BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Selain bahasa sebagai alat manusia untuk mengekspresikan pikiran dan perasaanya, bahasa juga mempengaruhi pikiran manusia itu sendiri. Ilmu Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai tingkah laku sosial (social behavior) yang dipakai dalam komunikasi karena masyarakat itu terdiri atas individu-individu, masyarakat secara keseluruhan, dan antarindividu saling mempengaruhi dan saling bergantung. Bahasa sebagai milik masyarakat juga tersimpan dalam diri masing-masing individu. Setiap individu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa dan tingkah laku bahasa individu itu dapat berpengaruh luas pada anggota masyarakat lainnya. Akan tetapi, individu tetap terikat pada “aturan permainan” yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Oleh karena itu, jika bahasa ditinjau dari segi sosial, kelompok masyarakat di kota Pematangsiantar terdiri atas beberapa kelompok etnik yang memiliki tingkah laku kebahasaan yang menunjukkan ciri tersendiri dengan bahasa daerah masing-masing dan bahasa Indonesia. Dilihat dari fungsinya, fungsi bahasa daerah berbeda dengan fungsi bahasa Indonesia dan masing-masing bahasa mempunyai ranah (domain) yang berbeda pula. Bahasa daerah membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam ranah kerumahtanggaan (family), ketetanggaan (neighborhood) kekariban (friendship) sedangkan bahasa Indonesia membangun suasana formal, keresmian,
Universitas Sumatera Utara
kenasionalan, dan dipakai, misalnya, dalam ranah persekolahan (sebagai bahasa pengantar), ranah kerja (sebagai bahasa resmi dalam rapat, alat komunikasi antarpegawai dengan tamu kantor), dan dalam ranah keagamaan (dalam kotbah). Selain itu, bahasa sering juga dipakai sebagai ciri etnik dan ciri bangsa. Bahasa dikatakan sebagai ciri etnik; bahasa daerah adalah identitas suku, bahasa dikatakan sebagai ciri bangsa; bahasa nasional sebagai identitas bangsa. Masyarakat di kota Pematangsiantar adalah masyarakat majemuk (plural society). Oleh karena itu, masyarakatnya merupakan masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual (multilingual society) atau masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Biasanya suatu kelompok etnis menggunakan dua bahasa, yakni bahasa tradisional mereka dan bahasa lain yang dominan. Fenomena yang terjadi di kota Pematangsiantar, yaitu ada kelompok pendatang yang menjadi gayub di wilayah itu, tetapi gayub pendatang itu bahasanya berintegrasi pada masyarakat pribumi, yaitu etnik Toba (pendatang) yang berbahasa Toba dengan etnik Simalungun (pribumi) yang berbahasa Simalungun. Keheterogenan suku-suku di kota Pematangsiantar itu menyebabkan situasi keanekabahasaan sangat kental. Sehubungan dengan itu, penelitian-penelitian yang telah dilakukan ahli-ahli sosiolinguistik menghasilkan suatu kesimpulan bahwa negara yang aneka bahasa mempunyai masalah lebih banyak dibandingkan dengan negara ekabahasa. Pada tataran praktis, kesulitan komunikasi suatu negara dapat menjadi rintangan bagi kehidupan ekonomi dan industri serta gangguan sosial. Lebih serius lagi, keanekaan bahasa itu bekerja berlawanan dengan arah nasionalisme.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kenyataan bahwa negara-bangsa (nation-state) ekabahasa itu tampak lebih stabil daripada negara aneka bahasa dan berdasarkan pentingnya bagi nasionalisme maka perkembangan rasa nasionalis terasa lebih sulit bagi negara aneka bahasa daripada negara ekabahasa. Akan tetapi, keanekaan bahasa itu dalam dunia pendidikan agak berbeda. Dalam beberapa hal, strategi terbaik bagi bahasa dalam pendidikan adalah memakai bahasa etnik—tingkat SD. Bagaimana pun bahasa etnik itulah yang telah dikuasai anak-anak sehingga pelajaran bisa segera dimulai tanpa menunggu sampai anak-anak belajar bahasa nasional. Akan tetapi, dari sisi lain, strategi ini dapat merugikan perkembangan nasionalisme jika anak menerima pendidikan dalam bahasa etnik mereka. Disamping itu, pembelajaran bahasa daerah pada usia dini dapat juga meningkatkan eksistensi bahasa etnik itu dan menjadikannya sebagai lambang nasionalisme yang kontra nasioanal. Sehubungan
dengan
keadaan
masyarakatnya
yang
majemuk
dan
multibahasawan, fenomena kebahasaan yang terjadi di kota Pematangsiantar, yaitu adanya kecenderungan dari masyarakat untuk menggunakan lebih dari satu bahasa secara “bebas”. Pilihan bahasa yang satu alih-alih bahasa yang lain untuk suatu peristiwa tutur bersifat manasuka. Fenomena itu menimbulkan kekhawatiran bahwa dalam kurun waktu yang cepat atau lambat bahasa yang satu akan menjadi lebih disukai untuk peristiwa-peristiwa tutur yang berlangsung sehingga berdampak pada matinya bahasa yang tidak disukai itu. Penerimaan bahasa yang asing di lingkungan suatu masyarakat penutur bahasa disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah motivasi yang ada pada mereka. Sementara itu, dalam politik kebahasaan di Indonesia
Universitas Sumatera Utara
dinyatakan bahwa bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi dianalogikan sebagai dua sisi mata
uang yang saling mendukung.
Salah satu sisi hilang maka tidak bernilailah uang itu. Keheterogenan masyarakat di kota Pematangsiantar yang mengubah perilaku bahasa masyarakat penutur bahasa Simalungun akan menyebabkan masalah pilihan bahasa (language choice) yang berlanjut pada pergeseran bahasa (laguage shift) sehingga pemertahanan bahasa (language maintenance) Simalungun tidak terlaksana. Hal itu, nantinya bisa saja menyebabkan kemunduran bahasa (language decline) yang berakhir pada kepunahan bahasa (language death). Adanya pergeseran sikap masyarakat
penutur
bahasa
Simalungun
yang
mempunyai
kecenderungan
menggunakan bahasa Toba dan bahasa Indonesia yang tidak taat azas akan mengakibatkan bocornya diglosia pada masyarakat tutur itu. Dalam situasi itu, masyarakat harus tahu menentukan pilihan bahasa apa untuk ranah atau situasi yang bagaimana. Jika masyarakat dalam berbagai ranah lebih menyukai memakai bahasa Toba maupun bahasa Indonesia terus-menerus, bahasa Simalungun menjadi tergeser, mundur, dan kemudian punah. Sebaliknya, jika dalam berbagai ranah, khususnya ranah yang menuntut penggunaan bahasa Simalungun digunakan, masyarakat lebih menyukai memakai bahasa Simalungun terus-menerus maka bahasa Simalungun akan bertahan. Fenomena kebahasaan yang terjadi di kota Pematangsiantar itu jugalah yang melandasi penelitian ini dilakukan dengan mengambil tema Sikap Masyarakat Tutur.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Masalah Penelitian Bahasa bersifat dinamis. Dalam situasi masyarakat yang aneka bahasa atau masyarakat multilingual (multilingual society) menyebabkan potensi diglosia dan perubahan sikap bahasa pada penuturnya. Sejalan dengan asumsi itu, masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. (1) Bahasa apakah yang digunakan masyarakat bahasa Simalungun pada masingmasing ranah? (2) Bagaimanakah frekuensi penggunaan bahasa Simalungun, bahasa Toba, dan bahasa Indonesia oleh penutur bahasa Simalungun? (3) Bagaimanakah situasi diglosia pada penutur bahasa Simalungun? (4) Bagaimanakah sikap bahasa penutur bahasa Simalungun terhadap bahasanya, apakah cenderung positif atau negatif?
1.3 Tujuan Penelitian Sejalan dengan permasalahan dalam penelitian ini, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1) bahasa yang digunakan masyarakat bahasa Simalungun pada setiap ranah, 2) frekuensi penggunaan bahasa Simalungun, bahasa Toba, dan bahasa Indonesia pada penutur bahasa Simalungun agar diketahui apakah terjadi pergeseran bahasa Simalungun pada penutur bahasa Simalungun, 3) mengidentifikasi apakah telah terjadi kebocoran diglosia atau tidak pada penutur bahasa Simalungun, dan 4) kecenderungan sikap penutur bahasa Simalungun terhadap bahasanya, yakni apakah cenderung positif atau negatif.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Manfaat Penelitian Setelah didapat kesimpulan yang ilmiah tentang fenomena diglosia dan sikap penutur bahasa Simalungun di kota Pematangsiantar, temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dan akademis bagi masyarakat bahasa Simalungun khususnya dan bagi bangsa Indonesia umumnya. Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah setelah didapat informasi tentang fenomena diglosia bahasa Simalungun maka diharapkan agar terwujud diglosia yang tidak bocor di kota Pematangsiantar sehingga eksistensi bahasa Simalungun dapat terjaga dan terciptanya kesadaran berbahasa Simalungun yang positif sehingga bahasa daerah itu tetap dapat memenuhi perannya sebagai penanda identitas etnis, baik dalam peran sosial dan alat komunikasi maupun sebagai bahasa pemerkaya khasanah perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia. Dengan demikian, maslahat selanjutnya pada bahasa nasional, yakni diharapkan bahwa perumusan perencanaan bahasa nasional akan dapat dilakukan secara lebih cermat sehingga pemasyarakatan bahasa Indonesia dapat terlaksana dengan baik khususnya di kota Pematangsiantar. Dengan demikian, bahasa Indonesia dapat tetap menjatikan dirinya sebagai lambang identitas nasional. Selanjutnya, manfaat bagi dunia akademis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi bidang pengajaran bahasa sebagai bahan masukan dalam menentukan kebijakan pengajaran bahasa daerah, terutama pada tingkat pendidikan dasar. Sementara itu, maslahat dalam teori kebahasaan diharapkan dapat memberikan
Universitas Sumatera Utara
sumbangan bagi pemerkaya khazanah ilmu kebahasaan terutama dalam membekali penelitian kebahasaan yang lebih luas lagi, yakni kajian makrososiolinguistik.
Universitas Sumatera Utara