BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Penulis sangat tertarik pada artikel dalam majalah National Geographic yang berjudul „Saving Energy It Starts at Home‟.1 Artikel ini membahas tentang bagaimana menyelamatkan lingkungan dimulai dari setiap individu dan dari rumah sendiri. Sekilas ide ini tampak sederhana, dan penulis yakin banyak orang mengetahui ide ini, atau bahkan bisa jadi ada yang sudah pernah mencobanya di rumah masingmasing. Kendati demikian, menurut penulis, artikel ini tidak biasa karena ia ditulis berdasarkan pengalaman nyata dari percobaan sebuah keluarga di utara Virginia, dan ternyata mereka berhasil dengan ide bagus ini. Ide ini mereka namakan „diet baru‟. Keluarga ini mulai menerapkan diet bagi seluruh anggota keluarganya, bukan diet untuk menurunkan kelebihan berat badan, tetapi diet untuk menjawab berbagai pertanyaan berkaitan dengan perubahan iklim yang saat ini selalu menganggu. 2 Keluarga ini serius dalam melakukan percobaan ide ini, sebab mereka mulai dengan membuat kapan tanggal percobaaan akan dimulai dan kapan akan berakhir. Selanjutnya, seluruh anggota keluarga juga diminta untuk membuat daftar
1
Peter Miller, ‟Saving Energy It Starts at Home‟ dalam National Geographic, Maret 2009,
2
Lihat lebih jauh, Ibid.
hlm. 62
1
apa yang akan dikurangi dari kegiatan mereka dalam menggunakan energi listrik. Sebagai contoh, berjanji untuk tidak akan mencuci lagi dengan menggunakan mesin pencuci, begitu juga dalam mengeringkannya, selanjutnya berjanji tidak memakai penyejuk atau penghangat ruangan atau masih memakai tetapi ketika benar-benar dibutuhkan, tidak menggunakan air secara berlebihan dan sebagainya. Ternyata, kegiatan ini dapat mengurangi pemakaian listrik dan energi lain yang terlampau berlebihan.3 Jika demikian, ide ini mungkin dapat dijadikan salah satu cara yang bagus untuk menyelamatkan dan memelihara lingkungan saat ini. Menurut seorang aktivis lingkungan dan teolog, Robert Borrong, akhirakhir ini perhatian masyarakat untuk menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan hidup memang semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan pengetahuan yang semakin banyak dan pengalaman yang semakin nyata bahwa saat ini lingkungan hidupnya atau bumi sedang sakit dan rusak.4 Pernyataan Borrong ini tampaknya tidaklah berlebihan, sebab saat ini geliat masyarakat dalam memperhatikan isu lingkungan bisa ditemukan di berbagai sisi kehidupan. Pernyataan senada juga dilontarkan oleh beberapa aktivis dan pemerhati masalah lingkungan lainnya, misalnya Evelyn Suleeman.5 Ia mengatakan bahwa saat
3
Ibid.
4
Robert P. Borrong, „Etika Lingkungan Hidup dari Perspektif Kristen‟ dalam Jurnal Pelita Zaman, volume 13, No. 1, (Bandung: Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita, 1998), hlm. 8. 5
Evelyn Suleeman adalah dosen pada Jurusan Sosiologi di Universitas Indonesia. Ia juga seorang aktivis lingkungan. Ia bersama dengan beberapa temannya mendirikan sebuah komunitas bernama Lantan Bentala. Komunitas ini fokus terhadap masalah lingkungan dengan salah satu
2
ini masalah lingkungan menjadi isu menarik jika dibandingkan tahun 2008, atau saat komunitas Lantan Bentala miliknya yang fokus dalam isu lingkungan baru berdiri. Bahkan, lebih jauh ia menegaskan bahwa di Indonesia sekarang jauh lebih banyak lembaga, kelompok atau komunitas yang peduli lingkungan, mulai dari Partai Politik, kelompok mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok keagamaan, bisnis, sampai komunitas setempat seperti Komunitas Peduli yang menyelenggarakan banyak kegiatan terkait lingkungan.6 Saat ini, lingkungan kita memang masuk dalam kondisi krisis dan rusak di mana-mana. Tidak hanya bentuk krisis lingkungan fisik seperti krisis air, tanah, udara, bahkan iklim, tetapi juga krisis lingkungan biologis. Krisis lingkungan biologis, misalnya terlihat dari semakin punahnya tumbuh-tumbuhan dan satwa-satwa langka di sekitar kita. Aneka macam perburuan dan perdagangan satwa langka disinyalir sebagai penyebab utama krisis lingkungan biologis itu. Semua akar persoalannya ditemukan tidak jauh dari keblengkapan hidup ekonomis manusia.7
slogannya „we must nurture our mother earth‟ Lihat, http://staff.ui.ac.id/profil/detail_dosen.php?id=131660872, diakses pada tanggal 2 April 2013 lihat juga http://lantanbentala.wordpress.com/2008/07/24/lantan-bentala/, di akses pada tanggal 4 April 2013. 6
http://lantanbentala.wordpress.com/agen-perubahan/ diakses pada tanggal 4 April 2013.
7
Sebagaimana diungkapkan oleh Th. Sumartana bahwa sejauh ini hubungan antara ekonomi dan lingkungan (ekologi) memang menjadi pusat perhatian, sebab pada dasarnya masalah ekologi timbul sebagai akibat dan korban dari kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi yang menjadi tulang punggung pembangunan sering begitu dianak-emaskan sebegitu rupa sehingga ia menjadi terlalu manja dan kurang diawasi, kenakalan mereka dibiarkan. Selanjutnya hubungan ekonomi dan lingkungan menunjukkan wajah yang buruk, lebih jauh lihat, Th. Sumartana, “Ekonomi, Ekologi dan Etika” dalam YB. Banawiratma, dkk (ed.), Merawat & Berbagi Kehidupan, cet. ke-1, (Yogyakarta: Kanisius, 1994).
3
Selanjutnya, akibat eksploitasi lingkungan dengan tidak memikirkan daya dukung yang dimiliki, lingkungan pun akhirnya terkorbankan. Beragam bencana alam menjadi pemandangan yang sering kita jumpai dengan menyisakan beragam penderitaan dan kerugian.8 Berbagai krisis lingkungan tersebut juga terjadi di berbagai wilayah Indonesia, yang sebagian juga diakibatkan oleh perbuatan manusia. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup di Indonesia yang tidak pernah beranjak ke tahap yang lebih baik, ternyata sangat terkait dengan berbagai kasus pelanggaran hukum yang terjadi di tanah air.9 Padahal, disadari atau tidak, kerusakan yang terjadi, telah dan dapat menganggu keseimbangan alam dan pada ujungnya mengancam berbagai sektor yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan baik saat ini maupun di masa depan.10 Berangkat dari asumsi bahwa lingkungan sudah dalam kondisi rusak di mana-mana, yang meliputi krisis lingkungan fisik dan bilogis, maka menyadarkan masyarakat untuk mengoreksi pola pikir dan tindakan-tindakan sosial mereka selama ini. Kemudian, sambil tidak tinggal diam berbuat sesuatu untuk memikirkan masa depan lingkungan, baik di tingkat afeksi, kognisi, psikomotorik maupun tindakan yang bersifat teoritis dan praktis, sebab bagaimanapun persoalan-persoalan 8
Rachmad K. Dwi Susilo, Sosiologi Lingkungan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008),
hlm. viii. 9
Ibid.
10
Akhsin Sakho Muhammad, dkk (Ed.) Fiqh Lingkungan (Fiqh al-Bi’ah), (Sukabumi: Indonesia Forest and Media Campaign (INFORM).
4
lingkungan jelas karena watak-watak manusia, terutama sebagai konsekuensi interaksi manusia dengan alam/lingkungan.11 Maka tidak mengherankan jika krisis lingkungan yang terjadi saat ini memerlukan kesadaran dan kepedulian dari berbagai kelompok masyarakat, bukan hanya terbatas pada aktivis atau pemerhati lingkungan saja tetapi idealnya semua lapisan masyarakat, baik individu maupun kelompok, seperti masyarakat awam, akademisi, agamawan, dan pemerintah. Dengan demikian menjadi masuk akal ketika banyak dari para pemerhati lingkungan tersebut mencoba dan berusaha untuk merumuskan berbagai konsep dan teori baru untuk mengurangi berbagai masalah lingkungan saat ini, bukan hanya terbatas pada teori atau konsep yang bernuansa sekuler tetapi juga teori atau konsep yang bernuansa religius. Beberapa tahun terakhir ini, konsep teologi lingkungan mulai muncul di permukaan. Dalam Islam ada beberapa pemikir yang mengatakan bahwa konsep teologi lingkungan sudah ada sejak dahulu12 tetapi umat Islam belum menyadarinya, agar mereka menyadari dan memahami, maka mereka merumuskan teologi lingkungan secara teoritik. Keadaan yang tidak jauh berbeda juga ditemukan dalam agama Kristen. Beberapa pemikir Kristen merasa perlu untuk merumuskan teori tentang lingkungan berdasarkan nilainilai agama atau kitab suci.13
11
Susilo, Sosiologi Lingkungan, hlm. viii.
12
Lihat Ali Yafie, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, (Jakarta: Ufuk Press, 2006).
13
Lihat, Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, (Jakarta: BPK.Gunung Mulia, 2003).
5
Konsep tentang teologi lingkungan ini memang relevan untuk digagas saat ini, sebab konsep dan teori lingkungan berdasarkan nilai-nilai agama mampu melengkapi kekurangan dari teori-teori lingkungan yang bersifat sekuler. Dengan demikian menelusuri dan menganalisis konsep-konsep teologi lingkungan menjadi sangat perlu. Selanjutnya penelusuran ini akan menjadi lebih menarik sebab penulis bukan hanya akan menelusuri pada satu agama saja tetapi akan melihat kepada dua agama sekaligus yaitu Islam dan Kristen. Penulis tidak memungkiri bahwa masingmasing agama, - bukan hanya terbatas pada Islam dan Kristen, - pasti mempunyai konsep atau teori tentang lingkungan berdasarkan nilai-nilai agama, misalnya teologi lingkungan Budha, teologi lingkungan Hindu dan sebagainya. Selain itu penelusuran ini juga akan melihat bagaimana posisi pemikiran teologi lingkungan Abdillah dan Borrong dalam bidang teologi lingkungan secara luas dibandingkan dengan pemikirpemikir teologi lingkungan dalam Islam dan Kristen yang sudah ada. Adapun alasan pemilihan kepada dua agama tersebut adalah; (1) penulis menganggap kedua agama tersebut lebih kontekstual dalam merespons masalah lingkungan, khususnya dalam konsep atau teori lingkungan yang berbasis pada nilainilai agama (teologi lingkungan), (2) selanjutnya alasan lain adalah tentu saja agar penulisan tesis ini tidak terlampau melebar, sehingga didapatkan hasil penelitian yang dalam dan radikal. Sementara untuk menelusuri teologi lingkungan pada kedua agama tersebut, tesis ini akan memfokuskan pada pemikiran Mujiyono Abdillah dan Robert P. Borrong yang disandarkan kepada buku mereka yaitu; Agama Ramah Lingkungan 6
Perspektif Al-Qur’an14 (Mujiyono Abdillah) dan Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong). Adapun pemilihan pada dua tokoh tersebut karena karya mereka bisa dikategorikan sebagai salah satu karya yang mewakili konsep atau teori lingkungan berdasarkan nilai-nilai kitab suci dari Islam dan Kristen. Selain itu, kedua buku ini ditulis oleh aktivis lingkungan yang memang mempunyai dasar agama yang kuat dan teolog, yakni seorang pendeta dan akademisi (Robert P. Borrong) dan seorang aktivis lingkungan dan akademisi yang sangat ahli dalam agama Islam (Mujiyono Abdillah). Maka secara khusus, fokus dari kajian tesis ini adalah untuk mengetahui konsep teologi lingkungan dalam Islam dan Kristen menurut Mujiyono Abdillah dan Robert P. Borrong, dan bagaimana persamaan dan perbedaan dari pemikiran teologi lingkungan mereka serta bagaimana sumbangan pemikiran mereka untuk masalah lingkungan. Penulis juga akan melihat yang mendasari pemikiran teologi lingkungan mereka, agar penelaahan tesis ini tidak berangkat dari kekosongan, dan juga agar kajian ini lebih mendalam. Selain itu, yang tidak kalah penting penelusuran ini juga akan melihat bagaimana posisi pemikiran teologi lingkungan Abdillah dan Borrong dalam bidang teologi lingkungan secara luas dibandingkan dengan pemikir-pemikir teologi lingkungan dalam Islam dan Kristen yang sudah ada.
14
Selanjutnya hanya akan disebut dengan „Agama Ramah Lingkungan “saja
7
2. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut; 1. Bagaimana pemikiran teologi lingkungan dalam Islam dan Kristen menurut Mujiyono Abdillah dan Robert P. Borrong? 2. Bagaimana Persamaan dan perbedaan pemikiran teologi lingkungan mereka, dan bagaimana sumbangan pemikiran mereka untuk masalah lingkungan?
3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsep teologi lingkungan Islam dan Kristen Menurut Mujiyono Abdillah dan Robert P. Borrong? Dan bagaimana persamaan dan perbedaan pemikiran mereka, serta bagaimana sumbangan pemikiran mereka bagi masalah lingkungan? Adapun penelusuran akan dilakukan berdasarkan pada pemikiran dari Mujiyono Abdillah dan Robert P. Borrong yang disandarkan pada buku Agama Ramah Lingkungan (Mujiyono Abdillah) dan Etika Bumi Baru (Robert P. Borrong). Selain itu, penelitian ini juga akan melihat apa yang mendasari mereka untuk menuliskan ide tentang teologi lingkungan, dan bagaimana posisi pemikiran teologi lingkungan mereka di antara pemikiran teologi lingkungan yang sudah ada dalam Islam dan Kristen.
8
4. Kegunaan Penelitian Manfaat dan kegunaan penelitian ini adalah; 1. Sebagai upaya untuk melihat aktualisasi kembali terhadap berbagai konsep dalam melihat masalah lingkungan dari sudut pandang teologi lingkungan khususnya dalam perspektif Islam dan Kristen. 2. Sebagai kontribusi wacana bagi penelitian teologi lingkungan, dan umumnya bagi perkembangan pemikiran dalam bidang studi agama dan lintas budaya.
5. Telaah Pustaka Sejauh ini, penelitian yang fokus pada masalah lingkungan sudah sangat banyak. Beragam kajian tentang lingkungan dengan berbagai pendekatan telah dilakukan. Merujuk pendapat Mujiyono Abdillah, kajian tentang lingkungan dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu; pertama, kajian lingkungan yang bersifat teoritis (ekologi teoritis), kedua, kajian lingkungan yang bersifat terapan (ekologi terapan), dan ketiga, kajian lingkungan yang bersifat korelatif (ekologi korelatif).15 Kajian lingkungan yang bersifat teoritis atau biasa disebut sebagai kajian ekologi filosofis adalah kajian ekologi yang menjelaskan ekologi sebagai sebuah ilmu. Beberapa buku yang masuk dalam kategori ini misalnya; Basic Ecology karya Eugene P Ogum (1983), Ecology karya Robert E. Rifklefs, (1973), Hanya Satu Bumi
15
Mujiyono Abdilah, Agama Ramah Lingkungan Perpektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm, 8.
9
karya Barbara Ward dan Rene Dubos, Menuju Kelestarian Lingkungan karya R. Soeriatmaja, Butir-butir Tata Lingkungan karya Kaslan A. Thahir (1985),16 Ecology The Experimental Analysis of Distribution and Abudance, karya Charles J. Krebs.17 Selanjutnya kajian lingkungan yang bersifat terapan adalah kajian yang fokus kepada praktik pengelolaan lingkungan atau pengaruh pengembangan terhadap lingkungan dan wawasan pembangunan. Buku-buku yang dapat dikategorikan sebagai ekologi terapan misalnya; Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan karya Otto Sumarwoto (cet. V, 1992),18 Ekologi Pedesaan karya Sayogo (1982), Lingkungan Hidup dan Pembangunan karya Emil Salim (1979), Pembangunan Berwawasan Lingkungan, karya Emil Salim (1986).19 Adapun yang dimaksud dengan kajian ekologi korelatif adalah kajian yang fokus kepada keterkaitan lingkungan dengan berbagai bidang ilmu seperti dengan psikologi, sosial budaya, atau agama. Kajian pengkaitan lingkungan dengan agama lebih lazim untuk menggali nilai-nilai ekologi dari berbagai agama sebagai akar spiritual religius dalam membudayakan kearifan lingkungan. Beberapa karya yang bisa dikategorikan dalam kajian ini adalah Man and Nature karya Sayyed Hossein Nasr, Toward an Islamic Theory of Environtment,
16
Ibid.
17
Kreb J. Charles, Ecology The Experimentl Analysis of Distribution and Abundance, (New York: Pearson, 2009). 18
Otto Sumarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, cet. ke-9, (Jakarta: Djambatan, 2001). 19
Lihat, Ibid.
10
karya Ziaudin Sardar.20 Kemudian beberapa buku lain seperti Bumi Yang Terdesak: Perspektif Ilmu dan Agama Mengenai Konsumsi, Populasi dan Keberlanjutan, editor Audrey R Chapman, Rodney L. Peterson, dan Barbara Smith-Moran,21 Teologi dan Ekologi Buku Pegangan karya Celia Deane-Drummond yang diterjemahkan oleh Robert Borrong,22 Mengasihi Lingkungan (2011), karya Haskarlianus Pasang,23 buku Modul Kependudukan dan Lingkungan Hidup Melalui Jalur Agama Islam, dan
20
Buku ini ingin mengatakan bahwa Islam mempunyai prinsip etika dalam pengelolaan lingkungan yaitu prinsip tauhid, khilafah dan hukum Islam. Lihat Ziauddin Sardar, Toward an Islamic Theory of Environment, dalam Islamic Futures, cet. ke-1, (Selangor: Pelanduk Publication, 1988). 21
Ini adalah buku antologi, ditulis oleh beberapa penulis yang mempunyai fokus terhadap isuisu lingkungan seperti Ian G. Barbour dan Mary Eveline Tucker. Secara garis besar buku ini mendukung pandangan tentang pentingnya pendekatan antar disiplin yang luas yang menyatukan berbagai konsep. Krisis besar memerlukan energi besar untuk menghadapinya. Memandang dahsyatnya tantangan yang diakibatkan krisis lingkungan di masa ini, tidak mengejutkan jika agama kemudian terlibat dan dilibatkan. Dari banyak dimensi krisis itu, pembahasan buku ini terpusat pada salah satu persoalan lingkungan terbesar, yaitu konsumsi dan populasi. Lebih jauh buku ini menyajikan pembahasan ilmiah mengenai isu-isu seperti daya-dukung bumi, indikator keberlanjutan (sustainability), dan dampak lingkungan dari gaya hidup berbasis konsumsi konsumen saat ini. Selanjutnya sebagai bagian dari wacana mengenai ilmu dan agama, buku ini juga menyajikan satu dimensi wacana tersebut yang belum banyak dibahas. Inilah sebuah contoh nyata bagaimana ilmu dan agama dapat “diintegrasikan”—bagaimana keduanya bersinergi untuk memecahkan masalah lingkungan, yang sekaligus juga adalah masalah kemanusiaan. Audrey R. Chapman, dkk, (ed.), Bumi Yang Terdesak: Perspektif Ilmu dan Agama Mengenal Konsumsi, Populasi dan Keberlanjutan, terj.Dian Basuki dan Gunawan Admiranto, cet. ke-1 (Bandung: Mizan, 2007). 22
Tujuan buku ini adalah mendorong setiap orang yang tertarik dalam teologi dan lingkungan untuk menggali kekayaan material warisan Kristen; misalnya berbagai respon yang berbeda diperoleh dari kalangan Ortodoks, Katolik, Protestan dan perspektif feminis. Pertanyaan fundamental adalah bagaimana teologi Kristen terikat dengan pertimbangan ekologis sedemikian rupa untuk mempertimbangkan perkembangan akhir-akhir ini mengenai masalah-masalah teologi dan lingkungan? lebih jauh lihat. Celia Deane-Drummond, Teologi dan Ekologi Buku Pegangan, terj. Robert Borrong, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006). 23
Buku ini membahas tiga hal penting yang mendasar bagi orang Kristen untuk mewujudkan mandat Allah, yakni: (1) Mempresentasikan apa kata dunia yang memaparkan krisis ekologi dan perubahan iklim dalam skala global, (2) Membentangkan apa kata Alkitab sebagai seruan untuk mengasihi lingkungan, (3) Menguraikan arti mengasihi lingkungan melalui tindakan nyata Kristen, dimulai dari diri sendiri, keluarga dan Gereja. Haskarlianus Pasang, Mengasihi Lingkungan, (Jakarta: Perkantas, 2011).
11
Pandangan Islam Tentang Kependudukan dan Lingkungan Hidup Pegangan Para Da’i. Kedua buku tersebut diterbitkan oleh Kantor Kementrian Lingkungan Hidup tahun 1990 dan 1992.24 Kendati kajian-kajian tersebut banyak memberikan arti bagi pengelolaan dan pengembangan lingkungan untuk masa sekarang dan mendatang, tetapi menurut Abdillah masih perlu untuk dikembangkan lebih lanjut sejalan dengan tuntutan yang terjadi. Alasan Abdillah adalah kajian ekologi terapan, dan kajian ekologi teoritis biasanya masih menggunakan pendekatan yang bersifat sekular seperti posivistikrasionalistik sehingga terlepas dari akar spiritual religius. Dengan demikian kajian teologi korelatif, khususnya yang berkaitan dengan bidang agama perlu untuk dilakukan. Kendati demikian, menggagas konsep teologi korelatif bukan hanya yang bersifat sepotong-sepotong, tetapi yang bersifat lengkap atau bagaimana nilai-nilai agama/kitab suci dapat dijadikan pegangan masyarakat untuk memelihara lingkungan. Robert P. Borrong (Kristen) dan Mujiyono Abdillah (Islam) adalah dua orang yang karya-karyanya dapat dikategorikan dalam kelompok ini. Dua karya besar mereka,- Etika Bumi Baru dan Agama Ramah Lingkungan - yang tidak lain adalah adalah kajian utama dari tesis ini, - adalah contoh karya-karya yang bisa dikategorikan dalam kajian ekologi korelatif yang lengkap. Tidak dapat dipungkiri, memang kedua buku tersebut mampu mengisi kekosongan keblengkapan tersebut,
24
Abdilah, Agama Ramah Lingkungan, hlm. 9.
12
tidak mengherankan jika kajian terhadap kedua karya tersebut banyak dilakukan. Beberapa yang bisa disebutkan di sini adalah skripsi karya Nikmatur Rohman, berjudul Konsep Fiqh Lingkungan (Studi Komparasi Pemikiran K.H. Ali Yafie dan Mujiyono Abdillah) (2008). Fokus penelitian dari skripsi ini adalah untuk mencari konsep fiqh lingkungan yang sesuai dengan masyarakat secara umum sehingga masyarakat dapat lebih memahami dan sadar akan pemeliharaan lingkungan, dengan cara meninjau dan membandingkan pemikiran dari kedua tokoh tersebut. Pada bagian akhir skripsi Nikmatur Rohman memberikan sedikit kritik terhadap gagasan Ali Yafie. Menurutnya gagasan Ali Yafie tentang Al-ahkam al-khamsah hanya terkesan bagi umat Islam saja, maka menurutnya ide maqashidus syari’ah lebih sesuai diterapkan dalam kehidupan masyarakat untuk saat ini sebab sesuai dengan kemaslahatan umum. Lebih jauh Nikmatur Rohman mengatakan bahwa al-ahkam alkhamsah juga tidak bisa digunakan untuk menghukum seseorang yang melakukan kerusakan lingkungan, sebagaimana dipaparkan oleh Ali Yafie. Sementara itu, ia hampir tidak memberikan analisis yang mendalam untuk pemikiran Mujiyono Abdillah, kecuali hanya memaparkan pemikirannya saja.25 Selanjutnya adalah skripsi yang ditulis oleh Khuzainal Abidin, berjudul Konsep Pemeliharaan Lingkungan Hidup dalam Perspektif Islam (Studi Komparasi antara Yusuf Qardhawi dengan Mujiyono Abdillah). Sebagaimana skripsi Nikmatur Rohman, skripsi dari Khuzainal Abidin ini juga hanya memaparkan pemikiran dari Mujiyono Abdillah dan Yusuf
25
Lebih jauh lihat, Nikmatur Rohman, „Konsep Fiqh Lingkungan (Studi Komparasi KH. Ali Yafie dan Mujiyono Abdillah)”, Tidak Diterbitkan, (Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2008).
13
Qardawi, serta menekankan apa yang dikatakan oleh Mujiyono Abdillah jika orang Muslim memblengkapkan konsep lengkap tentang lingkungan untuk memelihara dan menjaga lingkungan sebagai pegangan.26 Sementara kajian terhadap pemikiran Robert P. Borrong berkaitan dengan buku Etika Bumi Baru secara menyeluruh belum penulis temukan. Kendati demikian, tulisan singkat Heri Sihaloho, berjudul Resume dan Kritik Terhadap Buku Dr. Robert P. Borrong,27 mungkin bisa disebutkan di sini. Dalam tulisan ini, Heri hanya memaparkan gagasan Robert Borrong dari setiap bab, sebagaimana hal ini biasa dilakukan dalam sebuah resume buku. Adapun untuk analisa, ia hampir seluruhnya setuju dengan ide Robert Borrong dalam buku ini, dengan cara memberikan beberapa penegasan terhadap ide-ide Borrong. Selain buku-buku tersebut, buku karya Ibrahim Abdul Matin berjudul Green Deen What Islam Teaches About Protecting the Planet, buku tentang lingkungan yang berbasis Islam, adalah buku yang bisa dimasukkan kedalam kajian ekologi korelatif yang lengkap sebab karya ini mencoba memberikan pegangan kepada masyarakat untuk menyelamatkan lingkungan yang didasarkan pada nilainilai agama. Buku ini secara garis besar membahas tentang kumpulan pemikiran, kisah-kisah, analisis dan berbagai saran untuk siapapun yang lebih lanjut ingin
26
Khuzainal Abidin, Konsep Pemeliharaan Lingkungan Hidup dalam Perspektif Islam (Studi Komparasi antara Yusuf Qardhawi dengan Mujiyono Abdillah), Tidak Diterbitkan, (Skripsi IAIN Walisongo, 2004). 27
Heri Sihaloho, „Resume dan Kritik terhapa Buku Dr. Robert P. Borrong‟ dalam http://herisihaloho.blogspot.com/2011/10/resume-dan-kritik-terhadap-bukudr_10.html?zx=ff91a30741cd7e46 diakses pada tanggal 5 Desember 2013.
14
mempelajari agama hijau (green deen), atau mempraktekkan Islam dengan menghormati prinsip-prinsip yang menghubungkan manusia untuk melindungi planet ini. Memang, sebagaimana penulis buku ini ungkapkan, buku ini bukan untuk menganalisis atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadits Nabi yang berkaitan dengan lingkungan, tetapi buku ini menyediakan konsep yang cukup sempurna tentang memelihara lingkungan berdasarkan nilai-nilai agama Islam. Dalam buku Green Deen, Matin menawarkan enam prinsip etika Islam hubungannya dengan penyelamatan lingkungan. Kendati demikian, sesungguhnya enam prinsip ini sudah banyak dibahas oleh para ulama Islam, salah satunya adalah Faraz Khan, seorang sarjana muda brilian dalam masalah Islam dan Lingkungan. Enam prinsip tersebut adalah: 1) Tauhid, yaitu memahami keesaan Tuhan dan ciptaan-Nya 2) Melihat ayat (tanda-tanda) Allah yang ada di mana-mana, 3) Menjadi pelayan (khalifah) di bumi, 4) Amanah yaitu menghormati perjanjian, atau kepercayaan yang kita miliki kepada Allah untuk menjadi pelindung planet, 5) Adl yaitu bergerak menuju keadilan, 6) Mizan yaitu hidup seimbang dengan alam. 28 Adapun kajian dari tesis ini bukan hanya akan melihat konsep teologi lingkungan dalam satu agama, atau dari pemikiran satu tokoh tetapi akan melihat konsep teologi lingkungan dalam dua agama sekaligus yaitu Islam dan Kristen yang disandarkan pada pemikiran Mujiyono Abdillah dan Robert P. Borrong. Selanjutnya penelitian ini bukan hanya terbatas melihat pemikiran teologi lingkungan mereka
28
Lihat, Ibrahim Abdul Matin, Green Deen, What Islam Teaches about Protecting the Planet, (San Francisco: Barrett-Koehler Publisher, Inc, 2010), hlm. xxi.
15
tetapi juga akan melihat sumbangan dari pemikiran tersebut bagi masalah lingkungan, bagaimana persamaan dan perbedaan dari pemikiran teologi lingkungan mereka, serta bagaimana posisi pemikiran mereka dalam pemikiran teologi lingkungan dalam Islam dan Kristen yang sudah ada. Kendati demikian, beberapa buku berkaitan dengan lingkungan dan beberapa kajian berkaitan dengan pemikiran Mujiyono Abdillah dan Robbert P. Borrong yang telah disebutkan di atas, akan menjadi buku-buku penting dalam penelitian tesis ini. Berdasarkan beberapa kajian yang ada berkaitan dengan kedua tokoh tersebut, penulis belum menemukan sebuah buku atau tulisan yang secara khusus membahas tentang teologi lingkungan dalam perspektif agama Islam dan Kristen yang disandarkan pada pemikiran kedua tokoh tersebut, dan melihat persamaan dan perbedaan dari pemikiran teologi lingkungan mereka, serta melihat sumbangan pemikiran mereka bagi masalah lingkungan dan terakhir melihat posisi pemikiran teologi lingkungan mereka dalam pemikiran-pemikiran teologi lingkungan dalam Islam dan Kristen. Berdasarkan alasan tersebut, maka inilah letak keorisinilan dari penelitian tesis ini.
6. Kerangka Teori Istilah teologi dalam bahasa Yunani adalah pengetahuan mengenai Allah atau bisa juga dimaknai sebagai usaha metodis untuk memahami serta menafsirkan kebenaran wahyu. Sedangkan dalam Bahasa Latin teologi disebut sebagai fides
16
quaerens intellectum, maksudnya adalah iman yang mencari pemahaman, teologi menggunakan sumber daya rasio, khususnya ilmu, sejarah dan filsafat. Di hadapan misteri ilahi teologi selalu „mencari‟ dan tidak pernah sampai ke jawaban terakhir dan pemahaman yang selesai.29 Adapun dalam tradisi Islam setidaknya ada lima terminologi dalam mendefinisikan teologi, yaitu (1) Ilmu Kalam, (2) „Ilm Ushul Aldin (pengetahuan tentang dasar-dasar agama), (3) „Ilm Al-Tawhid (pengetahuan tentang keesaan Allah) (4) „Ilm al-‘Aqaid (pengetahuan tentang keyakinan yang benar), (5) al-fiqh al-akbar (pengetahuan yang agung).30 Adapun secara umum teologi dapat didefinisikan sebagai sistem keyakinan yang menunjuk pada pandangan dunia yang dibentuk oleh cita-cita ketuhanan yang secara intrinsik terkandung di dalam praktik keagamaan itu sendiri. Sebagai sistem keyakinan, teologi adalah seperangkat doktrin yang diyakini dalam suatu agama, dan dijalankan secara penuh sadar oleh pemeluknya.31 Sementara dalam konteks penelitian tesis ini, penulis meminjam definisi teologi yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Majlis Lingkungan Hidup Muhammadiyah bahwa teologi adalah nilai atau ajaran agama (baik Islam atau Kristen) yang berkaitan dengan keberadaan Tuhan. Dengan demikian secara bebas
29
Gerald O'C, SJ. & Edward G Farrugia, SJ, Kamus Teologi, cet. ke-9, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 314. 30
Muhammad Alfayyadl, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. 63.
31
Kementrian Lingkungan Hidup, Teologi Lingkungan Hidup, cet. ke-2, Dodo Sambodo (Ed.), (Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Dalam Perspektif Islam), (Jakarta: Deputi Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat: 2011), hlm. 5.
17
makna teologi dalam penelitian ini adalah cara menghadirkan Tuhan dalam setiap aspek kegiatan manusia, termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan. Adapun dalam praktek teologi dapat dimaknai sebagai pedoman normatif bagi manusia dalam berperilaku dan berhubungan dengan alam dan lingkungannya.32 Sedangkan lingkungan alamiah (natural environment) yang seringkali dipendekkan sebagai „lingkungan‟ dan yang dalam istilah bahasa kita sering disebut lingkungan hidup, didefinisikan sebagai suatu keadaan atau kondisi alam yang terdiri atas benda-benda tidak hidup yang berada di bumi atau bagian dari bumi secara alami dan saling berhubungan antara satu sama lainnya.33 Selanjutnya dalam kaitan dengan lingkungan, teologi ini kemudian diturunkan pada wilayah yang lebih praksis yaitu melihat bagaimana kaitan antara lingkungan dengan pencipta. Lingkungan yang dimaksud tidak hanya sekedar lingkungan yang bersifat biofisik tetapi termasuk juga manusia dan makhluk hidup lainnya. Dengan demikian definisi teologi lingkungan adalah teologi yang obyek material kajiannya adalah bidang lingkungan dan perumusannya didasarkan pada sumber nilai ajaran agama. Secara sederhana teologi lingkungan merupakan ilmu yang membahas tentang ajaran dasar agama mengenai lingkungan.34
32
Ibid.
33
Ibid., hlm. 12.
34
Abdillah, Agama Ramah lingkungan, hlm. 24.
18
Teologi lingkungan ini muncul, salah satunya sebagai respon atas teoriteori lingkungan yang sudah ada, sebab mereka dianggap masih belum menyentuh nilai-nilai agama. Selain itu juga untuk menegaskan bahwa teologi bukan hanya membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan dan atau yang bersifat metafisik, tetapi juga hal-hal kekinian seperti lingkungan, sebab bagaimanapun berteologi memang harus kontekstual.35 Teologi lingkungan memang kajian baru dalam bidang teologi sebab masyarakat teologi klasik atau pertengahan belum mengembangkan teologi lingkungan. Pada masa itu lingkungan belum bermasalah.36 Sedangkan pada masa kontemporer sudah menjadi masalah besar, bahkan permasalahnnya sudah menjadi masalah serius secara global.37 Maka dari sinilah, teologi lingkungan merupakan salah satu isu dalam teologi kontekstual.
35
Wesley Granberg-Michaelson, Menebus Ciptaan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi Di Rio Tantangan Bagi Gereja-gereja, terj. Martin Lukito Sinaga, cet. ke-2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. vii. 36
Terdapat dua perubahan kultural yang menimbulkan keretakan keseimbangan antara kelompok manusia dan lingkungan alam; pertama, revolusi neolitikum (masa manusia mengubah lingkungan alam tanpa membahayakan proses fungsi alam). Kedua, revolusi industri yang melanda sejumlah negara maju; pada masa sekarang manusia mengontrol lingkungan hidup dan menggarap kekayaan alam demi manusia. Lebih jauh lihat, William Chang, OFMCap, Moral Lingkungan hidup, cet. ke-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 17. 37
Dua dekade sebelum diadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro Brazil tahun 1992, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengadakan konferensi yang bertemakan Lingkungan Hidup Manusia di Stokholm, Swedia tahun 1972. Pertemuan itu diadakan segera setelah isu lingkungan hidup muncul menjadi kesadaran dan menjadi bagian dari agenda politik khususnya negara-negara di Utara. Diskusi-diskusi yang telah ada menjadi bentuk awal dari ketegangan antara Utara dan Selatan sehubungan dengan persoalan-persoalan lingkungan hidup tersebut. Pertemuan Stokholm itu secara tepat telah meletakkan persoalan-persoalan lingkungan hidup dalam perspektif global. Ibid. hlm. 15.
19
Teologi kontekstual pertama kali di Indonesia dilakukan oleh beberapa teolog Kristen, seperti JB. Banawiratma SJ. dan J. Muller SJ. Mereka mengenalkan teologi lingkungan dalam salah satu bab dari bukunya yang berjudul Berteologi Sosial Lintas Ilmu.38 Menurut mereka inti teologi lingkungan Kristen adalah percaya bahwa “manusia adalah sebagai citra Allah”. Pernyataan ini didasarkan pada firman Allah dalam Kitab Kejadian 1:27 yang menyatakan bahwa “Allah menciptakan menurut citra-Nya. Menurut citra Allah diciptakannya Dia laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka”. Pernyataan Allah “Manusia sebagai citra Allah, imago dei, perlu dimengerti secara luas, tidak hanya mengerti secara komunal bahkan secara kosmis ekologis. Dalam keterjalinan segi-segi itu manusia menemukan makna hidup dan pekerjaannya secara lengkap dan mewujudkan martabatnya yang luhur dalam kokreativitas dengan tindakan penciptaan Allah sendiri.39 Secara personal manusia dicintai Allah dan dipanggil untuk memasuki relasi cinta personal dengan Allah. Arah dan tujuan hidup manusia sepenuhnya, dengan pikiran, perasaan dan kehendaknya yang bebas, seharusnya merupakan jawaban terhadap cinta kasih Allah itu dengan mencintai Dia sepenuhnya. Sedangkan secara komunal Manusia dengan kesamaan derajat dan martabat sebagai laki-laki dan perempuan, diciptakan Allah sebagai makhluk yang mampu memasuki relasi interpersonal. Apa yang menentukan dalam perilaku manusia adalah cinta kasih dan
38
JB. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, cet. ke-1, (Yogyakarta: Kanisius. 1993), hlm. 214-217. 39
Ibid., hlm. 214.
20
keterbukaan, sebab tanpa keterbukaan dan cinta kasih keluhuran martabat manusia sebagai imago dei akan luntur.40 Selanjutnya yang dimaksud pemahaman secara kosmis ekologis, manusia sebagai imago dei, percaya bahwa manusia dipanggil oleh Allah untuk ikut serta dalam memelihara kelengkapan ciptaan. Tanpa pemeliharaan ini, maka hidup manusia akan terancam, sebab manusia hakikatnya merupakan bagian integral dari ciptaan itu sendiri. Lebih jauh, manusia sebagai citra Allah merupakan cooperator dan cocreator dari diri-Nya. Dengan demikian manusia bertindak secara kreatif dalam upaya transformasi, rekontruksi, dan konservasi alam semesta. Semua ini adalah benih-benih dari kelahiran teologi lingkungan, yang tentunya perlu pengembangan lebih lanjut.41 Selanjutnya untuk menjawab rumusan masalah penelitian tesis ini penulis akan menggunakan teori hermeneutik, khususnya teori hermeneutik Hans Georg-Gadamer. Secara etimologis kata „hermeneutik‟ berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau seni interpretasi sebagai bagian dari anak filsafat Eropa yang menjadi salah satu topik yang paling banyak diperdebatkan dalam filsafat kontemporer akhir-akhir ini.42
40
Ibid.
41
Ibid., hlm. 215.
42
Istilah Yunani tersebut biasanya dinisbahkan pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Ia
21
Hermeneutika secara konsekuen terikat pada dua tugas; pertama, memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks, dsb. Kedua, menemukan instruksi-instruksi yang terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis. Sementara pada awal kemunculannya hermeneutika digunakan dalam tiga kapasitas, (1) membantu diskusi bahasa teks (yaitu kosa kata dan tata bahasa), yang pada akhirnya memunculkan filologi, (2) memfasilitasi penafsiran literatur suci, (3) menuntun yurisdiksi.43 Hermeneutika kembali terkenal ke permukaan sebagai sebuah metode dibawa oleh F.D.E. Scheleirmacher, kemudian diperkenalkan lebih luas lagi oleh penulis biografinya, yaitu Wilhelm Dilthey. Pada zaman berikutnya hermeneutik telah diangkat oleh beberapa filsuf, seperti Hans Georg Gadamer, Jürgen Habermas, Martin Heidegger, Paul Ricoeur, Jacques Derrida dan beberapa filsuf lain.44 Secara garis besar tugas hermeneutika bisa dipahami sebagai usaha untuk menafsirkan sebuah teks klasik atau teks yang asing sama sekali menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat serta suasana kultural yang berbeda. Proses menerjemahkan pesan-pesan dari Dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia, sehingga keberadaan Hermes sangatlah berarti, seandainya saja terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa maka akibatnya akan fatal bagi umat manusia. Ia harus mampu mengubah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya, sehingga hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini setidaknya disetujui baik dari kalangan hermeneutik klasik maupun kalangan modern. Josef Blecher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Methode, Philoshophy and Critique, (London & New York: Routledge, 1980), hlm.1, lihat juga Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Critism and Other Writings, Andrew Bowie [Trans. and Ed.], (Cambridge: Cambridge University, 1998), hlm. viii. 43
Ibid.
44
Lebih jauh lihat Ibid., lihat juga E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 24.
22
penafsiran ini tidak dengan metode induksi dan tidak pula deduksi, melainkan dengan metode alternatif yang disebut abduksi, yaitu menjelaskan data berdasarkan asumsi dan analogi penalaran serta hipotesa-hipotesa yang memiliki berbagai kemungkinankemungkinan kebenaran. Di sini pra-konsepsi dan pra-disposisi seorang penafsir dalam memahami teks memiliki peran yang besar dalam membangun makna.45 Dalam
tradisi
hermeneutika,
sebuah
teks
menawarkan
berbagai
kemungkinan untuk ditafsirkan berdasarkan sudut pandang serta teori yang hendak dipilihnya. Lebih jauh hermenutika hendak mencari pemahaman yang benar atas teks yang hadir pada kita sebagai tamu asing. Memahami sebuah teks asing sama halnya dengan melakukan interogasi orang asing yang sama sekali tidak kita kenal. Dengan kata lain hermeneutika berusaha menemukan gambaran dari sebuah bangunan makna yang benar yang terjadi dalam sejarah yang dihadirkan kepada kita oleh teks. Kemudian dalam prosesnya, intuisi penafsir sangat diperlukan, disamping juga sikap curiga dan waspada agar tidak tertipu oleh tanda atau struktur gramatika bahasa yang ada di permukaan sehingga mengaburkan makna yang lebih obyektif. Dalam tradisi hermeneutika modern dikenal tiga orang yang disebut sebagai „three masters of prejudices„yaitu Sigmund Freud,46 Karl Marx,47 dan Friederich Nietzsche.48 Sikap
45
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 16. 46
Dari Freud kita belajar tentang bawah sadar. Menurutnya bawah sadar dari seorang pengarang, pembaca, pasti turut berperan dalam menafsirkan realita. Ibid, hlm. 17. 47
Dari Karl Marx kita diajak untuk curiga dan mewaspadai kesadaran pengarang dan pembaca yang mudah sekali dipengaruhi oleh status ekonomi dan politik. Ibid
23
prejudice atau prasangka ini sesungguhnya bukan hanya terbatas dialamatkan kepada setiap teks, namun ditujukan pula kepada pihak pembacanya sendiri.49 Dalam karya terbesarnya Truth and Method dan juga beberapa karya lainnya, Gadamer memang melepaskan hermeneutika dari wilayah ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial. Untuk melakukan itu ia kemudian kembali membaca tulisan-tulisan Plato. Menurut Gadamer hubungan antara pembaca dengan teks mirip seperti hubungan dialog antara dua orang yang saling berbicara. Dalam arti ini dialog kehilangan dimensi rigorous saintifiknya, dan menjadi percakapan rasional untuk memahami suatu persoalan. Selain membaca tulisan-tulisan Plato, Gadamer juga membaca tulisan-tulisan Aristoteles, terutama pada bagian etika, ia menjadikan etika sebagai dasar bagi hermeneutika. Tujuan utama Gadamer tetap yakni melepaskan hermeneutika dari ilmu pengetahuan yang cenderung rigorous, saintifik, dan sifatnya instrumental.50 Dalam hermeneutika Gadamer, mengerti merupakan sebuah proses yang melingkar. Maksudnya adalah ketika seseorang ingin mencapai pada sebuah pengertian maka seseorang harus bertolak pada pra pengertian, misalnya ketika seseorang ingin memahami sebuah teks maka seseorang tersebut harus mempunyai
. 48
Dari Nietzsche kita belajar bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki dorongan untuk menguasai orang lain, sehingga kita perlu waspada dalam memahami teks jenis komunikasi apapun karena di dalamnya pasti terbersit maksud untuk mempengaruhi dan menundukkan orang lain, dan seorang pengarang atau pembicara seringkali ingin agar dirinya dikatakan hebat. Ibid. 49
Ibid., hlm. 18.
50
Hans George Gadamer, Truth and Method, (New York: The Seabury Press, 1975), hlm. 321.
24
pra pengertian tentang teks tersebut. Metode ini disebut oleh Gadamer sebagai „lingkaran hermeneutik‟ (hermeneutics circle).51 Selanjutnya, Gadamer menegaskan bahwa setiap pemahaman kita senantiasa merupakan suatu yang bersifat historis, dialektis dan kebahasaan. Kunci bagi pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan bukan manipulasi dan pengendalian. Menurut Gadamer hermeneutika berkaitan dengan pengalaman bukan hanya pengetahuan, hermeneutika juga berkaitan dengan dialektika bukan metodologi. Lebih jauh, menurut Gadamer metode dipandang bukan merupakan suatu jalan untuk mencapai suatu kebenaran, karena metode mampu mengeksplisitkan kebenaran yang sudah implisit di dalam metode. Adapun untuk memahami interpretasi dalam sistem dialektika ini, Gadamer mensyaratkan empat faktor yang tidak boleh diabaikan, yaitu; (1) bildung atau pembentukan jalan pikiran. Dalam kaitannya dengan proses pemahaman atau penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks, maka seluruh pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan. Dengan demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan, usia, dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam proses penafsiran, bildung sangat penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan dapat memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang tidak dapat menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya sendiri. (2) sensus communis atau pertimbangan
51
Lebih jauh tentang lingkaran hermeneutik (hermeneutic circle) lihat ibid.
25
praktis yang baik atau pandangan yang mendasari komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial atau pergaulan sosial. Para filsuf zaman dulu menyebutnya dengan “kebijaksanaan”. Istilah mudahnya adalah “suara hati”. (3) pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. Faktor pertimbangan ini memang sulit untuk dipelajari dan diajarkan. ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan kasus-kasus yang ada. Faktor pertimbangan ini juga menjadi pembeda antara orang pintar dan orang bodoh. Maksudnya adalah orang bodoh yang miskin pertimbangan tidak dapat menghimpun kembali apa yang telah dipelajari dan diketahuinya sehingga ia tidak dapat mempergunakan hal-hal tersebut dengan benar. (4) Taste atau selera, yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa atau keseimbangan antara insting, panca indra dan kebebasan intelektual. Gadamer menyamakan selera dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera tidak memakai pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas sesuatu, kita tidak tahu penyebabnya.52 Secara sederhana kerangka pemikiran (worldview) dan pengetahuan (selfknowledge) manusia dibentuk dan mewujud dalam seluruh proses sejarah. Dengan demikian tugas utama hermeneutik adalah memahami teks (baca: sejarah dan tradisi) dan hakikat pengetahuan dalam tradisi hermeneutik filosofis Gadamer adalah pemahaman atau penafsiran (verstehen) terhadap teks tersebut sesuai dengan situasi
52
Ibid., hlm. 10.
26
dan kondisi sang penafsir. Maka, bagi Gadamer memahami atau menafsirkan teks bukanlah aktivitas „reproduksi‟ sebuah teks akan tetapi „memproduksi‟ sebuah teks. Adapun jurang pemisah yang terjadi antara penafsir dan pengarang tidak dipandang sebagai sesuatu yang negatif tetapi lebih dilihat sebagai cakrawala pemahaman. Dari sini
penafsir
atau
pembaca
bisa
meningkatkan
pemahamannya
dengan
membandingkan cakrawala pemahaman dia dengan cakrawala sang pengarang, sehingga menurut Gadamer hermeneutik adalah sebuah proses kreatif.53 Sebagaimana dalam kajian hermeneutika, ide-ide teologi lingkungan Mujiyono Abdillah dan Robert P. Borrong yang berasal dari buku Agama Ramah Lingkungan dan Etika Bumi Baru akan ditempatkan oleh penulis sebagai teks yang akan dibaca secara kritis dan mendalam sebagai tamu asing yang harus diintrograsi. Dalam proses ini akan dijalani proses keterbukaan antara teks dan penafsir, sehingga lahir pemaknaan yang produktif.54 Dalam hal ini penulis memang akan berhutang banyak pada Hans Georg Gadamer. Selain menggunakan kerangka teori hermenutika Gadamer, penulis mungkin juga akan menggunakan teori lain untuk mendukung penelitian ini, seperti epistemologi, untuk mengetahui darimana dan bagaimana pengarang memperoleh pengetahuan saat menghasilkan pemikiran tersebut.
53
Ibid., hlm. 321.
54
Ibid.
27
7. Metode Penelitian 7.1. Jenis dan Sifat Penelitian Ditinjau dari obyeknya, jenis penelitian adalah studi pustaka (library research),55 yaitu penelitian yang berbasis pada data-data kepustakaan, baik yang berupa buku, jurnal, media massa yang terkait dengan topik teologi lingkungan dalam perspektif agama Islam dan Kristen. Adapun model penelitian ini adalah penelitian filsafat khususnya penelitian historis faktual mengenai tokoh. Sedangkan sifat penelitian ini adalah kualitatif. Data dihadapi dengan jalan menguraikan dan menganalisisnya. 7.2.Teknik-teknik Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap; (1) tahap pengumpulan data, (2) tahap pengolahan dan analisis data. 1. Pada tahap pengumpulan data, akan dibedakan sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah seluruh karya-karya Abdillah dan Borong yang berkaitan dengan lingkungan. Selain penelusuran karya-karya dalam bentuk tulisan, penelitian ini juga akan melakukan wawancara terhadap Abdillah dan Borrong baik dengan cara langsung maupun tidak langsung atau melalui media internet dan
55
Winarno Surahmat, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1994), hlm. 251-263.
28
telekomunikasi.56 Selanjutnya karya-karya dari mereka tersebut akan penulis gunakan sebagai representasi dari teologi lingkungan perspektif Islam dan Kristen. Kendati demikian, menurut penulis diperlukan juga berbagai sumber data pendukung (sekunder) yang memberikan ulasan tentang buku-buku yang mempunyai kaitan dengan pemikiran teologi lingkungan dalam perspektif agama Islam dan Kristen dan juga seluruh karya-karya mereka yang tidak ada hubungannya dengan lingkungan.
7.3. Analisis Data Selanjutnya data-data tersebut akan masuk pada tahap pengolahan dan analisis data. Tujuan analisis dalam penelitian adalah menyempitkan dan membatasi penemuan-penemuan hingga menjadi suatu data yang teratur serta tersusun dan lebih berarti. Proses analisis merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan perihal rumusan-rumusan dan pelajaran-pelajaran atau hal-hal yang diperoleh dalam proyek penelitian,57 sehingga data yang telah tersedia akan dipilah-pilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, membuat agar data tersebut
56
Adapun pemilihan wawancara dengan media internet maupun telekomunikasi karena keterbatasan waktu dan juga jarak peneliti dengan para nara sumber yang sangat jauh. 57
Marzuki, Metodologi Riset, cet. ke-3 (Yogyakarta: Fak. Ekonomi UII, 1983), hlm. 87.
29
mempunyai makna.58 Terkait dengan pengolahan data ini penulis akan menggunakan pola-pola sebagai berikut; a. Interpretasi59 yaitu karya-karya tokoh diselami, untuk menangkap arti dan nuansa yang dimaksudkan tokoh secara khas. b. Kesinambungan historis, yaitu akan melihat benang merah dalam pengembangan pikiran tokoh yang bersangkutan, baik berhubungan dengan lingkungan historis dan pengaruh-pengaruh yang dialaminya, maupun dalam perjalanan hidupnya sendiri. Sebagai latar belakang eksternal diselidiki keadaan khusus zaman yang dialami tokoh, dengan segi sosio-ekonomi, politik, budaya dan filsafat. Bagi latar belakang internal diperiksa riwayat hidup tokoh, pendidikannya, pengaruh yang diterimanya, relasi dengan tokoh-tokoh sezamannya, dan segala macam pengalaman-pengalaman yang membentuk pandangannya. Begitu juga diperhatikan pengembangan intern, tahap-tahap dalam pikirannya, dan perubahan dalam minat atau arah pemikirannya. Lebih luas dari itu konteks pikiran tokoh zaman dahulu itu diterjemahkan ke dalam
58
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, cet. ke-22 (Bandung: Rosdakarya, 2006),
hlm. 248. 59
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, cet. ke-1, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 63.
30
terminologi dan pemahaman yang sesuai dengan cara berfikir aktual sekarang.60 Adapun pola analisis data yang penulis pilih adalah deskriptif-analitis. Kemudian pada tahap selanjutnya, hasil dari deskripsi akan dianalisis dengan menggunakan teori pendekatan hermeneutik Gadamer.
8. Sistematika Pembahasan Penelitian ini akan disusun kedalam lima bab, yang masing-masing bab merupakan deskripsi jawaban dari kegelisahan akademik penulis. Bab Pertama, berisi kerangka proyek penelitian, secara umum berisi, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab Kedua akan membahas tentang biografi intelektual dari Mujiyono Abdillah dan Robert P. Barrong. Kajian biografi ini meliputi latar belakang keluarga dan pendidikan, karya-karya dan kegiatan-kegiatan mereka dalam bidang lingkungan. Bab Ketiga secara khusus akan membahas pemikiran Mujiyono Abdillah dan Robert Borrong tentang teologi lingkungan mereka. Namun sebelumnya penulis akan melihat apa yang mendasari pemikiran teologi lingkungan mereka atau dengan kata lain dari mana ide-ide mereka tentang konsep tersebut muncul, siapa atau apa
60
Ibid., hlm. 64.
31
yang mempengaruhi ide teologi lingkungan mereka dengan menelusuri bagaimana buku Agama Ramah Lingkungan dan Etika Bumi Baru muncul. Bab keempat akan membahas tentang persamaan dan perbedaaan dari pemikiran teologi lingkungan Mujiyono Abdillah dan Robert P. Borrong. Selain itu dalam bab ini juga akan membahas tentang sumbangan pemikiran mereka bagi masalah krisis lingkungan serta refleksi kritis terhadap pemikiran mereka. Bab Kelima berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan yang ada dalam penelitian ini. Kesimpulan ini berisi deskripsi singkat atas jawaban-jawaban rumusan masalah penelitian ini. Di samping kesimpulan, bab ini juga berisi saran penulis terkait dengan tema penelitian ini.
32