BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pelayanan kesehatan dalam pasar global merupakan sektor yang sangat
kompetitif. Pertumbuhan yang pesat dalam industri kesehatan memberi tekanan bagi penyedia layanan. Tekanan tersebut merupakan dampak dari perubahan tingkat pendidikan, standar hidup, kompetisi, kemajuan teknologi, evaluasi dan pemantauan dari sektor publik dan swasta, ketersediaan informasi, struktur pembiayaan dan akses informasi bagi pelanggan. Provider swasta di Indonesia khususnya pulau Jawa dan Bali, mendominasi penyediaan antenatal care (60 - 90% di sepuluh kabupaten) dan bentuk layanan lainnya (60-95%). Sebuah survei yang dilakukan tahun 2009 di 15 kabupaten di pulau Jawa, mengemukakan bahwa 90 persen fasilitas yang ada adalah milik swasta. Penggunaan layanan milik pemerintah oleh
pasien rawat
jalan di pulau Jawa pada 2007 adalah sebesar 30 %, turun dari 40 % pada tahun 1997. Di lain sisi, penggunaan provider swasta meningkat dari 45 % menjadi 50 % (Hort dkk. , 2011). Hingga 1 Januari 2014 tercatat ada 2.228 RS di Indonesia yang terdiri dari 1.718 RS Umum ( 749 RS milik Pemerintah, 522 RS Swasta Non Profit, 387 RS Swasta dan 60 RS milik BUMN) dan 510 RS Khusus ( 89 RS milik Pemerintah, 202 RS Swasta Non Profit, 212 RS Swasta dan 7 RS milik BUMN) (Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan , 2014). Jumlahnya 2083 RS terdiri dari 1608 RS Umum ( 725 RS milik pemerintah, 515 RS Swasta non
1
2
profit, 300 RS swasta dan 68 RS milik BUMN) dan 475 RS khusus (88 RS milik pemerintah, 212 RS swasta non profit, 168 RS swasta dan 7 RS milik BUMN) (Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, 2013). Direktorat jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan menyatakan dalam satu dekade terakhir pertumbuhan rumah sakit swasta berkisar lima persen setiap tahunnya (Arief, 2014). Fenomena peningkatan jumlah RS dan klinik swasta juga terjadi di Provinsi Bali khususnya Kota Denpasar. Hingga akhir tahun 2012 di Kota Denpasar tercatat ada 2 RS milik pemerintah, 14 RS swasta, 1 RS khusus dan 2 RS kepolisian dan tentara (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2012). Jumlah provider yang besar mengakibatkan kompetisi antara para penyedia layanan terlebih di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berdasarkan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pada pasal enam menyebutkan bahwa per 1 Januari 2019 seluruh warga negara harus tercover program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
(Kementerian Kesehatan RI ,
2013.). Hal ini dapat diartikan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai lembaga penyelenggara JKN dapat bekerjasama dengan pihak swasta demi menjamin seluruh warga negara tercover oleh asuransi sosial (Naradipa , 2014). Hal ini semakin memperketat kompetisi antara RS dan penyedia pelayananan kesehatan di Kota Denpasar. Untuk dapat berkompetisi maka penyedia layanan kesehatan harus mampu memuaskan kebutuhan pasien yang akan menghasilkan kepuasan pasien (Padma, P., Rajendran, C., dan Prakash, 2009). Kepuasan pasien merupakan input krusial
3
dalam menentukan strategi pemasaran (Ofir dan Simonson, 2001) dan merupakan variabel yang penting bagi pelayanan jasa yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan (Szysmanski dan Henard, 2001). Kepuasan pasien akan berpengaruh langsung terhadap profit perusahaan sehingga penyedia pelayanan kesehatan dituntut untuk meningkatkan overall performance yang akan berdampak positif terhadap kepuasan pasien. Kepuasan pasien tidak dapat dipandang sebelah mata, bila penyedia layanan kesehatan dapat memuaskan pasiennya, maka akan menjadi keuntungan
yang
besar
bagi
penyedia
layanan
kesehatan
tersebut
(Khunwuthikorn, 2011). Penelitian tentang kepuasan pasien telah banyak dilakukan namun studi komparatif tentang kepuasan pasien pada provider publik dan swasta masih sedikit dilakukan. Studi tersebut seluruhnya dilakukan di luar negeri antara lain di Irlandia (Casserley-Feeney dkk.,
2008), Pakistan (Khattak, 2012), Nigeria
(Odebiyi dkk., 2009), Malaysia (Yunus dkk., 2004) serta di Thailand (Khunwuthikorn , 2011) dan penulis tidak menemukan studi komparatif tentang kepuasan pasien terhadap layanan kesehatan di Indonesia. Seluruh penelitian tersebut di atas menyatakan bahwa pasien lebih puas terhadap layanan yang diberikan sektor swasta dibandingkan milik pemerintah. Hasil penelitian yang menyatakan sebaliknya (kepuasan terhadap layanan sektor milik pemerintah lebih tinggi dibandingkan sektor swasta) ditemukan pada penelitian yang dilakukan Bleich dkk., (2009) di 21 negara Eropa. Menurut penelitian ini penyebab tingkat kepuasan pasien terhadap penyedia layanan swasta lebih rendah dibandingkan layanan publik adalah pasien yang memanfaatkan layanan swasta cenderung
4
memiliki harapan yang lebih tinggi terhadap layanan yang diberikan karena layanan diberikan secara privat dan umumnya biaya yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan layanan yang diberikan provider publik (Bleich dkk., 2009). Penelitian oleh Yunus dkk. tahun 2004 di Malaysia menunjukkan bahwa pasien lebih puas terhadap layanan yang diberikan oleh klinik swasta dibandingkan dengan layanan oleh provider lainnya. Ada beberapa hal yang mungkin dapat menjelaskan fenomena ini. Kemungkinan yang pertama adalah ekspetasi pasien telah berubah (Calnan , 1988). Sejalan dengan reformasi bidang kesehatan, kini pasien bisa memilih penyedia layanan kesehatan yang memenuhi kebutuhan mereka. Kemungkinan kedua, aspek layanan dokter dan paramedis yang berbeda antar penyedia
layanan. Pasien tidak mengharapkan layanan
kesehatan dari seorang dokter yang memegang peran dominan dalam hubungan dokter dan pasien (Moret dkk. , 2008). Kalda, Põlluste, dan Lember (2003) menyatakan pasien akan lebih puas dengan layanan kesehatan yang memberikan kemungkinan bagi pasien untuk menentukan sendiri dokternya. Kemungkinan ketiga, citra impersonal pada RS baik pemerintah dan swasta, sebaliknya klinik swasta nampak lebih memungkinkan terjadinya kontak personal dan perawatan individual (Yunus dkk., 2004). Kemungkinan terakhir, klinik swasta nampaknya lebih efisien. Pendekatan lebih pada berfokus pada pelanggan mungkin merupakan alasan dari efisiensi (Kleinjan , 2013). Berbagai
penelitian komparatif tentang tingkat kepuasan pasien telah
dilakukan, namun penelitian tentang tingkat kepuasan pasien terhadap layanan radiologi diagnostik khususnya layanan radiografi konvensional belum pernah
5
dilakukan. Radiografi konvensional merupakan sebuah prosedur pemeriksaan diagnostik yang memanfaatkan radiasi sinar-X dalam membuat citra anatomi tubuh yang ditampilkan dalam bentuk film (Bontrager, 2001). Layanan radiografi konvensional sangat penting untuk perawatan pasien. Namun, layanan radiografi konvensional sangat berbeda dengan pelayanan medis. Sebagian besar pasien tidak diberi kebebasan untuk memilih layanan radiografi konvensional mereka. Pilihan biasanya dibuat oleh dokter, perencana kesehatan atau perantara lainnya. Selain itu, pasien seringkali tidak bertemu dengan dokter spesialis radiologi diagnostik mereka. Kurangnya kontak individual antara dokter spesialis radiologi dengan pasien secara substansial mengakibatkan berkurangnya kepercayaan pasien terhadap profesionalitas dari dokter spesialis radiologi (Alderson , 2000). Di lain pihak komunikasi antara dokter atau pemberi layanan berhubungan erat dengan kepuasan pasien. Selain itu sebagian besar pasien berasumsi bahwa mereka secara teknis dilayani oleh pihak yang berkompeten, sehingga kualitas hubungan antara pasien dan pemberi layanan merupakan faktor utama penentu kepuasan pasien (Gunderman dkk. , 2001). Seperti halnya layanan jasa nonmedis, hasil layanan radiografi konvensional yang cepat merupakan hal yang penting bagi kepuasan pasien. Kecepatan layanan radiologi diagnostik merefleksikan aksesbilitas dari pasien terhadap prosedur pelayanan dan hasil ekspertise setelah prosedur (Parra dkk. , 2006). Selain kecepatan layanan, standar pelayanan radiologi juga mengisyaratkan bahwa seluruh pemeriksaan radiografi konvensional harus diekspertisi oleh dokter spesialis radiologi (Kementerian Kesehatan RI, 2008). Permasalahannya saat ini
6
adalah adanya kesenjangan antara jumlah kebutuhan akan pelayanan radiografi yang berkualitas dengan jumlah spesialis radiologi (The Royal College Of Radiologist, 2012). Selain itu permasalahan di Indonesia adalah kepemilikan provider swasta dan dual-practice bagi dokter-dokter pada organisasi pemerintah (Hort dkk.,
2011). Kekurangan jumlah dokter spesialis radiologi dan dual
practice menyebabkan waktu yang dibutuhkan pasien untuk memperoleh hasil pemeriksaan menjadi panjang yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas layanan radiografi konvensional. Kualitas merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kepuasan pasien.
Di sisi lain survei kepuasan pasien
merupakan alat ukur kualitas sebuah layanan kesehatan berdasarkan penilaian subjektif dari pasien (Tjiptono, 2014). Kepuasan pasien rawat jalan pada berbagai provider layanan radiografi konvensional di Kota Denpasar menjadi dasar bagi penelitian ini. Pasien rawat jalan mendominasi pengguna layanan radiografi konvensional (Parra et al. 2006). Alasan pemilihan Kota Denpasar sebagai lokasi penelitian, mengingat penelitian tentang kepuasan pasien di tiga bentuk layanan radiografi konvensional belum pernah dilakukan di Denpasar dan faktor ketatnya persaingan antar provider juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan lokasi. Penelitian ini dilakukan di tiga penyedia layanan radiografi konvensional sebagai sebuah studi kasus yaitu pada RSUD Wangaya Kota Denpasar, RSU Bhakti Rahayu dan Klinik Radiologi dr Firman P. Sitanggang, Sp.Rad. Alasan pemilihan ketiga penyedia layanan radiografi konvensional tersebut adalah dengan mempertimbangkan kecenderungan penurunan jumlah
7
kunjungan, jarak antar penyedia layanan dan karakteristik layanan dimana di ketiganya sama-sama memiliki permasalahan di sumber daya manusia yaitu dokter spesialis radiologi yang tidak memenuhi standar jumlah dokter spesialis radiologi. Penurunan jumlah kunjungan dapat disebabkan oleh penurunan kepuasan pasien terhadap layanan jasa yang ditawarkan (Tjiptono 2014). Berdasarkan data tahun 2013, jumlah kunjungan pasien rawat jalan di instalasi radiologi RSUD Wangaya adalah sebesar 12.547 orang sedangkan pada tahun 2014 menurun menjadi 11.845 orang (turun sebesar 5,6 %). Kecenderungan penurunan juga terjadi pada RSU Bhakti Rahayu dan klinik radiologi dr. Firman Sitanggang, Sp.Rad. Data menunjukkan jumlah pasien rawat jalan di unit radiologi RSU Bhakti Rahayu pada 2013 adalah sebanyak 3051 orang turun menjadi 2455 pada tahun 2014 (turun 19,5 %). Pada klinik radiologi dr. Firman Sitanggang, Sp.Rad terjadi penurunan jumlah kunjungan sebesar 4,1 % (6024 orang pada tahun 2013 turun menjadi 5773 orang pada tahun 2014). Pada tahun 2014 persentase jumlah keluhan pasien pada layanan radiografi konvensional mencapai 0,5 % (lebih tinggi dari target yaitu <0,1%). Hasil wawancara dengan bagian promosi RSUD Wangaya menyatakan bahwa 33% keluhan pasien mengenai mengenai waktu tunggu, 30 % mengenai komunikasi dan 20 % mengenai ketersedian sarana di ruang tunggu.
Hasil wawancara dengan staf
radiologi di RSU Bhakti Rahayu dan klinik radiologi dr Firman menyebutkan waktu tunggu hasil layanan juga merupakan keluhan yang sering disampaikan pasien rawat jalan.
8
Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan tingkat kepuasan pasien terhadap layanan radiografi konvensional dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepuasan pasien terhadap layanan
radiografi konvensional
sehingga dapat diketahui bentuk layanan yang diinginkan oleh pasien. Untuk menjawab hal tersebut maka dilakukan penelitian kuantitatif komparatif pada tiga provider layanan radiografi konvensional yaitu di rumah sakit pemerintah, swasta dan klinik radiologi swasta di Kota Denpasar .
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat
diuraikan rumusan
masalah sebagai berikut : Seberapa besar tingkat kepuasan pasien rawat jalan pada layanan radiografi konvensional dan faktor apa saja yang berhubungan dengan tingkat kepuasan pasien pada layanan radiografi konvensional di RS milik pemerintah, swasta dan klinik radiologi swasta di Kota Denpasar ?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kepuasan
pasien rawat jalan pada layanan radiografi konvensional di RS pemerintah, swasta dan klinik radiologi swasta Kota Denpasar serta faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepuasan pasien rawat jalan terhadap layanan radiografi konvensional di RS pemerintah, RS swasta dan klinik radiologi swasta Kota Denpasar.
9
1.3.2
Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal di
bawah ini. 1. Tingkat kepuasan
pasien rawat jalan terhadap layanan radiografi
konvensional di RS milik pemerintah, RS Swasta dan Klinik Swasta Kota Denpasar, 2. Hubungan antara karakteristik sosiodemografi (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan dan pembiayaan kesehatan) dengan tingkat kepuasan pasien rawat jalan pada layanan radiografi konvensional di RS milik pemerintah, RS swasta dan klinik swasta Kota Denpasar, dan 3. Hubungan antara penyedia
layanan radiografi konvensional dengan
tingkat kepuasan pasien rawat jalan pada layanan radiografi konvensional di RS milik pemerintah, RS Swasta dan Klinik Swasta Kota Denpasar, 4. Hubungan antara enam domain pengalaman pasien rawat jalan dengan tingkat kepuasan pasien rawat jalan pada layanan radiografi konvensional di RS milik pemerintah, RS swasta dan klinik radiologi swasta Kota Denpasar. 1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi mengenai
kepuasan pasien rawat jalan pada layanan radiografi konvensional di RS milik pemerintah, RS swasta dan klinik swasta Kota Denpasar.
10
1.4.2
Manfaat Praktis Bagi penyedia layanan radiografi konvensional, manfaat yang diperoleh
adalah sebagai evaluasi, masukan dan acuan bagi penyedia layanan radiografi konvensional sehubungan dengan penyelenggaraan layanan yang berbasis pada kepuasan pasien Bagi pasien secara tidak langsung akan memperoleh manfaat dari perbaikan kualitas layanan radiografi konvensional yang disesuaikan dengan hasil penelitian ini.