BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa Sula (BS) termasuk dalam rumpun bahasa Melayu Polinesia. Sebagai media komunikasi, BS digunakan oleh masyarakat Sula untuk menyampaikan pikiran, perasaan, ide, gagasan bahkan keinginan mereka pada orang lain namun demikian BS pun sudah banyak dipengaruhi oleh banyak kata serapan dari bahasa Melayu Ambon yang mengisi kosakata BS. Dalam perilaku tutur/wicara, acap kali kita temui adanya campur kode antara penggunaan leksikon BS dan leksikon bahasa Melayu Ambon dalam tindak tutur. Hal ini disebabkan karena BS hanya digunakan oleh masyarakat sula yang tinggal di pedesaan. BS digunakan oleh empat suku besar yang ada dipulau Sulabesi (Sanana). Suku-suku tersebut yaitu suku Faahu, Fatcey, Fagud, dan Mangon dengan dialek bahasa yang berbeda. Perbedaan itu terdapat pada unsur prosodi serta perbedaan fonem pada setiap leksikon seperti /i/ dan /a/ dalam [giya] dan [gaya] yaitu makan. Dari segi struktur kalimat (pola urutan), BS menggunakan kalimat tunggal berpola S-P dan P-S. Kalimat tunggal BS yang berpola P-S terdapat pada kalimat yang unsur pengisi fungsi P-nya diisi oleh adjektif seperti pada kalimat berikut. (1) Boya ak Lapar saya ‘Saya lapar’ Jenis kalimat tunggal dapat dilihat dari strukturnya atau unsur-unsur pembentuknya. Unsur pembentuk kalimat tunggal tercermin dari unsur
1
2
bawahannya yaitu klausa. Dengan kata lain, kalimat tunggal adalah kalimat yang memenuhi unsur klausa (kalimat yang dibentuk oleh satu buah klausa). Artinya kalimat tersebut hanya memiliki unsur pengisi fungsi S dan P, dan bisa diperluas dengan menambahkan unsur lain seperti O, Ket, dan Pel namun bersifat opsional. Dalam perilaku tutur (tindak tutur), kalimat tunggal BS tidak hanya menggunakan pola S-P, namun ada juga yang menggunakan pola P-S pada kalimat tunggal yang unsur pengisi fungsi P-nya diisi oleh Adj./F.Adj seperti pada contoh (1). Bentuk kalimat tunggal BS dengan pola P-S bukan merupakan hasil inversi dari kalimat tunggal BS yang berpola S-P namun karena pola dan struktur kalimat tunggal BS yang unsur pengisi fungsi P diisi oleh Adj./F.Adj mengharuskan adanya perubahan tersebut. Jika pola ini dirubah menjadi pola S-P maka kalimat akan menjadi tidak sempurna baik dari segi sintaksis maupun semantisnya. Perubahan pola sturuktur kalimat tunggal BS terjadi karena adanya perubahan satu komponen tatabahasa yang mengakibatkan serangkaian perubahan komponen tatabahasa yang lain. Komponen-komponen itu dapat berupa pola urutan, kategori kata, dan unsur prosodi. Kridalaksana (2011: 197, 251, 113, dan 203) memberikan defenisi tentang pola urutan, kategori, dan prosodi adalah sebagai berikut. Pola urutan adalah pengaturan atau susunan unsur-unsur bahasa yang sistematis menurut keteraturan dalam bahasa yang secara teoritis terletak berderetan dalam satu hubungan formal. Kategori adalah penggolongan suatu bahasa yang dibeda-bedakan atas bentuk, fungsi, dan makna seperti kelas kata, jenis, kasus, dsb. Prosodi adalah ciri fonologis yang meliputi lebih dari satu segmen dalam kontinum ujaran, seperti pola intonasi, tinggi rendanya nada, atau
3
panjang pendeknya sebuah kata. Hal lain yang menarik untuk diteliti dari kalimat tunggl BS yaitu pada bentuk kalimat tunggal berpola S-P, unsur pengisi fungsi Snya diisi oleh N/FN, dan Pronomina serta adapula yang merupakan bentuk akumulasi dari N/FN dan pronominal yang mengisi fungsi S secara bersamaan. Abdul Chaer (2009:1) menjelaskan bahwa bahasa adalah fenomena yang menghubungkan dunia makna dengan dunia bunyi. Sebagai penghubung di antara kedua dunia tersebut, bahasa dibangun oleh tiga buah komponen, yaitu komponen leksikon, komponen gramatika, dan komponen fonologi. Pada bahasan ini, peneliti akan mengkaji komponen yang kedua yaitu komponen gramatika (tatabahasa) yang ditinjau dari segi sintaksis. Slametmuljana (1959:18) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tatabahasa adalah aturan-aturan yang menata komponen bahasa menjadi kalimat yang terstruktur. Dalam linguistik atau ilmu bahasa terdapat dua tataran, yaitu tataran fonologi dan dan tataran tatabahasa atau gramatika. Sintaksis dan morfologi bersama-sama merupakan tataran tata bahasa (Sukini, 2010:3). Kajian sintaksis tentang kalimat disebutkan bahwa kalimat tidak selalu dalam bentuk yang panjang, namun bisa juga dalam bentuk yang pendek tergantung dari arus ujarannya. Perhatikan contoh berikut. (2) a. [bihu]! ‘pulang’! b. Ana mahei bau suglela Anak kecil melakukan bermain ‘Anak-anak bermain di lapangan’
bu lapangan di lapangan
Dari contoh diatas, dapat kita lihat bahwa baik kata, frase, dan bentukbentuk lain yang selama ini disebut kalimat dapat menjadi calon kalimat. Sesuai dengan aksioma yang disampaikan oleh beberapa linguis seperti Bloomfiled, dan
4
Charles F. Hocket dalam Parera (2009:21) bahwa “A sentences is a grammatical form which is not in instruction which any other gramatical form: a constitute which is not a constituent“. (“Kalimat merupakan pola tatabahasa yang tidak dalam instruksi bentuk tata bahasa lain: suatu konstitut bukan konstituen"). Dengan demikian maka, bentuk [bihu] ‘pulang’! dalam (2a) adalah kalimat karena ia adalah bentuk ketatabahasaan yang maksimal dalam tutur tersebut. Kalimat (2b) di atas teridiri dari satu klausa yang terdiri dari S, yaitu ana mahei, P, yaitu bau suglela, dan KET, yaitu bu lapangan. Tiap-tiap fungsi dalam klausa itu terdiri dari satuan yang disebut kata seperti [suglela] ‘bermain’ dan ada juga dalam bentuk frase, seperti [ana mehi] ‘anak-anak] dan [bu lapangan] ‘di lapangan’ yang masing-masing terdiri dari dua kata diantaranya yaitu ana dan mahei, yang membentuk satu frase ana mahei, bu dan lapangan yang membentuk frase bu lapagan. Kaitannya dengan aksioma diatas, maka saya juga akan mengutip pandangan Lado yang dikutip oleh Parera (2009:22) tentang kalimat bahwa: “The smallest unit of full expression is the sentence, not the word. We talk in sentences”. ("Unit terkecil dari ekspresi penuh adalah kalimat, bukan kata. Kita berbicara dalam kalimat”). Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa kata adalah bagian dari kalimat. Kata tidak dapat menjadi ekspresi yang lengkap dan penuh jika ia tidak menjadi kalimat sendiri. Dalam sintaksis dijelaskan bahwa klausa ana mahei suglela bu lapangan terdiri dari unsur-unsur fungsional S, ialah ana mahei, P, suglela, dan KET, ialah bu lapangan. Konstituen ana mahei termasuk frase nomina (FN), konstituen suglela termasuk golongan Verba (V), dan konstituen bu lapangan termasuk frase
5
adverbial (AV). Jadi secara kategorial klausa tersebut terdiri dari N, diikuti V, dan diakhiri dengan AV. Berangkat dari sintesa diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang berbagai aspek pemakaian bahasa Sula. Oleh karena itu penelitian ini diusahakan untuk dapat mendeskripsikan pola pembentukan kalimat tunggal BS yang akan dirincikan lebih jelasnya pada bagian rumusan masaalah.
1.2 Rumusan Masaalah Sebagaimana yang dibahas oleh Umasugi (2008:4) dalam tesisnya bahwa bahasa Sula (BS) belum banyak ahli yang menelitinya, baik linguis dalam negeri maupun linguis mancanegara. Dalam tesisnya Umasugi baru mengkaji tentang sistem morfologi BS. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti akan mengkaji bagaimana BS dibentuk menjadi sebuah kalimat dengan judul ‘Kalimat Tunggal BS‘. Berangkat dari konsepsi diatas, maka rumusannya adalah bagaimanakah struktur kalimat tunggal bahasa Sula sebagai masaalah utama dalam penelitian ini yang kemudian terrincikan dalam beberapa pertanyaan sebagai rumusan masaalah berikut ini: 1. Jenis kalimat tunggal apa sajakah yang ada dalam BS dan bagaimana pola pembentukannya? 2. Kategori apa saja yang dapat mengisi unsur fungsional kalimat tunggal BS? 3. Peran semantis apa saja yang dapat mengisi unsur fungsional kalimat tunggal BS?
6
1.3 Tujuan Penelitian Berangkat dari rumusan masalah di atas maka penelitian ini secara umum diarahkan untuk mengetahui dan menjelaskan kalimat tunggal BS, dan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masaalah yang tertuang dalam rumusan masaalah diatas, yaitu: 1. Menguraikan dan mengeksplanasi jenis kalimat tunggal yang ada dalam BS dan bagaimana pola pembentukannya 2. Menjelaskan dan mendeskripsikan kategori yang dapat mengisi unsur fungsional kalimat tunggal BS. 3. Menjelaskan peran semantis yang dapat mengisi unsur fungsional kalimat tunggal BS. Untuk mencapai tujuan diatas, data yang dapat dipakai dalam penelitian ini harus dikebangkan dari bahasa internal (bahasa-I) peneliti. Bahasa-I peneliti disini adalah pengetahuan bahasa Indonesia peneliti. Namun perlu dijelaskan pula bahwa selain bahasa Indonesia, BS juga adalah bahasa ibu penulis sehingga dapatlah dikatakan bahwa penulis termasuk penutur asli BS sehingga diharapkan dengan mudah penulis dapat mendeskripsikan tujuan penelitian yang tertuang dalam tujuan penelitian diatas. Apabila ketiga tujuan itu dicapai, hasil penelitian ini dapat memberi sumbangan terhadap kemajuan linguistik pada umumnya, dan juga diharapkan bisa menjadi bahan acuan untuk pemertahanan BS sebagai upaya pelestarian kearifan lokal budaya. Selanjutnya diharapkan agar hasil penelitian ini dapat membantu menjawab pertanyaan mendasar tentang hakikat bahasa yang merupakan tujuan linguistik pada umumnya, yakni (i) apakah pengetahuan bahasa
7
seseorang itu (ii) bagaimana pengetahuan bahasa itu diperoleh, dan (iii) bagaimana pengetahuan bahasa itu dipergunakan (Chomsky, 1986a). 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapakan bisa menggali struktur BS dari segi sintaksis yang akan membahas kalimat tunggal dalam BS. Selanjuntya penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan sekaligus sebagai literatur tambahan untuk mengkaji tentang bahasa dari segi sintaksis. 1.4.2
Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini untuk keperluan standarisasi dan pengajaran BS di Kabupaten Kepulauan Sula sekaligus sebagai upaya untuk mengeksplorasi BS dikalangan nusantara maupun macanegara. 1.5 Tinjauan Pustaka Sekalipun BS belum melegenda di dunia linguistik, namun BS sudah pernah diteliti oleh pemerhati BS yang juga merupakan putra Sula. Penelitian BS yang sudah pernah dilakukan diantaranya yaitu Umamit (1994) dalam skripsinya yang berjudul Morfologi Bahasa Sula: Suatu Tinjauan Deskriptif. Dalam penelitian Umamit tentang Morfologi BS masih terbatas pada deskripsi awal mengenai beberapa afiks dalam BS. Selanjutnya Umasugi (2008) dalam tesisnya yang berjudul Sistem Morfologi Verba Bahasa Sula, dan Umasugi dalam penelitiannya masih terbatas pada sistem morofologi verba BS diantaranya yaitu pembahasan tentang pembentukan verba BS, proses morfofonemik, fungsi verba bahasa Sula, dan makna verba bahasa Sula, namun sebagai penutur asli BS peneliti melihat bahwa ada sedikit kekeliruan dalam penetapan sebuah leksikon
8
yang dimasukan sebagai afiks BS serta belum adanya bahasan tentang struktur BS dalam bidang kajian sintaksis sehingga perlu diadakan penelitian yang lebih komprehensif yang membahas tentang sintaksis BS. Sementara itu kajian tentang BS dari perspektif Linguistik Historis Komparatif pernah disinggung sedikit oleh Collins (1981) melalui Umasugi (2008:7). Dalam penjelasannya disebutkan bahwa kajian yang dilakukan oleh Collins menyoroti ulang tentang hipotesis R.A.Blust mengenai Central MalayoPolynesia (CMP) sebagai sebuah sub-group besar dari bahasa-bahasa Austronesia di Maluku Tengah dan Selatan. Selain itu penelitian yang sama juga dilakukan oleh Eser (1938) seperti dikutip oleh Collins (1983) dalam Umasugi (2008:7) menyebutkan juga dalam kajiannya yang berjudul ‘Penggolongan Bahasa Bacan’ bahwa bahasa Bacan termasuk dalam kelompok Sula-Bacan. Salah satu dari tujuh belas kelompok bahasa Melayu-Polinesia yang dicontohkan di Indonesia. Eser tidak mengelompokkan Sula-Bacan ini dengan kelompok Loinang (LoinangBobong dan Balantak). 1.6 Landasan Teori BS merupakan bahasa alami yang tumbuh secara natural dilingkungan masyarakat Sula, namun dikarenakan adanya kebutuhan bahasa dalam suasana sosial kemasyarakatan sehingga terjadinya campur kode dan alih kode dalam tindak tutur yang tentunya akan mempengaruhi pemertahanan BS. Untuk mengkaji BS dari segi sintaksis, penulis juga akan menggunakan konsep yang di terapkan oleh Chomsky tentang kerangka kerja tatabahasa semesta (TBS) sehingga diharapkan dapat diterapkan untuk menjelaskan prinsip-prinsip dan unsur-unsur dalam bahasa Sula.
9
1.6.1 Pengertian Sintaksis Sintaksis adalah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase, berbeda dengan morfologi yang membicarakan seluk beluk kata dan morfem (Ramlan, 2005:18). Tallerman (2011:1) mendefenisikan sintaksis sebagai berikut “Syntax’ means ‘sentence construction’: how words group together to make phrases and sentences” (“Sintaks 'berarti' konstruksi kalimat: bagaimana kata-kata berkelompok bersama untuk membuat frasa dan kalimat"). Lebih lanjut dijelaskan bahwa “the term syntax is also used to mean the study of the syntatic properties of languages. In this sense, it's used in the same way as we use 'stylistics' to mean the study of literature style” (“Istilah sintaksis ini juga digunakan untuk mengartikan studi tentang sifat sintaksis bahasa. Dalam pengertian ini, ia digunakan dengan cara yang sama seperti yang kita gunakan dalam 'stilistika' yang artinya studi tentang gaya sastra”). The word syntax comes originally from Greek and literally means ' a putting together' or 'arrangement' (Yule, 2010:96). (“ kata sintaks aslinya berasal dari bahasa Yunani dan secara literal berarti 'yang menyusun' atau 'pengaturan”). Pengertian yang sama juga disampaikan oleh Verhaar (1992:70) bahwa sintaksis berasal dari bahasa Yunani, Suntattein, yang dibentuk dari sun artinya ‘dengan’ tattein artinya ‘menempatkan’. Jadi istilah suntattein secara etimologis berarti ‘menempatkan bersama-sama kata menjadi kelompok kata atau kalimat dan kelompok-kelompok kata menjadi kalimat. Syntax is the branch of linguistics which is concerned with the way words (the smallest units of syntax) combine to form sentences (the largest units of
10
syntax (Finegan, et.al, 1992:108). (“sintaksis adalah cabang linguistik yang berkaitan dengan cara kata-kata (unit terkecil dari sintaksis) bergabung untuk membentuk kalimat (unit terbesar dari sintaksis”). Kridalaksana (2011: 223) medefenisikan sintaksis adalah subsistem bahasa yang mencakup tentang kata yang sering dianggap bagian dari gramatika yaitu morfologi dan cabang linguistik yang mempelajari tentang kata. Sementara itu kata sintaksis dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Belanda syntaxis. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah syntax. Tarigan (1984) mengemukakan bahwa sintaksis adalah salah satu cabang dari tatabahasa yang membicarakan struktur kalimat, klausa dan frase. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Parera (2009:1) menjelaskan bahwa sintaksis ialah pembicaraan mengenai unit bahasa kalimat, klausa dan frase. Senada dengan Parera, Tarigan dan Ramlan; Sukini (2010:14) juga memberikan defenisi yang sama bahwa sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk frasa, klausa dan kalimat dengan satuan terkecilnya berupa bentuk bebas, yaitu kata. Sintaksis menurut Kridalaksana (1983:154) adalah pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata, atau dengan satuansatuan yang lebih besar, atau antara satuan-satuan yang lebih besar itu dalam bahasa. Styker (melalui Tarigan, 1985:3) menyatakan bahwa sintaksis adalah ilmu yang membahas pola-pola penggabungan kata-kata menjadi kalimat. Disisi lain Block dan Trager mengatakan bahwa sintaksis adalah analisis kontruksi yang hanya melibatkan bentuk-bentuk bebas. Pendapat lain disampaikan oleh Arifin dan Jumaiyah (2008:1) menyatakan bahwa sintaksis adalah cabang linguistik yang
11
membicarakan hubungan antar kata dalam tuturan (speech), dan unsur bahasa yang termasuk didalam lingkup sintaksis adalah frase, klausa, dan kalimat. Dari pendapat-pendapat diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang seluk-beluk kata, frase, klausa, dan kalimat. 1.6.2 Pengertian Kalimat Untuk
memberikan
defenisi
tentang
kalimat,
Bloomfield
dalam
karangannya yang berjudul “ A set of Postulates for the Science of Language “ yang dikutip oleh Parera (2009:21) memberikan patokan pengertian kalimat sebagai “ A maximum X is an X which is part of a larger X “ lebih lanjut dijleaskannya bahwa “A maximum from which in any utterance is a sentecen. Thus, a sentence is a form which, in the given utterance, is not part of a larger construction”. (“Maksimal dari yang ada dalam ucapan apapun adalah sebuah kalimat. Dengan demikian, kalimat adalah bentuk yang, dalam ucapan yang diberikan, bukan bagian dari konstruksi yang lebih besar ") Kalimat adalah satuan lingual yang mempunyai pola intonasi final serta ditandai dengan adanya lagu akhir turun atau naik. Kridalaksana (2011:103) mendefenisikan kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa. Pengertian yang sama juga disampaikan oleh Chaer (2009:44) bahwa kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final.
12
Kalimat adalah satuan bahasa yang terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan ataupun asimilasi bunyi ataupun proses fonoligis lainnya. Dalam wujud tulisan berhuruf latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!); sementara itu, didalamnya disertakan pula berbagai tanda baca seperti koma (,), titik dua (:), tanda pisah (-), dan spasi. Tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru sepadan dengan intonasi akhir, sedangkan tanda baca lainnya sepadan dengan jeda. Spasi yang mengikuti tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru melambangkan kesenyapan (Alwi, dkk, 2003:311). Menurut Ramlan (2005:23) kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai oleh nada akhir turun atau naik. Parera (2009:21) menjelaskan bahwa kalimat adalah sebuah bentuk ketatabahasaan yang maksimal yang tidak merupakan bagian dari sebuah konstruksi kebahasaan yang lebih besar dan lebih luas. Konsep dasar kalimat yang disampaikan oleh Parera sebagaimana dijelaskan oleh Charles F. Hocket (dalam Parera, 2009:21) “A sentence is a grammatical form which is not in instruction which any other grammatical form: a constitute which is not a constituent” (“sebuah kalimat merupakan bentuk gramatikal yang tidak dalam instruksi yang melarang setiap bentuk tata bahasa lainnya: sebuah konstitut tidak termasuk konstituen”). Dengan mengaitkan peran kalimat sebagai alat interaksi dan kelengkapan pesan (message) atau isi (content) yang akan disampaikan, kalimat dapat
13
didefenisikan sebagai susunan kata-kata yang teratur yang berisikan pikiran yang lengkap. Sedangkan dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis yang lebih (kata, frase, dan klausa) bahwa kalimat adalah satuan sintakasis yang disusun berdasarkan konstituen dasar yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan serta diakhiri dengan intonasi final. Sebagai contoh, perhatikan tuturan yang membentuk sebuah kalimat dalam BS dibawah ini: Bet gapila iya kim dadab gi nib bo uma. Gi bau fa hiya mai moya. Awa lepa mana, faf bau maga. Tora ok mai maab mua pel. Gi dau lal du awa duwa. Iya musim leya mai dua, fa mehi bu sanana gan bira mai mahal. Pip gan ta baha kit non do uta mai dahi moya. Fa la, gilaka yana duwa soklat fat bagahiya mara dahi la ta baha kit non do uta mehi te. Koi gi bau kim bapamalas gaika e. Kalau diperhatikan orang mengucapkan tuturan diatas, jelas bahwa adanya penggalan-penggalan atau jeda yang bertingkat-tingkat. Ada yang pendek misalnya antara kata bet, gapila dan iya, dan antara kata awa, lepa dan mana, ada yang sedang, misalnya antara frase kim dadab, gan bira, dan mai mahal, dan adapula yang panjang dan disertai dengan nada akhir panjang atau pendek. Jeda panjang yang disertai nada akhir turun terdapat dalam tuturan pel, fa, dan la, sedangkan jeda panjang yang disertai nada akhir naik terdapat dalam tuturan te. Jadi berdasarkan intonasinya, yaitu berdasarkan adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Tuturan diatas membentuk sebelas satuan kalimat, yaitu: (3) a. Bet gapila iya kim dadab gi nib bo uma Hari berapa ini kamu hanya kamu duduk di rumah ‘Berapa hari ini kamu hanya duduk dirumah saja’ b. Gi bau fa hiya mai moya Kamu mengerjakan sesuatu satu pun tidak ‘Kamu tidak mengerjakan sesuatu apapun’
14
c. Awa lepa mana, faf bau maga Kebun diatas sana, babi kerja sampe ‘Kebun kita sudah dihancurkan oleh babi’ d. Tora ok mai maab mua pel Pagar dalam tapi lapuk habis sudah ‘Pagar juga sudah lapuk semua’ e. Gi dau lal duwa du awa Kamu taruh hati lagi dengan kebun ‘Kamu perhatikan kebun lagi’ f. Iya musim leya mai duwa Ini musin panas VB lagi ‘Ini sudah musim panas’ g. Famehi bu Sanana gan bira mai mahal pel Barang-barang di Sanana seperti beras VB mahal VBKP ‘Barang-barang seperti beras di Sanana juga sudah mahal’ h. Pip gan ta baha kit non do uta mai dahi moya Uang seperti kita beli kita punya dengan sayur VB ada tidak ‘Uang untuk kita beli dengan sayur saja tidak ada’
i. Fa la, gi laka yana duwa soklat fat bagahiya Sesuatu agar kamu pergi melihat lagi cokelat biji satu-dua ‘Coba kamu pegi melihat cokelat satu-dua biji‘ j. Mara dahi la ta baha kit non do uta mehi te Mungkin ada agar kita membeli kita punya dengan sayur lagi VB
‘Mungkin ada agar kita bisa membeli dengan sayur’
k. Koi gi bau kim bapamalas gaika e jangan kamu membuat kamu malas seperti itu ‘jangan kamu malas seperti itu’ Dari contoh diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa setiap tutur/wicara terbentuk dari kalimat dan/atau kalmat-kalimat. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sebuah tutur/wicara terbentuk atas kalimat yang berlangsung dalam arus ujaran yang berupa bunyi (Parera, 2009:21). Bentuk [yana] ‘lihat/melihat’ dalam (i) artinya jika melihat kemudian barang yang dilihat itu ada berarti langsung diambil sekalian. Bentuk [duwa] ‘lagi’ dan [mehi] ‘lagi’ adalah dua leksikon yang artinya sama namun berbeda penggunaannya dalam kalimat.
15
Bentuk [duwa] adalah sebuah leksikon dalam BS yang bermakna melibatkan seseorang dalam suatu aktifitas dan membentuk kalimat imperatif dan bentuk [mehi] adalah sebuah leksikon dalam BS yang berfungsi sebagai sebuah ungkapan permohonan untuk melibatkan seseorang dalam sebuah aktifitas dan membentuk kalimat eksklamatif. Perhatikan contoh penggunaan kedua leksikon dalam kalimat dibawah ini. (4) a. Dol i duwa Ajak dia lagi ‘Ajak dia lagi’ b. Dol i mehi Ajak dia lagi ‘Paling tidak dia juga diajak’ 1.6.2.1 Pengertian Kalimat Tunggal Kalimat tunggal adalah bentuk satuan lingual yang memenuhi unsur klausa. Putrayasa (2006:1) menjelaskan bahwa kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa. Senada dengan pendapat Putrayasa, Alwi, dkk,. (2003:338) menjelaskan bahwa kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa. Hal ini berarti bahwa konstituent untuk setiap unsur kalimat, seperti subjek dan predikat, hanyalah satu atau merupakan satu kesatuan. Perhatikan contoh kalimat tunggal BS dibawah ini. (5) Syavilah bit giya Syavilah VBKF makan ‘Syavilah akan makan’ S P Kalimat tunggal tidak selalu dalam wujud yang pendek yang hanya terdiri atas subjek dan predikat, tetapi juga dapat berupa kalimat panjang dengan hadirnya unsur lain, seperti objek, pelengkap, atau keterangan. Contoh:
16
(6) ih bit kuliah bu UGM mereka VBKF kuliah di UGM ‘mereka akan kuliah di UGM S P KET (7) kam bit ka bau grup balajar kami VBKF kami membuat kelompok belajar ‘Kami akan membentuk kelompok belajar’ S P O (8) in munara bal jaga matapia dahi PM Pekerjaan IFS awasi orang mendapat sel pakahiya i bu saiya sel/tahanan semuanya dia di sini ‘pekerjaan dia mengawasi semua narapidana di sini’ S P O KET
1.6.2.2 Pengertian Kalimat Dasar Kalimat dasar adalah kalimat yang hanya terdiri dari dua unsur wajib yaitu subjek dan predikat. Kalimat dasar menurut Arifin dan Junaiyah (2008:55) adalah kalimat yang terdiri atas unsur-unsur pokok, yaitu unsur subjek dan predikat dan belum mendapatkan perluasan. Sugono (1997:97-98) mendefenisikan kalimat tunggal sebagai kalimat yang berisi informasi pokok dalam struktur inti. Perubahan itu dapat berupa penambahan unsur seperti penambahan keterangan subjek, predikat, objek ataupun pelengkap. Perubahan itu dapat juga berupa penukaran urutan unsur (S-P P-S) atau berupa perubahan dari bentuk aktif ke pasif. Disamping itu, perubahan yang dimaksud itu termasuk peniadaan unsur tertentu, seperti kalimat yang terdiri atas subjek saja, atau objek saja, bahkan keterangan saja. Hal senada juga disampaikan oleh Alwi dkk (2003:319) bahwa yang dimaksud dengan kalimat dasar adalah kalimat yang (i) terdiri atas satu klausa, (ii) unsur-unsurnya lengkap, (iii) susunan unsur-unsurnya menurut urutan yang paling
17
umum, dan (iv) tidak mengandung pertanyaan atau pengingkaran. Dengan kata lain, kalimat dasar di sini identik dengan kalimat tunggal deklaratif afirmatif yang urutan unsur-unsurnya paling lazim. Sukini (2010:79) menjelaskan bahwa kalimat dasar terdiri atas satu klausa, dan bersifat bebas. Artinya, klausa itu tidak terikat pada bentuk yang lain, baik makna maupun strukturnya. Contohnya: (9) a. i bihu dia pulang ‘dia pulang’ S P b. ih nona bu yoi mereka tidur di kamar ‘mereka tidur di kamar’ S P KET 1.7 Metode Penelitian Metode berkaitan dengan hipotesis; namun demikian, bukan hanya dengan hipotesis saja metode itu berkaitan, melainkan juga dengan kerangka pikir atau teori. Metode yang baik haruslah sesuai dengan sifat objeknya (yaitu bahasa); maka teorilah yang ‘memberitahukan’ mengenai sifat itu (Sudaryanto, 1992:26). Untuk memudahkan peneliti dalam penelitian, metode yang digunakan berperan sangat penting sebagai strategi kerja berdasarkan kerangka fikir dan sistem terntentu. Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena (Kridalaksana, 2009:153). Djajasudarma (2010:4) menjelaskan bahwa metode penelitian merupakan alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian (dalam mengumpulkan data). Metode penelitian bahasa berhubungan erat dengan tujuan penelitian bahasa. Penelitian bahasa bertujuan untuk mengumpulkan data dan mengkaji data, serta mempelajari fenomena-fenomena kebahasaan.
18
Untuk mencapai tujuan, penelitian ini menggunakan dua bentuk analisis, yaitu analisis
kategorial dan analisis fungsional. Analisis kategorial adalah
analisis kalimat dari sudut pandang kategori (Ramlan, 2001: 78). Kategori kata itu berupa kata penuh seperti nomina, verba, adjektiva serta kata tugas seperti preposisi atau kongjungsi. Analisis fungsional adalah analisis kalimat dari sudut pandang fungsi, seperti subjek (S), predikat (P), dan objek (O). Karena unsur pengisi fungsi S dan O tergolong kategori nomina, maka nomina yang berfungsi S dilambangi dengan N1 dan nomina yang berfungsi sebagai O dilambangi dengan N2. Di samping itu, karena analisis kategorial merupakan kelanjutan dari analisis fungsional, penggunaan analisis fungsional pun tidak dapat dihindari jika unsur pengisi fungsi P berasal dari non-verba. Penelitian tentang perubahan bahasa sudah dilakukan oleh beberapa ahli. Poedjosoedarmo (2000) meneliti tentang perubahan sintaksis dalam bahasa melayu. Dikatakan bahwa perubahan pola urutan dari VSO menjadi SVO dalam bahasa melayu mengakibatkan sejumlah perubahan mendasar. Berangkat dari konsep diatas, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat penelitian deskriptif, yaitu mendeskripsikan kalimat tunggal BS berdasarkan fenomena kebahasaan yang sesuai dengan pemakaian bahasa dalam komunitas masyarakat Sula dengan menggunakan sistem ortografi dengan mengikuti pola bahasa Indonesia serta pendekatan struktural. Pelaksanaan metode ini ditempuh melalui beberapa tahap yaitu tahap pengumpulan data, menganalisa data, dan penyajian hasil anasilis data. Alasan penulis menggunakan pendekatan struktural diantaranya yaitu (1) karena bahasa merupakan suatu produk karena itu bahasa dapat ditelaah secara
19
ilmiah, (2) bahasa merupakan sistem yang teratur yang unsur-unsurnya saling berhubungan untuk mencapai suatu deskripsi yang faktual, informatif, serta aktual maka digunakan metode sebagaimana dikembangkan oleh Sudaryanto (1993: 1112) dengan melalui tiga tahap yaitu: (i) pengumpulan data, (ii) tahapan analisis data, (iii) tahap penyajian hasil analisa data. 1.7.1
Populasi dan Sampel Sevilla dkk mendefenisikan populasi seperti yang dikutip oleh Mahsun
(2005:28) bahwa populasi sebagai kelompok besar yang merupakan sasaran generalisasi. Dalam hubungannya dengan penelitian bahasa, pengertian populasi terkait dengan dua hal, yaitu masaalah satuan penutur dan masaalah satuan territorial. Dalam hubungannya dengan masaalah penutur, populasi dimaknai sebagai keseluruhan individu yang menjadi anggota masyarakat tutur bahasa yang akan diteliti dan menjadi sasaran penarikan generalisasi tentang seluk-beluk bahasa tersebut (Mahsun, 2005:28). Sudaryanto (1988:21; 1990:35-37) telah memberikan gambaran mengenai populasi dan sampel. Tuturan yang sudah ada atau sudah diadakan, baik yang kemudian terpilih sebagai sampel maupun tidak, sebagai kesatuan, kesemuanya dapat disebut “ populasi “. Hal ini berarti bahwa populasi itu dapat dimengerti sebagai jumlah keseluruhan para pemakai bahasa tertentu yang tidak diketahui batas-batasnya akibat dari banyaknya orang yang memakai (dari ribuan sampai jutaan). Lamanya pemakaian (disepanjang hidup penutur-penuturnya), dan luasnya daerah serta lingkungan pemakaian. Mengingat jumlah keseluruhan pemakaian bahasa demikian besarnya sehingga tidak memungkinkan ditangani kesemuanya secara efektif dan efesien,
20
dalam kerja penelitian tuturan hasil pemakaian bahasa itu diambil sebagian saja yang dipandang representatif dan mewakili keseluruhan tuturan itulah yang disebut “sampel” atau “percontoh” (Sudaryanto, 1990:33). Hal senada juga disampaikan oleh Mahsun (2005:29) bahwa mengingat banyaknya jumlah penutur dan luasnya wilayah pakai suatu bahasa yang akan diteliti, serta keterbatasan tenaga, waktu, dan biaya maka sumber data dapat ditentukan dengan sebagian dari populasi tersebut. Pemilihan sebagian dari keseluruhan penutur atau wilayah pakai bahasa yang menjadi objek penelitian sebagai wakil yang memungkinkan untuk membuat generalisasi terhadap populasi itulah yang disebut sampel penelitian. Dengan demikian maka populasi dalam penelitian ini berwujud keseluruhan tuturan hasil pemakaian bahasa Sula, sedangkan sampelnya adalah hasil pemakaian kalimat tunggal dalam bahasa Sula. 1.7.2
Sumber Data Hal yang ada kaitannya dengan data adalah menyangkut sumber data, yang
didalamnya terdapat masaalah yang berhubungan dengan populasi, sampel dan informan (Mahsun, 2005:28). Untuk mendapatkan data, penelitian ini akan dilaksanakan di Sula (Sanana) Kabupaten Kepulauan Sula Propinsi Maluku Utara. Sudaryanto (1993:3) memberi batasan data sebagai bahan penelitian, yaitu bahan jadi (lawan dari bahan mentah), yang ada karena pemilihan aneka macam tuturan (bahan mentah). Sebagai bahan penelitian, maka didalam data terdapat objek penelitian (gengstand) dan unsur lain yang membentuk data, yang disebut konteks (objek penelitian). Secara teknis, bahan jadi penelitian itu kemudian disebut “ data” (Mastoyo, 1993:23). Sebagai bahan jadi, data itu diturunkan dari sampel. Sampel penelitian ini berwujud kalimat tunggal BS.
21
Bahan jadi atau data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari dua sumber, yaitu dari sumber lisan dan dari sumber tertulis. Bahan dari sumber lisan diambil dari bahasa Sula peneliti sendiri dan beberapa informan yang diambil pada saat penulis mengadakan penelitian dilapangan. Perlu dijelaskan pula bahwa bahasa Sula penulis itu diangkat sebagai sumber data karena penulis adalah penutur asli (native speaker) bahasa Sula. Sebagai penutur asli, tentunya penulis paham betul bahasa Sula dan tentu saja dapat menghayati penggunaan bahasa Sula itu dengan baik. Penghayatan itu bukan sekedar hal mengetahui atau memahami makna bahasa melainkan lebih dari itu. Artinya bahwa selain mengetahui penggunaan bahasa Sula, penulis juga dapat memahami bahasa Sula. Mastoyo (1993:23) menggunakan istilah “ hal mengetahui plus yang secara teknis dapat disebut pemahaman” karena yang diperoleh bukan hanya sekedar dengan pikiran yang bekerja (menangkap objeknya) secara diskursif, berurutan setahap demi setahap, sebagian demi sebagian, melainkan juga dengan intuisi yang bekerja (menangkap objeknya) secara serta merta sekaligus, dan menyeluruh atau total (Sudaryanto, 1988:45-46). Guna lebih mengetahui keberterimaan bahasa dimaksud, kemudian bahasa itu diujikan pula kepada penutur-penutur asli lainnya yang ada di Sula yang cara pengujian dilakukan secara random artinya satu frase sampai pada satu kalimat akan diujikan kepada lebih dari dua penutur asli yang digunakan penulis sebagai informan penelitian untuk mencari keberterimaan penggunaan frase atau kalimat tersebut dalam bahasa Sula.
22
1.7.3
Metode Pengumpulan Data Data merupakan bahan pokok dalam sebuah penelitian. Penelitian tidak
akan ada apabila datanya tidak ada pula (Nadra & Reniwati, 2009:60). Metode dalam ilmu pengetahuan adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan
suatu
kegiatan
guna
mencapai
tujuan
yang
ditemukan
(Djajasudarma, 2010:65). Hal senada juga disampaikan Sudaryanto (1993:131) yang menggunakan istilah penyediaan data sebagai padanan istilah pengumpulan data. Mahsun (2005:92) bahwa metode penyediaan data ini diberi nama metode simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Selanjutnya penulis menggunakan istilah pengumpulan data. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap. Metode simak adalah metode yang digunakan untuk menyimak bahasa yang digunakan oleh informan dalam pembicaraannya. Zulaeha (2009:63) menjelaskan bahwa metode simak adalah cara yang digunakan peneliti untuk memperoleh data yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Metode simak digunakan untuk menyimak pemakaian bahasa oleh informan. Dalam hal ini, peneliti ikut berpartisipasi dalam pembicaraan sambil menyimak berian dari informan dan sekaligus merekam dan mencatat hal-hal yang dianggap perlu guna melengkapi data. Selain merekam pembicaraan dari informan, digunakan juga metode cakap semuka (Sudaryano, 1993:7). Teknik rekam dianggap sangat penting untuk mengecek keaslian data. Metode cakap adalah salah satu langkah pengambilan data yang ditempuh oleh peneliti dengan cara libat cakap dengan informan. Zulaeha
(2009:63)
23
menjelaskan bahwa metode cakap adalah cara yang ditempuh dalam pengumpulan data berupa percakapan antara peneliti dengan informan. Metode cakap ini memiliki teknik dasar berupa teknik pancing. Pancing atau stimulasi itu biasanya berupa makna-makna yang tersusun dalam daftar pertanyaan. 1.7.4
Metode Analisis Data Data penelitian yang sudah tersedia kemudian diklasifikasi menurut peran
konstituen
pusatnya.
Hasil
klasifikasi
itu
kemudian
dianalisis
dengan
menggunakan metode agih. Metode agih adalah metode analisis yang alat penentunya berada didalam dan merupakan bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1991:2, 5). Metode agih itu dilaksanakan melalui teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar adalah teknik bagi unsur langsung. Teknik dasar itu digunakan untuk memilahkan konstituen atau peran yang satu dengan konstituen atau peran yang lain dalam kalimat yang sama. Teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik lesap, teknik balik, teknik ganti dan atau teknik parafrase. Teknik lesap digunakan untuk mengetahui kadar keintian keberadaan suatu peran didalam kalimat. Caranya ialah dengan melesapkan peran yang dimaksud. Jika pelesapan itu menghasilkan kalimat atau konstruksi kalimat yang kurang berterima bahkan tidak berterima, berarti peran yang bersangkutan memiliki kadar keintian yang tinggi, dan dengan demikian peran itu bersifat inti sehingga sebagai konstituen pembentuk kalimat, peran yang bersangkutan mutlak diperlukan (Periksa Sudaryanto, 1991:24). Perhatikanlah konstituen yang dicetak miring dalam dua kalimat dibawah ini: (10) Aisa bau fa dahi pel Aisa melakukan sesuatu benar VBKP ‘Aisa sudah melakukan hal yang benar’
24
(11) A
wa maaf do ak baba Saya mengambil maaf/tangan dengan saya punya bapak/ayah ‘Saya berjabat tangan dengan bapak saya’
Pada kalimat (10) diatas, konstituen [fa dahi] ‘sesuatu benar’ yang diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia yaitu ‘hal yang benar’ berfungsi sebagai O, sedangkan pada kalimat (11) pada konstituen [do ak baba] ‘dengan bapak saya’ berfungsi sebagai Ket. Kedua fungsi tersebut bersifat inti. Akibatnya jika keberadaannya dilesapkan dari kalimatnya masing-masing, maka akan menghasilkan kalimat yang tidak berterima. Bandingkanlah kalimat (10a) dan (11a) berikut ini: (10a) * Aisa bau... (aisa melakukan…) (11a) * A wa maaf… (saya berjabat tangan…) Berbeda halnya dengan konstituen [bauhi dahina] ‘tadi malam’ yang berperan temporal dalam kalimat (12) yang berikut. Peran temporal itu merupakan peran bukan inti sehingga bila dilesapkan pun tidak mengakibatkan keruntuhan kalimat bagian sisanya. Perhatikanlah kalimat (12) dibawah ini: (12) a. Rusli damoha laka bauhi dahina Rusli barusaja berangkat malam tadi ‘Rusli baru saja berangkat tadi malam’ b. Rusli damoha laka Rusli barusaja berangkat ‘Rusli baru saja berangkat’ Teknik balik digunakan untuk mengetahui kadar ketegaran letak suatu peran didalam kalimat. Teknik balik itu dilaksanakan dengan mengubah struktur kalimat yang bersangkutan. Dalam pengubahan itu, yang berubah bukanlah jumlah dan wujud perannya, melainkan wujud strukturnya. Caranya ialah dengan memindahkan letak suatu konstituen atau peran ke tempat lain dalam kalimat yang
25
sama. Bila konstituen atau peran itu dapat dipindahkan letaknya, berarti letaknya tidak tegar, tetapi bila letaknya tidak dapat dipindahkan, berarti letaknya tegar (Mastoyo, 1993:27). Amatilah konstituen [in lima pat] ‘tangannya patah’ yang berperan lokatif dalam kalimat (13) dibawah ini: (13) Lisa dabol i bal in lima Lisa jatuh dia IFS PM tangan ‘Lisa jatuh lalu tangannya patah’
pat patah
Letak peran lokatif itu tegar. Oleh karena itu, bila letaknya diubah menjadi seperti pada (13a) dan (13b) berikut dibawah ini, justru tidak saling berterima. (13a) I bal in lima pat Lisa dabol Dia IFS PM tangan patah Lisa jatuh ‘Dia yang punya tangan patah Lisa jatuh’ (13b) In lima bal pat Lisa dabol PM tangan IFS patanh Lisa jatuh ‘Tangannya yang patah Lisa jatuh’ Perhatikan pula kalimat (13c) dibawah ini, dimana terjadi proses pelesapan (delation) pada objek pronomina [i] ‘dia laki-laki/dia perempuan’ yang merupakan perubahan dari kalimat “ Lisa dabol i bal in lima pat” (Lisa jatuh lalu tagannya patah). (13c) Lisa dabol, in lima bal pat Lisa jatuh PM tangan IFS patah ‘Lisa jatuh, tangannya yang patah’ Teknik ganti, yang biasanya disebut pula dengan istilah (teknik distribusi) yaitu teknik analisis dengan menggantikan satuan lingual tertentu didalam suatu kalimat dengan satuan lingual yang lain diluar kalimat yang bersangkutan (Verhaar, 1979:108). Teknik ganti itu dimanfaatkan untuk mengetahui kemungkinan adanya perubahan struktur peran yang disebabkan oleh perubahan kategori satuan lingual konstituen tertentu. Amatilah kalimat (14) dibawah ini.
26
(14) I dol kena bu pasar Dia membawa ikan di pasar ‘dia membawa ikan dipasar’ Struktur peran kalimat (14) adalah agentif [i] ‘dia’ -aktif [dol] ‘membawa’lokatif [bu pasar] ‘di pasar’. Kalau konstituen [bu pasar] dalam kalimat (14) itu diganti dengan satuan lingual [ak] ‘saya’, sehingga terbentuk kalimat (14a) berikut, ternyata mengakibatkan perubahan struktur peran kalimat (14). Dengan adanya penggantian itu, struktur peran kalimat (14a) bukan lagi agentif-aktiflokatif, melainkan agentif [i] ‘dia’ –aktif [dol kena] ‘membawa ikan’ –reseptif [ak] ‘saya’ yang didahului oleh preposisi [bu] ‘untuk’. (14a) I dol kena bu ak Dia membawa ikan untuk saya ‘dia membawa ikan untuk saya’ Teknik parafrase digunakan untuk mengungkapkan atau memparafrasekan kembali kalimat dengan cara lain dengan tidak mengubah maknanya yang dapat memberi kemungkinan adanya penekanan yang berbeda. Teknik paraphrase, sama halnya dengan teknik perluas, digunakan untuk mengidentifikasi fungsi dan kategori yang mengisi unsur kalimat tunggal BS. Amatilah konstituen (15) Fiqah wosa bu in nyaya’n uma lal (16) buk iya i yag habar pilnaka. (15) Fiqah wosa in nyaya’n uma lal Fiqah masuk PM mama rumah dalam ‘Fiqah masuk dalam rumah mamanya’ (16) Buk iya i yag habar pilnaka Buku ini dia (peng. kata benda) membicarakan masaalah korupsi ‘Buku ini membicarakan masalah korupsi’
Kedua konstituen itu hadir sebagai pengisi fungsi Ket yang berperan lokatif dan dikategorikan sebagai frase nomina (FN) karena dalam bentuk
27
parafrase berikut konstituen [buk iya] akan didahului oleh preposisi [bo/bu] ‘di’ yang berfokus makna ‘tempat berada’ sedangkan konstituen [in nyaya’n uma lal] juga didahului oleh preposisi [bu] ‘di dalam’ yang berfokus pada ‘tempat tujuan’ (15a) Fiqah wosa bu in nyaya’n uma lal Fiqah masuk ke -nya mama rumah dalam ‘Fiqah masuk kedalam rumah mamanya’ (16a) Habar pilnaka deha bu buk Masaalah korupsi dibicarakan dalam buku ‘Masaalah korupsi dibicarakan dalam buku ini’
iya ini
Perlu penulis jelaskan juga agar tidak meninggal tanya dalam hati pembaca tentang penggunaan bentuk /‘n/ pada kalimat (15) bahwa /’n/ adalah konstituen yang digunakan untuk menunjukkan kepunyaan (possessive pronoun) yand diujarkan dengan menempelkan ujung lidah pada bagian langit-langit keras (hard palate) dan bersuaralah seperti biasa sehingga menghasilkan bunyi {nn} seperti dalam dengan. /’n/ adalah bentuk nasal yang dihasilkan dengan cara mengeluarkan udara melalui hidung. Sebagaimana dalam bahasa Inggris yang mengenal
bentuk
/‘s/
yang digunakan
untuk
menunjukkan
kepunyaan
(possessive), bahasa Sula pun menggunakan /‘n/ untuk menjelaskan kepunyaan. Amatilah contoh dibawah ini. (17) Anton’n buk ‘bukunya Anto / Anto punya buku / buku milik Anto’ (18) Syavilah’n HP ‘HPnya Syavilah / Syavilah punya HP / HP milik Syavilah’ (19) Ihi’n sandal ‘Sandalnya mereka/Mereka punya sndal/Sandal milik mereka’
1.7.5
Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data yang digunakan adalah penyajian yang
dilakukan secara informal. Penyajian hasil analisis data secara informal yaitu bentuk penyajian hasil analisis dengan menggunakan kata-kata (Sudaryanto, 1993:145). Selain itu data juga akan dianalisa secara kontekstual, yakni
28
bergantung pada konteks kalimat yang diungkapkan. Untuk menganalisis serta mendeskripsikan data hasil penelitian, penulis menggunakan penulisan dengan sistem ortografi dengan mengikuti pola bahasa Indonesia. 1.8 Sistematika Penulisan Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi delapan hal, yaitu latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan,
yang
terakhir,
mengeksplanasikan
sistematika
jenis
kalimat
penyajian. tunggal
Bab BS
II
menguraikan
dan
dan
bagaimana
pola
pembentukannya. Bab III membahas kategori pengisi fungsi kalimat tunggal BS. Bab IV mendeskripsikan tentang peran-peran semantis pengisi unsur kalimat tunggal BS. Dan terakhir pada Bab V yaitu penutup yang berisi simpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan saran yang diajukan peneliti untuk penelitian selanjutnya yang serupa ataupun peneliti yang akan mengkaji BS dari variable yang berbeda.