BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan negara Indonesia adalah negara hukum1, hal tersebut dapat diartikan bahwa di dalam setiap sendi kehidupan baik dalam kehidupan orang perorangan, kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan bernegara harus berdasarkan dan tunduk pada aturan hukum. Hukum diposisikan sebagai elemen terpenting dan utama dalam seluruh sendi kehidupan, karena hukum diciptakan adalah untuk mencapai ketertiban, keadilan dan kepastian. Hakekat hukum diciptakan menurut Subekti sebagaimana dikutip oleh Kansil adalah mengabdi pada tujuan Negara yang pada pokoknya adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya 2. Hukum memuat nilai-nilai ideal yang mencerminkan nilai-nilai dan normanorma serta kaidah-kaidah luhur yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sedangkan menurut Jimly Asshidiqie norma atau kaidah merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran dan larangan3.
1
Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2 C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Cetakan kedelapan, Jakarta, hlm. 41 3 Jimly Asshidiqie, 2006, Perihal Undang-undang, Konstitusi Press, Cetakan pertama, Jakarta, hlm..1
2
Suatu Negara dikategorikan sebagai Negara yang berdasar hukum menurut M. Scheltema sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan, maka Negara tersebut harus mempunyai empat asas utama yakni : asas kepastian hukum, asas persamaan, asas demokrasi dan asas pemerintahan dibentuk untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat 4. Pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia serta Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan tidak memihak, mutlak harus ada dan dimiliki oleh suatu Negara Hukum. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dapat diartikan bahwa dalam setiap proses penegakan hukum harus memberikan jaminan terhadap terlaksananya penegakan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, sedangkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak diartikan bahwa dalam setiap proses penegakan hukum, pemegang kekuasaan kehakiman dalam hal ini adalah Hakim harus menjalankan fungsinya secara bebas dan terhindar dari campur tangan kekuasan manapun. Mahfud MD menyatakan bahwa salah satu ciri dan prinsip pokok dari Negara demokrasi dan Negara hukum adalah adanya lembaga peradilan yang bebas dari kekuasaan lain dan tidak memihak5. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam konsep Negara hukum menurut Bagir Manan pada hakekatnya adalah untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, atau netral (impartiality), apabila kebebasan tidak
4
Bagir Manan, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. LPPM, Unisba Bandung, hlm.5 Moh. Mahfud MD, 2002, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.92 5
3
dimiliki kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan tidak akan bersikap netral, terutama apabila terjadi sengketa antara penguasa dan rakyat6. Di dalam Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan mengenai sifat dan karakter kekuasaan Kehakiman dengan menyatakan : “Kekuasaaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”7.
Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan pula mengenai sifat dan karakter Kekuasaan Kehakiman, yakni : “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”8
Sifat dan kareakteristik kemerdekaan Lembaga Peradilan dimana di dalamnya terdapat unsur Hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman disebutkan kembali di dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : (1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. (2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6
Bagir Manan, 1998, Memberdayakan Kekuasaan Kehakiman”, Makalah pada Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Fungsi dan Peranan Mahkamah Agung RI Dalam Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka berdasarkan Pancasila, Bappenas-FH Unpad, Bandung, hlm.3 7 Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 8 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
4
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.9
Mahkamah Agung Republik Indonesia menilai syarat utama untuk dapat terselenggaranya suatu proses peradilan yang obyektif adalah adanya kemandirian lembaga yang menyelenggarakan peradilan, yaitu kemandirian badan peradilan sebagai sebuah lembaga (kemandirian institusional) serta kemandirian hakim dalam menjalankan fungsinya (kemandirian individual fungsional)10, dengan kata lain kemandirian menjadi kata kunci dalam usaha melaksanakan tugas pokok dan fungsi badan peradilan secara efektif. Dengan mendasarkan pada Pasal 24 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kemandirian Institusional, diartikan bahwa badan peradilan adalah lembaga yang mandiri dan harus bebas dari intervensi oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman, sedangkan kemandirian Fungsional, diartikan bahwa setiap Hakim wajib menjaga kemandirian dalam menjalankan tugas dan fungsinya, dimana dalam memutus perkara harus didasarkan pada fakta dan dasar hukum, bebas dari pengaruh, tekanan, atau ancaman baik langsung maupun tidak langsung, dari mana pun dan dengan alasan apa pun juga. Mengingat peranan hukum yang sangat penting dan utama dalam setiap lini kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta arti penting kemandirian 9
Pasal 3 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010 - 2035, 2010, Mahkamah Agung Republik Indonesia, hlm.15 10
5
Kekuasaan Kehakiman dalam menjalankan fungsinya, maka menurut Padmo Wahjono pelaksanaannya harus bertumpu pada tiga komponen pokok yakni norma hukum dan perundang-undangan, kesadaran hukum masyarakat dan aparat hukum yang tanggap tangguh, termasuk dalam komponen aparat penegak hukum adalah para Hakim yang diberi mandat untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman11. Keberadaan dan pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman dalam Negara mutlak diperlukan, karena menurut Kansil kekuasaan kehakiman mempunyai wewenang untuk mengadili apabila ada warga negara atau rakyat yang melanggar undang-undang, berkewajiban untuk mempertahankan undangundang, berhak memberikan peradilan kepada rakyat, berkuasa memutuskan suatu perkara, menjatuhkan hukuman terhadap pelanggaran undang-undang yang diadakan dan dijalankan12. Kekuasaan kehakiman yang merdeka di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, baik lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, maupun Mahkamah Konstitusi. Lembaga atau badan Peradilan sebagai pelaksana wewenang kekuasaan kehakiman yang diberikan oleh Mahkamah Agung merupakan harapan atau benteng terakhir bagi masyarakat pencari keadilan, karena pada lembaga Peradilanlah masyarakat berusaha mencari keadilan atas permasalahan hukum 11
Padmo Wahjono, 1995, Negara Republik Indonesia, cetakan ke-3, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.14 12 C.S.T. Kansil, 1978, Sisitem Pemerintahan Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 30-31
6
yang sedang dihadapi dan mengharapkan untuk mendapatkan penyelesaian melalui putusan yang adil yang dikeluarkan oleh Lembaga Peradilan. Lembaga Peradilan khususnya Peradilan Umum atau yang lebih banyak dikenal
dengan
Pengadilan
Negeri,
mempunyai
kewenangan
dalam
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan menciptakan keadilan dalam lingkup permasalahan perkara pidana dan perkara perdata, dan di dalam penyelenggaraan peradilan melalui proses persidangan tidak dapat dilepaskan dari unsur Hakim yang diberikan kewenangan sebagai pemegang kekuasan kehakiman. Dalam penyelenggaraan peradilan, menurut Lilik Mulyadi sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, Hakim mempunyai peranan menentukan
sehingga
kedudukannya dijamin Undang-undang,
dengan
demikian diharapkan tidak ada campur tangan dari pihak manapun terhadap para Hakim ketika sedang menangani perkara. 13 Sebagai pelaksana wewenang kekuasaan kehakiman, Hakim mempunyai tugas pokok fungsi untuk mengadili perkara yang ditanganinya, yang dapat diartikan sebagai suatu proses untuk memperoleh fakta-fakta di persidangan kemudian menganalisis fakta dengan cara mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir terhadap fakta-fakta yang ditemukan di persidangan tersebut. Mengkonstatir adalah suatu proses untuk menilai apakah peristiwa yang diajukan merupakan peristiwa hukum ataukah tidak, setelah dikonstatir dan ternyata memang merupakan suatu peristiwa hukum maka kemudian 13
Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktek dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, hal.75
7
dikualifisir yang berarti menilai peristiwa yang terjadi tersebut termasuk dalam kategori peristiwa hukum apa atau peristiwa hukum yang mana, barulah kemudian tahapan terakhir tugas Hakim adalah mengkonstituir yakni menetapkan hukum nya untuk menciptakan keadilan. Di tangan Hakim lah diharapkan mampu tercipta suatu putusan-putusan yang mencerminkan keadilan dan memberikan kepastian hukum terhadap seluruh permasalahan hukum dari masyarakat pencari keadilan, sehingga akan tercipta suatu kepuasan dan rasa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Putusan Pengadilan sebagai produk akhir dari Majelis Hakim / Hakim yang dihasilkan dari proses persidangan, disamping harus mencerminkan keadilan dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pencari keadilan, harus pula memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang khususnya yang menyangkut tetang apa yang harus dimuat dalam suatu putusan terutama dalam perkara pidana, hal tersebut dimaksudkan agar putusan yang dihasilkan tidak menjadi batal demi hukum. Dalam perkara pidana, untuk syarat sahnya suatu putusan maka suatu putusan tersebut harus memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan dan dicantumkan dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tetang Hukum Acara Pidana. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam suatu putusan perkara pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 197 ayat (1) khususnya huruf k menyebutkan bahwa surat putusan
8
pemidanaan memuat: “Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Ketentuan Pasal 197 ayat (1) tidak bisa pula dilepaskan dari ketentuan ayat (2) nya yang menyebutkan : “tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e , f , h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum” Dalam praktik dunia peradilan di Indonesia, khususnya dalam persidangan perkara pidana sering dijumpai, Majelis Hakim / Hakim yang mengadili suatu perkara pidana tidak mencantumkan amar perintah penahanan (status penahanan) di dalam amar putusannya terhadap Terdakwa yang telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana dan dijatuhi pidana, sebagai contoh kasus yang menarik perhatian yakni kasus Parlin Riduansyah Direktur Utama PT Satui Bara Tama (PT SBT) yang telah dihukum oleh Mahkamah Agung selama 3 tahun penjara atas dugaan tindak pidana kehutanan tanpa izin menteri atas ekspolitasi lahan tambang batu bara, kasus Bupati Aru, Maluku, Teddy Tengko yang telah dihukum 4 tahun dalam kasus korupsi APBD Kepulauan Aru senilai Rp 42,5 miliar dan dalam kasus Susno Duadji mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal POLRI yang telah dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara, denda Rp 200 juta dan pengembalian kerugian negara Rp 4,2 miliar dalam kasus terkait dengan perkara korupsi terkit dengan PT Salmah Arowana Lestari (SAL) dan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008. Tidak adanya pencantuman status penahanan
dalam
amar
putusan
pemidanaan
kadang
menimbulkan
9
permasalahan hukum dan perdebatan pada saat putusan pemidanaan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan akan dilakukan upaya eksekusi atau pelaksanaan putusan Pengadilan oleh Jaksa. Permasalahan tersebut muncul berkaitan dengan sah atau tidaknya suatu putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap, tetapi di dalam amar putusannya tidak mencantumkan amar perintah penahanan bagi Terpidana sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, sehingga dari permasalahan hukum tersebut menimbulkan celah hukum untuk diperdebatkan dan kadang pula dipergunakan oleh pihak Terpidana atau Kuasa Hukum Terpidana untuk menghindari eksekusi atas putusan pemidanaan tersebut dengan alasan Putusan tidak sah dan batal demi hukum. Perdebatan-perdebatan yang muncul berkaitan dengan putusan pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Inkracht van gewijsde), tetapi tidak mencantumkan amar perintah penahanan dalam amar putusannya, lebih banyak menyoroti permasalahan tentang bagaimana status penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa selama menjalani pemeriksaan persidangan seandainya tidak dicantumkan dalam amar putusan? Apakah putusan tersebut sah secara hukum? Apakah dengan tidak dicantumkannya status penahanan bagi Terdakwa yang telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana, dan dijatuhi pemidanaan kemudian putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, serta merta Terdakwa harus
10
menjalani pemidanaan yang telah dijatuhkan atau dengan kata lain langsung bisa dieksekusi Jaksa selaku pelaksana putusan Hakim? Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan seperti tersebut di atas dan melihat banyaknya perdebatan-perdebatan yang sering muncul berkaitan dengan status penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa selama dalam proses pemeriksaan persidangan berkaitan dengan putusan pemidanaan yang dijatuhkan, dan sah atau tidaknya putusan yang telah dijatuhkan, serta pelaksanaan putusan (eksekusi) atas putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap yang tidak mencantumkan amar perintah penahanan, maka Penulis tergerak
untuk
menyusun
penelitian
dengan
judul
“PUTUSAN
PEMIDANAAN BERKEKUATAN HUKUM TETAP YANG TIDAK DISERTAI AMAR PERINTAH PENAHANAN”, guna memberikan pemahaman secara hukum atas permasalahan-permasalahan dan perdebatanperdebatan yang terjadi.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian latar belakang masalah sebagaimana tersebut di atas, dapat dirumuskan adanya permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kekuatan hukum atas putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap yang di dalam amar putusannya tidak mencantumkan perintah penahanan, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP yang memuat ancaman putusan batal demi hukum?
11
2. Bagaimanakah ketentuan pelaksanaan (eksekusi)
terhadap putusan
pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap yang tidak mencantumkan amar perintah penahanan?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian-uraian dalam latar belakang dan perumusan masalah sebagaimana tersebut diatas, maka penelitian yang dilakukan ini dimaksudkan : 1. Untuk mengetahui kekuatan hukum atas putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap yang di dalam amar putusannya tidak mencantumkan perintah penahanan, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP yang memuat ancaman putusan batal demi hukum. 2. Untuk mengetahui ketentuan pelaksanaan (eksekusi) pemidanaan
yang
telah
berkekuatan
hukum
terhadap putusan
tetap
yang
tidak
mencantumkan amar perintah penahanan
D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis terkait Skripsi, Tesis, Disertasi maupun Karya Ilmiah lainnya di kepustakaan yang ada pada perpustakaan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, perpustakaan fakultas hukum Universitas Gadjah Mada serta perpustakaan lainnya dan mencari berbagai referensi, penulis memang menemukan beberapa penelitian hukum dengan tema tinjauan putusan pidana dan pembahasan yuridis putusan perkara
12
pidana, namun penelitian hukum tersebut berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Penelitian hukum yang dimaksud yakni penelitian yang berkaitan dengan susunan surat dakwaan Subsidiair untuk penerapan Pasal 2, Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, dan dasar pertimbangan Hakim tidak menerapkan cara pembuktian sesuai susunan surat dakwaan subsidiair14, dan penelitian yang lain yakni yang meneliti tentang dasar pertimbangan yang dipergunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara pada anak
sebagaimana
Putusan
Pengadilan
Negeri
Yogyakarta
No.
78/Pid.B/2010/PN.Yk. yang menjatuhkan pidana penjara terhadap Muhammad Viro Raihantio yang baru berumur 17 tahun dengan status pelajar di Kota Yogyakarta dan manfaat pidana penjara bagi anak dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 78/Pid.B/2010/PN.Yk15. Berkaitan dengan karya ilmiah yang penulis temukan berupa tesis tersebut, maka terdapat perbedaan-perbedaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Dalam penelitian yang akan dilakukan, Penulis akan mengulas mengenai arti penting dan penerapan penahanan dalam proses peradilan, keabsahan hukum atau sah tidaknya putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap yang tidak mencantumkan amar perintah penahanan didalam amar
14
Agustinus Herimulyanto, 2012, PEMBAHASAN YURIDIS DALAM PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI MENIMBANG BENTUK SURAT DAKWAAN SUBSIDIAIR PASAL 2 DAN 3 UU NO.31 TAHUN 1999 JO UU NO.20 TAHUN 2001, Tesis, Program Studi Magister Hukum Litigasi, Universitas Gadjah Mada 15 Nurkumala Hijria, 2014, TINJAUAN PUTUSAN HAKIM YANG MENJATUHKAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK NAKAL (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 78/Pid.B/2010/PN.YK), Tesis, Program Studi Magister Hukum Litigasi, Universitas Gadjah Mada
13
putusannya, dan akibat dari putusan yang dijatuhkan, serta pelaksanaan (eksekusi) oleh Jaksa atas putusan tersebut. Dengan adanya perbedaan-perbedaan dalam penelitian yang akan Penulis lakukan dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai penahanan, amar putusan pidana, dan pelaksanaan putusan (eksekusi) dalam proses penegakan hukum.
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran baik dari aspek akademis maupun dari aspek sisi praktis, yaitu sebagai berikut: 1. Secara akademis Dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum pidana khususnya hukum acara pidana lebih khusus lagi terkait keabsahan hukum atas putusan Hakim tentang pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap, tetapi tidak disertai dengan amar perintah penahanan dalam amar putusannya serta pelaksanaan putusan (eksekusi) oleh Jaksa atas putusan tersebut dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan bermanfaat dan memberikan pemahaman yang mudah bagi para penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa, Advokat maupun Hakim, para pencari keadilan, para Mahasiswa serta masyarakat
14
pada umumnya, sehingga dapat mengikuti pola berpikir secara sistematis mengenai status penahanan Terdakwa sampai dengan dijatuhkannya putusan yang tidak memuat amar perintah penahanan serta keabsahan hukum atas putusan tersebut sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.