BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dampak Bom Bali I (2002) dan Bom Bali II (2005) benar-benar memberi pengaruh negatif terhadap pariwisata Indonesia karena Bali merupakan Icon pariwisata Indonesia. Kunjungan Wisatawan mancara negara ke Indonesia langsung menurun sangat drastis karena negara-negara Tourism Sending Countries memberikan travel warning dan travel ban ke Indonesia. Dampak Bom Bali dengan merosotnya kunjungan wisatawan juga berdapak pada perekonomian Indonesia karena devisa yang diharapkan dari pariwisata menurun, semakin banyaknya pengangguran, serta isu-isu negatif Indonesia sebagai negara teroris. 1 Menurut Dinas Pariwisata Bali, pada 2003, kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 993.029 orang.2 Jumlah tersebut menurun dibandingkan pada 2002 yang sempat mencatatkan angka 1.285.844 orang.3 Penurunan tersebut langsung berdampak negatif ke PDRB (Pendapatan Daerah Regional Bruto) Bali karena Bali tidak memiliki sektor lain yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian penduduk. Sektor lain yang juga berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi daerah Bali adalah perdagangan dan perhotelan. Namun, keduanya juga terkena dampak dari bom Bali mengingat perdagangan, perhotelan,
1
Vivanews, Riset Dampak Bom Bali I Berkelanjutan, 1 April 2010,
, diakses 18 November 2014. 2 Bali Post, Sudah Pulihkah Pariwisata Bali?, 28 April 2004, , diakses 18 November 2014, 3 Ibid.
dan pariwisata memiliki rantai pasokan (supply chain) kuat dalam perekonomian Bali atau saling terhubung dalam aktivitas perekonomiannya. Sebagai contoh, wisatawan yang berkunjung biasanya mengutamakan destinasi wisata pariwisata) lalu mereka memikirkan di mana ingin menginap (perhotelan) dan membeli cinderamata khas daerah (perdagangan). Jika sektor pariwisata jatuh, maka efek domino akan terjadi pada perhotelan dan perdagangan. Padahal, ketiga sektor tersebut mendukung perekonomian hingga 30% (Pitana, 2005).4 Berdasarkan survei 2003, Dinas Pariwisata Bali menemukan fakta bahwa wisatawan mancanegara berkunjung ke Bali untuk berlibur (93,39%) dan sisanya untuk aktivitas lain seperti bisnis dan tugas atau dinas.5 Melihat hasil survei demikian, keamanan dan kenyamanan wisatawan menjadi syarat agar kunjungan meningkat terus setiap tahun. Salah bukti keterkaitan keamanan dan kunjungan wisata secara lebih nasional adalah menurunnya kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada tahun setelah peristiwa Bom Bali I dan II (ditunjukkan tabel di bawah). Oleh karena itu, pemerintah perlu memperhatikan aspek keamanan lingkungan dan kenyamanan fasilitas umum.
4
I Gede Pitana, Sosiologi Pariwisata, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2005, hal. 158. Bali Post, Sudah Pulihkah Pariwisata Bali?, 28 April 2004, , diakse 18 November 2014. 5
2
Tabel I.1.6
Peristiwa Bom Bali tentu merupakan ancaman tersendiri tidak hanya bagi masyarakat Bali dan wisatawan tapi juga bagi masyarakat Indonesia dan perekonomian Indonesia secara nasional. Bagi masyarakat, peristiwa tersebut menjadi trauma yang sebisa mungkin dihindari di masa mendatang dan terus diupayakan agar tidak terjadi kembali. Bagi wisatawan mancanegara, peristiwa tersebut juga menjadi ancaman terhadap kunjungan wisata mereka mengingat jumlah korban tewas akibat bom banyak didominasi warga negara asing yang sedang berkunjung atau menetap di Bali. Sebanyak 202 orang tewas akibat ledakan bom pada 12 Oktober 2002 lalu dengan jumlah 164 orang merupakan warga negara asing dari 24 negara.7 Travel warning pun menjadi kebijakan tercepat yang bisa diambil oleh negara asal korban ledakan jika nyawa warga negaranya yang lain terancam di negara yang dikunjungi (Bali). Pasca peristiwa bom Bali, Indonesia terkena travel 6
Badan Pusat Statistik, Indonesia Tourism Performance 2011, Jakarta, 2012. Antaranews, Keluarga Bom Bali Peringati Tragedi Bom Bali, 12 Oktober 2014, , diakses 15 November 2014. 7
3
warning dari sejumlah negara Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. 8 Kebijakan ini memaksa pemerintah Indonesia di pusat dan pemerintah daerah Bali untuk menyusun kebijakan strategis untuk pemulihan kondisi di berbagai bidang. Ketika keamanan dan stabilitas suatu negara terganggu, maka pariwisata pun paling merasakan dampaknya. Untuk mengembalikan dunia pariwisata Indonesia, pemerintah pun perlu membuat suatu strategi pemulihan pariwisata. Ketika keamanan mulai stabil dan kepercayaan asing sudah pulih terhadap Bali dan Indonesia, maka industri pariwisata mulai menuai hasil positif secara bertahap. Salah indikator yang menujukkan kenaikan tersebut adalah data kunjungan wisatawan 2009-2013 (5 tahun/lebih pasca Bom Bali II).9 Keberhasilan suatu program bisa dinilai setelah setidaknya 2 tahun setelah selesai atau evaluasi pertama. Berikut ini data kunjungan wisatawan mancanegara di Bali 2009-2013.
8
Universitas Gadjah Mada, Antisipasi Dampak Bom Bali Terhadap Pariwisata, 12 Oktober 2005, , diakses 15 November 2014. 9 Ali Imron, Kejadian dan Pertanyaan yang Saya Alami Sejak Terbongkarnya Kami sebagai Pelaku Bom Bali I, 6 Agustus 2012, <, diakses 18 November 2014. Artikel diambil dari situs web ciptaan Ali Imron, mantan terpidana Bom Bali yang tidak dihukum mati karena kooperatif terhadap pemberantasan aksi terorisme.
4
Tabel I.2.10
Dari data tersebut, terlihat jelas bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara semakin bertambah sejak 2009 hingga 2013. Pada 2009, wisatawan yang berkunjung mencapai 2.085.084 orang, naik 14,39% dari tahun sebelumnya (2008). Jumlah tersebut sempat menurun pada 2010-2012 hingga 4,34% yang diindikasikan akibat krisis finansial dunia yang dialami negara-negara pelanggan wisata Bali, antara lain Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Eropa. Namun, pada 2013 lalu, pertumbuhan wisatawan kembali naik 11,16% menjadi berjumlah 3.278.598 orang. Jika dibandingkan pada data unjungan wisatawan mancanegara pada 2002 yang disebutkan di awal, maka pertumbuhan sejak 2009 hingga 2013 menunjukkan pariwisata Bali sudah pulih.
10
Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Angka Kunjungan di Bali 2009-2013, Denpasar, 2014.
5
Selain data kunjungan individu wisatawan mancanegara di Bali, peristiwa lain yang menjadi acuan bahwa Bali berhasil melakukan pemulihan pariwisata pasca Bom Bali adalah diselenggarakannya berbagai event dan konferensi internasional di Bali yang dihadiri sejumlah tokoh penting dunia.11 Konferensi penting di Bali pasca Bom Bali antara lain KTT ASEAN12 pada 2011 dan KTT APEC13 pada 2013 lalu. Event internasional yang diselenggarakan di Bali antara lain Miss World pada 2013 lalu.14 Keberhasilan menyelenggaran acara berskala internasional menunjukkan Bali sudah dipercaya kembali oleh masyarakat internasional untuk pariwisata. Keberhasilan pemulihan pariwisata Indonesia ini menjadi landasan untuk mengkaji fenomena tersebut melalui tesis ini dengan judul “Analisis Strategi Recovery Pariwisata Indonesia Pasca Peristiwa Bom Bali”. Para peneliti atau akademisi di Indonesia belum pernah ada yang membahas topik ini secara mendalam. Beberapa penelitian yang sudah ada lebih banyak menguas sisi pariwisata saja dengan memisahkan unsur keamanan dalam strategi keberhasilan pemulihan pariwsiata Bali pasca peristiwa Bom Bali.
11
Okezone, Bali Diuji Media Asing, 10 Oktober 2013, , diakses 20 November 2014. 12 Vivanews, Menyoal Manfaat KTT APEC di Bali, 2 Oktober 2013, , diakses 20 November 2014. 13 Okezone, KTT Sukses, Indonesia Jadi Pemimpin ASEAN,? 25 November 2011, , diakses 30 November 2014. 14 International Business Times, Miss World 2013 Contestants Opening Ceremony Winners, 10 September 2013, , diakses 1 Desember 2014.
6
Oleh karena itu, tesis diharapkan mampu dijadikan pembelajaran oleh pemerintah daerah lain dalam mengembangkan pariwisata yang sempat terguncang isu keamanan dan stabilitas kawasan serta pemerintah di negara lain.
1.2. Rumusan Masalah Strategi apa yang digunakan pemerintah dalam melakukan recovery pariwisata Indonesia pasca Bom Bali?
1.3. Landasan Teori Pariwisata merupakan salah satu sumber pemasukan keuangan negara yang penting bagi Indonesia. Ketika pariwisata runtuh, maka perekonomian negara ikut terganggu. Hal yang lebih parah terjadi di level mikro di mana masyarakat yang langsung beraktivitas di industri pariwisata kehilangan mata pencaharian dan pendapatan tetap. Agar hal tersebut tidal berlarut-larut, maka pemerintah dan kator-aktor lain di industri pariwisata perlu melakukan strategi untuk memulihkan kinerja pariwisata di Indonesia. Dengan demikian, pendekatan untuk menjawab rumusan masalah dalam tesis ini menggunakan teori sustainable tourism development, safety and tourism, dan the role of government in tourim. 1.3.1. Sustainable Tourism Development Menurut Spilane (1987), pariwisata adalah perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilkukan perorangan atau kelompok, sebagai
7
usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, dan ilmu.15 Pariwisata terbagi atas beberapa jenis, yaitu: 1) pariwisata untuk menikmati perjamanan (pleasure tourism), 2) pariwisata untuk berekreasi (recreation tourism), 3) pariwisata untuk budaya (culture tourism), 4) pariwisata untuk olahraga (sport tourism), 5) pariwisata untuk usaha dan dagang (business tourism), 6) pariwisata untuk berkonvensi (conventional tourism).16 Kebutuhan akan pariwisata akan semakin meningkat mengingat cepatnya laju pertumbuhan ekonomi dan tekanan dunia kerja untuk mengimbangi laju perekonomian tersebut. Dengan demikian, manusia akan memiliki keinginan untuk berwisata untuk melepas penat di aktivitas sehari-hari. Menurut Fandeli (1995)17, faktor-faktor yang mendorong mansuia untuk berwisata adalah: 1. keinginan untuk melepaskan diri dari tekanan hidup sheari-hari di kota, keinginan untuk mengubah suasana, dan memanfaatkan waktu senggang; 2. kemajuan pembangunan dalam bidang komunikasi dan transportasi; 3. keinginan untuk melihat dan memperoleh pengalaman-pengalaman baru mengenai budaya masyarakat di daerah lain; 4. meningkatnya pendapatan yang dapat memungkinkan seseorang dapat dengan bebas melakukan perjalanan yang jauh dari tempat tinggalnya. Faktor-faktor pendorong pengembangan pariwisata di Indonesia adalah: 1. Berkurangnya peranan minyak bumi sebagai sumber devisa negara jika 15
J.J. Spilane, Pariwisata Indonesia: Sejarah dan Prospeknya, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hal. 4. Ibid, hal. 7-8. 17 C. Fandeli, Dasar-dasar Manajemen Kepariwisataan Alam, Yogyakarta: Liberty, 1995, hal. 6-7. 16
8
dibandingkan tempo dulu, 2. Merosotnya nilai ekspor nonmigas, 3. Adanya kecenderungan peningkatan pariwisata secara konsisten, 4. Besarnya potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia bagi pengembangan pariwisata. 18 Ide mengenai pengembangan pariwisata berkelanjutan dimulai saat para peneliti mempertanyaan mengapa perkembangan pariwisata tidak mengikuti pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan aspek kontribusi komunitas terhadap pelestarian lingkungan. Padahal, pariwisata berkontribusi besar dalam perekonomian negara. Jika tidak dikelola dengan baik, maka pariwisata bisa menimbulkan dampak buruk seperti industrialisasi, yakni maraknya alih fungsi lahan
hijau
terbuka.
Mengingat
teori
pembangunan
pariwisata
yang
memperhatikan aspek kehidupan dalam Sustainable Tourism Development, maka teori pembangunan pariwisata secara berkelanjutan perlu menjadi dasar untuk membahas pemulihan pariwisata Indonesia pasca Bom Bali. Definisi pariwisata berkelanjutan fokus pada dua hal, yakni pariwisata sebagai aktivitas ekonomi dan pariwisata sebagai elemen kebijakan pembangunan berkelanjutan. Menurut Lane, pariwisata berkelanjutan adalah hubungan triangulasi yang seimbang antara daerah tujuan dengan habitat manusianya, pembuatan paket wisata, dan industri pariwisata dengan kondisi saling menguatkan tanpa ada kecacatan implementasi dari pemangku kepentingan.19 Maksudnya, pariwisata berkelanjutan jelas yang pertama akan mengedepankan promosi wisata berupa paket-paket yang menarik wisatawan. Yang melakukan hal tersebut adalah industri pariwisata. Dengan perkembangan pembangunan 18
J.J. Spilane, 1987, hal. 10-12. B. Lane, Sustainable Rural Tourism Strategies: A Tool for Development and Conservation. Journal of Sustainable Tourism, Vol. 2, No. 1 & 2, London: Routledge, 1994, hal. 14-16. 19
9
berkelanjutan yang memperhatikan kualitas lingkungan atau habitat makhluk hidup, maka pariwisata juga dituntut untuk mengusung konsep yang sama dengan tetap menjaga lingkungan dan melibatkan masyarakat. Dengan kata lain komunitas masyarakat daerah tujuan wisata tidak lagi menjadi objek wisata, melainkan dilibatkan sebagai pelaku wisata. Ada 3 pihak yang menjadi stakeholder dalam implementasi Sustainable Tourism Development, yakni pemerintah, pihak swasta, dan lembaga swadaya masyarakat yang mewakili masyarakat.20 Ketiga pihak tersebut mendukung kebijakan pembangunan pariwisata nasional. Ketika pariwisata menyentuh masyarakat, maka pembangunan ekonomi, pusat pembangunan manusia, desentralisasi kebijakan, kerjasama, dan konservasi lingkungan menjadi isu utama yang harus dimasukkan dalam setiap keputusan strategis. Dengan memasukkan kelima isu tersebut, pariwisata menjadi
melibatkan masyarakat
dalam
pembangunan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan.
1.3.2. Safety and Tourism Terorisme menjadi ancaman bagi setiap sejak peristiwa 9/11 di Amerika Serikat pada 2001. Setiap negara menjadi, mau tidak mau, ikut dalam kampanye internasional terkait pemberantasan terorisme dengan kebijakan internasional yang dicetuskan presiden Amerika Serikat saat itu, George Walker Bush, War on Terrorism. Menurut Larry Diamond, kebijakan tersebut perlu disinergikan denga dasar permasalahan dari aksi terorisme sendiri, yakni ketimpangan sosial,
20
Ibid, hal. 14.
10
ketidakadilan hukum, dan korupsi pemerintah.21 Ketika sekelompok orang atau minimal orang cerdas dari kaum yang tidak puas atas kejadian tersebut membuat konsep alternatif dari suatu tatanan masyarakat, maka hal itu menjadi awal mula dari radikalisme yang berujung pada aksi-aksi teror. Dari persidangan para tersangka Bom Bali, beberapa faktor penyebab terorisme yang dikemukakan Larry Diamond terbukti. Para pelaku sengaja mengebom area wisata yang berisi wisatawan mancanegara yang dianggap penyebab ketimpangan ekonomi dunia. Meskipun alasan para pelaku tidak logis karena terlalu jauh hubungan sebab-akibat dari aksi mereka dengan motivasi pengeboman sesungguhnya. Akibat dari aksi terorisme adalah penurunan jumlah kunjungan wisatawan asing yang merasa keamanan diri mereka tidak terjamin saat berada di negara yang telah diancam aksi teror tersebut. Padahal kemanan menjadi syarat terpenuhi pariwisata berkelanjutan. 22 Melihat akar dari aksi terorisme adalah ketidakpuasan terhadap kondisi di masyarakat yang timpang, yang bisa diwakili dengan keadaaan riil munculnya tempat yang menjadi simbol perputaran uang seperti tempat wisata modern (kafe, restoran, hotel, dll), maka terorisme secara tidak langsung memiliki hubungan dengan pariwisata, sejalan dengan pemikiran Llorca-Vivero (2008) yang menggarisbawahi kemajuan ekonomi dan demokrasi suatu negara yang memicu ketidakpuasan kelompok tertentu sehingga muncul aksi terorisme.23 Meskipun
21
Larry Diamond, A Political Strategy for Winning The War on Terrorism, Tanford University, 2002, hal. 14. 22 L. Dwyer et.al., Megatrends Underpinning Tourism to 2020, CRC for Sustainable Tourism, 2008, hal. 1-3. 23 L. LLorca-Vivero, “Terrorism and International Tourism: New Evidence”, Defence and Peace Economics, Vol. 19 (2), hal. 170.
11
sedikit sulit menyatakan bahwa pariwisata yang membawa arus warga negara asing ke dalam negeri menjadi pemicu kecemburuan sosial, argumen bahwa para pendatang atau pengunjung asing tersebut bisa membuat penduduk asli merasa terancam secara psikologis dan ekonomi. Jika ini yang terjadi, maka kesalahan ada pada pemerintah daerah yang kurang memperhatikan keterlibatan kelompok masyarakat di sekitar daerah wisata tersebut. Jika benar demikian, maka pengembangan pariwisata berkelanjutan tidak berjalan di daerah tersebut. Argumen yang sering menjadikan terorisme memiliki hubungan dengan pariwisata adalah terorisme memiliki efek terhadap pariwisata, yakni penurunan jumlah kunjungan dan kepercayaan wisatawan terhadap keamanan di daerah yang menjadi sasaran aksi terorisme tersebut. Terorisme menjadi penggangu dari syarat berjalannya program pariwisata, yakni keamanan. Dengan adanya aksi terorisme, maka pariwisata tidak berjalan dengan baik. Terorisme merupakan salah satu wujud dari ketidakamanan dengan level tindakan paling parah. Salah satu contoh negara yang rentan terhadap aksi terorisme adalah India. India
hampir
seperti
Indonesia
dalam
kontribusi
pariwisata
terhadap
perekonomian negara. Sejak tahun 1990an, India sering mengalami serangan dari teroris dari kelompok Tamil. Mereka tidak segan untuk mengebom area wisata seperti hotel di Mumbai. Sebagai bentuk respon terhadap aksi teror yang mengancam industri pariwisata, pemerintah dan swasta berkolaborasi dalam memulihkan pariwsiata. Pemerintah fokus pada sisi kemanan nasional dengan pengerahan aparat antiteroris, sementara swasta menciptakan sistem keamanan sendiri. Dalam kalimat sederhana, India menciptakan keamanan berlapis mulai
12
pintu masuk perbatasan dan bandar udara hingga ke penginapan wisatawan atau permukiman penduduk. Selain keamanan dari tindakan terorisme, salah tindakan dasar pemerintah dalam menajga keamanan adalah meminimalisasi tindakan kriminal yang menjadi definis sedehana dari keamanan di lingkup daerah. Pembangunan wilayah yang terus-menerus dilakukan pemerintah akan menciptakan suatu jurang di masyarakat, entah jurang ekonomi maupun status sosial. Menurut Bruce (1997), pembangunan wilayah yang tidak memperhatikan aspek keamanan dan kriminalitas cenderung berpotensi menciptakan wilayah yang criminal-friendly karena pembangunan tersebut tidak memperhatikan kehidupan kelompok tertentu yang mendorong perbuatan kriminal.24 Tindakan kriminal jika dibiarkan bisa mengakar dan meluas menjadi tindakan radikal berupa aksi terorisme seperti yang dijelaskan di atas. Pertahanan dan keamanan (safety and security) merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan dari industri pariwisata suatu negara. Perspektif tersebut dikemukakan oleh Magi (2001).25 Kegagalan mengelola keamanan dan pertahanan di daerah potensi pariwisata berarti menyiapkan daerah untuk gagal dalam mensejahterahkan masyarakat. Teorisme gagal diatasi akan mengganggu pariwisata. Jika pariwisata terancam, maka kepercayaan asing menurun sehingga perekonian daerah tersebut sulit maju. Berikut ini diagram korelasi terorisme, pariwisata, dan ekonomi yang dijelaskan oleh Magi. 24
D. Bruce, “Community Safety and Security: Crime Prevention and Development at the Local Level”, African Security Review, Vol. X (4), 1997, hal. 33. 25 L. M. Magi, “Tourism Safety and Security in Kwazulu-Natal: Perception, Reality, and Prospects”, Presentation Paper for International Geographical’s Union Commission Conference, Ceju, South Korea, August 9-13, 2000, hal. 15.
13
GAMBAR I.1.26 Diagram Korelasi Terrorism, Tourism, dan Economy
TERRORISM
TOURISM
ECONOMY
1.3.3. Strategy and The Role of Government in Tourism Ketika pembangunan suatu negara pada periode kepemimpinan stakeholder tertentu mengalami permasalahan, maka permasalahan tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi kepemimpinan stakeholder periode berikutnya. Ketika permasalahan sudah dieskalasi menjadi prioritas, maka kebijakan untuk menyelesaikan maslah tersebut diperlukan oleh stakeholder. Dari strategi tersebut, stakeholder dalam hal ini pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan lain di industri pariwisata perlu menyiapkan strategi yang mendukung teratasinya permalasahan dampak terorisme dalam pembangunan pariwisata. Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, mulai era Susilo Bambang Yudoyono, kebijakan disusun dalam jangka 26
Ibid.
14
panjang dan menengah dalam bentuk Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Kedua bentuk perumusan kebijakan tersebut menggantikan Garis-garis Besar haluan Negara yang dicanangkan sejak era Orde Baru. Menurut Hart (1967) yang memformulasikan teori strategi modern mengadopsi teori strategi Clausewitz, strategi adalah seni mendistribusikan dan mengaplikasikan maksud untuk memenuhi akhir dari suatu kebijakan.27 Artinya, kebijakan yang dibuat berdasarkan masalah atau fenomena tertentu bisa dicapai jika bersifat strategis atau memiliki strategi yang mensinkronisasi maksud, tujuan, dan proses. Menurut laporan World Economic Forum atau WEF ada 10 variabel yang dapat mempengaruhi ketidakstabilan sektor pariwisata di suatu negara. Masalah yang dihadapi Indonesia pasca Bom Bali adalah variable terrorism. Peristiwa Bom Bali menjadikan sektor pariwisata Indonesia menjadi tidak stabil. Kerugian yang diderita negara tidak sedikit. Perjalanan pariwisata sulit ditebak baik buruknya karena variabel yang dirangkum oleh WEF ternyata relevan dengan keadaan dunia pada era ini. Peran serta strategi yang diterapkan oleh pemerintah pada suatu Negara menjadi tolak ukur bagi perkembangan serta kemajuan sektor pariwisata, contohnya Indonesia. Konsep yang digunakan penulis dalam membahas mengenai strategi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam memulihkan sektor pariwisata pasca Bom Bali lalu yaitu konsep peranan pemerintah atau the role of government yang dikembangkan oleh James Elliott28
27
B.H.L. Hart, Strategy: The Classic Book of Military Second Revised Edition, Meridien, 1991, hal. 10-15. 28 James Elliott, Tourism: Politics and Public Sector Management, New York: Routledge, 2002, hal. 2.
15
“Governments are a fact in tourism and in the modern world. The industry could not survive without them. It is only governments which have the power to provide the political stability, security and the legal and financial framework which tourism requires.” Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pariwisata di suatu negara tidak akan jalan tanpa adanya pemerintah. Pemerintah sangat berperan dalam membantu meningkatkan sektor pariwisata karena pemerintah dapat membuat suatu keputusan atau kebijakan. Pemerintah dapat memaksa, serta memberikan sinergi melalui manajemen sektor publik. Pariwisata tidak sekedar aktivitas ekonomi atau suatu industri saja, pariwisata merupakan fenomena dinamis yang mendunia yang dapat menarik banyak negara di dunia serta dapat mempengaruhi masyarakat di dalamnya.29 Pemerintah sadar bahwa pariwisata merupakan sektor penting dalam perekonomian. Pemerintahan Indonesia sangat kuat karena didukung dan dibantu oleh aktor - aktor lainnya. Dalam menjalankan fungsinya, peran pemerintah juga didukung aktor – aktor seperti tabel berikut.30 Tabel I.3.31 Komunitas Kebijakan Pariwisata Komunitas Legislatif
Anggota Kongres/Parlemen,
Majelis
Tinggi,
Wakil-wakil Terpilih
29
Ibid, hal. 4 Ibid, hal. 9 31 James Elliott, 2002, hal.9. 30
16
Eksekutif Pemerintah
Pemerintah
Pusat
dan
Daerah,
Menejemen Sektor Publik, Menteri Pariwisata,
Otoritas
Hukum/Perusahaan Bisnis, Organisasi Pariwisata Nasional, Usaha Bersama Dengan Swasta Pemerintah Pusat dan Pemerintah Departemen Majelis Terpilih, Dewan Daerah
Terpilih, Perusahaan dan Menejemen Sektor Publik
Kelompok Kepentingan
Organisasi Kelompok
Non-Pemerintah, Ekonomi,
Sosial
dan
Lingkungan Industri
Hotel, Agen Perjalanan, Penerbangan, Serikat Buruh, Taman Hiburan
Partai Politik, Opini Publik, Media Masyarakat Madani, Rakyat, Warga Massa
Negara Lain
Cabang Yudisial
Pengadilan: Konstitusional, Nasional, Lokal
Organisasi Internasional
World Tourism Organisation (WTO), United
Nations
Development
Programme (UNDP), World Bank, Asian Development Bank
17
Tujuh elemen di atas yang membantu pemerintah dalam melaksanakan tugasnya untuk memajukan industri pariwisata. Di Indonesia, keberhasilan konsep peranan pemerintah ini didukung kuat oleh beberapa badan seperti Executive Branch Government, State Government & Local Government, Interest/pressure Group, hingga Industry. Karena kebijakan pemerintah berperan dalam mengatur industri dan aktivitas pariwisata, analisis multilevel kebijakan pariwisata secara turun-temurun fokus pada decision making di tingkat provinsi atau daerah.32 Di daerah, banyaknya aturan akan mendorong bagaimana pariwisata berevolusi secara bertahap naik, sehingga kebijakan pariwisata daerah akan mempengaruhi aspek pengembangan pariwisata (Williams, 1998).33 Menurut Williams, pembahasan mengenai kebijakan pemerintah dalam pengembangan pariwisata tidak bisa menggunakan disiplin ilmu pariwisata tunggal karena ilmu pariwisata itu sendiri merupakan ilmu turunan yang bersifat praktikal. Oleh karena itu, pembahasan atau analisis mengenai kebijakan pariwsata memerlukan kontrbusi dari berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu politik dan ilmu ekonomi. Peran serta pemerintah daerah dan aktor non pemerintah di daerah dalam kebijakan pariwisata memiliki justifikasi di lapangan bahwa lembaga-lembaga tersebut adalah pihak yang paling mengerti bagaimana pariwisata berinterkasi dengan kebutuhan dan lingkungan di daerah serta bagaimana cara mengelola yang sesuai dengan kondisi tersebut (Elliot, 1997).34
32
J. Craik, Resorting to Tourism: Cultural Policies for Tourist Development in Australia, North Sidney: Allen & Ulwin. 1991, hal. 30. 33 S. William, Tourism Geography, London: Routledge, 1998, hal 22. 34 James Elliot, hal. 20.
18
Selanjutnya peneliti akan menggunakan konsep two-level game theory yang dikembangkan oleh Robert Putnam. Putnam membagi cara penyelesaian resolusi konflik ke dalam level domestik dan level internasional.35 Penyelesaian resolusi konflik pada level domestik dilaksanakan oleh eksekutif atau pemerintah melalui pembangunan koalisi bersama dengan aktor – aktor masyarakat, sedangkan di tingkat internasional, eksekutif menerapkan apa yang menjadi tujuan Negara tanpa melakukan apa pun yang dianggap dapat merugikan stabilitas dalam negeri.36 Pembagian tingkatan tersebut dilakukan demi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan industri pariwisata Indonesia. Putnam menegaskan bahwa37: “At the national level, domestic groups pursue their interests by pressuring the government to adopt favourable policies. At the international level, national governments seek to maximize their own ability to satisfy domestic pressures, while minimizing the adverse consequences of foreign developments.” Kesimpulan dari kumpulan argumen Putnam tersebut adalah peranan pemerintah di suatu negara sangat penting. Karena pemerintah dapat membuat suatu kebijakan yang dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak. Sedangkan
di
tingkat
internasional,
pemerintah
harus
berusaha
untuk
memaksimalkan kemampuan mereka sendiri demi memenuhi keinginan dari aktor domestik, dan meminimalkan konsekuensi merugikan dari aktor eksternal yang bekerjasama dengan pemerintah. 35
Wikipedia, Two-Level Game Theory, , diakses tanggal 4 April 2013. 36 Ibid. 37 R.D. Putnam, E. Peter, dan Harold Karan, Double-Edge Diplomacy: International Bargaining and Domestic Politics, Berkeley: University of California Press, 1993, hal.434.
19
Gambar I.2.38 Faktor - Faktor Daya Saing Dalam Pariwista
Gambar di atas menjelaskan bahwa persaingan pariwisata dunia dapat dibagi menjadi 14 faktor pilar utama yang diharapkan mampu menjadi tolak ukur bagi setiap aktor yang menjalankan fungsi negara untuk meningkatkan daya saingnya dalam sektor pariwisata. Karena pariwisata sulit ditebak masa depannya, ada beberapa faktor yang dapat menghalangi kemajuan sektor ini seperti bencana alam, ketidakstabilan politik internal suatu negara, hingga kasus terorisme yang beberapa tahun belakangan ini sering terjadi. Thailand sudah cukup berhasil dalam menerapkan 14 pilar penting tersebut. Meskipun stabilitas politik nasional sering kolaps, pariwisata mereka tidak mati. Pembagian peran pemerintah pusat 38
World Economic Forum, The Travel & Tourism Report 2013, 26 April 2013, , diakses tanggal 26 Desember 2014.
20
dan daerah juga menjadi pilar utama penentu persistensi pariwisata Thailand. Konsep tersebut di atas juga bisa dibuktikan berlangsung di Indonesia pasca Bom Bali karena pemerintah Indonesia mampu menunjukkan kinerjanya yang dibantu oleh beberapa aktor dalam usaha memulihkan sektor pariwisata pasca peristiwa Bom Bali tersebut.
1.4.
Hipotesis Strategi yang digunakan pemerintah Indonesia dalam recovery Pariwisata
Indonesia pasca Bom Bali antara lain: Domestic Srategy dengan memerangi terorisme, menjaga kemanan, serta melakukan MICE Tourism untuk mengembalikan citra pariwisata Indonesia, sedangkan International Strategy dengan melakukan promosi secara besarabesaran, melakukan diplamasi agar travel warning dan travel ban yang ditujukan terhadap Indonesia dicabut.
1.5. Metodologi a.
Teknik pengumpulan data Untuk pengumpulan data penulis menggunakan studi kepustakaan, dimana
data - data tersebut diambil dari buku - buku, surat kabar, jurnal, internet serta sumber - sumber lain yang mempunyai keterkaitan serta mendukung masalah ini. b.
Teknik analisis data Untuk metode analisis, penulis menggunakan teknik deskriptif analisis,
yaitu metode penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara rinci suatu
21
fenomena tertentu atas data yang bersifat kualitatif dan dianalisis dengan kerangka teori yang digunakan.
1.6.
Sistematika Penulisan
Bab 1 Pendahuluan Bab ini menjabarkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, ruang lingkup, penelitian terdahulu, landasan teori, hipotesis, metodologi, dan sistematika penulisan. Bab 2 Komparasi Pariwisata Indonesia Sebelum dan Setelah Bom Bali Bab ini berisi ulasan tentang perkembangan pariwisata Bali sebelum dan sesudah Bom Bali dilihat dari periode-periode. Bab 3 Strategi Domestik Pemulihan Pariwisata Indonesia Pasca Bom Bali Bab ini berisi pemaparan strategi yang dilaksanakan pemerintah untuk memulihkan pariwisata Bali pasca Bom Bali di level domestik.
Bab 4 Strategi Internasional Pemulihan Pariwisata Indonesia Pasca Bom Bali Bab ini memaparkan analisis strategi pemerintah dalam memulihkan pariwisata Bali dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan, termasuk peran pihak lain (nonpemerintah) yang menjadi pemangku kepentingan juga dalam pariwisata. Bab 5 Kesimpulan Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang dilakukan serta masukan untuk pihak-pihak terkait penelitian ini.
22