lebih jauh Pitana dan Gayatri (2005) menjelaskan dampak pariwisata terhadap masyarakat lokal secara ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup. Secara sosial budaya misalnya Suwena dan Widyatmaja (2010) mendata bahwa ada: 1) gejala-gejala komodifikasi terhadap upacara dan aktivitas seni budaya seperti tari-tarian sakral, 2) adanya gejala komersialisasi secara massal terhadap kerajinan seni sebagai komoditi yang diperjual belikan yang berpengaruh pada penurunan nilai seni dan estetikanya dan 3) penggunaan simbol-simbol
4
keagamaan baik berupa artefak maupun tempat-tempat sakral sebagai alat penarik wisatawan. Salah satu artefak budaya Bali yang sedang mengalami komodifikasi adalah kain tenun songket Bali. Kain songket sebagai karya seni budaya sesungguhnya tersebar di berbagai tempat di nusantara, namun demikian songket Bali memiliki keistimewaan tersendiri. Kekhasaan songket Bali dalam berbagai hal menjadikannya sebagai sebuah identitas budaya Bali. Kekhasan tersebut terlihat pada motif ragam hiasnya yang merupakan refleksi Budaya Bali yang kaya akan makna dan inheren dengan filsafat Hindu. Selain itu, songket Bali memiliki keaslian, keunikan, serta teknik pembuatan yang khas membuat karakternya kuat dan berbeda dengan kain songket nusantara lainnya. Pewarnaan yang khas Bali seperti; warna kuning, marun, dan ungu memberi pencirian yang khusus bagi songket Bali. Tanpa diragukan lagi, songket Bali merupakan hasil karya estetika tinggi para seniman Bali yang didasarkan pada sebuah pengabdian kepada Tuhan atau Sang Hyang Widhi (Bandem,1996). Dari sudut pandang pengamat seni, secara estetik songket Bali mengandung potensi ekonomi yang menjanjikan untuk dikembangkan. I Wayan Sarja, salah seorang dari Tim Ahli Tekstil Dekranasda Kota Denpasar mengatakan, penggunaan tenun songket sekarang sudah lebih luas. Bukan saja untuk kebutuhan adat dan agama, namun juga sudah mulai dikembangkan kegunaannya pada fesyen (http://www.bisnisbali.com). Hobart (dalam Johnson, 2002) mengatakan budaya Bali (tari dan kerajinan) adalah modal (capital), sebagai basis yang mendorong kreativitas orang Bali untuk memproduksi karya-karya seni yang dinikmati oleh konsumen. Motif
5
keuntungan memacu terjadinya komodifikasi songket Bali, karena songket Bali juga termasuk objek seni yang benilai ekonomi tinggi. Komodifikasi hakekatnya adalah suatu bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari halhal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil. Pada sebuah artefak budaya yang dianggap bernilai akan mengalami perubahan bentuk demi menambah nilai ekonomisnya. Peningkatan nilai ekonomi pada produk-produk berbahan songket Bali menjadi dorongan mentransformasikannya kedalam berbagai bentuk kerajinan dan karya fesyen. Misalnya pada pertunjukan seni budaya Bali yang diselenggarakan Badan Pengembangan Eks-por Nasional (BPEN), Departemen Perdagangan dan Perindustrian (Deperindag), dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ditemukan songket ditampilkan dengan kemasan
karya seni Bali termasuk
yang disesuaikan dengan selera orang
Amerika (Warsito dan Kartikasari, 2007). Sejalan dengan perkembangan industri pariwisata, sektor ekonomi kreatif berbasis industri budaya bertumbuh dengan pesat. Putra (http://bali.antaranews) menilai
ekonomi kreatif Bali berkembang melalui industri kreatif yang
merupakan industri-industri
yang bersumber dari kreativitas
individual,
keterampilan dan bakat. Salah satu industri kreatif yang berkembang saat ini di Bali adalah indutri kreatif fesyen. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Denpasar 2010 terungkap upaya pencapaian kota kreatif berbasis budaya unggulan, yang dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan RPJMD Kota Denpasar tahun 2010. Dengan perkembangan dan dinamika program pembangunan nasional serta mencermati potensi dan kecenderungan
6
global, maka dalam mewujudkan konsep Kota Kreatif Berbasis Budaya Unggulan, diperlukan sinkronisasi dan pendalaman arah kebijakan dan target sasaran dalam PJM dengan komponen Kota Kreatif dan budaya unggulan yang akan dikedepankan, serta penyesuaian dengan nomenklatur sebagaimana tertuang dalam Permendagri No. 59 tahun 2008. Adapaun subsektor-subsektor industri kreatif berpotensi di Kota Denpasar adalah subsektor kerajinan, subsektor musik, subsektor
penerbitan
dan
percetakan,
dan
subsektor
fesyen
(www.
blogdetik.com/ekonomi-kreatif/sentra-kreatif/denpasar). Realitas perkembangan industri songket dan proses komodifikasi songket Bali di Denpasar sendiri tidak terlepas dari fakta adanya peningkatan konsumsi masyarakat. I Gede Made Sadguna, Deputi Kepala Perwakilan Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) wilayah III Bali-Nusa Tenggara mengatakan konsumsi adalah sektor terbesar yang menggerakkan ekonomi Bali (http://www.antarabali .com). Data statistik bisnis online menunjukkan jumlah transaksi produk fesyen adalah
yang
terbesar
diikuti
gadget
dan
produk
kecantikan
(http://www.bisnisbali.com). Demikian juga kebutuhan masyarakat akan design songket yang tergolong up to date atau mengikuti trend busana semakin ramai. Indikasinya ditunjukkan dengan semakin semaraknya sektor fesyen dan menjamurnya butik atau rumah busana serta kemunculan perancang-perancang Bali yang tertarik dengan kain tradisional.
Frekuensi pagelaran-pagelaran
adibusana di Denpasar pun juga cukup menunjukkan peningkatan. Misalnya adanya pagelaran Bali Fashion Week yang dilakukan secara rutin di Denpasar oleh Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) Deperindag bekerjasama
7
dengan PT. Moda Bali Convex dan Asosiasi Perancang & Pengusaha Mode Indonesia (APPMI). Tabel 1.1 Keterlibatan Berbagai Industri Pendukung Dalam Bali Fesyen Week V, Mei 2004 Jenis Industri
Jumlah
Bags Collection
2 perusahaan
Garment
8
perusahaan
Tekstil
3
perusahaan
Aksesoris
6
perusahaan
Desainer (Fashion dan Aksesoris)
27 perusahaan
Jasa-jasa
1
perusahaan
Lain-lain
8
perusahaan
Sumber : http://www.kemenperin.go.id Yang menjadi penekanan di sini adalah acuan dari penyelenggara Bali Fashion Week yang selalu menampilkan karya-karya busana yang menyesuaikan selera dan standar internasional. Ajang Bali Fashion Week adalah ajang pageleran busana yang tergolong besar di Indonesia karena mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat, melalui Deperidag. Dalam setiap penyelengaraannya, Bali Fashion Week selalu melibatkan desainer-desainer ternama berkelas internasional. Agenda yang digelar oleh asosiasi desainer busana Bali (Mobbas) sendiri dalam Bali Fashion Week berbeda dengan jadwal pagelaran adibusana yang diselenggarakan oleh APPMI. Ini menunjukkan betapa industri kreatif fesyen di Bali sangat bergairah. Selain itu ada ajang besar lainnya seperti Fashion On The Street pada Denpasar Festival yang diorganisasikan oleh Dekranasda Kota
8
Denpasar. Ajang ini merupakan kesempatan dan peluang bagi indutri songket Bali untuk memamerkan kreasinya. Budaya konsumerisme yang melekat pada masyarakat Bali kontemporer cenderung mengkonotasikan individualitas, ekspresi diri serta kesadaran diri yang stilistik. Tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu luang, dan seterusnya dipandang sebagai ekspresi individualitas, selera, rasa serta gaya dari pemilik atau konsumen (Featherstone, 2001). Ideologi konsumerisme men-sugesti bahwa makna kehidupan ditemukan pada apa yang dikonsumsi, bukan pada apa dihasilkan (Storey, 2007). Chaney (1996) merujuk pada budaya “lookism” yang menandai era modernitas menggeser fungsi berbusana sebagai kebutuhan primer kemudian menjadi alat identifikasi seperti “You are what you wear.” Lebih jauh fesyen merupakan petunjuk hasrat: “Moreover, they express who they do not want to be or become” (Freitas et al., 1997). Sejalan dengan itu Piliang (2004) menyatakan bahwa fesyen merupakan salah satu bentuk gaya hidup yang dapat dicoba, dipertahankan, atau ditinggalkan, sehingga model busana begitu cepat berganti dan mencari trend baru, termasuk melakukan upaya kombinasi dengan unsur tradisional yang lebih digemari oleh selera Barat. Disinilah karya seni yang otentik dan „sakral‟ seperti songket Bali menjadi „komoditi‟. Fenomena seperti ini disebut komodifikasi, dimana songket Bali sebagai artefak budaya yang otentik mengandung nilai-nilai hidup yang berlandaskan agama Hindu dijadikan komoditi yang semata-mata dilakukan demi meningkatkan nilai ekonomisnya. Songket Bali dengan latar belakang merupakan „milik‟ pregoratif kelompok masyarakat tertentu jelas menjadi sebuah „obsesi‟
9
bagi sebagian orang. Menurut Pilliang (2004) orang yang menggunakan pakaian dengan label-label tertentu, jelas menawarkan tidak hanya pakaiannya melainkan ia membeli simbol-simbol sosial yang dapat mengangkat dan membentuk personalitas, prestise, gaya, gaya hidup, dan cara diferensiasi status sosial yang berbeda-beda. Berkembangnya trend fesyen di Bali khususnya pada daerah urban, telah mengubah wajah industri kain songket di Bali. Kelompok industri tidak hanya menghasilkan dalam bentuk helai-an songket saja, tetapi sudah terpengaruh dengan selera pasar. Perancang busana ternama Bali seperti Tjokorda Gde Abinanda Sukawati (Tjok Abi) dan Rico Ananta dalam beberapa kesempatan menggunakan songket Bali dalam showcase-nya. Tjok Abi dan Rico Ananta memodifikasi songket Bali sedemikian rupa menjadi busana-busana yang berkesan modern. Selain itu beberapa designer busana ternama Indonesia seperti Anne Avantie, Prio Oktaviano, Raden Sirait, Edward Hutabarat, Prayudi dan Iwan Tirta juga pernah merancang berbagai design dan memadupadankan motif-motif songket Bali yang megah dengan busana-busana up-to-date lainnya. Media massa berperan dalam membangun opini dan mengarahkan masyarakat, dalam hal ini masyarakat urban Bali untuk meng update penampilan dan trend berbusana terkini (Ibrahim, 2007). Namun sangat disayangkan masyarakat yang begitu mudah mengikuti perkembangan trend berbusana tetapi „kurang‟ memperhatikan aspek nilai-nilai luhur yang melatarbelakanginya. Industri kerajinan juga mengambil kesempatan dalam perubahan tingkat dan kecenderungan konsumsi masyarakat serta
merespon pertumbuhan sektor
10
pariwisata yang sedemikian pesat. Schäublin dan Kartaschoff
(1990)
beranggapan bahwa kini ada hal-hal yang mengancam kain-kain tradisional Bali termasuk songket: Moreover, the indigenous textile handicraft of this island find themselves coming under severe pressure from new and differently- mainly commercially- oriented values, as it has become holydays paradise for visitors from far away. Bahwa komersialisasi dalam upaya meningkatkan nilai ekonomi, membawa kain tenun tradisional termasuk songket Bali berada dalam ancaman terhadap keotentikannya. Sejauh ini produk-produk turunan songket Bali telah mulai mendapatkan tempat dalam tata busana masyarakat Bali. Songket Bali kian berubah (dalam bentuk dan fungsi), menjadi karya-karya yang mendukung tata busana modern Bali. Ironisnya helaian kain songket Bali dipakai menjadi bahan dasar, dipotong, digunting, dijahit kembali menjadi produk busana ataupun sebagai unsur dekoratif dalam beberapa produk industri busana seperti rok, sandal, kipas, dompet atau clutch, tas, shawl dan tali pinggang. Pakem yang sudah diturunkan secara turun temurun dalam tradisi menyongket mengalami dekonstruksi, rekonstrusi dan modifikasi untuk mendapatkan sebuah karya „termutakhir‟ yang diinginkan oleh para desainer. Produk-produk songket Bali ini kemudian ditampilkan pada ajang atau panggung duniawi seperti pagelaran adi busana yang glamour dan penuh dengan hasrat keduniawian. Pedangkalan makna pun terjadi karena penggunaan songket Bali pada tempat dan waktu yang salah. Fenomena komersialisasi kain songket Bali yang sakral tidak terelakkan lagi. Hal ini dapat menjadi hal yang membanggakan namun memprihatinkan.
11
Masyarakat sepertinya tidak lagi mengapresiasi karya-karya adiluhung yang dapat berdampak juga pada memudarnya nilai-nilai sosiokultural masyarakat. Nilai-nilai ritual dan spiritual dari simbol-simbol yang tercermin dalam motif songket Bali mengalami komodifikasi dalam wujud yang baru sebagai alat ekonomi dalam industri fesyen. Sebagai produk budaya, songket Bali dijual secara komersial dan tidak terbatas. Produk-produk industri fesyen tidak lagi memperlihatkan kharisma dari simbol-simbol sakral yang penuh dengan makna dan nilai di dalam songket Bali. Para designer dan pelaku industri lebih mengedepankan motif keuntungan. Karena itu penelitian yang mendalam tentang komodifikasi kain tenun songket Bali dipandang perlu dilakukan untuk mendeskripsikan, menjelaskan dan memahami dalam perspektif kajian budaya.
1.2. Rumusan Masalah Berkenaan dengan uraian pada latarbelakang yang telah disampaikan, maka dirumuskan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah bentuk komodifikasi kain tenun songket Bali? 2. Mengapa terjadi komodifikasi kain tenun songket Bali? 3. Apakah dampak dan makna komodifikasi kain tenun songket Bali bagi masyarakat luas dan masyarakat pendukungnya?
12
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis komodifikasi songket Bali dalam kaitannya dengan
perkembangan fesyen. Penelitian ini ingin
memberikan pemahaman baru bagi pembaca dan masyarakat luas untuk menyikapi secara arif fenomena yang terjadi dalam masyarakat. 1.3.2. Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui bentuk-bentuk komodifikasi kain tenun songket Bali. 2) Untuk memahami alasan terjadinya komodifikasi kain tenun songket Bali. 3) Untuk mengintepretasi dampak dan makna komodifikasi kain tenun songket Bali.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan pemikiran
khususnya yang berkaitan dengan penelitian tentang komodifikasi
budaya atau lebih khusus lagi pada komodifikasi kain tenun tradisional. Diharapkan juga penelitian ini dapat memperluas khazanah pengetahuan dan memperkaya referensi bacaan bagi pemerhati kebudayaan khususnya bagi pihak yang berkaitan dengan busana.
13
1.4.2. Manfaat praktis Manfaat praktis dari penelitian bagi pemerintah ini adalah: 1) Sebagai salah satu sumber informasi untuk mengambil kebijakan yang arif dan berpihak kepada masyarakat khususnya yang berhubungan dengan pengembangan industri kain tenun dan upaya pelestarian kemampuan menenun serta ragam hias motif songket Bali . 2) Menjadi acuan untuk pembinaan ke arah pengembangan industri kreatif fesyen
dengan semangat pelestarian warisan budaya bagi masyarakat
industri songket Bali dan pelaku insustri kreatif fesyen dalam menghasilkan karya-karya mereka.